Anda di halaman 1dari 47

TRANSAKSI

INTERNASIONAL

Ricky M. Wattimena. SH., MH


Kalisifikasi Perwakilan

Menurut Konferensi Wina tahun 1961 pasal 14, klasifikasi


Pejabat Diplomatik dibagi atas 3 kelas yaitu:
1. Para Duta Besar atau Nuncios yang dikareditasikan kepada
Kepala Negara dan para kepala perwakilan lain yang sama
pangkatnya.
2. Para Utusan, Duta dan Internuncious yang diakreditasikan
kepada Kepala Negara
3. Para Kuasa Usaha yang diakreditasikan kepada Menteri
Luar Negeri
 

Kategori Kuasa Usaha atau Charge’ d’ Affaires dapat dibagi dalam 2


golongan yaitu:
1. Kuasa Usaha Tetap (Charge’ d’ Affaires en pied) :
Yaitu menyerahkan suarat-surat kepercayaannya kepada Menteri
Luar Negeri dan bukan kepada Kepla Negara. Pengangkatan kuasa
usaha tetap ini sering terjadi dimasa lampau untuk negara yang baru
merdeka setelah memisahkan diri dari negara induk, sebagai akibat
terjadinya perang saudara atau revolusi. Biasanya setelah beberapa
waktu tingkat kepala perwakilannya dinaikkan menjadi Duta Besar
2. Kuasa Usaha Sementara (Charge’d’ Affaires ad interim).
Yaitu terjadi apabila Duta Besar dipanggil pulang karena
memburuknya hubungan antara kedua negara yang sering
disebabkan karena masalah terorisme, pelanggaraan norma-
norma diplomatic, campur tangan urusan dalam negeri atau
pelanggaran berat terhadap hak-hak asasi, maka dalam hal ini
Kedutaan Besar tidak ditutup dan hanya dipimpin oleh Kuasa
Usaha Sementara.
Praktek Diplomasi sehari-hari telah
mengembangkan klasifikasi Pejabat
Diplomatik dengan urutan
gelar/kepangkatan sebagai berikut:
1. Duta Besar
2. Minister
3. Minister Counsellor
4. Counsellor
5. Sekretaris Pertama
6. Sekretaris Kedua
7. Sekertaris Ketiga
8. Atase
KLASIFIKASI
PERWAKILAN
DIPLOMTAIK
 Pengangkatan dan penempatan seorang Kepala Misi Diplomatik
memerlukan persetujuan sebelumnya dari negara penerima yang
disebut “agreement”. Hak untuk menyetujui atau menolak seorang
kepala misi dari suatu negara adalah sepenuhnya merupakan hak
negara penerima. Negara penerima berhak menolak untuk
memberikan persetujuannya tanpa ada kewajiban baginya untuk
memberikan alasan penolakan tersebut.
 Menurut Pasal 14 Konvensi Wina 1961, ada tiga tingkatan Kepala
Misi Diplomatik, yaitu :
a. Ammbassador (Nuncios) diakredetasi pada Kepala Negara dan kepala misi
yang lain yang sederajat.
b. Envoys, Minsiter dan Inter-nuncios diakreditasikan pada Kepala Negara.
c. Charge D’ Affaires, diakreditasikan kepada Menteri Luar Negeri.

 Untuk tingkatan kepala misi(1) dan (2), ia diakreditasikan kepada


kepala negara, artinya, surat-surat kepercayaannya ditandatangani
oleh kepala negara dari negara penerima.
 Sedangkan Charges d’Affaires adalah diakreditasikan kepada menteri
luar negeri. Artinya surat-surat kepercayaan kepala misi dari
tingkatan (3), Charges d’Affaires itu ditandatangani oleh menteri luar
negeri dari negara pengirim dan kemudian diserahkan kepada
menteri luar negeri negara penerima.
1. Bertingkat Duta Besar (Psl. 14 ayat (1) huruf (a)), terdiri dari;
- Duta Besar Luar Biasa Dan Berkuasa Penuh (Ambassador
Extraordinary
and Plenipotentiary)
- Nuncio; Kepala Perwakilan bertingkat Duta Besar yang dikirim oleh
Takhta
Suci
- High Commissioner; Kepala Perwakilan bertingkat Duta Besar yang

