Anda di halaman 1dari 35

BAB VII.

PERSOALAN PENDAHULUAN
A. Istilah

Istilah “persoalan pendahuluan” yang digunakan di


Indonesia dewasa ini merupakan terjemahan atau
berasal dari istilah dari :
1. Incidental question = Preliminary question
(Inggiris);
2. Voorvraag (Belanda);
3. Vorfrage = Inzident frage (Jerman);
4. Question preable = Incidente ou prejudicielle
(Perancis).
B. Pengertian
Persoalan pendahuluan adalah suatu persoalan atau
permasalahan hukum yang harus dipecahkan atau
ditetapkan terlebih dahulu sebelum putusan akhir
atas suatu perkara HPI yang dihadapi hakim yang
telah ditetapkan (ditunjuk).
Persoalan pendahuluan (voorfraage) timbul apabila
putusan suatu persoalan hukum (hauptfrage)
bergantung kepada ketentuan sah atau tidaknya
suatu hubungan hukum atau persoalan hukum lain
(voorfraage).
Contoh Penerapan “Persoalan Pendahuluan” dapat
dilihat dalam contoh yang dikemukakan di bawah ini:
1. Dalam suatu persoalan HPI mengenai warisan
(persoalan pokok), maka sebelumnya harus
ditentukan dulu apakah perkawinan dari si pewaris
sah adanya (persoalan pendahuluan).
2. Dalam perkara yang menyangkut perkawinan
(persoalan pokok), bila salah seorang atau kedua
mempelai telah pernah melakukan perkawinan
sebelumnya, maka perlu diselidiki dulu apakah
perceraian dari pihak yang pernah melakukan
perkawinan sebelumnya itu sah atau tidak
(persoalan
pendahuluan).
C. Pesoalan Pendahuluan Tahap Kedua
Persoalan pendahuluan bisa muncul lebih dari sekali
dalam serangkaian peristiwa tertentu. Misalnya
dalam masalah warisan perlu ditentukan terlebih
dahulu sah atau tidaknya kedudukan ahli waris atau
kedudukan anak (persoalan pendahuluan tahap
pertama). Tetapi, untuk menentukan hal tersebut
terlebih dahulu harus ditentukan apakah
perkawinan kedua orang tua anak tersebut sah
adanya (persoalan pendahuluan tahap kedua =
Preliminary question of the second degree) =
persiapan Pertanyaan dari detik derajat.
Bila salah seorang dari kedua orang tua anak itu telah
pernah kawin sebelumnya, maka perlu juga ditentukan
apakah perceraian dari perkawinan terdahulu itu sah
adanya (persoalan pendahuluan tahap ketiga).
Demikian proses itu bisa berlangsung, hingga dianggap
sudah tidak ada lagi persoalan pendahuluan yang harus
ditentukan sebelumnya.
D. Persyaratan Persoalan Pendahuluan
Untuk menetapkan adanya suatu persoalan
pendahuluan dalam suatu perkara perlu dipenuhi 3
(tiga) syarat yaitu :
1. Masalah utama (main issue = hauptfrage =
hooffdvraag) berdasar kaidah HPI Lex Fori
seharusnya diatur berdasarkan hukum asing;
2. Dalam perkara harus ada masalah pendahuluan
atau masalah subsider yang menyangkut suatu
unsur asing, yang sebenarnya dapat timbul secara

