0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
9 tayangan17 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang perkembangan hak asuh anak di berbagai negara. Awalnya hak asuh diberikan secara otomatis kepada ayah, namun kemudian bergeser ke arah kepentingan terbaik anak. Saat ini, kebijakan hak asuh lebih mempertimbangkan kemampuan orangtua dan kepentingan anak daripada gender. Meski demikian, bias hakim masih dapat mempengaruhi keputusan.
Dokumen tersebut membahas tentang perkembangan hak asuh anak di berbagai negara. Awalnya hak asuh diberikan secara otomatis kepada ayah, namun kemudian bergeser ke arah kepentingan terbaik anak. Saat ini, kebijakan hak asuh lebih mempertimbangkan kemampuan orangtua dan kepentingan anak daripada gender. Meski demikian, bias hakim masih dapat mempengaruhi keputusan.
Dokumen tersebut membahas tentang perkembangan hak asuh anak di berbagai negara. Awalnya hak asuh diberikan secara otomatis kepada ayah, namun kemudian bergeser ke arah kepentingan terbaik anak. Saat ini, kebijakan hak asuh lebih mempertimbangkan kemampuan orangtua dan kepentingan anak daripada gender. Meski demikian, bias hakim masih dapat mempengaruhi keputusan.
Legal custody (hak asuh legal) berhubungan dengan
hak dan tanggungjawab orangtua, misalnya menentukan anaknya harus sekolah di mana, penanganan medis yang harus diterima. Keputusan demikian harus dinegosiasikan bila kkedua orangtua anak berbagi hak asuh legal. Physical custody (hak asuh fisik), mengacu pada berapa lama seorang anak dapat menghabiskan waktu bersama salah satu orangtuanya. Jika kedua orangtua anak berbagi hak asuh fisik, anak tinggal dengan masing-masing orangtuanya dengan jangka waktu tertentu. Sole custody (hak asuh tunggal). Pada hak asuh tunggal, salah satu orang tua memiliki hak asuh legal dan fisik, sementara yang lainnya secara umum hanya diberi hak-hak terbatas untuk mengunjungi anaknya dengan interval yang teratur. Hak asuh tunggal lebih disukai bila salah satu orangtua jelas- jelas tidak kompeten, tetapi dalam kasus-kasus di mana orangtua kompeten dan peduli pada anak, kadang-kadang hak asuh tunggal dianggap lebih baik, terutama bila kondisi anak yang sensitive yang harus dilindungi dari konflik-konflik yang sering muncul bila dua orangtua yang saling bermusuhan dan harus berbagi hak asuh masih sering berinteraksi dalam mengatur jadwal kunjungan dan dalam mengambil berbagai keputusan tentang anak Equal Sharing Parenting
Hak asuh bersama juga semakin sering diterapkan.
Keuntungan utamanya adalah bahwa cara ini memastikan bahwa kedua oarangtua anak terlibat dalam proses membesarkan anaknya. Selain itu, dukungan financial untuk anak lebih stabil dibandingkan hak asuh tunggal karena orangtua yang diberi hak asuh harus selalu meminta pembayaran biaya pengasuhan dari orangtua yang tidak memiliki hak asuh. Hanya saja, ada ketidakuntungannya terutama bagi kedua orangtua yang mungkin saling membenci karena mereka harus berkomunikasi, bekerjasama dan berkoordinasi Perkembangan Hak asuh anak
Menurut Bratt (1979), dulu menetapkan hak asuh
anak adalah soal sederhana karena di dalam hukum Inggris, anak-anak dianggap sebagai properti dan wanita tidak diizinkan untuk memiliki properti. Konsekuensinya, ayahlah yang secara otomatis berhak mengasuh anak-anaknya. Pada tahun 1800-an, ide bahwa anak adalah properti diganti dengan ide bahwa masa kanak-kanak adalah tahap penting kehidupan yang memberi sumbangan terhadap perkembangan menjadi orang dewasa. Selanjutnya, pada akhir abad kesembilan belas, doktrin ‘tender years” (tahun-tahun rentan, tahun- tahun yang membutuhkan kelembutan) menjadi standar utama untuk memutuskan hak asuh anak. Doktrin tersebut digunakan pada tahun 1899 dalam kasus People v Hickey: …bayi yang berada dalam tahun-tahun yang membutuhkan kelembutan secara umum akan tinggal dengan ibunya, selama tidak ada keberatan terhadap si ibu, bahkan meskipun si ayah tidak bersalah, karena ketidakmampuan ayah untuk memberikan kelembutan yang secara alamiah dibutuhkan bayi, yang hanya dapat diberikan oleh ibunya; dan aturan ini akan berlaku keras di dalam kasus anak-anak perempuan dengan umur lebih lanjut (Einhorn, 1986, h.121)
Doktrin tersebut sangat terkesan seksis namun tetap berlaku hingga pertengahan abad kedua puluh ketika tahun-tahun rentan ini dianggap kurang menjamin perlindungan yang sama dalam hukum karena mengabaikan hak ayah. Hukum yang saat ini berlaku di sebagian besar Negara mensyaratkan pada the best interest of the child (kepentingan terbaik anak) dalam UU Perkawinan. Hal ini berarti, kepentingan anak yang utama daripada kebutuhan orangtua dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Selain itu, berdasarkan asas ini maka tidak ada praduga bahwa si ayah atau si ibu yang lebih berhak mendapatkan hak asuh anak The best interest of the child
Standar kepentingan terbaik, maka ada tiga hal yang
perlu diperhatikan,yaitu: ketidakjelasan, konflik yang ditimbulkan, prediksi masa depan. Ketidakjelasan berarti menyerahkan diskresi kepada hakim yang harus membuat keputusan final mengenai hak asuh. Bila hakim sangat mendukung hak asuh ibu,maka standar kepentingan terbaik menjadi kabur. Kemudian yang kedua, bahwa standar kepentingan terbaik mungkin tanpa disengaja dapat mempertinggi konflik di antara orangtua. Orangtua yang bercerai dan berusaha mendapatkan hak asuh anak diuntungkan oleh setiap kesalahan atau kegagalan mantan pasangannya. Apabila hal itu menimbulkan ketidakpercayaan atau kemarahan maka hal itu akan mempengaruhi penyesuaian anak pasca perceraian,. Masalah yang ketiga adalah bahwa standar ini mengharuskan pengadilan untuk memprediksi masa depan. Hakim harus membayangkan, bentuk pengasuhan seperti apa yang memungkinkan perkembangan yang sehat selama masa kanak-kanak atau selama beberapa puluh tahun setelah keputusan itu di ambil Bias oleh Hakim
hak asuh, nilai-nilai dan bias-bias yang dimiliki hakim
sering mempengaruhi keputusannya. Sebagai contoh, dalam kasus Palmore v Sidoti (1984), Hakim mengambil hak asuh seorang gadis kecil kulit putih dari ibunya dan memberikan hak asuh kepada ayahnya karena ibunya menikah dengan seorang pria kulit hitam. Keputusan hakim didasari oleh keyakinannya bahwa gadis itu akan mengalami stigmasasi social sebagai akibat hidup di dalam keluarga dengan ras campuran. Meskipun keputusan itu diperkuat oleh pengadilan banding Florida, tetapi oleh Mahkamah Agung keputusan itu dibatalkan dengan alasan bahwa keputusan hak asuh anak tidak boleh didasari pertimbangan rasial” orientasi seksual yang semula dianggap sebagai indikasi moral yang lemah, namun pandangan ini telah berubah dan sekarang ini ada 12 negara bagian yang telah memiliki undang-undang yang menyatakan bahwa homoseksual semat-mata tidak boleh dipertimbangkan sebagai salah satu factor di dalam keputusan hak asuh anak. Kasus Bottom v Bottom tahun 1994, pengadilan di Virginia memerintahkan Sharon Bottoms untuk melepaskan hak asuh putranya yang berusia dua tahun. Ibu Sharon, nenek bocah laki-laki itu, mengajukan permohonan hak asuh ke pengadilan dan menyatakan bahwa hubungan lesbian Sharon membuatnya menjadi ibu yang tidak baik untuk anaknya. Pengadilan banding Virginaia kemudian membatalkan keputusan itu dan mengembalikan si anak ke Sharon Bottoms. Keputusan pengadilan banding Virginia dilakukan dengan menggunakan argument berdasarkan amicus curiae yang diserahkan oleh organisasi psikologi hukum dan organisasi professional lainnya. Argumentasi tertulis tersebut merangkum temuan-temuan penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua homoseksual tidak lebih cenderung menjadi homoseksual dibanding anak-anak lain, tidak ada perbedaan hubungan social di antara mereka, dan tidak ada lagi kemungkinan menerima stigmatisasi atau dilecehkan karena orangtuanya homoseksual