Anda di halaman 1dari 16

“Quo Vadis Regulasi Pengelolaan

Pertanahan Pasca UU Nomor 11 Tahun


2020 tentang Cipta Kerja?”*
oleh:
Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono**

*) Presentasi pada Webinar “Quo Vadis Regulasi Pengelolaan Pertanahan Pasca UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?”, diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas (Pusat
Kajian Hukum Agraria dan Adat/PAgA), 20 September 2021
**) Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Anggota Akademi Imu Pengetahuan Indonesia

Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels, diambil dari Indonesia.go.id MS-0921 2
Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
I. Segi – segi positif PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,
Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021)

Langkah maju PP No. 18 Tahun 2021


diharapkan agar dapat

Menyesuaikan
Menyelesaikan Menyelesaikan diri dengan
Mempertegas
permasalahan berbagai perkembangan
konsep
di masa lalu “keterlanjuran” teknologi

3
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
I. Segi – segi positif PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,
Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021)

Berbagai segi positif PP No. 18 Tahun 2021 adalah sebagai berikut :


1. Ruang lingkup tanah negara (Pasal 2)
PP ini pertama kali merumuskan tentang ruang lingkup tanah negara secara garis besar. Perumusan yang lebih
rinci dan pengaturan tentang pengelolaan dan pemanfaatannya dapat diatur dalam peraturan menteri.
2. Penegasan tentang penyelesaian dalam permasalahan tanah reklamasi: dengan atau tanpa izin, pemberian hak
atas tanahnya, keterlanjuran, dan akibat hukumnya (Pasal 17).
3. Penegasan bahwa pemberian perpanjangan dan pembaharuan hak atas tanah “sekaligus” baik eksplisit
maupun implisit, atas permohonan pemegang hak, pendaftarannya dilakukan secara bertahap.
4. Pemberiaan hak atas tanah di wilayah perairan (Pasal 65) berdasarkan perizinan dari Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) sesuai dengan ketentuan. Hal ini sudah dilakukan selama ini, berdasarkan Pasal 4 ayat (2)
UUPA sehingga merupakan afirmasi, dan sudah pernah diatur dalam Permen ATR/Ka BPN No. 17 Tahun 2016
tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Perlu dilakukan koordinasi dan sinergi
untuk klarifikasi berbagai isu antara Kementerian ATR/BPN dan KKP.

MS-0921 4 4
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
I. Segi – segi positif PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,
Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021)

Berbagai segi positif PP No. 18 Tahun 2021 adalah sebagai berikut :


5. Pengaturan tentang tanah musnah (Pasal 17)
Telah dilengkapi dengan Permen ATR/Ka BPN No. 17 Tahun 2021 tentang Penetapan Tanah Musnah. Perlu diperhatikan
kaitannya dengan pengaturan tentang reklamasi dalam PP No. 18 Tahun 2021.
6. Pemberian HPL dan Hak Atas Tanah pada Ruang Bawah Tanah dan Ruang Atas Tanah (Pasal 74-83)
Pengaturan ini didasarkan pada analogi atau interpretasi ekstensif Pasal 4 ayat (2) UUPA.
7. Penyelenggaraan pendaftaran tanah secara elektronik yang “dapat” dilakukan dan pelaksanaannya secara bertahap (Pasal
84- Pasal 86 PP jo. Pasal 6 s.d. Pasal 17 Permen ATR/Ka BPN No. 1/2021 tentang Sertifikat Elektronik)
8. Penegasan tentang pencatatan tanah yang menjadi objek perkara di pengadilan dan hapusnya; pencatatan perintah status
quo, hapusnya, dan tindak lanjutnya oleh Kepala Kantor Pertanahan, dan permohonan pengukuran atas objek eksekusi
(Pasal 91 s.d. Pasal 93). Pengaturan lebih lanjut dirumuskan dalam Permen ATR/Ka BPN No. 16/2021 tentang Perubahan
Ketiga atas Permenag/Ka BPN No. 3/1997 tentang Pelaksanaan PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (Pasal 74a dan
Pasal 74b).

MS-0921 5 5
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
I. Segi – segi positif PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,
Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021)

Berbagai segi positif PP No. 18 Tahun 2021 adalah sebagai berikut :


9. Perubahan rumah toko (ruko)/rumah kantor (rukan) yang berstatus HGB/HP atas nama WNI menjadi HM atas permohonan
pemegang hak (Pasal 94).

10. Tak berlakunya lagi alat bukti hak lama (bekas hak barat dan bekas hak adat) dan pemberian hak selanjutnya (Pasal 95 s.d.
Pasal 97) Pengaturan lebih lanjut dimuat dalam Permen ATR/Ka BPN No. 16/2021 (Catatan tentang isu ini diuraikan dalam
bagian II).

11. Penegasan tentang status tanah swapraja dan pemberian hak selanjutnya (Pasal 98)

MS-0921 6 6
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
II. Beberapa Isu Krusial dalam PP No. 18 Tahun2021 dan Gagasan tentang
Jalan Keluarnya
A. Problematika Pengaturan tentang Tanah (Hak) Ulayat MHA
1. Sikap terhadap pengakuan MHA masih abu-abu. PP menyerahkan bentuk penetapan eksistensi MHA dan Hak Ulayat
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bandingkan dengan sikap KLHK melalui PP No. 23 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
2. Sikap terhadap tanah ulayat yang tidak jelas konsepsi dan tujuannya ketika merumuskan tentang penetapan HPL bagi
MHA
a. Labelisasi HPL bertentangan dengan HMN, Pasal 2 dan Penjelasan Umum II.2 UUPA yang menegaskan bahwa
tanah hak ulayat merupakan entitas tersendiri, disamping tanah negara dan tanah hak. Penyebutannya adalah
tanah (hak) ulayat, tidak perlu “diberi nama” dengan HPL karena hakekat tanah ulayat berbeda dengan tanah
HPL!
b. Pernyataan bahwa “Penetapan Hak Ulayat menjadi HPL merupakan bentuk pengakuan kepada MHA” (Pasal 4 PP
No. 18 Tahun2021) justru kontradiktif dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (2) yang mengembalikan penetapan
keberadaan MHA pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Pengertian HPL tidak kompatibel dengan hak ulayat. Hak ulayat kewenangannya melekat/inheren pada dirinya.
Tidak perlu mendapat “pelimpahan” wewenang dari siapapun , termasuk dari negara !

MS-0921 7 7
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
c. Labelisasi HPL pada MHA menjadi janggal ketika dikaitkan dengan kewenangan pemegang HPL pada
umumnya (Pemerintah, Pemda, BUMN/D, BHMN/D, Badan Bank Tanah, badan yang ditunjuk pemerintah
pusat). Karakter MHA jelas berbeda dengan subjek HPL pada Pasal 5 PP No. 18 Tahun 2021 tersebut.
d. Pengaturan tentang MHA dalam PP No. 18 Tahun 2021 dikaitkan dengan PP No. 19 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan dan Tanah jo. Permen ATR/Ka BPN No. 19 Tahun 2021 sebagai peraturan
pelaksanaannya, masih terkesan mengikuti arah angin bertiup. Seyogianya ditegaskan bahwa
pengukuhan keberadaan MHA diterbitkan dalam bentuk Perda yang dikaitkan dengan MHA tertentu
(bukan Perda pengaturan tentang MHA secara umum!) atau dalam bentuk keputusan kepala daerah (SK
Gubernur/Bupati/Walikota) sesuai kewenangannya.
KLHK sudah lebih maju mengatur tentang hal ini. Tak ada salahnya ATR/BPN mengikuti KLHK yang
dengan tegas memberlakukan bentuk pengakuan MHA di dalam kawasan hutan negara dan di luar
kawasan hutan negara. Landasan hukumnya adalah Permen LHK No. 7 Tahun 2020 tentang Hutan Adat
dan Hutan Hak, yang diafirmasi dalam Pasal 234 PP No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Kehutanan.
PP No. 19 Tahun 2021 dan Permen ATR/Ka BPN No. 19 Tahun 2021 belum mengatur tentang ganti
kerugian terhadap tanah ulayat sebagai ruang hidup MHA. Menyamakan MHA dan bukan MHA dalam
hal ganti kerugian, jelas tidak adil bagi MHA.

MS-0921 8 8
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
Usulan jalan keluar
Terkait pengakuan tentang MHA dan tanah ulayat.
a. Penetapan HPL untuk MHA seyogianya tidak perlu dilaksanakan karena selain tidak “pas” juga tak ada
dampaknya jika tidak dilaksanakan.
b. Justru yang perlu diatur adalah hal-hal sbb :
(1) Penetapan keberadaan MHA dalam bentuk Perda yang menunjuk MHA tertentu atau dalam bentuk SK
gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangannya
(2) Restitusi (pengembalian) tanah ulayat yang semula dilepas (menjadi tanah negara) untuk dapat diberikan
suatu hak atas tanah di atasnya, yang setelah hak atas tanahnya berakhir, tidak diperpanjang dan
diperbaharui, ternyata MHA yang semula melepaskan tanah ulayat tersebut masih eksis, agar
dikembalikan kepada MHA yang bersangkutan dalam status sebagai tanah ulayat.
(3) Pemberian hak atas tanah di atas tanah ulayat secara langsung jika dikehendaki oleh MHA sebagai
pelaksanaan Pasal 2 UUPA dan operasionalisasi Permen ATR/Ka BPN No. 5 Tahun 1999. Lihat rumusan
tentang hal ini dalam naskah awal RUU Pertanahan versi 2013.
(4) Perlu mengatur tentang bentuk /jenis kerugian MHA atas tanah ulayatnya jika diperlukan untuk
kepentingan umum dan bentuk ganti kerugiannya.

MS-0921 9 9
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
II. Beberapa Isu Krusial dalam PP No 18/2021 dan Gagasan tentang Jalan
Keluarnya
B. Perpanjangan dan pembaharuan jangka waktu hak atas tanah di atas HPL atas nama Badan Bank Tanah
1. Perpanjangan dan pembaharuan jangka waktu hak atas tanah di atas HPL atas nama Badan Bank Tanah
berpotensi melanggar Putusan MK No. 21-22/PUU/V/2007 karena tidak diberikan penjelasan bahwa
pemenuhan persyaratan dilakukan oleh Petugas Konstatasi pada Kantor Pertanahan dan bahwa
pendaftaran perpanjangan dan pembaharuan haknya dilakukan secara bertahap. PP No. 64 Tahun 2021
tentang Badan Bank Tanah tidak sinkron dengn PP No. 18 Tahun 2021.
2. Pemberian HGU di atas HPL bertentangan dengan UUPA (Pasal 2 jo. Pasal 28), dan tak jelas konsepsi serta
tujuannya.
3. Hak atas tanah eksisting yang berakhir jangka waktunya, apakah pembaharuan haknya diberikan di atas
tanah negara, atau di atas tanah HPL? Mengapa? Karena tanah negara berpotensi menjadi tanah HPL atas
nama Badan Bank Tanah. Dua konstruksi hukum itu dampaknya berbeda bagi pemohon/pemegang hak
baru dari segi kewajibannya (kepada negara saja atau kepada negara dan pemegang HPL!)

MS-0921 1010
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
Usulan jalan keluar
1. Pemberian perpanjangan dan pembaharuan hak atas tanah “sekaligus” dengan penegasan bahwa
penilaian tentang pemenuhan persyaratannya dilakukan oleh Petugas Konstatasi dan bahwa
pendaftaran perpanjangan dan pembaharuan haknya dilakukan secara bertahap. PP No. 64 Tahun
2021 tidak memuat hal ini, sehingga berpotensi melanggar Putusan MK No 21-22/PUU-5/2007.
2. Klarifikasi pembaharuan hak atas tanah eksisting. Apakah masih diberikan di atas tanah negara, atau
diatas tanah HPL berikut segala dampaknya.
3. Perlu dipertimbangan kembali pemberian HGU di atas HPL. Jika alasannya supaya aset berupa HGU
yang telah berakhir jangka waktunya tidak hilang, dengan jalan “menyorongkan” HPL di bawah HGU
supaya hak/aset tetapnya tidak akan berakhir kecuali HPL-nya dilepaskan, maka alasan yang “pars
pro toto” ini jelas tidak relevan untuk dirumuskan secara umum. Apalagi jika konstruksi hukum itu
dikaitkan dengan redistribusi tanah dalam rangka reforma agraria, karena bidang tanah sudah
diduduki pihak ketiga.

MS-0921 1111
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
II. Beberapa Isu Krusial dalam PP No. 18 Tahun 2021 dan Gagasan tentang
Jalan Keluarnya
C. Tanah dan tempat tinggal/hunian bagi Orang Asing jika berupa satuan rumah susun (sarusun) (PP No. 18
Tahun 2021 jo. Permen ATR/Ka BPN No. 16 Tahun 2021)
1. Pengaturan bahwa Orang Asing boleh memiliki sarusun/apartemen/flat/unit dalam rusun yang tanah-
bersamanya berstatus HGB (atas tanah negara, atas tanah HM/HPL) jelas bertentangan dengan UUPA dan konsep
universal tentang “strata title” yang mengenal individual sekaligus co-ownership atas tanah, benda dan bagian
dari rusun.
2. Pencermatan Pasal 71 ayat (2) jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 67 ayat (1) mementahkan perumusan
bahwa “pelanggaran” yang dilegalkan untuk Orang Asing itu hanya untuk rusun yang dibangun di kawasan
tertentu. Penjelasan Pasal 67 ayat (1) mengindikasikan jika di luar kawasan tertentu pun, pelanggaran itu
dilegalkan.
3. Diskon” tanah-bersama dalam sertifikat HMSRS jika Orang Asing membeli sarusun yang berdiri di atas tanah HGB
menunjukkan kejanggalan: (a) jika kemudian sarusun tersebut dimiliki oleh WNI, “diskon” tidak berlaku lagi!; (b)
lalu, apa bedanya dengan membeli sarusun di atas tanah sewa (aset atau tanah wakaf) ?; (c) alat bukti
kepemilikan sarusun di atas tanah sewa adalah SKBG yang memuat tentang benda dan bangunan bersama.
Konstruksi PP No. 18 Tahun 2021 lebih cocok untuk sarusun yang berdiri di atas tanah sewa, bukan di atas tanah
hak ; (d) Orang Asing yang membeli sarusun yang berdiri di atas di tanah HGB tidak dapat menjadikan sarusunnya
sebagai jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan (HT) karena tidak memiliki tanah-bersama. Kerancuan
dan ketidakpastian hukum ini perlu diklarifikasi (antara PP No. 18 Tahun 2021 dengan PP No. 13 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Rusun)
MS-0921 1212
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
Usulan jalan keluar
Perlu dipertimbangkan kembali untuk taat asas pada UUPA. Alasan bahwa HP tidak diminati
oleh pelaku pembangunan rusun karena jangka waktunya “kurang” dibandingkan dengan HGB
dan bahwa HP itu tidak “bankable”, dipatahkan dengan pengaturan tentang jangka waktu HP
(30, ditambah 20, ditambah 30 tahun) dan penegasan bahwa HP merupakan objek HT. Dari
segi keluasan penggunannya, HP justru lebih fleksibel dibandingkan dengan HGB.

MS-0921 1313
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
II. Beberapa Isu Krusial dalam PP No. 18 Tahun 2021 dan Gagasan tentang
Jalan Keluarnya
D. Penegasan tak berlakunya lagi alat bukti hak lama, khususnya terkait dengan tanah bekas milik adat.
Rincian persyaratan dalam Permen ATR/Ka BPN No. 16 Tahun 2021, khususnya terkait jangka waktu penguasaan 20
tahun atau lebih berturut-turut, perlu menyesuaikan diri dengan Pasal 24 PP No. 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan yang menyatakan bahwa syarat penguasaan tanah minimal 5 tahun secara terus-menerus.
E. Permasalahan jangka waktu permohonan pembaharuan hak atas tanah 2 tahun setelah hak berakhir. Apakah hal ini
berlaku secara umum atau, apakah ada pengecualiannya?
Hal ini terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan tanah objek reforma agraria (TORA)
yang berasal dari hapusnya hak atas tanah yang jelas terpengaruh dengan adanya “jeda” selama 2 tahun, untuk dapat
ditetapkan sebagai tanah negara.
F. PP No. 18 Tahun 2021 belum mengatur tentang pembatasan penguasaan tanah bagi badan hukum walaupun telah
diamanatkan dalam Pasal 17 ayat (1) UUPA.
Jika untuk tanah pertanian luas maksimum dibatasi tak lama setelah UUPA lahir melalui UU No. 56 Prp Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, melihat ketimpangan penguasaan tanah selama ini dan potensinya untuk
semakin berkembang dengan berlakunya UUCK, sudah saatnya pemerintah mengatur tentang pembatasan penguasaan
tanah oleh badan hukum, sebagaimana pernah dirumuskan dalam Naskah Awal RUU Pertanahan versi 2013.

MS-0921 1414
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
Usulan jalan keluar
1. Jangka waktu penguasaan tanah bagi tanah bekas milik adat agar dirubah menjadi 5 tahun,
analog dengan PP No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
2. Pemberian kesempatan memohon pembaharuan hak atas tanah 2 tahun setelah hak aats
tanahnya berakhir, agar diatur lebih lanjut supaya tidak menghambat proses pengadaan
tanah dan penetapan TORA yang objeknya bekas hak atas tanah.
3. Perlu diatur tentang pembatasan penguasaan tanah oleh badan hukum.

MS-0921 1515
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
Penutup
Pengaturan pengelolaan pertanahan yang akan datang
1. Proses: selaras dengan Konstitusi dan asas demokrasi; berlandaskan peraturan tentang
pembentukan regulasi yang didalamnya memuat tentang Regulatory Impact Assessment
(RIA).

2. Substansi: menjamin keadilan, kepastian hukum dan keberlanjutan


a. Menjamin kepastian hukum: aturan dirumuskan dengan jelas, dapat diakses publik
dan ditegakkan secara konsisten serta dibentuk untuk memenuhi kebutuhan sebagian
besar masyarakat.
b. Berkeadilan: penguasaan dan pemanfaatan tanah memperhatikan (a) distribusi dan
pemerataan; (b) perlindungan masyarakat marjinal/kelompok rentan; dan (c)
pemulihan hak.
c. Berkelanjutan, artinya fokus pada keberlanjutan kapasitas produksi, kapasitas sosial
dan kapasitas ekologis.

MS-0921 1616
MS_0921 • Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
• Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels
Terima kasih
Yogyakarta, 20 September 2021

Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels, diambil dari Indonesia.go.id MS-0921 17
Persawahan di Tegalarang, Bali. Foto: Kimberly McNeilus/ Pexels

Anda mungkin juga menyukai