Anda di halaman 1dari 18

BAHASA

PERUNDANG-UNDANGAN
OLEH H. BURDAN ALI JUNJUNAN, SH. M.Si

DIKLAT TEKNIS
PENYUSUNAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN ( LEGAL DRAFTING )
1. Ragam Bahasa Perundang-Undangan

 Tiga Kebenaran Dasar;


 Rasa Bahasa Perundang-Undangan;
 Teknik Pengacuan, Tanda Baca dan Tabulasi;
 Kegiatan Berkomposisi.
2. Bahasa Hukum dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan

 Pengertian;

 Syarat Bahasa Perundang-Undangan.


Tiga Kebenaran Dasar

Gagasan yang dituangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan


harus dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Untuk itu, setiap
perancang hendaknya menyadari adanya tiga kebenaran dasar,
yaitu:

 Bahwa apa yang disampaikan dalam tulisan itu tidak selalu dapat
diterima sama atau dengan baik oleh setiap orang.

 Bahwa makna yang akan disampaikan itu berada dalam pikiran


perancang Peraturan Perundang-Undangan bukan dalam kata
atau simbol yang akan digunakannya.

 Bahwa komunikasi selalu tidak sempurna. Hal ini disebabkan


oleh kenyataan bahwa kata-kata itu terbatas dan sangat kasar
untuk mewakili obyek atau hal yang akan dikomunikasikan.
Rasa Bahasa Perundang-Undangan
 Perancang Peraturan Perundang-Undangan dituntut untuk
mampu memilih kata-kata yang tepat. Untuk dapat memilih
kata-kata yang tepat, perancang Peraturan Perundang-
Undangan harus menguasai dan memiliki kosa kata atau
perbendaharaan kata dan ungkapan-ungakapan tersebut.
Pemilihan kata-kata yang tidak tepat, maka bahasanya akan
terasa kaku dan tidak mempunyai rasa

 Kata Kunci :Kita harus sepakat bahwa ­bunyi peraturan­tiada lain


adalah ­“bahasa”­yang diterapkan untuk mengatur hak dan
kewajiban negara/penyelenggara negara dan masyarakat,
meningkatkan pelayanan umum, mengatur ketertiban
bermasyarakat dan bernegara, serta memberikan kepastian hukum
(tidak multi tafsir). Dan bahasa yang ada dalam peraturan harus
ditegakkan disertai dengan sanksi-sanksinya
Teknik Pengacuan, Tanda Baca dan
Tabulasi
 Teknik Pengacuan
 Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan
Perundang-Undangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundang-Undangan
yang lain dengan menggunakan frase sebagaimana dimaksud dalam pasal ... atau
sebagaimana dimaksud pada ayat ...
 Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan cukup dengan
menggunakan frase sampai dengan :
 Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan, pasal atau ayat
yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
 Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat dalam
pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau ayat
angkanya lebih kecil.
 Pengacuan sedapat mungkin dilakukan dengan mencantumkan pula secara singkat
materi pokok yang diacu.
- Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang-Undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
- Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat yang
bersangkutan.
Tanda Baca

Penggunaan dan penempatan tanda baca erat hubungannya dengan pemilihan


dan penyusunan kata dan kalimat dalam perumusan pasal dan ayat. Penggunaan
atau pemakaian tanda baca sebagai berkut:
 a. Tanda Titik (.):
- Dipakai jika pernyataan gagasan sudah selesai atau pada akhir kalimat
bukan pertanyaan atau seruan;
- Dipakai pada akhir singkatan nama orang, gelar, jabatan, pangkat, dan
sapaan serta singkatan kata atau ungkapan yang sudah sangat umum.
Tidak dipakai dibelakang tanggal, nama, jabatan.
b. Tanda Koma (,):
- Untuk memisahkan unsur-unsur dalam perincian atau pembilangan;
- Untuk memisahkan anak kalimat yang mendahului induk kalimat dalam
kalimat majemuk; dan
- Untuk mengapit keterangan tambahan atau kalimat sisipan dalam kalimat
yang lebih luas.
c. Tanda Titik Koma (;):
- Menghubungkan suku kalimat yang sejenis dan setara yang
tidak dirangkaikan oleh kata penghubung ( dan, atau, tetapi);
- Suku kalimat yang dirangkaikan oleh kata seperti, karena itu,
meskipun, demikian, walaupun begitu, tambahan lagi;
- Suku kalimat atau gabungan kata (frasa) dalam seri yang
sekaligus memerlukan pemakaian tanda titik koma, atau bahkan
dalam seri yang unsur-unsurnya diberi penegasan khusus.
d. Tanda Titik Dua (:)
- Dipakai pada akhir suatu pernyataan yang lengkap jika diikuti
rangkaian keterangan atau penjelasan;
-Tidak dipakai jika rankaian atau rincian itu merupakan obyek
yang melengkapi atau mengakhiri pernyataan tersebut.
e. Tanda Elipsis (... tiga tanda titik)
- Menunjukkan bahwa dalam suatu petikan ada bagian yang
dihilangkan.
f. Tanda Kurung ( ) :
- Dipakai untuk mengapit tambahan keterangan atau
penjelasan pada singkatan, unsur yang tidak merupakan
bagian integral pokok pembicaraan; petikan langsung yang
berasal dari pembicaraan, pidato, naskah atau bahan
tertulis .

g. Tanda Petik Mengapit (”...”):


- Judul karangan dan nama bab buku jika dipakai dalam
kalimat;
- Istilah ilmiah yang masih kurang dikenal atau kata yang
diberi arti khusus;
- Petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, pidato,
naskah atau bahan tertulis.
Tabulasi
 Dalam membuat rumus pasal atau ayat dengan bentuk Tabulasi
hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
 Setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan
frase pembuka;
 Setiap rincian di awali dengan huruf (abjad) kecil dan diberi tanda baca titik;
 Setiap frase dalam rincian diawali huruf kecil;
 Setiap rincian diakhiri dengan tanda baca koma;
 Jika suatu rincian di bagi ke dalam unsur yang lebih kecil, maka unsur
tersebut dituliskan masuk ke dalam;
 Dibelakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda
baca titik dua;
 Pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan abjad kecil
yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca
titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda
baca kurung tutup;
 Pembagian rincian hendaknya tidak melampaui empat tingkat;
 Jika rincian melebihi empat tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal
yang bersangkutan ke dalam pasal atau ayat lain.
 Jika rincian atau unsur dalam tabulasi dimaksudkan
sebagai rincian Kumulatif, ditambahkan kata DAN
yang diletakan dibelakang rincian kedua dari rincian
terakhir. Jika rincian dimaksudkan sebagai rincian
Alternatif. Ditambahkan kata ATAU yang diletakkan di
belakang rincian kedua dari rincian terakhir.

 Jika rincian dimaksudkan sebagai rincian Kumulatif


dan Alternatif, ditambahkan kata DAN/ATAU yang
diletakan di belakag rincian kedua dari rincian terakhir.
Kata DAN, ATAU, DAN/ATAU tidak perlu diulang pada
akhir setiap unsur rincian.
Kegiatan Berkomposisi
 Salah satu syarat untuk menghasilkan suatu komposisi atau tulisan yang baik
dan teratur, antara lain perancang harus memiliki kemampuan menggunakan
bahasa dengan baik dan benar dan memiliki kemampuan penalaran yang baik.
 Urutan membentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baik sesuai dengan
kaidah tata bahasa Indonesia :
1. Judul (Nama)
Di dalam Pedoman atau Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan,
telah ditentukan bahwa mengenai ­jenis, nomor, tahun pengUndangan/penetapan,
dan nama Peraturan Perundang-Undangan­disebut sebagai “judul”. Sedangkan
mengenai “nama” itu sendiri hanya sebagian unsur dari judul.
2. Pembukaan
Dalam pembukaan Peraturan Perundang-Undangan, yang patut dicermati
adalah bagaimana menyusun pertimbangan atau konsiderans yang baik sehingga
secara politis peraturan yang dibentuk tersebut sudah mencerminkan alasan
filosofis, yuridis, sosiologis, dan adanya konstatasi fakta tuntutan perkembangan,
urgensi dan kebutuhan untuk pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta
kepastian hukum, sehingga perlu dibentuk suatu Peraturan Perundang-Undangan.
3. Ketentuan Umum
Peraturan Perundang-Undangan memberikan tempat pada materi yang
diatur untuk Bab/Pasal yang mengatur tentang batasan dari pengertian,
singkatan atau akronim, atau hal-hal lain yang bersifat umum yang
digunakan dalam peraturan. Bab atau pasal yang mengatur ini disebut
Bab/Pasal Ketentuan Umum.
 Peraturan Perundang-Undangan, dalam pembuatannya perlu
memperhatikan syarat-syarat di bawah ini:
a. Ekuivalen
Definisi yang dibuat harus dapat diuji melalui konverbilitas atau dapat
dipertukarkan satu sama lain antara yang didefinisikan (definedium) dan
yang mendefinisikan (definiens). A= B dan B= A. Jika A dan B dapat
dibuktikan sama dan dapat dipertukarkan, maka ini merupakan definisi yang
baik. Jika tidak dapat dipertukarkan, maka definisi tersebut hanya
merupakan pernyataan
b. Paralel
Dalam membuat suatu definisi, hindarkan adanya penggunaan kata-
kata dalam definiens, Karena definiens dapat mengandung syarat atau
pengandaian yang dapat menimbulkan ketidakpastian definisi, yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi kepastian hukum.
c. Pengulangan Kata Definiens
Hindari adanya pengulangan kata yang sama yang ada
dalam definiendum. Misalnya, Ilmu Hukum, kata “ilmu” dan
“hukum” harus didefinisikan sebagai “Pengetahuan mengenai
norma-norma yang mengatur tingkah laku yang disusun
berdasarkan sistimatika yang teratur”. Jadi bukan “Ilmu yang
mempelajari tentang hukum”.
d. Negatif
Hindari adanya definiens yang negatif, dalam arti
menggunakan kata seperti: bukan, tidak, non, dslb., kecuali
terhadap klas-klas yang mempunyai sifat dekotomi atau yang
disangkal ciri deferensialnya dan bukan anggotanya.
Penormaan

