Anda di halaman 1dari 12

RUANG

LINGKUP DAN
SEJARAH
KRITIK TEKS
Andi Mutmainna Milasari Daud (1955041019)
Arun Sanjaya (1955041008)
Gusnawati (1955041025)
Nurhikma (1955041020)
Kurnia (1955041005)
Kritik sastra adalah bagian dari ilmu
sastra. Istilah lain yang sering
digunakan para pengkaji sastra
untuk hal yang sama ialah telaah
sastra, kajian sastra, analisis sastra,
dan penelitian sastra. Istilah-istilah
tersebut digunakan untuk
menghindari kata kritik yang
terkesan negatif, terkesan
menghakimi.
RUANG LINGKUP KRITIK TEKS

Kegiatan kritik sastra pertama kali dilakukan oleh bangsa


Yunani yang bernama Xenophanes dan Heraclitus. Mereka
mengecam pujangga Yunani yang bernama Homerus yang
gemar menceritakan kisah dewa-dewi. Para pujangga
Yunani menganggap karya-karya Homerus tentang kisah
dewadewi tidak baik dan bohong. Peristiwa kritik sastra ini
diikuti oleh kritikuskritikus berikutnya di Yunani seperti
Aristophanes( 450-385 sM), Plato (427- 347 sM), dan
Aristoteles murid Plato (384-322 sM).
RUANG
LINGKUP Buku tentang kritik sastra yang dianggap
cukup lengkap dan merupakan sumber
KRITIK pengertian kritik sastra modern ialah karya
SASTRA Julius Caesar Scaliger (1484-1585) yang
berjudul Criticus. Di dalamnya memuat
tentang perbandingan antara pujangga-
pujangga Yunani dan Latin dengan titik
berat kepada pertimbangan, penyejajaran,
dan penghakiman terhadap Homerus.
Kemudian muncul pula istilah criticism
yang digunakan penyair Jhon Dryden
(Inggris, 1677). Semenjak itu istilah
criticism lebih banyak digunakan dari pada
istilah critic karena dianggap memiliki
pengertian yang lebih fleksibel.
RUANG Di Indonesia istilah kritik sastra secara akademis
LINGKUP baru dikenal pada sekitar awal abad kedua puluh
setelah para sastrawan memperoleh pendidikan
KRITIK sastra di negara barat. Tetapi bukan berarti belum
pernah terjadi kritikan terhadap karya pujangga
SASTRA pada masa sebelumnya. Dibakarnya syairsyair
Nuruddin Ar-Raniri yang memuat ajaran mistik
yang bertentangan dengan ajaran agama Islam,
dilarangnya beredar buku sastra suluk Jawa, Kitab
Darmagandul dan Suluk Gatoloco, juga karena tidak
sesuai dengan ajaran agama Islam, serta dilarangnya
beredar buku-buku sastra oleh pemerintah karena
dianggap bertentangan dengan kepentingan umum
dan negara, membuktikan bahwa kegiatan kritik
sastra telah pernah ada sebelumnya. Tentunya
kegiatan kritik sastra seperti itu tidak dapat
digolongkan ke dalam kritikan sastra dalam arti
yang sesungguhnya karena tidak berbentuk tulisan
dan tidak menggunakan sistematika kritik sastra.
RUANG
LINGKUP Untuk membuat suatu kritik yang baik,
tentunya diperlukan kemampuan mengapresiasi
KRITIK sastra, pengalaman yang banyak dalam
menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra,
SASTRA penguasaan dan pengalaman yang cukup dalam
kehidupan yang bersifat nonliterer, serta
tentunya penguasaan tentang teori sastra.
Dengan demikian kritikan yang diberikan
terhadap suatu karya sastra menjadi kritikan
yang bermakna bagi pengembangan karya
sastra itu sendiri.
Contoh:
Salah satu contoh kritik sastra dapat Anda baca
pada kutipan kritik HB. Yasin dalam bukunya
analisis terhadap cerita pendek Rijono Pratiknjo
yang berjudul Kepanjangannya berikut ini.
SEJARAH TEORI PERKEMBANGAN KRITIK SASTRA
Teori sastra (literary theory) di Indonesia secara praksis sering kali
dipahami juga sebagai kritik sastra (criticism). Sementara kritik
sastra tidak jarang diperlakukan sebagai pendekatan (approaches to
literature). Dalam hal ini, kritik sastra dianggap merupakan
pendekatan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk
berbagai kepentingan penelitian terhadap karya sastra
konkret. Demikianlah, dalam banyak perbincangan, baik teori
sastra maupun pendekatan atau penelitian sastra, hampir selalu
ditempatkan dalam pengertian sebagai kritik sastra. Atau di bagian
lain, teori sastra dikatakan juga sebagai teori kritik sastra. Jadi,
pembicaraan mengenai strukturalisme atau semiotik, misalnya,
dianggap sebagai bagian dari pembicaraan teori kritik sastra.
SEJARAH TEORI PERKEMBANGAN
KRITIK SASTRA
Dalam ilmu sastra, ada tiga bidang kegiatan
penelitian yang berkaitan dengan sastra dan
kesastraan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan
satu dengan lainnya. Keberadaan masing-
masing bidang bersifat saling melengkapi,
komplementer dan saling mendukung.
Mengingat sifatnya itu, ketiga bidang itu dapat
dimasukkan ke dalam tiga wilayah kegiatan
penelitian yang bersifat teoretis (teori sastra –
literary theory), historis (sejarah sastra –
literary history), dan kritis (kritik sastra –
literary criticism).
SEJARAH TEORI PERKEMBANGAN
KRITIK SASTRA
Kritik sastra di Indonesia, secara praksis telah dimulai
sejak Pandji Poestaka membuka rubrik atau ruangan
“Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir
Alisjahbana. Dalam rubrik itu, Alisjahbana banyak
mengulas dan memberi tanggapan atas sejumlah puisi yang
dikirim ke majalah itu, dan juga  membandingkannya
dengan syair. Di samping itu, ia juga menyampaikan
pandangannya mengenai apa yang disebutnya sebagai
“Kesusastraan Baru” dengan berbagai ciri-cirinya. Dengan
konsep kesusastraan baru yang diajukannya itu, ia
melakukan interpretasi dan evaluasi atas puisi-puisi yang
dibicarakannya. Dengan begitu, Alisjahbana sesungguhnya
tidak hanya sudah melakukan praktik kritik sastra, tetapi
juga memulai pembicaraan mengenai teori sastra. Dalam
ruang “Memadjoekan Kesoesasteraan” (Pandji Poestaka,
edisi Mei 1932), Alisjahbana menurunkan artikel berjudul
“Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe”.
SEJARAH TEORI PERKEMBANGAN KRITIK SASTRA
Tak dapat dinafikan pengaruh Aliran Rawamangun dalam pengajaran
teori dan kritik sastra di berbagai universitas di Indonesia. Dengan
begitu, teori-teori sastra Barat juga terus mengalir ke berbagai
institusi pendidikan. Ada beberapa hal yang mendukung kuatnya
pengaruh Aliran Rawamangun ini.
Pertama, adanya penataran-penataran sastra yang diselenggarakan
atas kerja sama FSUI dan Pusat Pembinaan dan Pengambangan
Bahasa yang pesertanya berasal dari berbagai universitas di
Indonesia, telah ikut mempercepat penyebaran pengaruh aliran ini.
Kedua, dimasukkannya mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu
bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra di
Indonesia, telah mengharuskan semua institusi (Fakultas Sastra di
berbagai universitas di Indonesia) menyertakan kuliah kritik sastra.
Dalam hal ini, mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu mata
kuliah wajib yang berlaku dalam kurikulum nasional.
Ketiga, diterbitkannya sejumlah skripsi (tugas akhir kesarjanaan) ikut
pula mendukung dan mengukuhkan pengaruh kritik sastra Aliran
Rawamangun.
Keempat, adanya penyeragaman istilah-istilah di bidang sastra, makin
meluaskan penyebaran pengaruhnya. Dalam hal itu, sumbangan
Aliran Rawamangun, penting artinya dalam merumuskan istilah
sendiri, meski dasar pemikirannya dari teori Barat.
SEJARAH TEORI PERKEMBANGAN KRITIK SASTRA
Sementara institusi pendidikan seperti tersihir mengagumi
teori sastra Barat, kita sendiri memang tak dapat mengabaikan
keberadaan dan kontribusinya. Meski begitu, membutatulikan
diri pada usaha-usaha yang telah dicoba oleh para pemikir kita,
juga tidaklah elok. Oleh karena itu, sambil kita mempelajari
segala teori sastra dari Barat itu, seyogianya kita juga
membuka sejarah dan pemikiran yang tercatat dalam berbagai
media massa. Siapa tahu, dari tumpukan sejarah dan ceceran
lembaran majalah dan surat kabar, kita menemukan teori sastra
yang khas milik bangsa sendiri, seperti yang ditunjukkan
Hoesein Djajadiningrat, Amir Hamzah, dan Intojo mengenai
pantun.
Dengan demikian, pengenalan teori dan kritik sastra Barat itu,
sekadar alat yang boleh digunakan dalam mengenalisis karya-
karya sastra Indonesia. Jika tidak cocok, tentu saja kita boleh
menggunakan teori lain yang lebih tepat, atau kita cobakan
teori yang kita rumuskan sendiri. Paling tidak, usaha-usaha ke
arah itu memang sudah pernah dilakukan.
 
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai