Metodologi Rasional (Manhaj Aqli)
Metodologi Rasional (Manhaj Aqli)
(MANHAJ ‘AQLI)
AHLUSSUNNAH WAL-JAMAAH
DALAM AKIDAH
MANHAJ ‘AQLI DALAM
AL-QUR’AN AL-KARIM
.)3 (اإلنسان .ًيل ِإ َّما َشاكِراً َوِإ َّما َك ُفورا
َ
ِالسب
َّ اه
ُ َنيْ د
َ ه
َ اَّ
ن ِإ
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada
yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. al-Insan : 3).
.الس ِعي ِر ِ َأص َح
َّ اب يفِ وقَالُوا لَو ُكنَّا نَسمع َأو َنع ِقل ما ُكنَّا
.)10 (امللك ْ َ ُ ْ ْ َُْ ْ َ
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau
memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. al-
Mulk : 10).
.ص ْينَاهُ ِفي ِإ َم ٍام ُمبِي ٍن أح ٍ وُك َّل َشي
ء
.)12 (يس َ ْ ْ َ
Dan segala sesuatu Kami himpun dalam Kitab Induk
yang nyata (Lauh mahfuz). (QS. Yasin : 12).
Ayat di atas menegaskan, bahwa segala sesuatu yang
ada telah dicatat dan dihimpun dalam kitab induk
yang nyata yang disebut dengan lauh mahfuzh. Hal
ini membuktikan bahwa semua makhluk yang ada ini
terbatas. Sangat mustahil, sesuatu yang tidak terbatas
dihimpun dan dikumpulkan menjadi satu.
DALIL BAHWA TUHAN
BERSIFAT IRADAH DAN
MAMPU MENCIPTAKAN
Tuhan yang menciptakan alam, wajib memiliki sifat iradah,
yaitu melakukan sesuatu berdasarkan kehendak dan pilihan-
Nya, bukan karena terpaksa. Dalil tentang sifat tersebut adalah
ayat berikut ini:
.)59 – 58 (الواقعة . َأَأنتُ ْم تَ ْخلُ ُقونَهُ َْأم نَ ْح ُن الْ َخالِ ُقو َن، َأ َف َر َْأيتُم َّما تُ ْمنُو َن
Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu
pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kami kah
yang menciptakannya? (QS. al-Waqi’ah : 58-59).
Ayat di atas memberikan penjelasan, bahwa seorang laki-laki
yang memancarkan spermanya ke rahim istrinya, belum tentu
bisa memciptakan anak, meskipun ia sangat mendambakannya.
Hal ini mengingatkan, bahwa Tuhan itu adalah Dzat yang
mudah menciptakan makhluk sesuai dengan rencana dan
kehendaknya.
TEORI BAHWA TENGGELAM
DAN BERGESER MENJADI
BUKTI KETIDAK ABADIAN
Bacalah kisah Nabi Ibrahim , ketika
melihat, berfikir dan merenungkan
bintang-bintang, matahari dan bulan.
Ketika ia bermaksud membatalkan asumsi
kaumnya yang mempertuhankan selain
Allah, ia berpikir secara rasional bahwa
bintang-bintang, matahari dan bulan
tersebut selalu berubah, tenggelam,
bergerak dan berpindah dari satu kondisi
ke kondisi yang lain, dan demikian itu
menunjukkan bahwa perubahan tersebut
tidak boleh terjadi pada Tuhan.
.ينِب اآلفِل
ُّ ِ ال ال
ُأح َ ق
َ ل ف
َ َأ ا م
َّ ل
َ ف
َ ي ب
ِّر ا ذ
َ ه ال
َ ق
َ ا
ً بكَو ك
َ َأى
ر ل ي َّ
ل ال ِ َفلَ َّما ج َّن َعلَي
ه
(األنعام َ َ َ َ ْ َُ ْ ْ َ
.)76
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang
(lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu
tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".
(QS. al-An’am : 76).
Ayat di atas memberikan pengertian, bahwa perubahan bintang
dari kelihatan, kemudian tenggelam, membuktikan bahwa
bintang itu bukan Tuhan. Karena bergeser dan tenggelam
bukanlah sifat Tuhan, akan tetapi sifat makhluk yang baru.
Orang-orang Arab dulu meyakini bahwa Matahari itu berputar
mengelilingi bumi dan terbenam dengan sendirinya.
Tenggelamnya Matahari yang mereka saksikan adalah gerakan
yang mereka namakan aful (tenggelam), karena tenggelam berarti
bergerak dan lenyap. Demikian penafsiran ulama salaf terhadap
ayat tersebut.
Al-Imam Qatadah bin Du’amah al-Sadusi (w. 118 H)
berkata:
علم أن ربه.... بعدما أراه اهلل ملكوت السماوات ذكر لنا نبي اهلل إبراهيم
دائم ال يزول
Nabi Ibrahim menyebutkan kepada kita, setelah
Allah memperlihatkan kerajaan langit padanya, maka
ia meyakini bahwa Tuhannya kekal dan tidak lenyap.
(Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 4 hlm 1329 [7515], al-
Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, juz 9
hlm 356 dan Tafsir Ibnu Katsir hlm 700). Qatadah
juga menafsirkan lafal afilin dengan makna lenyap.
(Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 4 hlm 1329 [7516]).