Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN

Sindrom Steven Jhonson


(SSJ)

KELOMPOK : 3
1. H.Norhidayat Sapitri
2. Maliana
3. Normilawati
4. Petiyana
5. Misransyah
. KONSEP DASAR
 Sindrom steven jhonson merupakan kelainan kulit yang bersifat fatal
dan merupakan kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis.
Kondisi ini dipicu oleh penggunaan medikasi. Antibiotik, agens anti
kejang NSAID, dan sulfonamida adalah obat-obatan yang paling sering
menimbulkan kejadian ini. Seluruh permukaan tubuh dapat dipenuhi
oleh eritema dan lepuhan (Brunner & Suddarth, 2013) Sindrom Steven
Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika, yaitu A. M. Steven
dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa disingkat SSJ
merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan. Penyakit ini
umumnya menyerang anak-anak dan dewasa maupun muda, jarang
dijumpai pada anak usia 3 tahun kebawah. Perbandingan antara pria
dan wanita tidak berbeda jauh, di rumah Sakit Ciptomangunkusumo
setiap tahun kira-kira ditemukan 10 kasus. Pada cuaca yang dingin,
penyakit ini sering ditemukan juga adanya faktor fisik pada lingkungan
seperti sinar matahari dan sinar X yang akan mempengaruhi
timbulnya sindrom ini
Lanjutan
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
sindrom steven johnson yaitu suatu sindrom yang terjadi
pada kulit/integumen, dimana seluruh permukaan tubuh
dipenuhi oleh eritema dan lepuhan, yang kebanyakan
diketehui disebabkan oleh respon dari pengobatan, infeksi,
dan terkadang keganasan. Terdapat tiga derajat klasifikasi
yang diajukan menurut (Kusuma & Nurarif, 2015):
1. Derajat 1 : erosi mukosa SSJ dan pelepasan epidermis
kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
Etiologi
Menurut (Porth & Maffin, 2009 dalam Brunner & Suddarth, 2010) sindrom steven johnson
dipicu oleh reaksi obat. Etiologinya tidak diketahui, tetapi kemungkinan berhubungan dengan
sistem imun dan bisa berupa suatu reaksi terhadap obat atau kelainan sekunder akibat infeksi
virus. Antibiotik, antikonvulsan, butazon dan sulfonamid merupakan obat yang paling sering
terlibat. Beberapa penyebab sindrom steven johnson menurut (Kusuma & Nurarif, 2015):
1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks, influenza,
gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-Barr, atau sejenisnya).
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin,
penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin,
ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin).
3. Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4. Faktor idiopatik (hingga 50%).
5. Sindrom steven johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping yang jarang
dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom steven johnson juga mungkin
disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
6. Walaupun SSJ dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi berat
terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotik dan
sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan SSJ, eritem
multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfanomide
(antibiotik), penisilin (antibiotic), berbiturate (sedative), lamotrigin
(antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat
meningkatkan resiko dari terjadinya SSJ.
Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena
reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi
akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi
sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi
netrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran.
Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang
sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang (Muttaqin, 2012).
Manifestasi Klinik
 Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) tanda-tanda awal sindrom steven johnson
antara lain konjungtiva terasa panas atau gatal, nyeri tekan kutaneus, demam,
sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, malaise ekstrem, dan mialgia (nyeri dan
sakit). Dilanjutkan dengan awitan eritema yang cepat yang mengenai sebagian
besar permukaan tubuh dan membran mukosa, munculnya bula yang kaku dan
luas dibeberapa area. Di area lain, lapisan epidermis yang luas mengelupas
sehingga jaringan dermis dibawahnya terlihat kuku kaki, kuku tangan, alis dan
bulu mata dapat rontok, begitu juga dengan epidermis di sekitarnya. Kulit yang
sangat sensitif dan kulit yang mengelupas akan menghasilkan permukaan kulit
yang mengeluarkan cairan, mirip seperti luka bakar partial thickness burn di
seluruh tubuh, kondisi ini disebut juga sindrom kulit melepuh. Pada kasus berat
yang mengenai mukosa, mungkin terdapat bahaya kerusakan pada laring, bronki,
dan esofagus akibat ulserasi. Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak
dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi (30º - 40ºC), mulai nyeri
kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung dua minggu.
Gejala-gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya
kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat
serta menunrunnya kesadaran, soporeus sampai koma (Kusuma & Nurarif, 2015).
1. Kelainan kulit
10 Kelainan kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema mberbentuk seperti cincin (pinggir
eritema tengahnya relatif hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler
berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil. Vesikel kecil dan bulla
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi erupsi
hemorrhagis berupa ptechiae atau purpura. Bila disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk.
Pada keadaan yang berat kelainannya menjadi generalisate.

2. Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut/bibir (100%), kemudian
disusul dengan kelainan di lubang alat genitalia (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% - 4%). Kelainan yang terjadi berupa stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah,
mukosa mulut bagian buccal. Stomatitis merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatiti kemudian
menjadi lebih berat dengann pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi erosi, excoriasi, pendarahan,
ulcerasi, dan dan terbentuk krusta kehitaman. Juga dpaat terbentuk psudomembran. Di bibir kelainan
yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tevbal. Adanya stomatitis ini dapat menyebabkan
penderita sukar menenlan. Kelainan ini di mukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorus
bagian atas, dan esophagus. Terbentuknya pseudommebran di faring dapat memberikan keluhan sukar
bernafas dan penderitanya tidak dapat makan dan minum.

3. Kelainan mata
Kelainan pada mata merupsksn 80% diantara semua kasus, yang sering terjadi ialah conjunctivitis
kataralis. Selain itu dapat terjadi conjunctivitis purulen, pendarahan, simblefaron, ulcus cornea,
iritis/iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga dikenal trias yaitu stomatitis,
conjunctivitis, balanitis, uretritis.
Manifestasi Klinik…
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk mendukung ditegakkannya diagnosis
sindrom steven johnson menurut (Kusuma & Nurarif,
2015), yaitu :
1. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau
eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat
dilakukan kultur darah.
2. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel
mononuklear, oedema, dan esktravasasi sel darah merah.
Degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan
spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh
darah dermal superficial serta terdapat komplek imun
yang mengandung IgG, IgM, IgA.
Penatalaksanaan
 Menurut (Brunner & Suddarth, 2013) sasaran penanganan antara lain
mengontrol keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah sepsis, dan
mencegah komplikasi pada mata. Fokus utama penanganan adalah
pemberian asuhan yang suportif, diantaranya yaitu :
1. Semua pengobatan yang tidak penting dihentikan dengan segera.
2. Jika memungkinkan, pasien dirawat di pusat pengobatan luka bakar.
3. Operasi debridemen atau hidroterapi yang dilakukan di awal untuk
mengangkat kulit yang rusak.
4. Sumpel jaringan dari nasofaring, mata, telinga, darah, urine, kulit,
dan lepuhan yang tidak pecah digunakan untuk mengidentifikasi
pathogen.
5. Cairan intravena diberikan untuk mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit.
6. Penggantian cairan diberikan melalui NGT dan oral secepat
mungkin.
7. Kortikosteroid sistemik diberikan di awal proses penyakit.
lanjutan
8. Pemberian imunoglobulin melalui intravena (IVIG)
dapat mempercepat perbaikan kondisi dan
penyembuhan kulit.
9. Kulit dilindungi dengan agens topikal; antibakteri
topikal dan agens anestesi digunakan untuk mencegah
sepsis pada luka.
10. Balutan biologis sementara (pigskin, membran
amnion) atau balutan plastik semipermeabel (vigilon)
dapat digunakan.
11. Perawatan orofaring dan perawatan mata yang
cermat sangat penting ketika membran mukosa dan
mata mengalami gangguan berat.
Pengkajian
Menurut (Smeltzer, Suzanne C, 2010) inspeksi kulit yang cermat harus
dilakukan, dan penampilan kulit serta luas lesi dicatat. Kulit yang normal
diobservasi secara ketat untuk menentukan apakah timbul daerah-daerah
bula yang baru. Perembasan cairan dari bula dipantau untuk memantau
jumlah, warna dan baunya. Inspeksi rongga mulut untuk mendeteksi
pembentukan bula dan lesi yang terkelupas harus dilakukan setiap hari.
Kondisi pasien dinilai setiap hari untuk menemukan keluhan gatal,
terbakar dan kekeringan pada mata. Kemampuan pasien menelan dan
meminum cairan, di samping kemampuan berbicara secara normal,
ditentukan.
Tanda-tanda vital pasien dimonitor dan diberikan perhatian khusus
terhadap keberadaan serta karakter demam di samping terhadap
frekuensi, dalam serta irama pernapasan dan gejala batuk. Karakteristik
dan jumlah sekresi respiratorius dicatat. Pemeriksaan untuk menilai
panas yang tinggi, takikardia dan kelemahan serta rasa lelah yang ekstrim
sangat penting, karena semua ini menunjukkan proses nekrosis
epidermis, peningkatan kebutuhan metabolik dan kemungkinan
pelepasan jaringan mukosa gastrointestinal serta respiratorius. Volume
urin, berat jenis dan warnanya
Tanda-tanda vital pasien dimonitor dan diberikan perhatian khusus
terhadap keberadaan serta karakter demam di samping terhadap
frekuensi, dalam serta irama pernapasan dan gejala batuk.
Karakteristik dan jumlah sekresi respiratorius dicatat. Pemeriksaan
untuk menilai panas yang tinggi, takikardia dan kelemahan serta rasa
lelah yang ekstrim sangat penting, karena semua ini menunjukkan
proses nekrosis epidermis, peningkatan kebutuhan metabolik dan
kemungkinan pelepasan jaringan mukosa gastrointestinal serta
respiratorius. Volume urin, berat jenis dan warnanya harus dipantau.
Tempat pemasangan jarum infus diinspeksi untuk menemukan
tanda-tanda infeksi setempat. Berat badan pasien dicatat setiap hari
(Smeltzer, Suzanne C, 2010). Kepada pasien diminta untuk
menjelaskan keluhan rasa lelah dan tingkat nyeri yang dirasakannya.
Upaya untuk mengevaluasi tingkat kecemasan pasien harus
dilakukan. Mekanisme koping dasar yang dimiliki pasien dinilai dan
strategi koping yang efektif diidentifikasi (Smeltzer, Suzanne C, 2010)
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien SSJ adalah :
1. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan
perpindahan cairan dari intravaskuler ke dalam rongga
interstisial, hilangnya cairan secara evaporasi, rusaknya
jaringan kulit akibat luka.
2. Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi
lokal
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b.d intake yang tidak adekuat respon sekunder
dari kerusakan krusta pada mokosa mulut
4. Resiko tinggi infeksi b.d penurunan imunitas, dan
hilangnya pertahanan barier , dan adanya pord de
entere pada lesi
5. Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak , erosi jaringan
Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
Keperawatam hasil
1 Kekurangan Dalam waktu 1 X 24 •         Identifikasi penyebab •              Parameter penentu
volume cairan jam tidak terjadi SJS, dan derajat SJS dan faktor kedaruratan. Kehilangan cairan
tubuh kekurangan volume mortalitas berdasarkan scorten dengan derajat II yaitu terdapat bula
berhubungan cairan •         Observasi tanda vital 10-30 %
dengan Kriteria hasil : •         Manitor dan catat cairan •              Dengan memeriksa TTD
perpindahan -        Haluaran yang masuk dan keluar mengetahui perkembangan
cairan dari urine individu •         Kolaborasi skor keadaan pasien
intravaskuler ke adekuat (0,5-1,0 dehidrasi •              Cairan yang diberiakan
dalam rongga mg/kg BB/jam)   dilakukkan menurut program medis
interstisial, -        Urin jernih   volume cairan juga harus sebanding
hilangnya cairan dan berwarna   dengan volume aoutput
secara evaporasi, kuning   •              Menentukan derajat
rusaknya jaringan -        Membran   dehidrasi dan jumalah cairan yang
kulit akibat luka. mukosa lembab   akan di berikan
-        TD normal •              Terapi cairan dan •              Terlebih karena pasien
(100-139/60-96 elektrolit, serta kalori dan sukar atau tidak dapat menelan
mmHg) protein secara parenteral. akibat lesi di mulut dan di
-        Denyut nadi tenggorokan dan kesadaran dapat
(60-100 x/menit) menurun. Untuk itu dapat
-        Kadar diberikan infuse, misalnya
elektrolit serum dekstrosa 5%, NaCl 9% dan ringer
dalam batas laktat berbanding 1:1:1
normal
2 Gangguan Dalam5 X 24 jam •              Kaji kerusakan ·          Menjadai data dasar
integritas kulit integritas kulit jaringan kulit yang terjadi untuk melakukkan intervensi
b.d. inflamasi membaik secara pada klien ·          Menentukan garis dasar
dermal dan optimal •              Manitor dan catat dimana perubahan pada status
epidermal Kriteria hasil : cairan yang masuk dan dapat dibandingkan dan
Pertumbuhan keluar melakukan intervensi yang
jaringan membaik   tepat
    ·          Menurunkan iritasi garis
  jahitan dan tekanan dari baju,
  membiarkan insisi terbuka
  terhadap udara meningkat
  proses penyembuhan dan
  menurunkan resiko infeksi
  ·          Untuk mencegah infeksi
  ·          Untuk mencegah infeksi
  lebih lanjut
•              Lakukkan ·          Tindakan asepsis seperti
intervensi untuk mencuci tanggan, agar tidak
mencegah komplikasi terjadinya sepsis yang meyebar
  ·          Kortikosteroid
•              Kolaborasi merupakan tindakan file-
pemberian kortikosteroid saving dan digunakan
  deksametason intravena
•              Pemeberian ·          Antibiotic di berikan
antibiotik untuk pasien yang infeksi
3. Gangguan Dalam waktu 5 x 24 •              Kaji status nutrisi ·          Lesi oral merupakan
nutrisi kurang jam asupan nutrisi pasien, berat badan, indikasi pemberian nutrisi secara
dari kebutuhan terpenuhi mukoasa oral, kemampuan sonde atau parental
tubuh b.d. Kriteria hasil: menelan, dan riwayat mual  
kesulitan •              Pasien dan muntah ·          SJS merupakan sindrom
menelan dapat •              Evaluasi adanya yang dapat di sebabkan juga oleh
mempertahankan alergi makanan dan kontra alergi makanan
status nutrisi yang indikasi makanan ·          Memberikan pasien/orang
adekuat •              Timbang BB klien terdekat rasa kontrol,
•              Memenuhi meningkatkan partisipasi dalam
kebutuhan perawatan dan dapat
nutrisinya memperbaiki pemasukan
·          Membantu mencegah
distensi gaster/ketidaknyamanan
·          Meningkatkan nafsu makan

