Anda di halaman 1dari 15

Najis yang disepakati

Dan
yang diperselisihkan para ulama
NAMA : KHOIRIL FAJRI
NIM : 20201700101016
PRODI : PAI 2020
NAJIS YANG DISEPAKATI
1. Kotoran (tahi) manusia
Najisnya kotoran manusia diisyaratkan dalam hadist yang diriwayatkan dari
sahabat Abu Sa’id Al Khudri beliau menceritakan bahwasanya Rasulullah pernah
shalat bersama para sahabatnya dalam keadaan mengenakan sandal, namun tiba-tiba
beliau melepas sandalnya dan meletakkanya disebelah kiri beliau dan perbuatan ini
diikuti oleh para sahabat. Selesai shalat, beliau mempertanyakan perbuatan para
shahabatnya tersebut dan memberitahukan alasan melepas sandal yaitu dikarenakan
Jibril mengabarkan bahwa di sandal beliau ada kotoran, dan beliau bersabda:“Apabila
salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan dan melihat
sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya digosokkan ke
tanah kemudian dipakai untuk shalat.” (HR. Al-Imam Ahmad dan berkata Asy-Syaikh
Muqbil tentang hadits ini dalam karya beliau Al-Jami’ush Shahih Mimma Laisa fish
Shahihain juz 1, hal. 526: Ini adalah hadits shahih, rijalnya (para periwayatnya)
adalah rijal Shahih Al-Bukhari)
2. Kencing Manusia

Adapun najisnya kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas yang
diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim)
tentang dua orang penghuni kubur yang diadzab. Dikatakan oleh
Rasulullah :“Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya
dari kencingnya.” (HR. Al-Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim
no. 292)
Masalah najisnya kotoran dan kencing manusia banyak ataupun sedikit
disepakati oleh ulama.
3. Wadi dan madzi

Kaum muslimin bersepakat bahwa madzi itu najis, sebagaimana dinukilkan Al-
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’. Dalil lain yang menunjukkan najisnya
madzi adalah hadits yang dikeluarkan Al-Imam Al-Bukhari (hadits no. 269) dan
Al-Imam Muslim (hadits no. 303) rahimahumullah dari hadits ‘Ali ketika ‘Ali
menyuruh seorang shahabat, Miqdad ibnul Aswad, untuk menanyakan tentang
madzi ini kepada Rasulullah. Beliau menjawab:
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.”
Ibnu Daqiqil ‘Id mengatakan dalam Ihkamul Ihkam: “Dari hadits ini diambil dalil
tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah memerintahkan untuk mencuci ke-
maluan yang terkena madzi tersebut.”
3.Darah Haid dan Nifas

Telah ada dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid dalam hadits Asma’ bintu
Abi Bakr. Beliau menceritakan:
Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah Ia berkata, “Ya Rasulullah, jika salah
seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?”
Maka Rasulullah bersabda, “Apabila darah haidh mengenai pakaian salah seorang
dari kalian, hendaknya dia mengerik lalu membasuhnya. Kemudian ia shalat
memakai pakaian tersebut.” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 330, 331 dan
Muslim no. 110)
Al-Imam Ash-Shan‘ani di dalam Subulus Salam setelah membawakan hadits di
atas-: “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid.”
4. Bangkai

Begitu pula halnya dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya seba-
gaimana dinyatakan Al-Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Al-Imam
An-Nawawi dalam Al Majmu’.
Rasulullah bersabda:“Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensucian-
nya.” (HR. Muslim no. 105)
Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis
sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja
dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan
kenajisannya.
Najis yang diperselisihkan para ulama
1. Anjing
Terdapat riwayat dalam Ash-Shahihain dan kitab-kitab hadits selain keduanya,
menyebutkan hadits Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda:
“Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian hendaklah ia
mencuci bejana tadi sebanyak tujuh kali.” (HR. Al-Bukhari no. 172 dan Muslim
no. 279)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
“Cucian yang pertama dicampur dengan tanah.”
Pencucian yang disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan najisnya air liur
anjing dan pendapat inilah yang rajih (kuat) sebagaimana dipegangi Abu Hanifah,
Ats-Tsauri, satu riwayat dari Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dan yang lainnya.
Pendapat ini dikuatkan pula oleh asy-syaukani di dalam kitab-kitabnya. Sebagian
ahlul ilmi berpendapat bahwa seluruh tubuh anjing itu najis. Ini merupakan
pendapat jumhur ulama dengan berdalil hadits yang telah disebutkan di atas.
Mereka mengatakan: “karena air liur itu keluar dari mulut anjing (yang dia itu
najis) maka seluruh tubuhnya lebih utama lagi untuk dihukumi kenajisannya.”
Dan yang lainnya mengatakan air liur anjing bukan najis, adapun perintah
mencucinya adalah sekedar perkara ta‘abbudiyah (ibadah) bukan karena
kenajisannya. Ini merupakan pendapat yang dipegangi al-imam malik.
2.Darah yang mengalir

Perkara ini juga terdapat perselisihan, darah yang mengalir dinajiskan karena
hukumnya haram jika dimakan. Dalilnya adalah: telah dihalalkan bagi kami dua
bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dua darah itu
adalah hati dan limpa," (HR ibnu majah no. 3314).Yang menganggap darah itu
suci berdalil dalam hadits riwayat imam bukhari disebutkan bahwa orang-orang
yang terluka badannya setelah berperang dan darahnya mengalir ia
melaksanakan salat dengan kondisi tersebut kemudian hadis tersebut dipandang
sebagai hadis yang menyatakan bahwa darah manusia tidak najis tetapi darah
binatang tetap najis.
3. Muntah manusia

Yang rajih muntah manusia itu tidak najis karena tidak ada dalil yang
menyatakan kenajisannya. Adapun pendapat yang mengatakan muntah itu
najis menurut imam hanafi, hal ini didasarkan dari sabda
rasulullah.”Apabila salah seorang diantara kamu muntah dalam keadaan
shalat maka hendaklah keluar dari shalatnya dan berwudhulah.”
Telah dibantah oleh al-imam asy-syaukani dalam kitabnya sailul jaraar
(1/43). Beliau menyatakan: “aku telah menyebutkan padamu di awal kitab
thaharah bahwa segala sesuatu itu hukum asalnya adalah suci dan tidak
bisa berpindah dari hukum asalnya ini kecuali dalil yang memindahkannya
benar (shahih) dan pantas untuk dijadikan argumen lebih kuat ataupun
seimbang.
4. KHAMR

Para ulama berbeda pendapat dengan yang dimaksudkan najis pada surat
al maidah ayat 90:
“wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban
untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah rijsun
termasuk perbuatan setan….” (Al-maidah: 90)
sebagian para ulama memaknakan rijsun di sini dengan najis. Khamr
bukanlah najis dzatnya meskipun haram diminum mereka menyatakan
bahwa kata rijsun berarti najis maknawi (bukan hakiki) dan ini
merupakan pendapat rabi‘ah ar-ra’yi, al-laits, al-muzani, asy-syaukani,
asy-syaikh albani, asy-syaikh ibnu ‘utsaimin, dan selainnya.
5. DAGING BABI

Kenajisannya sama dengan khamr,bahwa najis makan daging babi


karena daging babi itu haram untuk dimakan.
Mereka yang mengatakan daging babi najis berdalil dengan firman allah
dalam surat al-an‘am ayat 145:
“katakanlah; dari apa yang diwahyukan kepadaku, aku tidak
mendapatkan sesuatu yang diharamkan untuk memakannya kecuali bila
makanan itu berupa bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi
karena dia merupakan rijsun atau merupakan sebab kefasikan dan keluar
dari ketaatan atau binatang yang disembelih atas nama selain allah…”
rijsun dalam ayat di atas mereka maknakan dengan najis.
Selain itu menurut yang dikemukakan dalam kitab rujukan madzhab
maliki ( Asy Syarhul kabir juz 1 hal. 50 yang ditulis Ad-dardiri), maka
soal kenajisan babi dalam keadaan mati sudah disepakati para ulama,
namun yang diperselisihkan adalah ketika babi dalam kondisi hidup.
Mayoritas ulama menyatakan najis karena di qiyaskan dengan anjing,
sedangkan menurut madzhab maliki babi tidak najis ketika dalam
kondisi hidup karena pada dasarnya sesuatu yang hidup adalah suci.
6. AIR LIUR

Dalil bahwa air liur tidak najis adalah hadits Rasulullah SAW. :
“Seorang muslim itu tidak menajisi ( yang lain )” (HR. Bukhari no.283, Muslim
no.372).
Namun sebagian ulama menyatakan bahwa air liur yang datang dari mulut itu suci,
sedangkan yang datang dari perut itu najis. An nawawi mengatakan :
“Aku telah bertanya kepada beberapa tabib yang terpercaya, mereka mengingkari
air liur itu bisa datang dari perut. Maka mereka mengingkari suatu yang wajib
untuk dicuci” ( Al Majmu’ ).
Namun para ulama menjelaskan, ini diterapkan jika yakin air liur tersebut datang
dari perut. Ketika ragu maka tidak dihukumi najis.
Terlebih lagi, sebagian ulama mengatakan bahwa yang keluar dari perut (seperti
muntahan) tidaklah dihukumi najis karena tidak ada dalil sharih yang menyatakan
kenajisannya.
DONE

Anda mungkin juga menyukai