INTERNASIONAL
A. Kekebalan Diplomatik
“diplomatic immunities” mencakup dua pengertian:
yakni inviolability dan immunity. Jadi, dalam
pengertian diplomatic immunities tercakup makna
“tidak dapat diganggu gugat” dan ”kebal”.
Inviolability (tidak dapat diganggu gugat) berarti
kebal terhadap alat-alat kekuasaan negara
penerima dan kebal terhadap segala gangguan
yang merugikan.
Jadi, di sini terkandung pengertian adanya hak
untuk memperoleh perlindungan dari alat-alat
kekuasaan negara penerima.
Sedangkan immunity (kekebalan) berarti kebal
terhadap yurisdiksi negara penerima, baik
yurisdiksi pidana maupun perdata/sipil.
Kekebalan Diplomatik, menurut Konvensi Wina 1961
meliputi beberapa aspek penting :
a. Kekebalan atas diri pribadi
b. Kekebalan keluarga seorang pejabat diplomatik
c. Kekebalan dari yurisdiksi sipil (perdata) dan
kriminal (pidana)
d. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi
e. Kekebalan kantor perwakilan negara asing dan
tempat kediaman wakil diplomatik
f. Kekebalan korespondensi
Hal ini diatur dalam Pasal 27 Konvensi Wina 1961,
yang dimaksud dengan kekebalan korespondensi
adalah bahwa seorang pejabat diplomatik bebas
untuk melakukan komunikasi yang dilakukan
untuk tujuan-tujuan resmi dan tidak boleh
dihalang-halangi oleh negara penerima melalui
tindakan pemeriksaan atau penggeledahan.
Kebebasan komunikasi ini bukan hanya berlaku
dalam hubungan dengan negara pengirim tetapi
juga dengan negara penerima dan juga dengan
perwakilan diplomatik asing lainnya.
B. Keistimewaan Pejabat Misi Diplomatik
Tugas:
Diplomat Indonesia yang akan bertugas atau menempati
posnya di Amerika Serikat, pesawat yang ditumpangi
dalam perjalanan menuju posnya itu ternyata terlebih
dahulu harus transit di Singapura, maka Singapura
dalam hal ini berkedudukan sebagai negara ketiga.
1) Pertanyaan: apakah diplomat Indonesia tersebut
menikmati kekebalan dan keitimewaan sebagai pejabat
diplomatik di Singapura?
2) Apakah anggota keluarga diplomat Indonesia tersebut
juga menikmati kekebalan dan keistimewaan diplomatik
di Singapura?
Pasal 40 Konvensi Wina 1961, Berbunyi:
1. Jika seorang agen diplomatik melewati atau berada di
dalam teritorial suatu Negara ketiga, yang telah memberinya
visa paspor jika visa demikian ini perlu, untuk menuju ke
posnya atau kembali ke posnya, atau pada saat kembali ke
negaranya,
Maka, Negara ketiga harus memberinya inviolabilitas dan
kekebalan lainnya yang diperlukan untuk menjamin
transitnya atau perjalanan pulangnya. Hal yang sama berlaku
pula dalam hal seorang anggota keluarganya yang mendapat
hak-hak istimewa dan kekebalan hukum menyertai agen
diplomatik tersebut, atau bepergian secara terpisah untuk
mengikutinya atau untuk kembali ke Negara mereka.
2. Dalam hal-hal yang sama dengan yang disebutkan di dalam
ayat 1 pasal ini, Negara ketiga tidak boleh mengganggu
lewatnya staf administratif dan teknik atau staf pelayan
daripada misi, dan anggota-anggota keluarganya, melalui
wilayahnya.
3. Terhadap korespondensi resmi dan komunikasi resmi
lainnya di dalam transit, termasuk pula pesan-pesan dengan
kode atau sandi, Negara ketiga harus memberikan
kemerdekaan dan perlindungan yang sama seperti yang
diberikan oleh Negara penerima. Kepada kurir diplomatik
yang telah diberikan visa paspor jika visa demikian diperlukan,
dan tas-tas diplomatik di dalam transit itu, Negara ketiga
memberikan inviolabilitas dan perlindungan seperti yang
Negara penerima misi itu terikat untuk memberikannya.
4. Kewajiban Negara ketiga di bawah ayat 1, 2
dan 3 pasal ini juga berlaku untuk orang-orang
yang disebutkan masing-masing di dalam ayat-
ayat itu, dan untuk komunikasi resmi serta tas-
tas diplomatic yang keberadaannya di dalam
wilayah Negara ketiga itu disebabkan karena
force majeure.
Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu
transit.
Secara substansial kekebalan para pejabat
diplomatik in transit biasanya diberikan.
Masalah itu sebelumnya tidak diberikan namun
beberapa negara seperti Belanda dan Perancis
telah menyetujui untuk memasukkan ketentuan-
ketentuan dalam perundang-undangan masing-
masing mengenai perlakuan para diplomat yang
ditempatkan di negara tersebut.
Didalam Konvensi Wina 1961 telah mengambil
pendekatan Fungsional secara tegas dalam
memberikan hak kekebalan dan keistimewaan
bagi pada diplomat yang berpergian melalui
negara ketiga baik menuju atau dari posnya.
Negara ketiga hanya wajib memberikan hak
tidak diganggu gugatnya dan kekebalan-
kekebalan lainnya yang diperlukan dalam
rangka menjamin perjalanan diplomat itu
dalam transit atau kembali.
Hak-hak yang sama juga diperlukan dalam hal anggota
keluarga diplomat yang menyertainya atau kepergian
secara terpisah untuk bergabung dengannya atau dalam
perjalanan kembali ke negaranya. Para diplomat beserta
anggota keluarganya yang dalam perjalanan transit juga
memperoleh perlindungan khusus dan bebas dari
penahanan sesuai dengan haknya yang tidak dapat
diganggu-gugat, tetapi dapat pula kepada mereka
diadakan tuntutan terhadap perkara perdata dengan
ketentuan bahwa tuntutan ini tidak melibatkan penahanan
mereka dan mereka tidak mempunyai keistimewaan
seperti bebas dari pemeriksaan koper milik mereka. ( Edy
Suryono, Op.Cit, Halaman: 70)
Perjalanan karena force majeure
Seorang diplomat diberikan kekebalan terbatas
semacam itu tanpa melihat hubungan antara
penerima dan pengirim di satu pihak dan
negara ketiga di lain pihak. Kewajiban-
kewajiban di dalam ketentuan Konvensi Wina
1961 tersebut dapat diterapkan bahwa dalam
hal diplomat itu terpaksa harus transit karena
force majeure antara lain adanya pesawat yang
dipaksakan harus mendarat di negara ketiga.
Dalam kasus R.v. Governer of Pentoville Prison
pada tahun 1971. Pengadilan di Inggris menolak
untuk memberikan kekebalan terhadap proses
ekstradisi kepada seorang mata-mata dari Costa
Rica yang bernama Dr. Teja, pemegang paspor
diplomatik, di mana ia tidak ditempatkan atau
tidak menjadi tamu pemerintah sesuatu negara.
Penting pula bahwa diplomat harus diangkat
oleh pemerintahnya yang pengangkatannya
juga diakui oleh negara ketiga. (Ibid. Halaman:
73)
TERIMA KASIH