 Membuat suatu norma, pada dasarnya merupakan pekerjaan


berkomposisi dengan memfokuskan pada kalimat yang
mengandung suatu larangan, suruhan, kebolehan, diskresi,
dan pengecualian bertindak bagi masyarakat, golongan
tertentu, atau perorangan, atau menciptakan suatu
kewenangan baru atau menghapuskan kewenangan yang
sudah ada
 Di dalam tipologi norma, kita mengenal adanya tiga macam norma,
yaitu:
 Norma Tingkah Laku, yang terdiri atas:
 perintah;
 larangan;
 kebolehan;
 pembebasan.
 Norma Kewenangan/Kompetensi; dan
 Norma yang Mengubah Norma.
Bahasa Hukum dalam Pembentukan Perundang-
Undangan
 Pengertian
Ragam bahasa Perundang-Undangan ialah gaya bahasa yang
dipergunakan dalam suatu Peraturan Perundang-Undangan, sehingga ia
merupakan bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah-kaidah bahasa
Indonesia, akan tetapi didalamnya terkandung ciri-ciri khusus yaitu,
adanya sifat keresmian, kejelasan makna, dan kelugasan.
1. Sifat keresmian: sifat ini menunjukkan adanya situasi kedinasan, yang
menuntut ketaatan dalam penerapan kaidah bahasa, dan ketaatan
kepada kaidah bahasa.
2. Sifat kejelasan makna: sifat ini menuntut agar informasi yang
disampaikan dinyatakan dengan kalimat-kalimat yang memperlihatkan
bagian-bagian kalimat secara tegas, Sifat kejelasan makna ini menuntut
agar kalimat-kalimat yang dirumuskan harus menunjukkan dengan jelas
mana subyek, predikat, obyek, pelengkap, atau keterangan yang lainnya
3. Sifat kelugasan: sifat kelugasan ini menuntut agar setiap perumusannya
disusun secara wajar, sehingga tidak berkesan berlebihan atau berandai-
andai.
Syarat Bahasa Undang-Undang
 Menurut Prof. Dr. Hamid Attamimi, S.H[1], di dalam
merumuskan Peraturan Perundang-Undangan perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 Tidak boleh mempunyai arti yang kembar;
 Harus menggunakan ungkapan-ungkapan yang jelas (jangan berpuisi);
 Jangan menggunakan ungkapan yang tidak sempurna;
 Gaya bahasa harus padat dan sederhana;
 Penggunaaan istilah yang sudah mutlak/tetap;
 Jangan mengacaukan yang pokok dengan pengecualian-pengecualian;
 Hindarkan ketidakteraturan dalam menggunakan kata-kata;
 Jangan menggunakan kalimat terlalu panjang;
 Pertimbangkan baik-baik perlu tidaknya peraturan tersebut agar jangan
sampai suatu saat hukum itu menjadi korban.

[1] Ibid hal. 14
 Selain syarat-syarat tersebut di atas, perumusan
suatu norma dalam Peraturan Perundang-
Undangan haruslah memuat hal-hal sebagai
berikut:
 Subyek sebagai pelaku suatu tindakan;
 Dirumuskan dalam kalimat aktif;
 Mempergunakan bentuk tunggal;
 Dirumuskan dalam waktu sekarang (khusus bagi
bahasa yang memakai Presentense)

Anda mungkin juga menyukai