Indonesia dewasa ini merupakan terjemahan atau berasal dari istilah dari : 1. Incidental question = Preliminary question (Inggiris); 2. Voorvraag (Belanda); 3. Vorfrage = Inzident frage (Jerman); 4. Question preable = Incidente ou prejudicielle (Perancis). B. Pengertian Persoalan pendahuluan adalah suatu persoalan atau permasalahan hukum yang harus dipecahkan atau ditetapkan terlebih dahulu sebelum putusan akhir atas suatu perkara HPI yang dihadapi hakim yang telah ditetapkan (ditunjuk). Persoalan pendahuluan (voorfraage) timbul apabila putusan suatu persoalan hukum (hauptfrage) bergantung kepada ketentuan sah atau tidaknya suatu hubungan hukum atau persoalan hukum lain (voorfraage). Contoh Penerapan “Persoalan Pendahuluan” dapat dilihat dalam contoh yang dikemukakan di bawah ini: 1. Dalam suatu persoalan HPI mengenai warisan (persoalan pokok), maka sebelumnya harus ditentukan dulu apakah perkawinan dari si pewaris sah adanya (persoalan pendahuluan). 2. Dalam perkara yang menyangkut perkawinan (persoalan pokok), bila salah seorang atau kedua mempelai telah pernah melakukan perkawinan sebelumnya, maka perlu diselidiki dulu apakah perceraian dari pihak yang pernah melakukan perkawinan sebelumnya itu sah atau tidak (persoalan pendahuluan). C. Pesoalan Pendahuluan Tahap Kedua Persoalan pendahuluan bisa muncul lebih dari sekali dalam serangkaian peristiwa tertentu. Misalnya dalam masalah warisan perlu ditentukan terlebih dahulu sah atau tidaknya kedudukan ahli waris atau kedudukan anak (persoalan pendahuluan tahap pertama). Tetapi, untuk menentukan hal tersebut terlebih dahulu harus ditentukan apakah perkawinan kedua orang tua anak tersebut sah adanya (persoalan pendahuluan tahap kedua = Preliminary question of the second degree) = persiapan Pertanyaan dari detik derajat. Bila salah seorang dari kedua orang tua anak itu telah pernah kawin sebelumnya, maka perlu juga ditentukan apakah perceraian dari perkawinan terdahulu itu sah adanya (persoalan pendahuluan tahap ketiga). Demikian proses itu bisa berlangsung, hingga dianggap sudah tidak ada lagi persoalan pendahuluan yang harus ditentukan sebelumnya. D. Persyaratan Persoalan Pendahuluan Untuk menetapkan adanya suatu persoalan pendahuluan dalam suatu perkara perlu dipenuhi 3 (tiga) syarat yaitu : 1. Masalah utama (main issue = hauptfrage = hooffdvraag) berdasar kaidah HPI Lex Fori seharusnya diatur berdasarkan hukum asing; 2. Dalam perkara harus ada masalah pendahuluan atau masalah subsider yang menyangkut suatu unsur asing, yang sebenarnya dapat timbul secara
terpisah dan dapat diatur oleh kaidah HPI lain
secara independen; 3. Kaidah HPI yang diperuntukkan bagi masalah pendahuluan akan mengahasilkan kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang akan dicapai, seandainya hukum yang mengatur masalah utama yang digunakan. E. Cara-cara Penyelesaian Persoalan Pendahuluan Persoalan utama HPI dalam persoalan pendahuluan ini sebenarnya adalah: Apakah “persoalan pendahuluan” akan diatur oleh suatu sistem hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah HPI yang khusus dan harus ditentukan secara tersendiri (repartition) atau berdasar sistem hukum yang juga mengatur “masalah utama” (absorption)?. Dalam tiori HPI ada tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan ini, yaitu: 1. Setelah lex causae untuk menyelesaikan masalah pokok (hoofdvraag) ditetapkan berdasarkan kaidah HPI lex fori, masalah persoalan pendahuluannya (voorvraag) harus ditentukan berdasarkan hukum yang sama dengan lex causae tadi. Cara penyelesaian seperti ini disebut sebagai cara penyelesaian berdasarkan lex causae atau disebut juga sebagai absorption (masalah utama). Kaidah hukum apa yang seharusnya dipergunakan untuk menetapkan persoalan pendahuluan bergantung kepada lex causae yang telah ditetapkan untuk menyelesaikan masalah utamanya (afhankelijke aan knoping). 2. Dengan mengabaikan sistem hukum apa yang merupakan lex causae untuk menyelesaikan masalah utama, hakim akan menggunakan kaidah-kaidah HPI lex fori untuk menentukan validitas persoalan pendahuluan. Cara semacam ini disebut sebagai cara penyelesaian berdasarkan lex fori atau disebut repartition dan tidak memperhatikan sistem hukum yang menjadi lex causae untuk menyelesaikan masalah
utamanya (zelfstandige aanknoping).
