Anda di halaman 1dari 22

METODOLOGI RASIONAL

(MANHAJ ‘AQLI)
AHLUSSUNNAH WAL-JAMAAH
DALAM AKIDAH
MANHAJ ‘AQLI DALAM
AL-QUR’AN AL-KARIM
.)3 ‫(اإلنسان‬ .ً‫يل ِإ َّما َشاكِراً َوِإ َّما َك ُفورا‬
َ
ِ‫السب‬
َّ ‫اه‬
ُ َ‫ن‬‫ي‬ْ ‫د‬
َ ‫ه‬
َ ‫ا‬َّ
‫ن‬ ‫ِإ‬
 
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada
yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. al-Insan : 3).
 
.‫الس ِعي ِر‬ ِ ‫َأص َح‬
َّ ‫اب‬ ‫ي‬‫ف‬ِ ‫وقَالُوا لَو ُكنَّا نَسمع َأو َنع ِقل ما ُكنَّا‬
.)10 ‫(امللك‬ ْ َ ُ ْ ْ َُْ ْ َ
 
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau
memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. al-
Mulk : 10).

Dalam kedua ayat tersebut, al-Qur’an


memperhatikan peran akal dalam mengantar
seseorang menuju keimanan dan amal yang baik
ketika di dunia.
Al-Imam Abu Hanifah  menjelaskan fungsi akal :
 
، ‫ ونهاهم عن الكفر والكفران‬، ‫وجعل لهم عقالً فخاطبهم وأمرهم باإليمان‬
، ‫ فهم يولدون على تلك الفطرة‬، ً‫ فكان ذلك منهم إيمانا‬، ‫فأقروا له بالربوبية‬
ُّ
َّ ‫ ومن آمن‬، ‫بدل وغيَّر‬
‫وصدق ثبت عليه ودام‬ َّ ‫ومن كفر بعد ذلك فقد‬
 
Allah menciptakan akal buat mereka, lalu Dia berbicara kepada
mereka, memerintahkan mereka dengan keimanan dan
melarang mereka dari kekufuran, maka mereka mengakui
ketuhanan kepada-Nya. Maka hal itulah yang disebut
keimanan bagi mereka. Mereka dilahirkan dalam fitrah
tersebut. Maka barangsiapa yang kufur setelah itu, maka ia
berarti telah merubah fitrahnya. Dan barangsiapa yang beriman
dan membenarkan, berarti ia masih kokoh dan tetap dalam
fitrahnya. (Ali al-Qari, Minah al-Raudh al-Azhar fi Syarh al-Fiqh al-
Akbar, hlm 146-148).
DALIL TAMANU’ DAN
TAWARUD DALAM AL-
QUR’AN
Dalam pokok-pokok ketauhidan, dalil-dalil rasional ilmu kalam
diambil dari beberapa ayat al-Qur’an berikut ini:
 
.‫س َدتَا‬ ‫ف‬
َ ‫ل‬
َ ‫اهلل‬ َّ
‫ال‬ ‫ِإ‬ ‫ة‬
ٌ ‫ه‬ِ‫لَو َكا َن ِفي ِهما آل‬
.)22 ‫(األنبياء‬
َ ُ َ َ ْ
 
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu telah rusak binasa. (QS. al-Anbiya’ : 22)
 
Ayat di atas sangat lugas dan ringkas dalam menyampaikan dalil ‘aqli
tentang keesaan Tuhan, bahwa Allah itu Maha Esa tanpa ada sesuatu
yang menjadi sekutu-Nya. Allah  juga berfirman:
 
َ‫ب ُك ُّل ِإلَ ٍه بِ َما َخلَ َق َولَ َعال‬ ‫ه‬ ‫ذ‬
َ َّ
‫ل‬ ‫ا‬
ً ‫ذ‬‫ِإ‬ ٍ َ‫ما اتَّ َخ َذ اهلل ِمن ولَ ٍد وما َكا َن معهُ ِمن ِإل‬
‫ه‬
َ َ ْ ََ ََ َ ُ َ
.)91 ‫) املؤمنون‬.‫ض‬ ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى َب ْع‬
ُ ‫َب ْع‬
 
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada
tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-
masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan
sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.
(QS. al-Mu’minun : 91).
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:
 
.)16 ‫(الرعد‬ .‫ْق َعلَْي ِه ْم‬
‫ل‬ ‫خ‬ْ‫ل‬‫ا‬ ‫ه‬‫اب‬
ُ َ ََ َ َ ‫ش‬ ‫ت‬ ‫ف‬
َ ِ
‫ه‬ ِ
‫ْق‬‫ل‬‫خ‬َ ‫ك‬
َ ‫ا‬
ْ‫و‬ ‫ق‬
ُ ‫ل‬
َ ‫خ‬ ِ
َ َ ُ ْ‫أم َج َعلُوا‬
‫اء‬ ‫ك‬
َ‫ر‬‫ش‬ ‫هلل‬
 
Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi
Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya
sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan
mereka? (QS. al-Ra’d : 16).
 
Ayat-ayat di atas adalah rujukan para ulama ahli ilmu
kalam dalam berhujjah tentang ketauhidan Allah.
Demikian pula pembicaraan mereka tentang rincian
cabang-cabang persoalan tauhid dan keadilan Tuhan,
juga merujuk dan diambil dari al-Qur’an.
TEORI PERKARA BARU
ADA PERMULAANNYA
Para ulama ahli kalam
memperbincangkan, bahwa semua perkara
yang baru ini pasti ada permulaannya.
Mereka juga membantah terhadap kaum
ateis yang mengatakan bahwa setiap
gerakan pasti didahului oleh gerakan
sebelumnya, dan setiap hari pasti
didahului oleh hari sebelumnya tanpa
batas, serta terhadap mereka yang
berpendapat bahwa setiap bagian pasti
dapat dibagi menjadi dua tanpa ada batas
akhirnya.
‫ (ال عدوى وال صفر‬: ‫ قال رسول اهلل‬: ‫ أنه قال‬ ‫عن أبي هريرة‬
‫ فما بال اإلبل تكون في‬.‫ يا رسول اهلل‬: ‫ فقال أعرابي‬.‫وال هامة‬
‫ فيجيء البعير األجرب فيدخل فيها فيجربها‬، ‫الرمل كأنها الظباء‬
‫ رواه مسلم‬.‫ابي‬
ُ ‫ر‬‫األع‬ ‫فسكت‬ ‫؟‬ ‫األول‬ ‫أعدى‬ ‫فمن‬ : ‫قال‬ ‫؟‬ ‫كلها‬
 
Dari Abu Hurairah , berkata: “Rasulullah  bersabda:
“Tidak ada penyakit yang menular, tidak ada sial di bulan
Safar, dan tidak ada hammah”. Lalu seorang a’rabi bertanya:
“Wahai Rasulullah, bagaimana dengan unta sehat berkumpul
dengan unta kudisan kulitnya, sehingga unta tersebut
menjadi kudisan pula?” Beliau menjawab: “Lalu siapa yang
menularkan (kudis) pada unta yang kudisan pertama?” Lalu
orang a’rabi itu diam. (HR. Muslim [2220]).
 
Hadits di atas sangat tegas, bagi setiap kejadian ada
permulaannya.
TEORI ANALOGI DAN
BATALNYA TASALSUL
Para ulama ahli kalam juga membantah
terhadap mereka yang berasumsi bahwa
setiap gerakan pasti didahului oeh gerakan
sebelumnya. Menurut ahli kalam,
seandainya setiap gerakan pasti didahului
oleh gerakan sebelumnya tanpa ada batas,
tentu gerakan tersebut tidak pernah terjadi.
Karena sesuatu (makhluk) yang tidak
terbatas memang tidak pernah terjadi.
Dalam teori ilmu kalam, hal ini disebut
dengan istilah tasalsul, mata rantai yang
tidak terbatas.
‫ إن امرأتي‬: ‫ فقال‬ ‫ جاء رجل من بني فزارة إلى النبي‬: ‫ أنه قال‬ ‫عن أبي هريرة‬
‫ فما ألوانها‬: ‫ قال‬، ‫ نعم‬: ‫ هل لك من إبل ؟ قال‬: ‫ولدت غالماً أسود فقال النبي‬
‫ فأنى أتاها‬: ‫ قال‬، ً‫ إن فيها لورقا‬: ‫ هل فيها من أورق ؟ قال‬: ‫ حمر قال‬: ‫؟ قال‬
.‫ وهذا عسى أن يكون نزعه عرق‬: ‫ قال‬، ‫ عسى أن يكون نزعه عرق‬: ‫ذلك ؟ قال‬
 
Abu Hurairah  berkata: “Seorang laki-laki dari Bani Fazarah
datang kepada Nabi , lalu berkata: “Sesungguhnya istriku telah
melahirkan seorang anak laki-laki yang berkulit hitam.” Nabi 
berkata: “Apakah kamu mempunyai unta?” Ia menjawab: “Iya.”
Beliau bertanya: “Apa warna unta-untamu?” Ia menjawab:
“Merah-merah.” Beliau bertanya lagi: “Adakah yang berwarna
hitam keabu-abuan?” Ia menjawab: “Iya, ada yang berwarna hitam
keabu-abuan.” Beliau bertanya: “Dari mana untamu yang
berwarna seperti itu?” Ia menjawab: “Barangkali menyerupai unta
asalnya.” Beliau berkata: “Barangkali anakmu juga menyupai
asalnya (nenek moyangnya)”. (HR. Muslim, [1500]).
Dalam hadits tersebut, Rasulullah 
mengajarkan kita agar menganalogikan
sesuatu dengan padanannya. Apabila unta-
unta yang merah dapat melahirkan anak yang
berwarna hitam keabu-abuan, maka tidak
menutup kemungkinan, seorang suami-istri
yang berkulit putih melahirkan anak yang
berkulit hitam. Hadits di atas menjadi dalil
para ulama ahli kalam dalam
menganalogikan hukum sesuatu dengan
padanannya atau yang menyerupainya.
TEORI TERBAGINYA
BENDA PADA JISIM DAN
JAUHAR
Para ulama ahli kalam juga berpendapat bahwa benda
(jisim) itu ada batasnya dan sampai pada bagian yang
tidak terbagi lagi (juz’ la yanqasim) yang disebut
dengan jauhar. Pendapat ini didasarkan pada ayat al-
Qur’an:
 

.‫ص ْينَاهُ ِفي ِإ َم ٍام ُمبِي ٍن‬ ‫أح‬ ٍ ‫وُك َّل َشي‬
‫ء‬
 
.)12 ‫(يس‬ َ ْ ْ َ
Dan segala sesuatu Kami himpun dalam Kitab Induk
yang nyata (Lauh mahfuz). (QS. Yasin : 12).
 
Ayat di atas menegaskan, bahwa segala sesuatu yang
ada telah dicatat dan dihimpun dalam kitab induk
yang nyata yang disebut dengan lauh mahfuzh. Hal
ini membuktikan bahwa semua makhluk yang ada ini
terbatas. Sangat mustahil, sesuatu yang tidak terbatas
dihimpun dan dikumpulkan menjadi satu.
DALIL BAHWA TUHAN
BERSIFAT IRADAH DAN
MAMPU MENCIPTAKAN
Tuhan yang menciptakan alam, wajib memiliki sifat iradah,
yaitu melakukan sesuatu berdasarkan kehendak dan pilihan-
Nya, bukan karena terpaksa. Dalil tentang sifat tersebut adalah
ayat berikut ini:
 
.)59 – 58 ‫(الواقعة‬ .‫ َأَأنتُ ْم تَ ْخلُ ُقونَهُ َْأم نَ ْح ُن الْ َخالِ ُقو َن‬، ‫َأ َف َر َْأيتُم َّما تُ ْمنُو َن‬
 
Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu
pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kami kah
yang menciptakannya? (QS. al-Waqi’ah : 58-59).
 
Ayat di atas memberikan penjelasan, bahwa seorang laki-laki
yang memancarkan spermanya ke rahim istrinya, belum tentu
bisa memciptakan anak, meskipun ia sangat mendambakannya.
Hal ini mengingatkan, bahwa Tuhan itu adalah Dzat yang
mudah menciptakan makhluk sesuai dengan rencana dan
kehendaknya.
TEORI BAHWA TENGGELAM
DAN BERGESER MENJADI
BUKTI KETIDAK ABADIAN
Bacalah kisah Nabi Ibrahim , ketika
melihat, berfikir dan merenungkan
bintang-bintang, matahari dan bulan.
Ketika ia bermaksud membatalkan asumsi
kaumnya yang mempertuhankan selain
Allah, ia berpikir secara rasional bahwa
bintang-bintang, matahari dan bulan
tersebut selalu berubah, tenggelam,
bergerak dan berpindah dari satu kondisi
ke kondisi yang lain, dan demikian itu
menunjukkan bahwa perubahan tersebut
tidak boleh terjadi pada Tuhan.
.‫ين‬ِ‫ب اآلفِل‬
ُّ ِ ‫ال ال‬
‫ُأح‬ َ ‫ق‬
َ ‫ل‬ ‫ف‬
َ ‫َأ‬ ‫ا‬ ‫م‬
َّ ‫ل‬
َ ‫ف‬
َ ‫ي‬ ‫ب‬
ِّ‫ر‬ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ‫ه‬ ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ ‫ا‬
ً ‫ب‬‫ك‬َ‫و‬ ‫ك‬
َ ‫َأى‬
‫ر‬ ‫ل‬ ‫ي‬ َّ
‫ل‬ ‫ال‬ ِ ‫َفلَ َّما ج َّن َعلَي‬
‫ه‬
‫(األنعام‬ َ َ َ َ ْ َُ ْ ْ َ
.)76
 
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang
(lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu
tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".
(QS. al-An’am : 76).
 
Ayat di atas memberikan pengertian, bahwa perubahan bintang
dari kelihatan, kemudian tenggelam, membuktikan bahwa
bintang itu bukan Tuhan. Karena bergeser dan tenggelam
bukanlah sifat Tuhan, akan tetapi sifat makhluk yang baru.
Orang-orang Arab dulu meyakini bahwa Matahari itu berputar
mengelilingi bumi dan terbenam dengan sendirinya.
Tenggelamnya Matahari yang mereka saksikan adalah gerakan
yang mereka namakan aful (tenggelam), karena tenggelam berarti
bergerak dan lenyap. Demikian penafsiran ulama salaf terhadap
ayat tersebut.
Al-Imam Qatadah bin Du’amah al-Sadusi (w. 118 H)
berkata:

‫ علم أن ربه‬.... ‫ بعدما أراه اهلل ملكوت السماوات‬ ‫ذكر لنا نبي اهلل إبراهيم‬
‫دائم ال يزول‬
 
Nabi Ibrahim  menyebutkan kepada kita, setelah
Allah memperlihatkan kerajaan langit padanya, maka
ia meyakini bahwa Tuhannya kekal dan tidak lenyap.
(Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 4 hlm 1329 [7515], al-
Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, juz 9
hlm 356 dan Tafsir Ibnu Katsir hlm 700). Qatadah
juga menafsirkan lafal afilin dengan makna lenyap.
(Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 4 hlm 1329 [7516]).

Anda mungkin juga menyukai