terpisah dan dapat diatur oleh kaidah HPI lain


secara independen;
3. Kaidah HPI yang diperuntukkan bagi masalah
pendahuluan akan mengahasilkan kesimpulan
yang berbeda dari kesimpulan yang akan dicapai,
seandainya hukum yang mengatur masalah
utama yang digunakan.
E. Cara-cara Penyelesaian Persoalan Pendahuluan
Persoalan utama HPI dalam persoalan pendahuluan ini
sebenarnya adalah: Apakah “persoalan pendahuluan”
akan diatur oleh suatu sistem hukum yang ditetapkan
berdasarkan kaidah HPI yang khusus dan harus
ditentukan secara tersendiri (repartition) atau berdasar
sistem hukum yang juga mengatur “masalah utama”
(absorption)?.
Dalam tiori HPI ada tiga pandangan tentang cara
penyelesaian persoalan pendahuluan ini, yaitu:
1. Setelah lex causae untuk menyelesaikan masalah
pokok
(hoofdvraag) ditetapkan berdasarkan kaidah HPI lex
fori, masalah persoalan pendahuluannya (voorvraag)
harus ditentukan berdasarkan hukum yang sama
dengan lex causae tadi.
Cara penyelesaian seperti ini disebut sebagai cara
penyelesaian berdasarkan lex causae atau disebut
juga sebagai absorption (masalah utama). Kaidah
hukum apa yang seharusnya dipergunakan untuk
menetapkan persoalan pendahuluan bergantung
kepada lex causae yang telah ditetapkan untuk
menyelesaikan masalah utamanya (afhankelijke aan
knoping).
2. Dengan mengabaikan sistem hukum apa yang
merupakan lex causae untuk menyelesaikan
masalah utama, hakim akan menggunakan
kaidah-kaidah HPI lex fori untuk menentukan
validitas persoalan pendahuluan. Cara semacam
ini disebut sebagai cara penyelesaian
berdasarkan lex fori atau disebut repartition dan
tidak memperhatikan sistem hukum yang
menjadi lex causae untuk menyelesaikan masalah

utamanya (zelfstandige aanknoping).


3. Ada pula yang berpendapat, bahwa penetapan
hukum yang seharusnya berlaku untuk
menyelesaikan persoalan pendahuluan harus
diselesaikan secara kasuistik, dengan
memperhatikan hakikat perkara atau
kebijaksanaan dan atau kepentingan forum yang
mengadili perkara.

Di Negeri Belanda Pengadilan lebih banyak


melakukan repartition, sedangkan pengadilan-
pengadilan Inggiris lebih banyak menggunakan
absorption.
Contoh Kasus:
Persoalan pendahuluan yang berkaitan dengan
Fraus Legis.
 A (paman) hendak menikah dengan B (keponakan).
Keduanya warga negara Israel (Yahudi) yang
berdomisili di Amerika Serikat. Menurut hukum AS,
keduanya tidak boleh menikah karena masih ada
hubungan darah, padahal menurut hukum Yahudi
diperbolehkan. Untuk itu mereka pindah ke Rhode
Icelands dan menikah secara Yahudi di sana.
Setelah menikah di sana mereka balik lagi ke
Amerika.
Setelah 32 tahun kemudian, B meninggal dunia dan
meninggalkan Suami (A) dan 6 orang anak serta
harta warisan yang semuanya dikuasai oleh A. Anak-
anak tidak puas atas penguasaan harta warisan oleh
ayahnya dan menggugat ke Pengadilan AS bahwa Si
A tidak berhak menguasai harta warisan karena
pernikahannya merupakan Fraus Legis. Persoalan
pendahuluan : Apakah pernikahan A dan B sah ?
Persoalan Pendahuluan Lanjutan
Adakalanya muncul persoalan pendahuluan tahap
kedua (preliminary question of the second degree)
Di dalam pemecahan masalah pendahuluan pada dasarnya
ada dua cara :
1. Absorbsi : di dalam memecahkan persoalan
pendahuluan, forum harus mencari Lex Causa di dalam
persoalan pokok. Lex Causa ditemukan didasarkan pada
fakta-fakta (Titik Pertalian). Setelah Lex Causa ditemukan
maka persoalan pendahuluan diselesaikan berdasarkan Lex
Causa tersebut.
2. Repartition : di dalam forum
memecahkan/menyelesaikan persoalan pendahuluan,
forum tidak perlu mencari Lex Causa, akan tetapi untuk
menyelesaikan persoalan pendahuluan, forum
menggunakan Lex Fori, kemudian untuk menyelesaikan
masalah pokok forum mempergunakan Lex Causa.
Para ilmuwan mengenai persoalan pendahuluan ini,
menyatakan bahwa untuk menentukan adanya
suatu persoalan pendahuluan harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu :
1. Di dalam persoalan HPI tersebut harus
dipergunakan hukum asing;
2. Bahwa dari HPI hukum asing tersebut harus
berlainan hasilnya dari kaidah-kaidah forum;
3. Bahwa hukum materiel intern dari kedua stelsel
hukum tersebut juga harus berbeda.
Dalam teori HPI berkembang tiga pandangan tentang
cara penyelesaian persoalan pendahuluan :
1. Absorption
Prinsipnya, melalui absorption lex causae yang dicari
dan ditetapkan melalui penerapan kaidah HPI untuk
mengatur masalah pokok (main issue) akan
digunakan juga untuk menjawab persoalan
pendahuluan. jadi, setelah lex causae untuk masalah
pokok ditetapkan melalui penerapan kaidah HPI lex
fori, masalah pendahuluannya akan ditundukkan
pada lex causae yang sama, cara ini adakalanya
disebut cara penyelesaian berdasarkan lex causae.
2. Repartition
Pada dasarnya, melalui repartition hakim harus
menetapkan lex causae untuk masalah pendahuluan
secara khusus dan tidak perlu menetapkan lex causae
dari masalah pokoknya terlebih dahulu. Dengan
mengabaikan hukum mana yang akan merupakan lex
causae untuk menjawab masalah pokok, hakim akan
melakukan kualifikasi berdasarkan lex fori dan
menggunakan kaidah-kaidah HPI –nya yang relevan
khusus untuk menetapkan lex causae dari masalah
pendahuluan (zelfstandige aanknoping), cara ini
disebut penyelesaian dengan lex fori.
3. Pendekatan Kasus demi Kasus

Ada pandangan yang berpendapat bahwa penetapan lex


causae untuk masalah pendahuluan atau incidental
queation harus dilakukan dengan pendekatan kasuistis,
dengan memerhatikan sifat dan hakikat perkara atau
kebijakan dan kepentingan forum yang mengadili
perkara. Menurut Cheshire, kebanyakan putusan hakim
dalam kasus-kasus incidental question diselesaikan
melalui absoption. namun, Cheshire cenderung untuk
menggunakan pola pendekatan yang ke tiga (case-by-
case approach) dengan memerhatikan kelas dari jenis
perkara yang sedang dihadapi.
Penyelesaian Perkara :
1. Cari Lex Causae  dari masalah pokok;
2. Selesaikan persoalan pendahuluan dengan kaidah
Intern Lex Causae masalah pokok;
3. Selesaikan masalah pokok dengan kaidah Intern
Lex Cause  masalah pokok.
Misalnya :
Untuk perkara-perkara HPI di bidang pewarisan
benda bergerak sebaiknya digunakan absorpsi,
sedangkan untuk perkara-perkara di bidang
perbuatan melawan hukum atau kontrak sebaiknya
digunakan repartisi.
C. Depecage
Depecage (Perancis): Pemecahan/Pemilahan. Depecage
adalah tindakan untuk menundukkan persoalan-
persoalan tertentu yang mungkin terbit dalam sebuah
peristiwa atau hubungan hukum pada sistem-sistem
hukum (atau aturan-aturan dari sistem-sistem hukum)
yang berbeda.
Dalam menghadapi persoalan pewarisan yang dibuat
oleh pewaris yang berkewarganegaraan Indonesia
melalui pembuatan testamen yang dibuat di Singapura.
Jika gugatan atas testamen itu diajukan di Indonesia,
secara umum dapat dikatakan bahwa perkara tunduk
pada tempat pembuatan testamen.
Namun jika orang memilah2 perkara ini ke dalam
sub-sub persolan, misalnya :
1. Keabsahan dari testamen; dan
2. Kemampuan hukum dari pewaris untuk
mewariskan kekayaan lewat testamen.
Ada kemungkinan untuk sub masalah (1) pengadilan
memberlakukan hukum Singapura, sedang untuk
sub masalah (2) pengadilan memberlakukan hukum
Indonesia.
Tindakan memilih atau memilah inilah yang disebut
sebagai depecage.
Dicey dan Morris dalam hukum perjanjian
mengatakan :
1. Tidak semua persoalan yang dapat timbul dalam
sebuah hubungan kontraktual dengan sendirinya
harus diatur berdasarkan satu hukum yang sama.
Seperti : sah/tidaknya kontrak Pilihan hukum;
bentuk kontrak Lex Loci Contractus; kemampuan
hukum. Personal masing-masing pihak.
2. Hukum-hukum yang berbeda dapat diberlakukan
atas bagian-bagian dari sebuah kontrak. Misal :
salah satu kewajiban ditundukkan pada hukum A,
sedang kewajiban lain ditundukkan pada hukum B.
HPI Tradisional (Eropa) berpendirian bahwa sebuah
hubungan hukum seharusnya tunduk pada satu sistem
hukum. Depecage dapat dilakukan dalam keadaan-
keadaan tertentu, seperti:
- Pelaksanaan kewajiban pihak-pihak dalam kontrak harus
dilaksanakan di tempat-tempat yang berbeda.
- Karena pihak-pihak sepakat untuk memecah-memecah
sebuah kontrak ke dalam bagian-bagian tertentu dan
menundukkan masing-masing bagian itu pada sistem
hukum yang berbeda-beda.
- Karena sub masalah tertentu yang timbul dari suatu
hubungan hukum ternyata memiliki kaitan nyata yang lebih
besar pada sebuah sistem hukum tertentu daripada sistem
hukum yang dipilih para pihak.
Namun berdasarkan sistem conflict of law di Amerika:
Tugas HPI adalah menetapkan aturan hukum lokal
negara mana yang paling sesuai untuk digunakan
dalam menyelesaikan persoalan tertentu, sehingga
Depecage dianggap sebagai sesuatu yang alamiah.
Penyelesaian conflict of law dan penetapan hukum
yang berlaku harus berdasarkan case by case analysis,
sehingga wajar salah satu kasus harus tunduk pada
sistem hukum yang berbeda dari sistem hukum yang
diberlakukan untuk kasus lain yang mungkin timbul
dari sebuah hubungan hukum yang sama.
TERIMA KASIH
BAB VIII. PENYESUAIAN
A. Pengertian
Menurut Sudargo Gautama, masalah “penyesuaian” ini
merupakan suatu teerstuk (ajaran) yang agak baru di
Indonesia, dan dalam tulisan-tulisan HPI di Indonesia belum
pernah diperhatikan secara khusus.
Bilamana hakim dalam mengadili suatu perkara HPI telah
menemukan hukum mana yang harus dipergunakan,
seringkali menghadapi berbagai kesulitan jika hukum yang
harus dipergunakan itu adalah hukum asing, yang isinya
sangat berlainan dengan pengertian-pengertian hukum yang
ada dalam sistem lex fori. Jika hakim harus memakai hukum
asing tersebut, maka ia harus berikhtiar untuk “memasukkan”
hukum asing itu ke dalam pengertian atau terminologi lex fori.
Di sini hakim seolah-olah melakukan perbandingan hukum.
Istilah bisa dengan mudah disalin ke dalam suatu hukum
nasional bilamana terdapat lembaga hukum
(rechtsfiguur) yang sama atau ekuivalen. Kesulitan akan
timbul bilamana tidak ada yang bersamaan atau tidak
ekuivalen antara suatu pengertian hukum asing dan
hukum nasional. Hakim juga seringkali menghadapi dua
istilah hukum yang sama (dari hukum asing dan hukum
nasional), tetapi mempunyai makna yang berlainan.
Dalam menghadapi persoalan tersebut di atas, hakim
tidak dapat berhenti pada persamaan istilah-istilah
hukum saja, tetapi juga perlu memperhatikan apakah isi
yang diperdagangkan dengan “etiket” hukum yang
bersangkutan. Misalnya mengenai istilah “adopsi”, tidak
ada pengertian yang benar-benar sama (gelijk) dalam
berbagai sistem HPI.
Adopsi dalam sistem hukum negara X merupakan
pengambilan anak secara lengkap, ikatan-ikatan
kekeluargaan dengan kedua orang tua biologisnya
terputus sama sekali.
Sementara itu adopsi di negara Y (misalnya Belgia)
tidak mengenal konskwensi hukum seperti yang
terdapat pada negara X tersebut.
Bilamana dalam suatu perkara HPI yang diadili di
Indonesia berkenaan dengan tuntutan (ganti rugi)
keperdataan atas kematian ayah angkat Belgia
terhadap seorang warga negara Indonesia. Kejadian
tersebut terjadi di Jakarta.
Timbul persoalan: Apakah menurut hukum
Indonesia (sebagai lex delicti commisi atau hukum
tempat terjadinya perbuatan melanggar hukum)
anak Belgia berhak untuk mengajukan gugatan atau
tuntutan keperdataan tersebut? Menurut Pasal
1370 KUH Perdata (BW) Indonesia, anak-anak dari
pihak korban dapat mengajukan tuntutan ganti rugi
terhadap si pelanggar hukum. Apakah anak angkat
Belgia itu dapat dipersamakan dengan anak sah
menurut ketentuan BW Indonesia, sehingga yang
bersangkutan dapat mengajukan tuntutan ganti
rugi?
Pengadilan di Negeri Belanda menghadapi perkara
yang serupa, Hakim menjawabnya negatif. Seorang
anak yang bernama Jan Calestijn Min di adopsi oleh
seorang warga negara Belgia, menurut hukum Belgia
tidak dapat dipersamakan dengan status anak sah (dan
anak yang diadopsi) menurut hukum Belanda.
Di sini dapat dilihat salah satu cara terjadinya
persoalan “penyesuaian” dalam bentuk yang paling
mudah. Persoalan yang dihadapi adalah bahwa kaidah
intern perlu ”disesuaikan” (aanpassen) kepada suatu
hubungan hukum asing, yaitu apakah anak angkat
Belgia tadi dapat dipersamakan dengan anak (kind)
yang dimaksut oleh Pasal 1370 BW.
Menurut Sudargo Gautama, seharusnya hakim
berpandangan luas. Hukum awak (lex fori) sewajarnya
diinpretasikan secara luas, demikian luasnya, hingga juga
hubungan asing ekuivalen dapat diliput olehnya. Yang
dibandingkan adalah kaidah hukum internnya
(sachtnormen), bukan kollisionsnormen –nya. Pada proses
ini dapat disaksikan seolah-seolah terjadi two way traffic,
suatu proses timbal balik mengenai penyesuaian dari
hukum kita kepada hukum asing dan dari hukum asing
kepada hukum kita. Dalam praktek, persoalan penyesuaian
ini tidak hanya berbentuk penyesuaian kaidah intern
kepada hubungan hukum asing, tetapi juga hubungannya
dengan kualifikasi di mana hubungan-hubungan hukum
asing disesuaikan kepada kollisionsnormen negara sendiri.
Hakim juga mungkin menemukan suatu istilah hukum
atau lembaga hukum yang tidak dikenal dalam sistem
hukum lex fori. Misalnya lembaga Trust yang dikenal
dalam sistem hukum Anglo Saxon umumnya tidak
dikenal dalam sistem hukum Eropah Kontinental, di
Indonesia juga tidak dikenal.

Bilamana timbul perkara yang berkenaan dengan trust


tersebut akan timbul kesulitan. Bagaimana hakim
harus menerjamahkannya ke dalam bahasa hukum
Indonesia?. Bagaimana pula mengkualifikasikannya?
Persaoalannya sekarang adalah bukan bagaimana
lembaga hukum asing itu diinterpretasikan dan
dimasukkan ke dalam pengertian hukum sendiri,
tetapi yang harus dilakukan adalah bagaimana
lembaga asing yang tidak dikenal dalam sistem
hukum kita itu dapat dimasukkan ke dalam kategori
hukum kita yang paling mendekati. Jadi yang harus
dilakukan adalah perbandingan antara fungsi dan
tujuan lembaga asing yang bersangkutan.Yang
disesuaikan di sini adalah kaidah penunjuk, bukan
kaidah intern yang telah disebutkan di atas. Kaidah
penunjuk awak disesuaikan dengan konsepsi hukum
asing.
C. Hubungan Penyesuaian dengan Kualifikasi
Menurut Kollewijn, “penyesuaian” merupakan salah satu
cara kualifikasi yang khusus. Pada waktu membahas
perkara adopsi Belgia di atas, beliau menyatakan bahwa,
“penyesuaian” ini merupakan pula suatu kualifikatie
probleem. Dalam kualifikasi yang biasa, hukum yang harus
dipergunakan belum dipastikan. Sedangkan di dalam
“penyesuaian” hukum yang harus dipergunakan sudah
ditemukan atau dipastikan.
Pada waktu hakim mengadili perkara adopsi Belgia itu,
kaidah penunjuk mengenai perbuatan melanggar hukum
sudah pasti adanya, dan juga sudah jelas bagi hakim hukum
mana yang harus dipergunakan yaitu hukum Belgia sebagai
Lex Fori delicti commisi (hukum tempat dilakukannya
perbuatan melanggar hukum).
Tetapi sekarang timbul persoalan: Apa yang
dimaksut dengan istilah kind (anak) sebagaimana
yang dimaksut Pasal 1406 BW Belanda in
internationalibus, artinya bij zijn toepassing op een
internatinale verhouding.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai