Anda di halaman 1dari 19

KERAGAMAN DAN

KESETARAAN
BHINEKA TUNGGAL IKA
Manusia pd hakekatnya merupakan mahluk
individu atau pribadi yg memiliki perbedaan
satu sama lain. Adanya perbedaan itulah yg
melahirkan keragaman.

Karena manusia jg merupakan mahluk sosial,


maka keragaman tsb terjadi tidak hanya pada
konteks individual, tetapi juga pada konteks
sosial.
 Dengan keragaman tersebut tidak berarti
bahwa manusia memiliki perbedaan
derajat/tdk setara. Pada hakekatnya manusia
memiliki kesamaan derajat, kesamaan
kedudukan, dan setara. Dengan demikian,
setiap manusia memiliki persamaan derajat,
persamaan hak, dan persamaan kewajiban
sebagai manusia.
 Keragaman yg terdapat dalam kehidupan sosial
manusia melahirkan masyarakat majemuk. Majemuk
berarti banyak ragam, beraneka, berjenis-jenis.

 Konsep masyarakat majemuk (plural society), pertama


kali dikemukakan oleh furnivall (1948), yg menyatakan
bhwa ciri utama masyarakatnya adalah berkehidupan
secara berkelompok yg berdampingan secara fisik,
tetapi terpisah oleh kehidupan sosial dan tergabung
dlm satu kesatuan politik.
 Konsep masyarakat majemuk dari furnival,
kini dipertanyakan validitasnya, sebab telah
terjadi perubahan yg fundamental akibat
pembangunan dan kemajuan iptek.
Usman pelly (1989), mengkategorikan masyarakat
majemuk di suatu kota berdasarkan dua hal, yaitu
pembelahan horizontal dan pembelahan vertikal
Secara horizontal, masyarakat majemuk
dikelompokan berdasarkan :
1. etnik dan ras, atau asal usul keturunan
2. bahasa daerah
3. adat istiadat atau perilaku
4. agama
5. pakaian, makanan, dan budaya material
lainnya.
secara vertikal, masyarakat majemuk
dikelompokan berdasarkan :
1. penghasilan atau ekonomi
2. pendidikan
3. pemukiman
4. pekerjaan
5. kedudukan sosial politik
istilah yg digunakan untuk menggambarkan
masyarakat yg terdiri dari agama, ras,
bahasa, dan budaya yg berbeda, yakni
pluralitas (plurality), keragaman (diversity),
dan multikultural (multicultural).
Konsep pluralitas mengandaikan adanya ‘hal-hal
yg lebih dari satu’ (many); keragaman
menunjukan bahwa keberadaan yg ‘lebih dari
satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan
tidak dapat disamakan.
multikulturalisme adalah kesediaan menerima
kelompok lain secara sama sebagai kesatuan,
tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik,
jender, bahasa, atau pun agama.
Apabila pluralitas sekedar merepresentasikan
adanya kemajemukan (yg lebih dari satu),
multikulturalisme memberikan penegasan
bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka
adalah sama didalam ruang publik.
Multikulturalisme menjadi semacam respon
kebijakan baru terhadap keragaman.
Samuel P. Huntington (1993) “meramalkan”
bahwa konflik antar perbedaan dimasa depan tidak
lagi disebabkan oleh faktor2 ekonomi, politik, dan
ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah2 suku,
agama, ras dan antar golongan (SARA).

Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yg


menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia
kedalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan
dg runtuhnya politik negara2 eropa timur.
Huntington mengemukakan 6 alasan mengapa
dimasa mendatang akan terjadi benturan
antara perbedaanan yaitu:
1. Perbedaan antara peradaban tidak hanya riil,
tetapi juga mendasar.
2. Dunia sekarang semakin menyempit interaksi
antara orang yg berbeda peradaban semakin
meningkat.
3. Proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia
membuat orang atau masyarakat tercabut dari
identitas lokal mereka yg sudah berakar dalam,
disamping memperlemah negara2 sebagai sumber
identitas mereka.
4. Tumbuhnya kesadaran peradaban
dimungkinkan karena peran ganda barat. Di
satu sisi, barat berada di puncak kekuatan dan
di sisi lain, (dan ini mungkin akibat posisi barat
tsb), kembalinya ke fenomena asal, sedang
berlangsung di antara peradaban2 non barat.
5. Karakteristik dan perbedaan budaya kurang
bisa berkompromi di banding karakteristik dan
perbedaan politik dan ekonomi.
6. Regionalisme ekonomi semakin meningkat.
Furnivall:
“masyarakat plural” adalah masyarakat yg terdiri dari
dua atau lebih unsur2 atau tatanan2 sosial yg hidup
berdampingan, tetapi tdk bercampur dan menyatu
dlm satu unit politik tunggal (Furnivall 1944:446).

Teori Furnival ini banyak berkaitan dengan realitas


sosial politik Eropa yg relatif “homogen”, tetapi
sangat diwarnai chauvinisme etnis, sosial, rasial,
agama dan gender.
Suparlan (2001) :
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yg
mengakui dan mengagungkan perbedaan
(Bannett 1995, Fay 1996, Jary dan Jary 1991,
Nieto 1992, dan Reed, ed 1997). Perbedaan yg
dimaksud adalah perbedaan2 individual atau
orang perorangan dan perbedaan budaya.
Dari perspektif Indonesia, berakhirnya sentralisme
kekuasaan Orde Baru yg memaksakan “mono-
kulturalisme”, keseragaman, memunculkan reaksi
balik, yg bukan tdk mengandung implikasi2 negatif
bg rekonstruksi kebudayaan Indonesia yg pada
hakikatnya multi kultural. Berbarengan dengan
proses otonimisasi dan desentralisasi kekuasaan
pemerintah, terjadi pula peningkatan gejala
“provinsialisme” yg hampir tumpang tindih dengan
“etnisitas”. Kecenderungan ini jika tdk terkendali
dpt menimbulkan tidak hanya disintegrasi politik
tetapi juga disintergrasi sosial-kultural lebih lanjut,.
Negara-bangsa Indonesia secara sederhana dpt
disebut sebagai masyarakat “multikultural”.
Tetapi di pihak lain, realitas “multi-kultural”
tersebut berhadapan dengan kebutuhan
mendesak untuk merekonstruksi kembali
“kebudayaan Nasional Indonesia” yg dpt
menjadi “integrating force” yg mengikat seluruh
keragaman etnis dan budaya yang ada.
Pandangan dunia “multi-kultural” secara substantif
sebenarnya tidaklah terlalu baru di Indonesia.
Prinsip Indonesia sebagai negara “Bhineka Tunggal
Ika” mencerminkan bahwa meskipun indonesia
adalah multi-kultural tetapi tetap terintegrasi dlm
ke-ikaan, kesatuan.
Pembentukan masyarakat multi-kultural
Indonesia yg sehat tidak bisa secara “Taken For
Granted atau Trial and Error” Sebaliknya harus
diupayakan secara sistematis, programatis,
integrated dan berkesinambungan (Azyumardi,
2004).

Anda mungkin juga menyukai