3. Ada pula yang berpendapat, bahwa penetapan hukum yang seharusnya berlaku untuk menyelesaikan persoalan pendahuluan harus diselesaikan secara kasuistik, dengan memperhatikan hakikat perkara atau kebijaksanaan dan atau kepentingan forum yang mengadili perkara.
Di Negeri Belanda Pengadilan lebih banyak
melakukan repartition, sedangkan pengadilan- pengadilan Inggiris lebih banyak menggunakan absorption. Contoh Kasus: Persoalan pendahuluan yang berkaitan dengan Fraus Legis. A (paman) hendak menikah dengan B (keponakan). Keduanya warga negara Israel (Yahudi) yang berdomisili di Amerika Serikat. Menurut hukum AS, keduanya tidak boleh menikah karena masih ada hubungan darah, padahal menurut hukum Yahudi diperbolehkan. Untuk itu mereka pindah ke Rhode Icelands dan menikah secara Yahudi di sana. Setelah menikah di sana mereka balik lagi ke Amerika. Setelah 32 tahun kemudian, B meninggal dunia dan meninggalkan Suami (A) dan 6 orang anak serta harta warisan yang semuanya dikuasai oleh A. Anak- anak tidak puas atas penguasaan harta warisan oleh ayahnya dan menggugat ke Pengadilan AS bahwa Si A tidak berhak menguasai harta warisan karena pernikahannya merupakan Fraus Legis. Persoalan pendahuluan : Apakah pernikahan A dan B sah ? Persoalan Pendahuluan Lanjutan Adakalanya muncul persoalan pendahuluan tahap kedua (preliminary question of the second degree) Di dalam pemecahan masalah pendahuluan pada dasarnya ada dua cara : 1. Absorbsi : di dalam memecahkan persoalan pendahuluan, forum harus mencari Lex Causa di dalam persoalan pokok. Lex Causa ditemukan didasarkan pada fakta-fakta (Titik Pertalian). Setelah Lex Causa ditemukan maka persoalan pendahuluan diselesaikan berdasarkan Lex Causa tersebut. 2. Repartition : di dalam forum memecahkan/menyelesaikan persoalan pendahuluan, forum tidak perlu mencari Lex Causa, akan tetapi untuk menyelesaikan persoalan pendahuluan, forum menggunakan Lex Fori, kemudian untuk menyelesaikan masalah pokok forum mempergunakan Lex Causa. Para ilmuwan mengenai persoalan pendahuluan ini, menyatakan bahwa untuk menentukan adanya suatu persoalan pendahuluan harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu : 1. Di dalam persoalan HPI tersebut harus dipergunakan hukum asing; 2. Bahwa dari HPI hukum asing tersebut harus berlainan hasilnya dari kaidah-kaidah forum; 3. Bahwa hukum materiel intern dari kedua stelsel hukum tersebut juga harus berbeda. Dalam teori HPI berkembang tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan : 1. Absorption Prinsipnya, melalui absorption lex causae yang dicari dan ditetapkan melalui penerapan kaidah HPI untuk mengatur masalah pokok (main issue) akan digunakan juga untuk menjawab persoalan pendahuluan. jadi, setelah lex causae untuk masalah pokok ditetapkan melalui penerapan kaidah HPI lex fori, masalah pendahuluannya akan ditundukkan pada lex causae yang sama, cara ini adakalanya disebut cara penyelesaian berdasarkan lex causae. 2. Repartition Pada dasarnya, melalui repartition hakim harus menetapkan lex causae untuk masalah pendahuluan secara khusus dan tidak perlu menetapkan lex causae dari masalah pokoknya terlebih dahulu. Dengan mengabaikan hukum mana yang akan merupakan lex causae untuk menjawab masalah pokok, hakim akan melakukan kualifikasi berdasarkan lex fori dan menggunakan kaidah-kaidah HPI –nya yang relevan khusus untuk menetapkan lex causae dari masalah pendahuluan (zelfstandige aanknoping), cara ini disebut penyelesaian dengan lex fori. 3. Pendekatan Kasus demi Kasus
Ada pandangan yang berpendapat bahwa penetapan lex
causae untuk masalah pendahuluan atau incidental queation harus dilakukan dengan pendekatan kasuistis, dengan memerhatikan sifat dan hakikat perkara atau kebijakan dan kepentingan forum yang mengadili perkara. Menurut Cheshire, kebanyakan putusan hakim dalam kasus-kasus incidental question diselesaikan melalui absoption. namun, Cheshire cenderung untuk menggunakan pola pendekatan yang ke tiga (case-by- case approach) dengan memerhatikan kelas dari jenis perkara yang sedang dihadapi. Penyelesaian Perkara : 1. Cari Lex Causae dari masalah pokok; 2. Selesaikan persoalan pendahuluan dengan kaidah Intern Lex Causae masalah pokok; 3. Selesaikan masalah pokok dengan kaidah Intern Lex Cause masalah pokok. Misalnya : Untuk perkara-perkara HPI di bidang pewarisan benda bergerak sebaiknya digunakan absorpsi, sedangkan untuk perkara-perkara di bidang perbuatan melawan hukum atau kontrak sebaiknya digunakan repartisi. C. Depecage Depecage (Perancis): Pemecahan/Pemilahan. Depecage adalah tindakan untuk menundukkan persoalan- persoalan tertentu yang mungkin terbit dalam sebuah peristiwa atau hubungan hukum pada sistem-sistem hukum (atau aturan-aturan dari sistem-sistem hukum) yang berbeda. Dalam menghadapi persoalan pewarisan yang dibuat oleh pewaris yang berkewarganegaraan Indonesia melalui pembuatan testamen yang dibuat di Singapura. Jika gugatan atas testamen itu diajukan di Indonesia, secara umum dapat dikatakan bahwa perkara tunduk pada tempat pembuatan testamen. Namun jika orang memilah2 perkara ini ke dalam sub-sub persolan, misalnya : 1. Keabsahan dari testamen; dan 2. Kemampuan hukum dari pewaris untuk mewariskan kekayaan lewat testamen. Ada kemungkinan untuk sub masalah (1) pengadilan memberlakukan hukum Singapura, sedang untuk sub masalah (2) pengadilan memberlakukan hukum Indonesia. Tindakan memilih atau memilah inilah yang disebut sebagai depecage. Dicey dan Morris dalam hukum perjanjian mengatakan : 1. Tidak semua persoalan yang dapat timbul dalam sebuah hubungan kontraktual dengan sendirinya harus diatur berdasarkan satu hukum yang sama. Seperti : sah/tidaknya kontrak Pilihan hukum; bentuk kontrak Lex Loci Contractus; kemampuan hukum. Personal masing-masing pihak. 2. Hukum-hukum yang berbeda dapat diberlakukan atas bagian-bagian dari sebuah kontrak. Misal : salah satu kewajiban ditundukkan pada hukum A, sedang kewajiban lain ditundukkan pada hukum B. HPI Tradisional (Eropa) berpendirian bahwa sebuah hubungan hukum seharusnya tunduk pada satu sistem hukum. Depecage dapat dilakukan dalam keadaan- keadaan tertentu, seperti: - Pelaksanaan kewajiban pihak-pihak dalam kontrak harus dilaksanakan di tempat-tempat yang berbeda. - Karena pihak-pihak sepakat untuk memecah-memecah sebuah kontrak ke dalam bagian-bagian tertentu dan menundukkan masing-masing bagian itu pada sistem hukum yang berbeda-beda. - Karena sub masalah tertentu yang timbul dari suatu hubungan hukum ternyata memiliki kaitan nyata yang lebih besar pada sebuah sistem hukum tertentu daripada sistem hukum yang dipilih para pihak. Namun berdasarkan sistem conflict of law di Amerika: Tugas HPI adalah menetapkan aturan hukum lokal negara mana yang paling sesuai untuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan tertentu, sehingga Depecage dianggap sebagai sesuatu yang alamiah. Penyelesaian conflict of law dan penetapan hukum yang berlaku harus berdasarkan case by case analysis, sehingga wajar salah satu kasus harus tunduk pada sistem hukum yang berbeda dari sistem hukum yang diberlakukan untuk kasus lain yang mungkin timbul dari sebuah hubungan hukum yang sama. TERIMA KASIH BAB VIII. PENYESUAIAN A. Pengertian Menurut Sudargo Gautama, masalah “penyesuaian” ini merupakan suatu teerstuk (ajaran) yang agak baru di Indonesia, dan dalam tulisan-tulisan HPI di Indonesia belum pernah diperhatikan secara khusus. Bilamana hakim dalam mengadili suatu perkara HPI telah menemukan hukum mana yang harus dipergunakan, seringkali menghadapi berbagai kesulitan jika hukum yang harus dipergunakan itu adalah hukum asing, yang isinya sangat berlainan dengan pengertian-pengertian hukum yang ada dalam sistem lex fori. Jika hakim harus memakai hukum asing tersebut, maka ia harus berikhtiar untuk “memasukkan” hukum asing itu ke dalam pengertian atau terminologi lex fori. Di sini hakim seolah-olah melakukan perbandingan hukum. Istilah bisa dengan mudah disalin ke dalam suatu hukum nasional bilamana terdapat lembaga hukum (rechtsfiguur) yang sama atau ekuivalen. Kesulitan akan timbul bilamana tidak ada yang bersamaan atau tidak ekuivalen antara suatu pengertian hukum asing dan hukum nasional. Hakim juga seringkali menghadapi dua istilah hukum yang sama (dari hukum asing dan hukum nasional), tetapi mempunyai makna yang berlainan. Dalam menghadapi persoalan tersebut di atas, hakim tidak dapat berhenti pada persamaan istilah-istilah hukum saja, tetapi juga perlu memperhatikan apakah isi yang diperdagangkan dengan “etiket” hukum yang bersangkutan. Misalnya mengenai istilah “adopsi”, tidak ada pengertian yang benar-benar sama (gelijk) dalam berbagai sistem HPI. Adopsi dalam sistem hukum negara X merupakan pengambilan anak secara lengkap, ikatan-ikatan kekeluargaan dengan kedua orang tua biologisnya terputus sama sekali. Sementara itu adopsi di negara Y (misalnya Belgia) tidak mengenal konskwensi hukum seperti yang terdapat pada negara X tersebut. Bilamana dalam suatu perkara HPI yang diadili di Indonesia berkenaan dengan tuntutan (ganti rugi) keperdataan atas kematian ayah angkat Belgia terhadap seorang warga negara Indonesia. Kejadian tersebut terjadi di Jakarta. Timbul persoalan: Apakah menurut hukum Indonesia (sebagai lex delicti commisi atau hukum tempat terjadinya perbuatan melanggar hukum) anak Belgia berhak untuk mengajukan gugatan atau tuntutan keperdataan tersebut? Menurut Pasal 1370 KUH Perdata (BW) Indonesia, anak-anak dari pihak korban dapat mengajukan tuntutan ganti rugi terhadap si pelanggar hukum. Apakah anak angkat Belgia itu dapat dipersamakan dengan anak sah menurut ketentuan BW Indonesia, sehingga yang bersangkutan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi? Pengadilan di Negeri Belanda menghadapi perkara yang serupa, Hakim menjawabnya negatif. Seorang anak yang bernama Jan Calestijn Min di adopsi oleh seorang warga negara Belgia, menurut hukum Belgia tidak dapat dipersamakan dengan status anak sah (dan anak yang diadopsi) menurut hukum Belanda. Di sini dapat dilihat salah satu cara terjadinya persoalan “penyesuaian” dalam bentuk yang paling mudah. Persoalan yang dihadapi adalah bahwa kaidah intern perlu ”disesuaikan” (aanpassen) kepada suatu hubungan hukum asing, yaitu apakah anak angkat Belgia tadi dapat dipersamakan dengan anak (kind) yang dimaksut oleh Pasal 1370 BW. Menurut Sudargo Gautama, seharusnya hakim berpandangan luas. Hukum awak (lex fori) sewajarnya diinpretasikan secara luas, demikian luasnya, hingga juga hubungan asing ekuivalen dapat diliput olehnya. Yang dibandingkan adalah kaidah hukum internnya (sachtnormen), bukan kollisionsnormen –nya. Pada proses ini dapat disaksikan seolah-seolah terjadi two way traffic, suatu proses timbal balik mengenai penyesuaian dari hukum kita kepada hukum asing dan dari hukum asing kepada hukum kita. Dalam praktek, persoalan penyesuaian ini tidak hanya berbentuk penyesuaian kaidah intern kepada hubungan hukum asing, tetapi juga hubungannya dengan kualifikasi di mana hubungan-hubungan hukum asing disesuaikan kepada kollisionsnormen negara sendiri. Hakim juga mungkin menemukan suatu istilah hukum atau lembaga hukum yang tidak dikenal dalam sistem hukum lex fori. Misalnya lembaga Trust yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon umumnya tidak dikenal dalam sistem hukum Eropah Kontinental, di Indonesia juga tidak dikenal.
Bilamana timbul perkara yang berkenaan dengan trust
tersebut akan timbul kesulitan. Bagaimana hakim harus menerjamahkannya ke dalam bahasa hukum Indonesia?. Bagaimana pula mengkualifikasikannya? Persaoalannya sekarang adalah bukan bagaimana lembaga hukum asing itu diinterpretasikan dan dimasukkan ke dalam pengertian hukum sendiri, tetapi yang harus dilakukan adalah bagaimana lembaga asing yang tidak dikenal dalam sistem hukum kita itu dapat dimasukkan ke dalam kategori hukum kita yang paling mendekati. Jadi yang harus dilakukan adalah perbandingan antara fungsi dan tujuan lembaga asing yang bersangkutan.Yang disesuaikan di sini adalah kaidah penunjuk, bukan kaidah intern yang telah disebutkan di atas. Kaidah penunjuk awak disesuaikan dengan konsepsi hukum asing. C. Hubungan Penyesuaian dengan Kualifikasi Menurut Kollewijn, “penyesuaian” merupakan salah satu cara kualifikasi yang khusus. Pada waktu membahas perkara adopsi Belgia di atas, beliau menyatakan bahwa, “penyesuaian” ini merupakan pula suatu kualifikatie probleem. Dalam kualifikasi yang biasa, hukum yang harus dipergunakan belum dipastikan. Sedangkan di dalam “penyesuaian” hukum yang harus dipergunakan sudah ditemukan atau dipastikan. Pada waktu hakim mengadili perkara adopsi Belgia itu, kaidah penunjuk mengenai perbuatan melanggar hukum sudah pasti adanya, dan juga sudah jelas bagi hakim hukum mana yang harus dipergunakan yaitu hukum Belgia sebagai Lex Fori delicti commisi (hukum tempat dilakukannya perbuatan melanggar hukum). Tetapi sekarang timbul persoalan: Apa yang dimaksut dengan istilah kind (anak) sebagaimana yang dimaksut Pasal 1406 BW Belanda in internationalibus, artinya bij zijn toepassing op een internatinale verhouding. TERIMAKASIH