Anda di halaman 1dari 84

Legal Drafting

Burdan Ali Junjunan, S.H., MSi.


Legal Drafting SCBD 2008
Garut
Grundnorm
Hans Kelsen

Grundnorm adalah dasar


berlaku dari semua
kaedah yang berasal dari
tata hukum
Pasal 3 UU 10/2004:
Undang-Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
merupakan hukum dasar
dalam Peraturan
Perundang-undangan.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 2


Hierarki Perundangan di Indonesia
(Pasal 7 (1) UU No. 10 tahun 2004)

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 3


Lex superiori derogat legi inferiori

Superior

Inferior

Dalam hal mengatur sesuatu yang sama, peraturan yang


lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih
tinggi.
Jika bertentangan, peraturan perundangan yang lebih
tinggi akan melumpuhkan peraturan perundangan yang
lebih rendah.
Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 4
Judicial Review

Dibawah UU UU

Terhadap UU Terhadap UUD

Paling lambat 180 hari


MK

MA

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 5


Lex Posteriori derogat legi priori

Lama Baru

Dalam hal mengatur sesuatu yang sama,


peraturan yang lebih baru akan melumpuhkan
peraturan perundangan yang lebih lama.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 6


Lex Specialis derogat legi Generalis

Generalis specialis

Dalam hal mengatur sesuatu yang sama,


peraturan yang lebih khusus akan melumpuhkan
peraturan perundangan yang lebih umum.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 7


Asas materi yang tepat

Hal ini sangat terkait dengan materi


muatan setiap peraturan perundang-
undangan. Dalam praktik tidak begitu
mudah memasukkan objek tertentu ke
dalam materi muatan tertentu.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 8


Asas persamaan dan tidak
memihak
Peraturan perundang-undangan harus
mengatur dan dilaksanakan sama bagi
setiap orang tanpa membeda-bedakan.
Tujuannya:agar pearturan itu tidak
bertentangan dengan rasa keadilan
kepatutan dan kesusilaannya. Kalau ada
pembedaannya harus ditegaskan terlebih
dahulu secara hukum.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 9


Asas motif dan
tujuan yang sah
Motif pembentukan peraturan harus
benar (baik) atau dapat dibenarkan oleh
hukum. Tidak diperbolehkan membuat
peraturan untuk tujuan/motif buruk
tertentu yang bertentangan dengan
kepatutan, kesusilaan dan keadilan.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 10


Asas kepastian
Peraturan perundang-undangan harus
melahirkan kepastian hukum.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 11


Asas kepentingan umum

Peraturan perundang-undangan tidak


boleh bertentangan dengan
kepentingan umum

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 12


Asas dapat dilaksanakan
Membuat peraturan yang dapat
dilaksanakan/eksekusi.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 13


TIDAK Berlaku Surut
(Non-retroaktif)

Undang-undang tidak mengikat/tidak


berlaku terhadap peristiwa yang
terjadi sebelum aturan itu
diundangkan.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 14


Prinsip Tertib Per-UU- an
Asas kewenangan (atribusi, delegasi, mandat).

Dalam pembentukan peraturan


perundang-undangan seringkali
dipersoalkan dari mana sumber
kewenangan pembentukan peraturan itu.
jangan sampai suatu aturan itu tanpa
wewenang atau melampaui
kewenangannya.
Wewenang ini dapat timbul berdasarkan
atribusi, delegasi atau mandat.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 15


Prinsip Delegasi

Delegataris dapat melaksanakan


kekuasaannya atas nama sendiri dan
disertai tanggung jawab sendiri.
Delegataris bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan kewenangannya
harus dihindari delegasi blanko.Norma
yang akan didelegasikan harus jelas.
Berlaku asas delegata potestas non potest
delegari : delegasi tidak bisa
didelegasikan kembali tanpa ada perintah
dari yang memberi delegasi.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 16


Tahap Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan
Pembuatan undang-undang terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu:
1. Perencanaan
2. Persiapan
3. Pembahasan
4. Pengesahan (atau ‘Penetapan’ untuk Perda)
5. Pengundangan
6. Penyebarluasan

UU 10/2004 mengatur tahap pembahasan dan pengesahan yang rinci


hanya untuk UU dan Perda, karena kedua jenis peraturan perundang-
undangan inilah yang pembahasannya melibatkan dua lembaga
negara (eksekutif dan legislatif), sehingga pengaturannya harus di
dalam UU. Sedangkan pembahasan peraturan pelaksana (PP,
Perpres, Peraturan/Keputusan Gubernur/Walikota) merupakan
wilayah kerja eksekutif tersendiri sehingga rinciannya tergantung
pada kebijakan masing-masing instansi.
Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 17
Proses Hukum
Aspirasi Legislasi Eksekusi

Presiden DPR
Partisipasi MA
Masyarakat

DPD

Sosialisasi MK
Pengusaha

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 18


Langkah Pertama Langkah Kedua
Perancangan Laporan Penelitian Perancangan Peraturan

Solusi
diuraikan Menyusun
Problem
Solving menjadi Kalimat
Pengelomp
Methodolgy daftar usulan
okan Perundang
pengaturan : LAPORAN
1.Permasala
Dan - RANCANGAN
han 1.pelaku Undangan :
2. Penyebab peran PENELITIAN Penguruta PERATURAN
2.Badan n
Permasalaha pelaksana atas
n 3.Sanksi
Daftar ----------------
3. Solusi 4.Penyelesaia
4. n sengketa usulan
Harmonisasi
Monitoring 5.Pengawasa pengaturan
&
& evaluasi n
Sinkronisasi
6.Pendanaan (Grouping
7.Ket.tekhnis
&
Ordering)

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 19


Penata-urutan
Pengelompokan Menuangkan hasil
Memilah pilihan Pengelompokan
ke dalam pada kerangka
rangkaian yang peraturan
Rancangan
sistematis perundang-
Undang-undang
undangan
yang lengkap

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 20


Mengapa Pengelompokan &
Penata-Urutan Penting?

Untuk memudahkan pemahaman pihak yang


dituju, peraturan harus disusun secara logis
agar mudah dimengerti oleh masyarakat,
melalui pengelompokan (grouping) dan
pengurutan (ordering) yang baik.

Pengelompokan dan pengurutan yang baik


membantu perancang untuk menghindari
inkonsistensi.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 21


Pengelompokan
(Grouping)

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 22


Menuangkan Laporan
Penelitian Menjadi Pengaturan
Setelah rincian solusi ditetapkan dalam laporan penelitian,
dilakukan pengelompokkan solusi untuk memudahkan proses
perancangan.
Pengelompokkan Solusi dalam MPM adalah:
1. Aktor
2. Badan Pelaksana
3. Sanksi
4. Penyelesaian sengketa
5. Pengawasan
6. Pendanaan
7. Ketentuan Teknis
Setelah itu dirancang normanya (proses drafting awal),
dan kemudian dikelompokkan lagi menjadi
pengelompokkan ketentuan.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 23


Pengelompokan Ketentuan
Berdasarkan MPM
1. Kelompok Ketentuan Definisi;
2. Kelompok Ketentuan Utama;
3. Kelompok Ketentuan Pelaksanaan atau
Penegakan;
4. Kelompok Ketentuan Sanksi;
5. Kelompok Ketentuan Penyelesaian Sengketa;
6. Kelompok Ketentuan Pembiayaan atau
Penyediaan Fasilitas Pendukung;
7. Kelompok Ketentuan Teknis

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 24


Pengelompokan Ketentuan
1. Definisi
Memuat batasan dan pengertian mengenai
istilah serta konsep-konsep utama yang ada
pada sebuah peraturan.
Biasanya akan diletakkan pada Bab Pertama
atau pasal-pasal awal.
Selain berisi definisi atau pengertian, bagian ini
juga memuat tentang penjelasan singkatan
yang digunakan peraturan

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 25


Pengelompokan Ketentuan
2. Ketentuan Utama

Memuat perintah, larangan, atau kebolehan


melakukan suatu tindakan tertentu.
Muatan idealnya sesuai dengan laporan hasil
penelitian yang berisi hasil identifikasi tentang
berbagai aktor serta perilaku bermasalahnya.
Ketentuan-ketentuan ini menjadi dasar bagi
aparat pelaksana peraturan untuk menentukan,
menilai, dan menjatuhkan sanksi kepada pihak-
pihak yang melanggar suatu peraturan.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 26


Pengelompokan Ketentuan
3. Kelompok Ketentuan Pelaksanaan
atau Penegakan

Umumnya berisi
Pihak-pihak, orang atau organisasi, yang
memastikan pelaksanakan ketentuan
utama;
Tugas dan wewenang para pelaksana;
Prosedur dan kriteria untuk
menegakkan ketentuan utama.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 27


Pengelompokan Ketentuan
4.Kelompok Ketentuan Sanksi

Berisi pernyataan mengenai konsekuensi bagi


aktor utama maupun pelaksana peraturan
apabila tindakan mereka tidak sesuai dengan
ketentuan yang ditujukan terhadapnya
Perlu diperhatikan dalam penerapan sanksi
1. Apa sanksi bagi tindakan tertentu?
2. Siapa yang memberikan sanksi dan melalui
prosedur bagaimana sanksi tersebut
diterapkan?

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 28


Pengelompokan Ketentuan
5. Kelompok Ketentuan Penyelesaian
Sengketa

Unsur-unsur yang ada dalam kelompok ketentuan


ini di antaranya adalah:
1. Siapa yang ditunjuk untuk menilai dan memutuskan
sengketa yang terjadi?
2. Siapa saja yang dapat mengajukan sengketa?
3. Prosedur apa saja yang harus ditempuh? Persyaratan
apa saja yang harus dipenuhi untuk mengajukan
sengketa?
4. Prosedur dan kriteria apa yang menjadi pedoman
pejabat atau lembaga penyelesai sengketa dalam
menilai dan memutuskan sengketa yang diajukan?
5. Sejauh mana daya ikat dari putusan lembaga
penyelesai sengketa tersebut terhadap para pihak?
Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 29
Pengelompokan Ketentuan
6. Kelompok Ketentuan Pembiayaan atau
Penyediaan Fasilitas Pendukung

berisi ketentuan tentang:


1. Siapa yang harus menyediakan
pembiayaan pelaksanaan peraturan
tersebut?
2. Dari mana pembiayaan tersebut
didapat?

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 30


Pengelompokan Ketentuan
7.Kelompok Ketentuan Teknis

1. penunjukan organ atau alat


perlengkapan yang melaksanakan
Peraturan Perundang-undangan;
2. nama singkat;
3. status Peraturan Perundang-
undangan yang sudah ada; dan
4. saat mulai berlaku Peraturan
Perundang-undangan.
Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 31
Penata-Urutan
(Ordering)
Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 32
Sistematika Peraturan
Dasar Hukum:
UU No.10/2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
Sistematika suatu peraturan:
1. Judul
2. Pembukaan
3. Batang tubuh
4. Penutup
5. Penjelasan
6. Lampiran (bila diperlukan)
Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 33
1. Judul
Judul suatu peraturan merupakan kalimat yang menyatakan
gambaran pokok tentang substansi peraturan.
Judul memuat keterangan tentang:
 Jenis

 Nomor

 Tahun Pengundangan atau Penetapan; dan

 Nama peraturan tersebut

UU NO. 10/2004 mengharuskan agar judul ditulis dalam huruf


kapital dan diletakkan di tengah margin tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK
NOMOR 6 TAHUN 2004
TENTANG
TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAH DAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN LEBAK
Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 34
Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah
lebih dari 1 (satu) kali,
di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan
keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan
tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan
sebelumnya.
Contoh:
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN…
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
UNDANG – UNDANG
NOMOR…TAHUN….TENTANG ….

Pencabutan
2. Pembukaan
- komponen
Pembukaan suatu peraturan terdiri dari 5
komponen:
1. Frase “Dengan Rahmat Tuhan
Yang Maha Esa”
2. Jabatan pembentuk peraturan
3. Konsiderans (‘menimbang’)
4. Dasar hukum (‘mengingat’)
5. Diktum: frase ‘memutuskan’ dan
‘menetapkan’, judul peraturan

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 36


2. Pembukaan
- menimbang
Memuat pokok pikiran yang mendasari perlunya dibuat suatu
peraturan.Umumnya memuat unsur-unsur filosofis, historis dan sosiologis;
bersifat faktual dan kronologis. Di bagian akhirnya ditutup dengan kesimpulan
bahwa peraturan tersebut diperlukan.
Pokok Pikiran Kategori

Menimbang a. bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan Unsur Filosofis


salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang
hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang
pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang
berwenang membuat peraturan perundang-undangan;

b. bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses Unsur Sosiologis
pembentukan peraturan perundang-undangan, maka negara
Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu
memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-
undangan;

c. bahwa selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan Unsur Yuridis
peraturan perundang-undangan terdapat dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum
ketatanegaran Republik Indonesia;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Kesimpulan


huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 37


Konsiderans Peraturan Pemerintah pada dasarnya
cukup memuat satu pertimbangan yang berisi
uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan,
ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-
Undang yang memerintahkan pembuatan
Peraturan Pemerintah tersebut.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 38


2. Pembukaan
- menimbang
Catatan tentang Pembukaan dalam MPM
Isi suatu konsiderans diarahkan kepada rangkaian kesimpulan
pokok tentang:
 Masalah sosial yang ingin dipecahkan dan gejala-gejalanya;

 Perilaku bermasalah yang jadi penyebab utama masalah

sosial tersebut;
 Solusi-solusi utama yang diajukan, termasuk solusi tentang

muatan umum dari peraturan.


MPM mengharapkan agar pembaca tidak saja mengetahui latar
belakang pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut,
tetapi juga pokok pikiran yang terkandung dalam suatu
peraturan perundang-undangan - hanya dengan melihat bagian
menimbangnya.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 39


2. Pembukaan
- mengingat
Dasar Hukum mengingat, memuat dasar
kewenangan pembuatan Peraturan
perundang-undangan dan Peraturan
Perundang-undangan yang
memerintahkan pembuatan Peraturan
perundang-undangan tersebut.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 40


2. Pembukaan
- mengingat
dibagi menjadi dua kelompok.
1. Pertama, kelompok peraturan yang memberikan dasar
kewenangan bagi Pejabat atau lembaga untuk
membentuk peraturan tersebut.

Undang-Undang: Pasal 5 (1) dan Pasal 20 (1), Pasal 21,
22D UUD
 Peraturan Pemerintah: Pasal 4 (2) & 5 (2) UUD
 Keputusan/Peraturan Presiden: Pasal 4 (1) UUD
 Perda: UU 32 Tahun 2004
2. Kedua, Peraturan yang memberikan dasar bagi materi
muatan yang terkandung dalam peraturan tersebut
atau terkait erat.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 41


Peraturan Perundang-undangan yang
digunakan sebagai dasar hukum hanya
Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
Peraturan Perundang-undangan yang akan
dicabut dengan Peraturan Perundang-
undangan yang akan dibentuk atau
Peraturan Perundang-undangan yang
sudah diundangkan tetapi belum resmi
berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar
hukum.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 42


Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang
dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan
pencantuman perlu memperhatikan tata urutan
Peraturan Perundang-undangan dan jika
tingkatannya sama disusun secara kronologis
berdasarkan saat pengundangan atau
penetapannya.
Dasar hukum yang diambil dari pasal (-pasal) dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau
beberapa pasal yang berkaitan Frase Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 43


2. Pembukaan
- diktum
Merupakan simbolisasi pernyataan formal yang dikeluarkan
lembaga atau pejabat pembuat peraturan perundang-
undangan tersebut.
Terdiri atas beberapa komponen yaitu :
 kata Memutuskan;
 kata Menetapkan
 Nama Peraturan perundang-undangan.
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LEBAK
Dan
BUPATI LEBAK

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK TENTANG


TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAM
PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN LEBAK
Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 44
3. Batang Tubuh
- dasar

Batang Tubuh memuat seluruh ketentuan atas


materi yang diatur dalam suatu perat. per-uu-an.

Ketentuan-ketentuan tersebut dirumuskan dalam


bentuk kalimat perundang-undangan dengan yang
termuat dalam satuan acuan ketentuan yang
dikenal sebagai pasal.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 45


3. Batang Tubuh
- struktur formil
Secara formil, struktur Batang Tubuh
tersusun atas kelompok-kelompok sbb:
Bab
Catatan:
Pasal merupakan bentuk
Bagian pengaturan terkecil; 1 pasal =
1 pokok pikiran. TAPI untuk
memudahkan, bisa dibuat
Paragraf
ayat-ayat dalam satu pasal.

Pasal
Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 46
3. Batang Tubuh
- pengelompokkan

Tidak ada standar baku


Petunjuk untuk mengelompokkan
 Kerumitan masalah yang diatur
 Tingkat kedalaman materi
 Kesamaan materi
Imajinasi dan pengetahuan substansi perancang
terhadap masalah tersebut
Peraturan yang berlaku sekali tidak
memerlukan pengelompokan.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 47


UU NO. 37/2004 TENTANG KEPAILITAN & PKPU
BAB I KETENTUAN UMUM
BAB II KEPAILITAN
Bagian Kesatu Syarat dan Putusan Pailit
Bagian Kedua Akibat Kepailitan
Bagian Ketiga Pengurusan Harta Pailit
Paragraf 1 Hakim Pengawas
Paragraf 2 Kurator
Paragraf 3 Panitia Kreditor
Paragraf 4 Rapat Kreditor
Paragraf 5 Penetapan Hakim UU NO. 8/1997 TENTANG DOKUMEN
Bagian Keempat Tindakan Setelah Pernyataan PERUSAHAAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pailit dan Tugas Kurator BAB II PEMBUATAN CATATAN DAN
Bagian Kelima Pencocokan Piutang PENYIMPANAN DOKUMEN PERUSAHAAN
Bagian Keenam Perdamaian BAB III PENGALIHAN BENTUK DOKUMEN
Bagian Ketujuh Pemberesan Harta Pailit PERUSAHAAN DAN LEGALISASI
Bagian Kedelapan Keadaan Hukum Debitor Setelah BAB IV PEMINDAHAN, PENYERAHAN, DAN
Berakhirnya Pemberesan PEMUSNAHAN DOKUMEN PERUSAHAAN
Bagian Kesembilan Kepailitan Harta Peninggalan BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Bagian Kesepuluh Ketentuan-ketentuan Hukum BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Internasional
Bagian Kesebelas Rehabilitasi
BAB III PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG
Bagian Kesatu Pemberian Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dan Akibatnya
Bagian Kedua Perdamaian
BAB IV PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI
BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN
BAB VII KETENTUAN PENUTUP

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 48


3. Batang Tubuh
- struktur materil
Secara materil, struktur Batang Tubuh
tersusun atas kelompok-kelompok yang
terdiri atas:
1. Ketentuan Umum ;
2. Materi Pokok yang Diatur;
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan);
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan);
5. Ketentuan Penutup.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 49


3. Batang Tubuh
- struktur materil
Ketentuan Umum

Diletakkan dalam Bab Pertama, jika tidak


ada pengelompokkan dalam bab, diletakkan
dalam pasal-pasal awal

Isi Ketentuan Umum: batasan pengertian


atau definisi; singkatan atau akronim yang
digunakan dalam peraturan, hal-hal lain
yang berlaku bagi pasal-pasal di bawahnya
Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 50
3. Batang Tubuh
- struktur materil
Materi Pokok Yang Diatur
pengelompokkan substansi terutama
dilakukan di sini

Ketentuan Pidana (jika diperlukan)


Hanya bisa di dalam UU dan Perda [Pasal
14 UU PPP]
Perhatikan ketentuan KUHP Buku I [asas
legalitas]
Diatur tersendiri dalam Bab Ketentuan
Pidana
Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 51
Rumusan ketentuan pidana harus
menyebutkan secara tegas norma larangan
atau perintah yang dilanggar dan
menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat
norma tersebut. Dengan demikian, perlu
dihindari:
1. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan
Perandang-undangan lain;
2. pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari norma
yang diacu tidak sama; atau
3. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau
tidak terdapat di norma-norma yang diatur dalam
pasal (-pasal) sebelumnya, kecuali untuk Undang-
Undang tindak pidana khusus.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 52


Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari
ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap orang.

Contoh:
Pasal 81

Setiaporang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek


yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik
orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis
yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp
100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 53


3. Batang Tubuh
- struktur materil
Ketentuan Peralihan
Memuat penyesuaian terhadap kondisi yang sudah ada
Bentuk-bentuknya: membuat aturan khusus terhadap
ketentuan yg sudah ada; atau memberlakukan secara
berangsur-angsur; atau penyimpangan untuk sementara waktu

Ketentuan Penutup
Penunjukkan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan
peraturan
Nama singkat
Memuat penyesuaian terhadap peraturan lain yang sudah ada
Saat mulai berlakunya peraturan

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 54


Penentuan daya laku surut sebaiknya
tidak diadakan bagi Peraturan
Perundang-undangan yang memuat
ketentuan yang memberi beban konkret
kepada masyarakat.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 55


4. Penutup
Penutup menjadi bagian yang tersendiri yang terpisah dari Bab
Batang Tubuh yang memuat Ketentuan Penutup .
Bab Penutup terdiri dari:
1. rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia,
Lembaran Daerah, atau Berita Daerah;
2. pengesahan atau penetapan;
3. pengundangan; serta
4. penyebutan Lembaran Negara peraturan tersebut.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 56


4. Penutup Contoh:

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lebak

Disahkan di Rangkasbitung
Pada Tanggal 1 Juni 2004

Bupati LEBAK,
H. MOCH YAS’A MULYADI

Diundangkan di Rangkasbitung
Pada tanggal 1 Juni 2004
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LEBAK
Drs. H. NARASOMA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK


TAHUN 2004 NOMOR 10 SERI E

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 57


5. Penjelasan
Penjelasan merupakan uraian dari pembentuk
peraturan.
Melalui penjelasan pihak-pihak yang dituju oleh
peraturan akan mengetahui tentang:
 Latar belakang pembentukan peraturan;

 Maksud dan tujuan pembentukan peraturan;

dan
 Segala sesuatu yang dipandang oleh pembentuk

peraturan perlu dijelaskan

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 58


6. Lampiran
Suatu peraturan perundang-undangan
dapat memuat “Lampiran.” Misalnya UU
No. 10/2004, Keppres 44 Tahun 1999
yang mengandung lampiran mengenai
contoh peraturan dan teknis menyusun
peraturan. Atau bisa juga berupa peta
wilayah dan lain sebagainya.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 59


Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan
- Asas -
Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 60


Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan
- Materi Muatan -
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
 Pengaturan lebih lanjut ketentuan UUD
 Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi
muatan Undang-Undang.
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya.
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang
atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus
daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka
penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan
Peraturan Daerah. Pasal 143 UU 32/2004 mengatur:
 Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan
hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan
perundangan.
 Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam), bulan atau denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
 Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain di atas, sesuai dengan yang
diatur dalam peraturan perundangan lainnya.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 61


Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan
- Hierarki -
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah:
 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
 Peraturan Pemerintah;
 Peraturan Presiden;
 Peraturan Daerah, yang meliputi:
Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
provinsi bersama dengan gubernur;
Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Untuk memastikan efektivitas UU, Pasal 39 ayat (2) UU 10/2004
menyatakan, setiap UU wajib mencantumkan batas waktu
penetapan PP dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-
Undang tersebut.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 62


Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan
- Partisipasi Masyarakat -
Pasal 53 UU 10/2004 dan Pasal 139
UU 32/2004 menyatakan:
Masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan atau tertulis,
baik dalam tahap penyiapan maupun
pembahasan RUU dan Ranperda.

Ket: Gambar Cover dari: Erni Setyowati dkk, Panduan Pemantauan Proses Legislasi (Jakarta: PSHK, 2005)

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 63


Proses Pembentukan UU: RUU Usul Presiden
[Sumber: Erni Setyowati dkk, Panduan Pemantauan Proses Legislasi (Jakarta: PSHK, 2005)]
PENGAJUAN RUU Pengesahan

Pengambilan Keputusan oleh Rapat


Presiden mengajukan RUU kepada Paripurna
Pimpinan DPR bersama naskah
akademis dan Surat Pengantar Presiden
T
DPD memberikan I Pendapat akhir Fraksi
pertimbangan N
tertulis terhadap G
Pimpinan DPR membagikan RUU ke RUU yg berkaitan K
Anggota DPR dalam Rapat Paripurna, dng Anggaran A
Pendapatan dan Laporan hasil Pembicaran Tingkat I
dan juga kepada DPD bila menyangkut T
wewenang DPD Belanja, Pajak, II
Pendidikan, dan
agama sebelum
memasuki tahap
Pembahasan berdasarkan DIM
pembahasan DPR
bersama Pemerintah
DPR mulai membahas RUU, paling dan presiden
lambat 60 hari sejak RUU diterima

Rapat Dengar Pendapat Umum

T
I
N Jawaban Pemerintah atas
G Pemandangan Umum Fraksi (dan
K DPD)
A
T
I

Pemandangan umum Fraksi, dan juga


DPD bila RUU termasuk wewenang
DPD

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti PEMBAHASAN RUU 64


Proses Pembentukan UU: RUU Usul DPR
[Sumber: Erni Setyowati dkk, Panduan Pemantauan Proses Legislasi (Jakarta: PSHK, 2005)] Pengesahan

PENGAJUAN RUU
Pengambilan Keputusan oleh
Rapat Paripurna
T
I
Anggota DPR atau Komisi atau
N
gabungan Komisi, atau Baleg
G
mengajukan RUU
K
Pendapat akhir
A
Fraksi
T
Konsepsi RUU dibahas oleh Baleg
II
untuk pengharmonisasian,
Laporan hasil Pembicaran
pembulatan, dan pemantapan
Tingkat I
konsepsi RUU

Ditolak
Pembahasan berdasarkan
Pengambilan keputusan oleh
Disetujui DIM
Rapat Paripurna mengenai RUU
bersama Pemerintah
Disetujui dengan
perubahan
T Jawaban Pemerintah atas
I Pemandangan Umum
Komisi, Badan Legislasi, atau Panitia N Fraksi
Khusus menyempurnakan RUU G (dan DPD)
DPD memberikan K
pertimbangan tertulis
A
terhadap RUU yg
berkaitan dng Anggaran T Rapat Dengar Pendapat
Pimpinan DPR menyampaikan RUU
Pendapatan dan Belanja, kepada Presiden, dan juga kepada Umum
Pajak, Pendidikan, dan I
DPD bila menyangkut wewenang DPD
agama sebelum
memasuki tahap
pembahasan antara DPR Pemandangan umum Fraksi, dan
dan presiden Presiden menunjuk Menteri yg juga DPD bila RUU termasuk
mewakili Pemerintah dalam Proses wewenang DPD
Pembahasan, maksimal 60 hari

PEMBAHASAN RUU
Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 65
Proses Pembentukan UU: RUU Usul DPD
[Sumber: Erni Setyowati dkk, Panduan Pemantauan Proses Legislasi (Jakarta: PSHK, 2005)]

PEMBAHASAN RUU
PENGUSULAN RUU

Proram Legislasi Nasional


Pimpinan DPR menyampaikan RUU Pemandangan umum Fraksi
ke Presiden. Maksimal 60 hari sejak
Panitia Perancang UU atau 32 orang dan DPD
diterimanya RUU, Presiden
Panitia AdHoc mengajukan anggota menunjuk Menteri yg ditugasi
RUU berikut naskah DPD mewakili Pemerintah dalam
akademis ke Pimpinan pembahasan
dilaporkan dalam Rapat Paripurna T
DPD Rapat Dengar Pendapat Umum
I
N
G
Pimpinan DPD
K
membagikan RUU
ke seluruh Komisi atau Badan Legislasi A Jawaban Pemerintah atas
anggota mengundang alat kelengkapan T Pemandangan Umum Fraksi dan DPD
DPD untuk membahas RUU dan
hasilnya dilaporkan dalam Rapat I
Ditolak Paripurna

Pengambilan
keputusan Sidang Diterima Pembahasan berdasarkan DIM
Paripurna
DPR menugaskan Komisi atau
bersama Pemerintah
terhadap RUU Diterima Badan Legislasi untuk
dengan membahas RUU
perubahan
Laporan hasil Pembicaraan
Tingkat I
Panitia Perancang UU Pimpinan DPR membagikan T
menyempurnakan RUU RUU ke Anggota DPR dalam I
Rapat Paripurna N
G Pendapat akhir Fraksi
K
RUU diajukan kepada A
Pimpinan DPR DPD mengajukan RUU ke T
Pimpinan DPR secara tertulis
II Pengambilan Keputusan
oleh Rapat Paripurna
PENGAJUAN RUU

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti PENGESAHAN 66


OPINI PUBLIK TERHADAP TINGKAT KORUPSI
DI SEKTOR/INSTITUSI DI INDONESIA
MENURUT BAROMETER KORUPSI GLOBAL 2005 DAN 2006
TRANSPARENCY INTERNATIONAL
`
PARTAI POLITIK 4,4 DPR 4,2
DPR 4,4 PERADILAN 4,2
BEA CUKAI 4,3 KEPOLISIAN 4,2
PERADILAN 4,2 PARPOL 4,1
POLISI 4,2 PAJAK 3,4
DINAS PAJAK 4 BIROKRASI 3,6
BISNIS/SEKTOR SWASTA 3,7 BEA CUKAI -

2005 2006

SUMBER : TRANSPARENCY INTERNATIONAL, Barometer Korupsi Global 2005 dan 2006

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 67


Kompas, 11 Desember 2006

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 68


Kasus Korupsi Menurut Sektor

Kecenderungan Korupsi Semester I 2006, TIM ICW

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 69


Lembaga Negara yang Terlibat Korupsi

Kecenderungan Korupsi Semester I 2006, TIM ICW

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 70


Duapuluh Jabatan Pelaku korupsi Terbanyak

Kecenderungan Korupsi Semester I 2006, TIM ICW

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 71


Modus Kasus Korupsi BUMN

Kecenderungan Korupsi Semester I 2006, TIM ICW

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 72


Perda
Perda Propinsi/Kabupaten/Kota
dibentuk oleh DPRD dan Kepala
Daerah, yang fungsinya untuk
mengatur pemerintahan daerah
otonom dan tugas pembantuan.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 73


Fungsi DPRD
(Psl 41 UU No 32 Th 2004 ttg Pemerintahan Daerah)

Fungsi Legislasi

Fungsi Penganggaran

Fungsi Pengawasan

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 74


PERDA dan NEGARA
KESATUAN
Dalam konteks negara kesatuan, perda
adalah sub sistem dari sistem hukum
nasional. Dengan demikian dasar
kewenangan pembentukannya pun
harus mengacu pada aturan-aturan
yang ada di tingkat pusat

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 75


Problematika Perda Bernuansa
Syariat Islam
Konsistensi dengan gentlement
agreement konstitusi
Pengaturan agama di Perda (UU
Pemda)
Upaya hukum
 Judicial Review
 Executive Review
 Legislative Review

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 76


Materi Muatan
Materi muatan Perda adalah seluruh materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan Peraturan Desa/yang
setingkat adalah seluruh materi dalam
rangka penyelenggaraan urusan desa atau
yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 77


Kewenangan Daerah
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh Undang -Undang ini
Urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah Pusat meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 78


Problematika Perda
Tarik menarik sentralisasi dan
desentralisasi
Pengujian peraturan perundangan
Perda yang bertentangan dengan UUD
 Perda syariat Islam
 Desa mengepung kota?
 Topeng KKN?
 Copy-paste
 Partisipasi

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 79


Kompas, 29 Januari 2007

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 80


Kompas, 29 Januari 2007

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 81


Kompas, 29 Januari 2007

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 82


Porfirio Diaz
seekor anjing yang menggigit
tulang ada dua hal yang tidak bisa
dilakukannya: menyalak apalagi
menggigit

Main Sources: PSHK dan Bivitri Susanti 83


Merdeka dari KORUPSI
atau MATI!!!

Anda mungkin juga menyukai