dikirim antara Negara-Negara Persemakmuran Inggris


2. Setingkat lebih rendah dari Dut Besar Psl. 14 ayat (1) huruf b & c, yaitu:
- Kuasa Usaha Tetap (Charges d’ Affaires en pied); Kepala Perwakilan
setingkat lebih rendah dari Duta Besar dengan pangkat Minister,
Envoy
- Internuncio; Kepala Perwakilan setingkat lebih rendah dari
Nuncio yang
dikirim oleh Takhta Suc
 Bagi seorang kepala misi yang telah disetujui
(oleh negara penerima), sebelum
melaksanakan fungsi-fungsi, ia harus
menyerahkan surat-surat kepercayaan yang
disebut “credentials” atau “letters de creance”.
Penyerahan surat-surat kepercayaan ini
dilakukan sesuai dengan tingkatan kepala misi
di atas.
 Disamping bentuk hubungan diplomatik yang
berupa pengiriman misi diplomatik tetap seperti di
atas, yakni satu wakil diplomatik dari satu negara
pengirim untuk satu negara penerima, juga
terdapat bentuk-bentuk hubungan diplomatik
lainnya, baik yang memiliki sifat sebagai hubungan
diplomatik tetap maupun bersifat hubungan
diplomatik khusus atau sementara, yaitu :
 Akreditasi rangkap
 Akreditasi bersama
 Diplomasi ad hoc
 1. Akreditasi Rangkap
 Yang dimaksud dengan akreditasi rangkap adalah
bilamana suatu negara pengirim menempatkan
atau menugaskan seorang wakilnya untuk lebih
dari satu negara penerima. Hal ini diatur dalam
Pasal 5 Konvensi Wina 1961. Misalnya : setelah
berakhirnya Perang Dunia II, Cina pernah
menempatkan seorang wakilnya untuk Jerman,
Rusia, Inggris, Perancis dan Itali. Demikian pula
Costa Rica juga pernah menempatkan wakilnya
untuk Jerman, Belgia, Spanyol dan Perancis.
 2. Akreditasi Bersama
 Akreditasi bersama terjadi bilamana beberapa
negara menempatkan orang yang sama sebagai
kepala perwakilan mereka di suatu negara lain.
Jadi, bisa dikatakan sebagai kebalikan dari
akreditasi rangkap. Hal ini diatur dalam Pasal 6
Konvensi Wina 1961. Demikian pula diatur
dalam Pasal 5 ayat 2 Konvensi Havana 1928
yang menyatakan bahwa beberapa negara dapat
diwakili oleh seorang diplomat di suatu negara.
 3. Diplomasi ad hoc
 Diplomasi Ad hoc juga sering disebut “Misi
Khusus” diatur dalam Pasal 2 Konvensi Misi-
misi Khusus 1969 (New York Convention on
Special Missions 1969) yang menyatakan bahwa
suatu negara dapat mengirim satu misi khusus
ke negara lain, atas persetujuan sebelumnya
dari negara lain itu, di mana persetujuan itu
diberikan melalui saluran diplomatik maupun
cara-cara lain yang disepakati bersama.
 Sedangkan definisi mengenai diplomasi khusus ini,
Pasal 1 (a) Konvensi Misi Khusus 1969 menyatakan ,
“Suatu misi sementara yang mempunyai sifat
representatif negara, yang dikirim oleh suatu negara ke
negara lain, dengan persetujuan negara penerima,
untuk membicarakan soal-soal tertentu atau untuk
melaksanakan tugas-tugas tertentu tersebut.
 Diplomasi ad hoc dapat dilakukan baik jika dua negara
telah mempunyai hubungan diplomatik tetap maupun
jika keduanya belum memiliki hubungan diplomatik
tetap. Hal ini diserahkan sepenuhnya kepada negara-
negara yang bersangkutan. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 7 dari Konvensi Misi-misi Khusus 1969.
 Dengan memperhatikan kedua ketentuan di atas,
dapat disimpulkan bahwa fungsi diplomatik ad hoc ini
berakhir bilamana soal tertentu atau tugas khusus itu
sudah dilaksanakan.
KEKEBALAN & KEISTIMEWAAN
DIPLOMATIK
1. Landasan Teori Pemberian Kekebalan Dan Keistimewaan Diplomatik

Teori Eksteritorialitas (Exterritoriality Theory)


 Menurut teori ini, gedung perwakilan diplomatik itu
dianggap berada di luar wilayah negara penerima, atau
dianggap sebagai bagian dari wilayah negara pengirim.
Sehingga, menurut teori ini, seorang pejabat diplomatik
menerima kekebalan dan keistimewaan itu adalah karena
ia dianggap tidak berada di wilayah negara penerima.
 Oleh karena itu maka dengan sendirinya ia tidak tunduk
kepada hukum dan segala peraturan negara penerima.
Seorang pejabat diplomatik itu adalah dikuasai oleh
hukum negara pengirim dan bukan hukum negara
penerima.
 Dalam praktiknya, teori eksterritorialitas
sangat berat untuk diterima karena dianggap
tidak realistis. Teori ini hanya didasarkan atas
suatu fiksi dan bukan realita yang sebenarnya.
Jadi, teori eksterritorialitas dalam arti, seorang
wakil diplomatik dianggap tetap berada di
wilayah negaranya sendiri 
 Teori ini didalam kehidupan sangat sullit diterapkan, dan
mayoritas ahli hukum menyangkal kebenarannya. Kejanggalan
teori tersebut dapat disimak dalam ilustrasi berikut :
 Seorang diplomat dalam kesehariannya sulit memaksakan diri
untuk melaksanakan ketentuan hukum negara pengirim di
negara penerima,  misalnya diplomat Indonesia tidak dapat
mengendarai mobil pribadi pada jalan raya untuk jalur dua
arah di negara Saudi Arabia dengan menerapkan peraturan
lalu lintas Indonesia.
 Apabila diplomat Indonesia mengemudikan kendaraan di jalan
lajur sebelah kiri maka pasti bertabrakan dengan pengendara
lain, karena di Saudi Arabia pengguna jalan raya harus
mengendarai kendaraan pada lajur sebelah kanan.
 Jadi, Apabila terdapat anggapan bahwa kantor
perwakilan diplomatik beserta tempat tinggal diplomat
dianggap berada di wilayah negara pengirim, maka tentu
saja para diplomat setiap bulan atau setiap tahun wajib
membayar berbagai pajak dan iuran (misalnya pajak bumi
dan bangunan, retribusi pengelolaan sampah), padahal
dalam praktik mereka tidak melakukan kewajiban
tersebut. Andaikata mereka harus membayar, negara
pengirim harus membuka dinas-dinas terkait dinegara
diplomat.
 Meskipun demikian bukan berarti kantor kedutaan
terbebas dari pembayaran biaya, karena dalam praktik
ada beberapa rekening kantor kedutaan dan rumah
kediaman resmi diplomat yang wajib dibayar pihak
kedutaan asing kepada negara penerima, misalnya
rekening telepon, air, dan listrik. 
 Teori Sifat Perwakilan (Representative Character
Theory)
Teori ini meletakkan dasar pemberian
kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu
pada sifat perwakilan seorang pejabat
diplomatik, yakni bahwa seorang pejabat
diplomatik itu adalah mewakili kepala negara
atau negaranya.
 Teori ini mengajarkan bahwa baik pejabat
diplomatik maupun perwakilan diplomatik,
mewakili negara pengirim dan kepala
negaranya. Dalam kapasitas itulah pejabat dan
perwakilan diplomatik asing menikmati hak-
hak istimewa,  dan kekebalan kepada pejabat-
pejabat diplomatik asing juga berarti bahwa
negara penerima menghormati negara
pengirim, kebesaran dan kedaulatan serta
kepala negaranya.
 Teori ini berasal dari era kerajaan masa lalu di
mana negara penerima memberikan semua
hak, kebebasan, dan perlindungan kepada
utusan-utusan raja sebagai penghormatan
terhadap raja itu sendiri. Namun seperti halnya
dengan teori eksterritorialitas, pemberian hak-
hak istimewa dan kekebalan diplomatik ini
tidak mempunyai batas yang jelas dan
menimbulkan kebingungan hukum.
 Teori ini sulit juga diterapkan Karena sampai saat ini orang
yang mendapat kekebalan diplomatik bukan hanya
diplomat, tetapi termasuk anggota keluarga diplomat yang
membentuk rumah tangganya dan tinggal di negara
penerima, padahal bukan berstatus diplomat yang
mewakili negara pengirim.
 Dalam praktik juga sulit dibedakan antara perbuatan
seorang diplomat dalam kapasitasnya sebagai wakil negara
atau wakil kepala negara, dengan perbuatan diplomat
dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Padahal menurut
hukum diplomatik seluruh perbuatan diplomat baik
perbuatan atas nama negara maupun atas nama pribadi
memperoleh kekebalan dan keistimewaan.
 Teori Kebutuhan Fungsional (Functional
Necessity Theory)
Menurut teori ini, kekebalan dan keistimewaan
itu diberikan kepada seorang pejabat
diplomatik adalah agar seorang pejabat
diplomatik dapat melaksanakan tugas atau
fungsinya dengan seluas-luasnya dan
sempurna.
 Teori ini mengajarkan bahwa hak-hak istimewa dan
kekebalan-kekebalan diplomatik dari misi diplomatik
hanya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan fungsional
agar para pejabat diplomatik tersebut dapat
melaksanakan tugasnnya dengan baik dan lancar.
 Dengan memberikan penekanan pada “kepentingan
fungsi” maka, terbuka jalan bagi pembatasan hak-hak
istimewa dan kekebalan-kekebalan sehingga dapat
diciptakan keseimbangan antara kebutuhan negara
pengirim dan hak-hak negara penerima. Teori ini
kemudian didukung untuk menjadi ketentuan dalam
Konvensi Wina 1961. 
 Dalam mukadimah Konvensi Wina 1961 tentang
hubungan diplomatik dirumuskan “...that the
purpose of such privilages and immunities is not to
benefit individuals but to ensure the efficient
performance of the function of diplomatik missions
as representing states.”
 Artinya, bahwa tujuan pemberian kekebalan dan
keistimewaan tersebut bukan untuk
meenguntungkan orang perseorangan, tetapi untuk
menjamin pelaksanaan yang efisien fungsi-fungsi
missi diplomatik sebagai wakil dari negara. 
 Maka dari itu, jelaslah bahwa landasan yuridis
pemberian semua kemudahan, hak-hak
istimewa dan kekebalan yang diberikan
kepada para agen diplomatik asing di suatu
negara adalah untuk memperlancar atau
memudahkan  pelaksanaan  kegiatan-kegiatan
 para  pejabat  diplomatik  dan bukan atas
pertimbangan-pertimbangan lain.
2. Jenis-jenis Kekebalan Dan Keistimewaan
Diplomatik