 
·          Kalori protein dan vitamin
untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan metabolik,
mempertahankan berat badan
dan mendorong regenerasi
jaringan.
4. Resiko Infeksi Tujuan : tidak •              Monitor tanda-tanda ·          Perubahan tanda vital
berhubungan terjadi infeksi local vital secara drastis merupakan
dengan atau sistemik   komplikasi lanjut untuk
hilangnya Kriteria hasil :   terjadinya infeksi
barier/perlindun -          Tidak ada ·          Observasi keadaan ·          Keadaan luka dapat di
gan kulit tanda-tanda infeksi luka kriteriakan sebagai derajat
(merah, bengkak, Dengan penentuan derajat mortalitas
panas, nyeri, SJS  
fungsio lesi) ·          Jaga agar luka tetap ·          Mencegah terjadinya infeksi
-          Leukosit bersih atau steril silang
(5000 - 10000/mm3) ·          Berikan perawatan  
-          Kultur luka pada mata ·          Mata dapat membengkak
memperlihatkan   oleh drainase luka
jumlah bakteri    
yang minimal ·          Pantau hitung ·          Peningkatan leukosit
-          Suhu tubuh leukosit, hasil kultur dan tes menunjukkan infeksi,
dalam batas normal sensitivitas pemeriksaan kultur dan
(36,5 - 37,4  C)   sensitivitas menunjukkan
-          RR : 16 – 20   mikroorganisme yang ada dan
x/menit   antibiotic yang tepat diberikan
-          TD : 100-    
139/60-96 mmHh ·          Berikan antibiotic ·          Mengurangi jumlah bakteri
-          Pols : 60 – 100
x/menit
5.Gangguan rasa Dalam waktu 1 X 24 ·          Kaji nyeri dengan ·          Manajemen untuk
nyaman, nyeri b.d. jam PQRST mengetahui intervensi yang akan
inflamasi pada ·          Melaporkan   di berikan
kulit nyeri berkurang ·          Atur posisis fisiologis ·          Dengan posisi fisiologis
  ·          Menunjukkan   akan meningkatkan asupan
ekspresi   oksigen kejaringan yang
wajah/postur tubuh   mengalami peradangan
rileks ·          Kaji TTV ·          Indikator penurunan nyeri
Kriteria evaluasi : ·          Berikan penggantian ·          Nyeri hampir selalu ada
•              Pasien tidak cairan IV yang dihitung, pada beberapa derajat beratnya
gelisah elektrolit, plasma, albumin keterlibatan jaringan
•              Sklanyeri ·          Kolaborasi dengan ·          Meningkatkan relaksasi,
menurun dokter pemberian analgetik menurunkan tegangan otot dan
•              Adanya kelelahan umum
perbaikan jaringan  
•              Suhu tubuh ·          Metode IV sering digunakan
normal 36,5-37,5 pada awal untuk memaksimalkan
derajat celsius efek obat
·          Menghilangkan rasa nyeri
Terimakasih……

Anda mungkin juga menyukai