LOGO
Istilah hukum konsumen dan HPK sangat sering terdengar. Az. Nasution
berpendapat bahwa HPK merupakan bagian dari hukum konsumen yang
memuat azas-azas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan melindungi
kepentingan konsumen.
Azas-azas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah
konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum seperti hukum
perdata, dagang, hukum pidana, hukum administrasi Negara dan hukum
internasional terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan
kepentingan-kepentingan konsumen.
Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum.
Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan
perlindungan kepada masyarakat. Shidarta berpendapat sebenarnya hukum
konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum
yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Aspek perlindungannya misalnya
bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguang
pihak lain.
Selanjutnya dalam pasal 1 angka 1 UUPK diberikan definisi perlindungan
konsumen adalah : Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Azas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang
sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si
konsumen. Dalam perkembangannya konsumen tidak mendapat akses
informasi
yang sama terhadap barang dan/atau jasa yang dikonsumsi. Menurut
prinsip ini, ada suatu hubungan jual beli keperdataan, yang wajib
berhati-hati adalah pembeli. Adalah kesalahan pembeli (konsumen) jika ia
sampai membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak.
Dengan adanya UUPK, kecendrungan let the buyer beware mulai
diarahkan menuju pelaku usaha yang perlu hati-hati
Prinsip kedua :
Deklarasi ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-
hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa selama berhati-
hati dengan produknya ia tak dapat dipersalahkan dan tidak menyalahkan
pelaku usaha, seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha melanggar
prinsip
kehati-hatian. hukum pembuktian di Indonesia pada umumnya menganut
beban pembuktian pada si penggugat.
Pasal 1865 BW : Barang siapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau
untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk
pada suatu peristiwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau
peristiwa tersebut. Dalam realita sulit bagi konsumen untuk menghadirkan
Prinsip ketiga
Prinsip ini merupakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi
konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin
suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal
diluar yang diperjanjikan.
Prinsip keempat
seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip ini tidak
mungkin lagi dipertahankan. Secara mutlak untuk mengatur hubungan antara
pelaku usaha dan konsumen. Jadi, kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk
menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum
Prinsip Pertanggungjawaban dalam Perlindungan Konsumen
LPKSM adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh
pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mengatur tugas dan wewenang LPKSM sebagaimana dalam Pasal 44 yakni
sebagai berikut
a. Pengadilan
A. Konsiliasi
Penyelesaian sengketa yang inisiatifnya datang dari satu pihak atau para pihak
dengan didampingi oleh Majelis BPSK sebagai konsiliator atau perantara yang
bersifat pasif.
B Mediasi
Penyelesaian sengketa yang inisiatifnya datang dari
satu pihak atau para pihak dengan didampingi oleh majelis BPSK sebagai
mediator atau perantara yang bersifat aktif. Bedanya dengan cara konsiliasi,
dimana majelis BPSK sebagai perantara bersifat pasif.
C. Arbitrase
Penyelesaian sengketa konsumen dimana para pihak
menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan dan
menyelesaikan sengketa yang terjadi.