A. Kekebalan Diplomatik
“diplomatic immunities” mencakup dua pengertian:
yakni inviolability dan immunity. Jadi, dalam
pengertian diplomatic immunities tercakup makna
“tidak dapat diganggu gugat” dan ”kebal”.
 Inviolability (tidak dapat diganggu gugat) berarti
kebal terhadap alat-alat kekuasaan negara
penerima dan kebal terhadap segala gangguan
yang merugikan.
 Jadi, di sini terkandung pengertian adanya hak
untuk memperoleh perlindungan dari alat-alat
kekuasaan negara penerima.
 Sedangkan immunity (kekebalan) berarti kebal
terhadap yurisdiksi negara penerima, baik
yurisdiksi pidana maupun perdata/sipil.
 Kekebalan Diplomatik, menurut Konvensi Wina 1961
 meliputi beberapa aspek penting :
a. Kekebalan atas diri pribadi
b. Kekebalan keluarga seorang pejabat diplomatik
c. Kekebalan dari yurisdiksi sipil (perdata) dan
kriminal (pidana)
d. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi
e. Kekebalan kantor perwakilan negara asing dan
tempat kediaman wakil diplomatik
f. Kekebalan korespondensi
 Hal ini diatur dalam Pasal 27 Konvensi Wina 1961,
yang dimaksud dengan kekebalan korespondensi
adalah bahwa seorang pejabat diplomatik bebas
untuk melakukan komunikasi yang dilakukan
untuk tujuan-tujuan resmi dan tidak boleh
dihalang-halangi oleh negara penerima melalui
tindakan pemeriksaan atau penggeledahan.
 Kebebasan komunikasi ini bukan hanya berlaku
dalam hubungan dengan negara pengirim tetapi
juga dengan negara penerima dan juga dengan
perwakilan diplomatik asing lainnya.
B. Keistimewaan Pejabat Misi Diplomatik

 Pengertian  keistimewaan  adalah  berbagai


 hak  istimewa/ privilege  yang  melekat pada
perwakilan diplomatik (sebagai institusi) dan
anggota misi (sebagai individu) di negara
penerima.
 1.  Pembebasan pajak-pajak
 Keistimewaan pembebasan pajak-pajak ini dapat
dinikmati oleh pejabat diplomatik beserta
keluarganya, staf administrasi dan teknik, staf
pelayanan, pembantu-pembantu rumah tangga
berdasarkan daftar yang diserahkan kepada
kementerian luar negeri setempat. Pada umumnya
keistimewaan dalam perpajakan ini meliputi:
 pembebasan pajak-pajak langsung, pajak penghasilan,
pajak atas barang pribadi bergerak seperti kendaraan
bermotor, perabot, bagasi dan sebagainya.
Dalam Konvensi Wina 1961 dikatakan bahwa, seorang pejabat
diplomatik akan dibebaskan dari semua pajak pribadi baik
regional, nasional kecuali:
*- Pajak tidak langsung, sehingga tak berlaku pada pembelian
barang di toko umum yang pajak penjualannya telah
diperhitungkan didalamnya. 
*- Pajak atas barang-barang yang tidak bergerak yang terletak di
dalam daerah negara penerima, misalnya rumah, tanah, kecuali
yang dikuasai oleh pejabat-pejabat diplomatik tersebut atas
nama negara pengirim untuk keperluan dan maksud yang
resmi dari misi perwakilan. 
*- Pajak untuk jasa-jasa pelayanan yang diberikan. 
Registrasi, pembayaran pengafilan, hipotek, pajak perangko
sehubungan dengan barang-barang bergerak. 
 2. Pembebasan dari bea cukai dan bagasi. 
 Pada umumnya pembebasan bea cukai dan
bagasi ini meliputi barang-barang  yang diimpor
untuk keperluan perwakilan diplomatik dan
keperluan rumah tangga para pejabat
diplomatik. Dalam hubungan ini pula bagasi-
bagasi milik para pejabat diplomatik bebas dari
pemeriksaan petugas-petugas doane.
3. Berkhirnya Kekebalan dan
Keistimewaan Diplomatik

 Bagi negara pengirim sudah jelas bahwa


hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik
dari wakil-wakil diplomatiknya berakhir
atau tidak berlaku lagi pada saat mereka
sudah berada kembali di negara-negara
mereka sendiri. Karena tidaklah mungkin
negara itu memberikan hak-hak istimewa
dan kekebalan diplomatik kepada warga
negaranya sendiri.
 Sedangkan bagi negara penerima, hak-hak istimewa
dan kekebalan dari seorang perwakilan diplomatik
asing yang masa jabatan atau tugasnya telah berakhir,
biasanya pada saat ia meninggalkan negara itu, atau
pada saat berakhirnya suatu waktu yang layak
(resonable period/reasonable opportunity) yang
diberikan kepadanya untuk meninggalkan negara
penerima. Namun dalam hal tertentu, negara penerima
dapat meminta negara pengirim untuk menarik
diplomatnya apabila ia dinyatakan persona non grata.
 Pasal 39 ayat 2 Konvensi Wina disebutkan, bahwa:
When the functions of a person enjoying privileges
and immunities have come to an end, such privileges
and immunities shall normally cease at the moment
when he leaves the country, or on expiry of a
reasonable period in which to do so, but shall subsist
until that time, even in case of armed conflict.
However, with respect to acts performed by such a
person in the exercise of his functions as a member of
the mission, immunity shall continue to subsist

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ


 Artinya, apabila tugas-tugas seseorang yang mempunyai hak
istimewa dan kekebalan itu biasanya berakhir pada waktu ia
meninggalkan negeri itu, atau pada habisnya suatu masa yang
layak untuk itu, tetapi harus tetap berlaku sampai waktu
berangkat, bahkan dalam keadaan sengketa bersenjata.
 Namun sehubungan dengan tindakan-tindakan orang demikian
dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang anggota
perwakilan, kekebalan harus tetap berlaku.
 Kekebalan tidak berhenti dalam hal tugas-tugas resmi yang
dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mereka.
Sedangkan dalam hal kematian seorang diplomat, anggota
keluarganya masih berhak untuk menikmati kekebalan dan
keistimewaan sampai waktu yang dianggap cukup pantas.
4. Kekebalan Diplomatik di Negara Ketiga

 Tugas:
Diplomat Indonesia yang akan bertugas atau menempati
posnya di Amerika Serikat, pesawat yang ditumpangi
dalam perjalanan menuju posnya itu ternyata terlebih
dahulu harus transit di Singapura, maka Singapura
dalam hal ini berkedudukan sebagai negara ketiga.
1) Pertanyaan: apakah diplomat Indonesia tersebut
menikmati kekebalan dan keitimewaan sebagai pejabat
diplomatik di Singapura?
2) Apakah anggota keluarga diplomat Indonesia tersebut
juga menikmati kekebalan dan keistimewaan diplomatik
di Singapura?
 Pasal 40 Konvensi Wina 1961, Berbunyi:
 1. Jika seorang agen diplomatik melewati atau berada di
dalam teritorial suatu Negara ketiga, yang telah memberinya
visa paspor jika visa demikian ini perlu, untuk menuju ke
posnya atau kembali ke posnya, atau pada saat kembali ke
negaranya,
 Maka, Negara ketiga harus memberinya inviolabilitas dan
kekebalan lainnya yang diperlukan untuk menjamin
transitnya atau perjalanan pulangnya. Hal yang sama berlaku
pula dalam hal seorang anggota keluarganya yang mendapat
hak-hak istimewa dan kekebalan hukum menyertai agen
diplomatik tersebut, atau bepergian secara terpisah untuk
mengikutinya atau untuk kembali ke Negara mereka.
 2. Dalam hal-hal yang sama dengan yang disebutkan di dalam
ayat 1 pasal ini, Negara ketiga tidak boleh mengganggu
lewatnya staf administratif dan teknik atau staf pelayan
daripada misi, dan anggota-anggota keluarganya, melalui
wilayahnya.
 3. Terhadap korespondensi resmi dan komunikasi resmi
lainnya di dalam transit, termasuk pula pesan-pesan dengan
kode atau sandi, Negara ketiga harus memberikan
kemerdekaan dan perlindungan yang sama seperti yang
diberikan oleh Negara penerima. Kepada kurir diplomatik
yang telah diberikan visa paspor jika visa demikian diperlukan,
dan tas-tas diplomatik di dalam transit itu, Negara ketiga
memberikan inviolabilitas dan perlindungan seperti yang
Negara penerima misi itu terikat untuk memberikannya.
 4. Kewajiban Negara ketiga di bawah ayat 1, 2
dan 3 pasal ini juga berlaku untuk orang-orang
yang disebutkan masing-masing di dalam ayat-
ayat itu, dan untuk komunikasi resmi serta tas-
tas diplomatic yang keberadaannya di dalam
wilayah Negara ketiga itu disebabkan karena
force majeure.
 Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu
transit.
 Secara substansial kekebalan para pejabat
diplomatik in transit biasanya diberikan.
Masalah itu sebelumnya tidak diberikan namun
beberapa negara seperti Belanda dan Perancis
telah menyetujui untuk memasukkan ketentuan-
ketentuan dalam perundang-undangan masing-
masing mengenai perlakuan para diplomat yang
ditempatkan di negara tersebut.
 Didalam Konvensi Wina 1961 telah mengambil
pendekatan Fungsional secara tegas dalam
memberikan hak kekebalan dan keistimewaan
bagi pada diplomat yang berpergian melalui
negara ketiga baik menuju atau dari posnya.
 Negara ketiga hanya wajib memberikan hak
tidak diganggu gugatnya dan kekebalan-
kekebalan lainnya yang diperlukan dalam
rangka menjamin perjalanan diplomat itu
dalam transit atau kembali.
 Hak-hak yang sama juga diperlukan dalam hal anggota
keluarga diplomat yang menyertainya atau kepergian
secara terpisah untuk bergabung dengannya atau dalam
perjalanan kembali ke negaranya. Para diplomat beserta
anggota keluarganya yang dalam perjalanan transit juga
memperoleh perlindungan khusus dan bebas dari
penahanan sesuai dengan haknya yang tidak dapat
diganggu-gugat, tetapi dapat pula kepada mereka
diadakan tuntutan terhadap perkara perdata dengan
ketentuan bahwa tuntutan ini tidak melibatkan penahanan
mereka dan mereka tidak mempunyai keistimewaan
seperti bebas dari pemeriksaan koper milik mereka. ( Edy
Suryono, Op.Cit, Halaman: 70)
 Perjalanan karena force majeure 
 Seorang diplomat diberikan kekebalan terbatas
semacam itu tanpa melihat  hubungan antara
penerima dan pengirim di satu pihak dan
negara ketiga di lain pihak. Kewajiban-
kewajiban di dalam ketentuan Konvensi Wina
1961 tersebut dapat diterapkan bahwa dalam
hal diplomat itu terpaksa harus transit karena
force majeure antara lain adanya pesawat yang
dipaksakan harus mendarat di negara ketiga.
 Dalam kasus R.v. Governer of Pentoville Prison
pada tahun 1971. Pengadilan di Inggris menolak
untuk memberikan kekebalan terhadap proses
ekstradisi kepada seorang mata-mata dari Costa
Rica yang bernama Dr. Teja, pemegang paspor
diplomatik, di mana ia tidak ditempatkan atau
tidak menjadi tamu pemerintah sesuatu negara.
Penting pula bahwa diplomat harus diangkat
oleh pemerintahnya yang pengangkatannya
juga diakui oleh negara ketiga. (Ibid. Halaman:
73)
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai