Anda di halaman 1dari 44

NISBAH ANTARA

FILSAFAT ISLAM
DAN FILSAFAT
LAIN
KELOMPOK 3
ANGGOTA KELOMPOK
• Geraldi Fikri Putra Pradita (12020220140130)
• Muria Rahma (12020220140140)
• Devana Febrianti (12020220120021)
• Felicia Zalfa Naradhista (12020220140166)
• Barra Awwal Ramadhan (12020220140071)
• Sarah Permata Panji Agus (12020220130122)
• Ahmad Khafash Sonifan Nor (12020220120033)
Table of contents

A FILSAFAT ISLAM DAN YUNANI

B FILSAFAT ISLAM DAN MASEHI

C FILSAFAT ISLAM DAN MODERN


A
FILSAFAT ISLAM
DAN FILSAFAT
YUNANI
P a r a fi losof Islam klasik, b a i k di ti mur a t a u b a r a t ( An da lu s i a) ,
memulai fi l s a f a t ny a b a n y a k d i t o p a n g oleh pemikiran fi losof
Yunani, terutama hasil k a r y a Plato, Aristo d a n Plotinus.

h a n y a s a n g a t d i s a y a n g k a n jika a d a n y a p e n ga r u h itu l antas


ti mbul penilaian y a n g m e n g a n g g a p fi l s a f a t y a n g
d i ke m b a n g k a n o r a n g islam ti d a k lebih d a r i j ipl akan y a n g
tandus.

L . G a uthie r den E m i l e Brehier m e m a n d a n g keliru t e r h a d a p


p a r a fi losof islam L . Ga uthie r den E m i l e m e m a n d a n g o r a n g
islam d a l a m k e a d a a n te r p a ks a untuk mempertemukan
a g a m a n y a d e n g a n pemikiran
1.F i l s a f a t Islam, d e n g a n melihat l a t a r b e l a k a n g y a , tentu ti d a k wa j a r d i to l a k
s e b a g a i s uatu sistem ke fi l s a f a t a n y a n g bereksistensi sendiri, a p a b i l a
m e n g a n g g a p s e b a g a I j i p l a k a n s e m a t a - m a t a m e n g i n g a t b a h w a p a r a fi losof
is lam sebelum m e n e l a a h pe mik iran Y u n a n i merekan lebih d a h u l u te lah
mem be kali diri d e n g a n ke y a k i n a n a k a n ke b e n a r a n islam.

2.A d a n y a Unsur K e y a k i n a n t e r h a d a p is lam itulah y a n g menjiwai


fi losof d a l a M m e n g h a d a p i pe mi kiran y a n g tel ah a d a sebelumnya,
s e h i n g g a ti d a k s er ta me r ta menerima sepenunya, m e l a i n ka n
b e r u s a h a mempertemukan ke d u a n y a a p a y a n g m e m u n g k i n ka n
untuk diper tem ukan a t a u m e l a h i r ka n pe mi kiran b a r u s a m a s ekal i
y a n g lebih sesuai d e n g a n ke p e r i b a d i a nya . K e d u a halitu d a p a t
ditemukan d a l a M k a r y a - k a r y a m ereka b a i k m e nya n g k u t s o al
ke t u h a n a n m a u p u n h a l - h a k y a n g b e r h u b u n g a n d e n g a n eksistensi
a l a m d a n manusia.
1. Tentang Allah
P e n d a p a t p a r a fi l o s of I s l a m m e n g e n a i k e t u h a n a n :

M e m a n d a n g A l l a h s e b a g a i al- Khaliq. B e l i a u
menyebut A l l a h s e b a g a i “al-Wahidu I- H aq ”
Al Kindi
( S a t u y a n g h a k i k i ) A r ti ny a s u at u menurut
s u bstans i nya y a n g ti d a k a k a n m e n ja di
b a n y a k d i s e b a b k a n oleh a p a p u n j u ga , ti d a k
a k a n t e r b a g i - b a g i d a l a m bentuk a p a p u n
j u ga , ti d a k b e r te m p at d a n ti d a k berwaktu,
ti d a k me mb awa d a n ti d a k dibawa, b u k a n
s uat u keseluruhan d a n b u k a n p u l a s uat u
bahagian.

A l - K i n d i me nye but ka n h u b u n g a n a n t a r a
Allah d e n g a n A l a m a d a l a h hubun gan
“inda`”
Al-Farabi
Menurut al-Farabi Allah adalah “ al-Mau-juduI
Awwal” Artinya al-Awwal (yang Pertama)
adalah “sumber pertama” bagi seluruh alam
wujud dan sebeb pertama bagi eksistensinya.
Bagi seluruh alam maksudnya adalah bersifat
“mumkinu i-wujud” dengan kata lain adanya
disebabkan karana adanya yang lain. Adanya
yang mumkin itu mengharuskan adanya yang
“Wajibul I-Wujud” yang ada dengan sendirinya
, artinya yang pertama yang merupakan sumber
wujud alam semesta.
Al-Farabi memberikan sifat kepada Wujud yang
pertama itu sebagaimana yang lazim diketahui,
tetapi sifat Allah itu sebagaimana yang lazim
diketahui, tetapi sifat Allah itu tidak lain dari
zat- Nya sendiri.

Selain sifat nisbi, al-Farabi juga memberikan


sifat “tsubutiyah” sebagimana yang disebutkan
dalam al- Qur’an, seperti yang biasa
dinisbihkan kepada manusia, tetapi diberikan
pengertian yang mutlak dan tertinggi, seperti
Maha Adil. Maha Pengasih, Maha Kuasa dan
seterusnya.
Ibnu Sina menyebut Allah sebagi “al-Wajibu I-Wujud”
yaitu yang pasti ada-Nya.
Ibnu Sina membagi wujud atas tiga yaitu Wajib, Mumkin
Ibnu Sina
dan Mumtani (mustahil). Untuk menetapkan difinisi
Wajib, maka tidak boleh tidak harus bertolak dari batas
pengertian mumkin dam mustahil, sebaliknya untuk
menetukan pengertian mumkin, maka harus bertolak pula
dari batas pengertian wajib dan mustahil, dan seterusnya.
Selanjutnya Ibnu Sina membagi pula yang wajib menjadi
dua yaitu : wajib li zatihi dan wajib li gairihi.

1. Wajib li zatihi yaitu sesuatu yang ada karena zat-Nya


sendiri, itulah yang bila diperkirakan tidak adanya maka
terjadi kemustahilan.
2. Wajib li gairihi yaitu sesuatu yang ada disebabkan
adanya yang lain, dapat menjadi ada jika memenuhi syarat
tertentu yang diperlukan.
Al-Gazali mengikuti tuntutan Islam sebagaimana yang dipahami
oleh kaum Ahlu s-Sunnah yaitu bahwa sifat Allah itu antara lain
Al Ghazali dari sifat-sifat zat-Nya, tetapi sifat-sifat itu tidak berdiri sendiri
diluar zat-Nya.

Adapun ciri khas sifat al-Gazali yaitu :


1. Sifat-sifat Maani itu bukan zat, tetapi tambahan yang berdiri
pada zat.
2. Sifat-sifat itu Qadim seperti halnya Zat Allah.
3. Sifat-sifat tersebut tidak boleh berpisah dari Zat Allah dalam
keadaan apapun juga, karena berpisah dan bercerai itu bukan
watak sifat tetapi jisim, artinya sifat berwujud diluar jisim.
4. Hamba-hamba Allah yang berasal dari sifat-sifat tersebut
(tujuh sifat) telah terwujud pada Allah sejak azali.

Sejak azali Allah itu berkuasa (al-Qadir), hidup (al-Hayy),


berkehendak (al-Murid), Mengetahui (al- Alim), mendengar (as-
Samil), dan berbicara (al-Mutakallim)
Berbeda dengan filosof Islam yang lain, al-Gazali
adalah orang yang paling dekat pendapatnya pada
prinsip-prinsip Islam. Al-Gazali menolak pendapat
Aristoteles dan Plotinus sebagaimana yang
diperpegangi oleh al-Farabi dan Ibnu Sina tersebut di
atas.

Pendapat Aristo bahwa “apa yang baharu tidak


mungkin keluar dari zat yang qadim”.
Demikian juga pendapat Plotinus bahwa “apa yang
keluar dari yang Esa,Esa pula” dengan sendirinya
mengaburkan sifat iradat Allah yang menciptakan
alam dengan kehendak-Nya.
Menurut al-Gazali bahwa tidak ada halangan bagi
Allah (Yang Qadim) untuk menciptakan alam dari
ketiadaan.
Ibnu Rusyd sebagi komentator
Aristoteles, dengan tegas menyebut
Allah sebagai “al-Muharriqu I-
Ibnu Rusyd
Awwalal” Tetapi selain mengambil
argumen Guru pertama itu, ia pun
mengemukakan argumenya sendiri
sesuai dengan tuntutan al-Qur’an
yakitu dalil “ikhtira dan inayah”.

Dengan dalil Ikhtira’ ibnu Rusyd


menunjukan adanya penciptaan
terhadap alam ini. Sedangkan dalil
Inayah menunjukan pengurusan
Allah terhadap ciptaan-Nya.
2. Tentang Alam Semesta
Para filosof Islam berbeda pendapat dalam membicarakan persoalan ini, sebagaimana
perbedaan mereka ketika membicarakan eksistensi Tuhan. Sebagian besar mereka
terpengaruh dengan teori Aristoteles dan Plotinus. Aristoteles memandang bahwa alam ini
qadim, berbeda dengan Plato yang tidak secara tegas mengatakan hal itu. Plotinus dengan
teori “emanasinya“, memandang alam ini sebagai limpahan dari Tuhan.

Al-Kindi sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, tidak dapat menerima kedua
pendapat itu. Ia secara tegas menyatakan tentang kebaharuan alam, yang diciptakan dari
tiada. Pendapatnya itu didasarkan pada teori matematik yang memastikan bahwa alam ini
berakhir (mutanahim), sebab alam ini mempunyai jenis dan macam yang menunjukkan
keterbatasannya. Dengan demikian, pendapatnya ini sejalan dengan apa yang telah
dikemukakan sebelumnya mengenai kedudukan Allah sebagai pencipta
Lain halnya dengan al-Farabi. Ia mengikuti teori emanasi Plotinus. Dikemukakannya
bahwa alam ini berasal dari “al-awwal”. Al-Awwal itu dipandangnya sebagai akal yang
berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran ini timbullah maujud lain yang disebut
Akal Pertama. Akal Pertama ini berpikir tentang al-awwal dan daripadanya timbullah
akal kedua dan begitulah seterusnya hingga sampai pada akal kesepuluh yang disebutnya
“Akal Fa’al“ yang mengatur alam bumi dan yang berhubungan dengan manusia.

Mengenai qadimnya alam, al-Farabi nampaknya sependapat dengan Aristoteles. Agar


tidak keluar dari prinsip Islam, maka ia berusaha mempertemukan antara teori Aristoteles
dengan ketentuan Islam mengenai penciptaan (khalq), yaitu dengan mengatakan bahwa
akal-akal benda langit itu diciptakan oleh Allah meskipun tidak dalam proses waktu.
Bagaimanapun juga, Allah telah mendahului wujudnya alam sebagaimana mendahuluinya
premis atas konklusinya dalam teori logika
3. Tentang Manusia
Manusia adalah merupakan obyek filsafat yang paling rumit. Tidak
mengherangkan kalau persoalan tentang manusia selalu hangat
dibicarakan sejak zaman Sokrates hingga masa kini. Sokrates dianggap
orang pertama yang menurunkan obyek filsafat ke bumi, karena
perhatiannya difokuskan lebih banyak untuk membicarakan persoalan
manusia dibanding filosof sebelumnya yang menaruh perhatian lebih
banyak untuk membicarakan tentang alam semesta, mengenai asal usul
atau sumbernya.
Karya filosof Yunani yang
ditinggalkan oleh Plato dan
Aristoteles juga banyak
mempersoalkan tentang manusia.
Seperti dimaklumi bahwa manusia
terdiri dari jiwa dan raga yang
masing-masing mempunyai
kebutuhan dan karakteristik yang
berbeda. Akan tetapi yang menarik
perhatian bagi kedua filosof tersebut
adalah dimensi jiwa.
Para filosof Islam dalam membicarakan hakekat jiwa, banyak terpengaruh oleh pemikiran
Yunani, khususnya pandangan Aristoteles. Seperti diketahui Aristo membagi jiwa atas tiga
macam, yakni: jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatangjiwa berakal (jiwa manusia).

Menurut Aristo, jiwa adalah kesempurnaan pertama dari suatu badan organik (the first entelechy
of a natural organic body), disebut “kesempurnaan pertama,” karena merupakan kehormatan dan
kesempurnaan bagi badan untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Sejalan dengan teori metafisika yang realistik , maka Aristo mengandalikan jiwa sebagai form
bagi badan. Oleh karena jiwa dan badan bersatu secara esensial, maka jiwa akan hancur dengan
hancurnya badan, namun Aristoteles mengecualikan jiwa manusia dari segi kehancurannya
sebagaimana yang diungkapkan dalam “de Anima“.

Al-Farabi mengartikan form ( jiwa ) sebagai jauhar hakiki yang jauh berbeda dengan badan.
Menurutnya nafsu n-nathiqah adalah hakekat manusia yang sesungguhnya.

Manusia sendiri terdiri dari dua unsur yakni: unsur jasmani yang berasal dari “alam khalq“ dan
unsur rohani yang berasal dari “alam amar“.
Ibnu Sina dan al-Ghazali mentransfer definisi jiwa dan pembagian,
serta penjelasan yang terperinci. Menurut al-Ghazali bahwa:
jiwa nabati merupakan kesempurnaan awal bagi benda alami yang
organik dari segi makan, bertumbuh den reproduksi yang sejenis. jiwa
hewani dilihatnya dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan
bergerak dengan iradah.

Jiwa insani merupakan kesempurnaan awal bagi benda alami yang


organik dari segi mewujudkan perbuatan dengan ikhtiar yang rasional,
istimbat dengan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat
universal.
Mengenai peristilahan yang terdapat dalam al-Qur’an seperti nafs, ruh, qalb
dan aql, al-Ghazali menjelaskan sebagai berikut :

1. Kata nafs mempunyai arti, yakni arti khusus yaitu sumber akhlak atau sifat-
sifat yang tercela yang harus dijauhi. Sedangkan arti umum
dimasudkan sebagai suatu jauhar yang merupakan hakekat manusia dan oleh
filosof disebut nafsu n-nathiqah.

2. Kata qalb mempunyai arti; pertama adalah daging sanubari yang terletak di
lambung manusia sebelah kiri serta terdapat juga pada semua hewan, dan inilah
yang disebut ruh hewani; kedua berarti ruh
insani yang memikul amanah Allah yang tersimpan dalam dirinya ilmu fitri dan
yang mula-mula mengakui keesaan Allah dengan menjawab “balaa“ terhadap
pertanyaan Allah.
3. Kata ruh, mempunyai arti: pertama, ruh hewani yakni jisim yang halus yang
terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber hidup, rasa,
gerak, penglihatan dan penciuman dengan melimpahkan ke seluruh anggota
tubuh; kedua, nafsu n-nathiqah, yakni sesuatu yang halus, yang memungkinkan
manusia mengetahui sesuatu.

4. Mengenai ‘aql, memiliki arti, Pertama, ilmu tentang hakekat sesuatu.


Dengan arti ini maka akal itu merupakan sifat ilmu yang terletak dalam hati.
Terkadang disebut ilmu, sedang yang dimaksud adalah akal, mengingat ilmu
itu basil dari akal. Pengertian kedua adalah yang mengetahui ilmu, al- mudrik li
-ulum.
Pendapat al-Farabi yang dipertegas Ibnu Sina mengenai asal usul jiwa,
dapat dilihat dari teori “ faidl-nya“ yang memandang jiwa- jiwa itu
memancar dari akal kesepuluh, sehingga pendapatnya lebih dekat pada
pandangan Plotinus dan Plato, akan tetapi dia tidak mengakui adanya
proses inkarnasi.

Dengan teori itu, al-Farabi maupun Ibnu Sina menyatakan bahwa jiwa
manusia ialah substansi rohani yang berlawanan dengan substansi
jasmani, ia terlimpah ke dalam badan, sebagai wadah untuk berpikir
mengenal Allah, mengenal semua hakekat yang menunjukkan
kakuasaan- Nya, dan pada akhirnya siap untuk kembali kepada-Nya.
Mengenai etika, para filosof Islam kecuali al-Ghazali sepakat bahwa
sumber akhlak paling murni adalah akal yang merdeka. Berbeda
dengan itu, al-Ghazali mengakui adanya dimensi lain yang lebih
kompeten yaitu perasaan intuisi, walaupun ia tidak mengecilkan arti
dan kedudukan akal. Al-Ghazali maupun filosof lain mengakui bahwa
terkadang manusia terbelenggu oleh hawa nafsu, sehingga
menyebabkan kaburnya fitrah yang sesungguhnya.

Etika berkaitan dengan politik, sehingga Plato tidak memisahkan


keduanya dalam filsafatnya. Menurutnya, tujuan hidup manusia adalah
“ eudaimonia “ hidup yang baik, tetapi hidup yang baik itu tidak
mungkin, kecuali dalam polis (negara) saja. Plato maupun Aristo
sependapat bahwa manusia pada kodratnya adalah” zoion politikon “
makhluk sosial/ makhluk yang hidup dalam polis.
Al-Farabi, tokoh filsafat kenegaraan yang paling menonjol, mengandaikan negara sebagai
suatu badan manusia yang terdiri dari kepala dan bagian-bagian yang mempunyai
fungsinya masing-masing. Al-Farabi menjelaskan bahwa kepala negara merupakan
kedudukan yang paling utama.
Mengenai kriteria kepala negara yang dianggap ideal adalah:
1) berbadan sehat,
2) tidak cacat fisik,
3) kuat ingatan,
4) memiliki kecerdasan yang tinggi,
5) tanggapannya spontanitas,
6) tutur katanya baik,
7) cinta kepada ilmu,
8) memiliki sikap jujur dan terpercaya,
9) siap membela keadilan,
10) memiliki cita-cita yang kuat,
11) kemauan yang kuat,
12) tidak rakus terhadap kelezatan dunia atau keinginan jasmaniah.
Selanjutnya al-Farabi membagi negara etas empat kategori, yakni :
1. Negara utama,
2. Negara yang bodoh,
3. Negara yang fasik,
4. Negara sesat,

Demikianlah garis-garis besar pandangan filosof Islam yang


menunjukkan pertaliannya dengan filsafat Yunani. Prinsip-prinsip Islam
tetap nampak menjiwai pikiran filosof Islam, sehingga tidak pada
tempatnya kalau pikiran itu sebagai kutipan tandus ataupun perulangan
belaka.
B
FILSAFAT ISLAM
DAN FILSAFAT
MASEHI
Filosof Islam memandang ketiga tokoh filsafat Yunani itu (Plato, Aristo dan Plotinus)
sebagai guru besar mereka dalam bidang kefilsafatan. Hal itu menjelaskan bahwa
ketiga tokoh itulah yang merupakan filosof terbesar di antara filosof Yunani klasik.

Kurang lebih 1000 tahun lamanya masa kegelapan menyelimuti pemikiran manusia,
terhitung sejak masa Aristo sampai Plotinus, kemudian dari masa Plotinus hingga
munculnya pemikir-pemikir Islam, khususnya mereka yang bergelar sebagai filosof
Islam.

Pada masa jayanya kebudayaan Islam, sejak masa pemerintahan Khalifah al- Ma’mum
di kawasan Masyriqi hingga masa Khalifah Abu Ya’qub Yusuf al- Muwahhidy (wafat
579), tepatnya setelah masa Ibnu Rusyd di kawasan Magribi (Andalusia), orang-orang
Kristen Eropa pada umumnya juga masih tetap dalam masa kegelapan ilmu
pengetahuan dan pemikiran. Oleh karena itu tidak dapat diingkari bahwa tumbuh dan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan filsafat di kalangan mereka adalah atas berkat
usaha maksimal yang telah dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam.
Menurut Gustave Lebone, bahwa orang-orang Islam telah mengajar orang-orang Eropa
selama enam abad lamanya sehingga mereka mempunyai peradaban. Lebih lanjut Rom
Landau menjelaskan bahwa pikiran-pikiran Islam telah mengisi kekosongan Eropa pada
abad-abad pertengahan dan itulah kemudian yang memotori renaissance. H.A.R. Gibb
dalam bukunya “Mohammedanism” mencatat bahwa jasa filosof Islam adalah sebuah
karya gemilang dari kebudayaan Islam. Selain ketiga tokoh sejarah tersebut di atas,
masih banyak penulis-penulis Barat lainnya yang mengakui peranan pemikir-pemikir
Islam dalam perwujudan filsafat Barat Masehi.
Kiranya cukuplah bagi penulis dengan menambahkan suatu pernyataan dari Philip K.
Hitti dalam, bukunya “Islam and the West” sebagai berikut:
“Spanyol dan Sisilia berjasa sebagai jembatan, unsur-unsur kultur Arab diteruskan ke
Eropa untuk menghidupkan kulturnya dan menggugah bangun dari apa yang
dinamakan abad- abad gelap. Dari salah satu jembatan itu, jembatan Spanyol-lah
tentunya yang terlebih luas, giat dan tahan lama. Pada periode gerakan Salib, Siria akan
diterangkan di bagian berikutnya adalah jembatan ketiga. Turki yang mempersiapkan
jembatan keempat, hanya sedikit berjasa.”
Sinar ilmu pengetahuan dan filsafat itu selanjutnya memencar ke berbagai
pelosok Eropa, membangunkan mereka yang sedang terlena dalam
kegelapan yang cukup panjang, membangkitkan gairah orang-orang
Eropa yang telah sadar dari tidurnya. Begitu hebatnya pengaruh
pemikiran Islam terhadap pemikir-pemikir Eropa sehingga mereka di
antaranya ada yang membangun aliran filsafat atas nama filosof Islam,
Averroisme dan Avicennaisme.

Di antara semua tokoh-tokoh ilmuwan dan filosof Islam yang


meninggalkan pengaruhnya di Barat, maka Ibnu Rusyd merupakan figur
yang paling menonjol. Hal ini dapat dimaklumi, di samping domisilinya
dekat dengan orangorang Masehi Barat juga dia sebagai filosof Islam
yang terakhir di antara filosof-filosof klasik yang masyhur.
Al-Kindi yang digelar oleh Albert Agung (wafat 1280) sebagai “the
Philosopher of the Arabs,” dan dianggap sebagai salah seorang dari 12
pemikir paling cerdik dalam sejarah oleh Gronimo Cardanus (wafat
1576). Di samping teori musik dan optiknya yang masyhur di Eropa, juga
filsafatnya mendapat perhatian yang serius.

Roger Bacon (wafat 1292) dan Cardanus telah menunjukkan perhatiannya


terhadap pikiran-pikiran alKindi. Cardanus secara sportif menyetujui
pendapat alKindi tentang kesatuan alam yang terikat antara satu dengan
lainnya. Roger Bacon agaknya terpengaruh pula dengan teori ma’rifat al-
Kindi mengenai kemampuan pancaindera dalam memahami sesuatu.
Teori ma’rifat alKindi ini nampak pula pengaruhnya pada pemikir-
pemikir moderen.
Al-Farabi (Alpharabius) seperti yang telah disebutkan terdahulu, digelar sebagai
“al-Muallimu ts-Tsani” oleh Massignon. Menurut Carra de Voux bahwa logikanya
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pemikirpemikir Eropa. Sebuah
karya al-Farabi “Syarh Kitabi 1- Iberah li Aristo,” suatu tafsiran “organon”-nya
Aristo digunakan secara luas oleh Roger Bacon dan Albertus Magnus.
Sebuah Ensiklopedia ilmu pengetahuan dengan judul “Ihsau l-Ulum,” di dalamnya
memuat berbagai cabang ilmu pengetahuan: bahasa, logika, ilmu pasti, ilmu alam,
ekonomi, politik dan sosial. Ikhtisar buku ini telah ditulis dalam bahasa Latin.
Teori kenabian al-Farabi yang diajukan untuk menolak pengingkaran Ibnu
Rawandi dan ar-Razi terhadap persoalan itu, telah mempengaruhi sebahagian
besar pemikir-pemikir muslim sesudahnya. Dalam hal ini al-Farabi menyatakan
adanya dua jalan untuk berhubungan dengan akal kesepuluh, yakni dengan akal
mustafad bagi filosof dan dengan imaginasi yang kuat bagi para nabi. Teori
kenabian ini kemudian mempengaruhi pula pemikir-pemikir Masehi seperti
Albertus Agung.
Ibnu Sina (Avicenna), selain keahliannya yang ulung dalam ilmu
kedokteran, yang menyandang gelar sebagai “the Father of Doctors.”
la adalah filosof Islam yang banyak berpengaruh pada pemikir-
pemikir Barat Masehi, hal ini diakui oleh Roger Bacon bahwa,

Sebagian besar dari falsafah Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi


pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah di mana. Dan
sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatkan, dan sangat susah
dipahami dan tidak digemari orang, atau karena peperangan-
peperangan yang merajalela di sebelah Timur, sampai kepada saatnya
Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur yang lain-lain
membangkitkan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan
penerangan
Pada filsafat Kristen terdapat aliran Avicennisme, suatu aliran yang mendukung pandangan
Ibnu Sina. Tokohnya yang paling utama adalah Thomas Aquinas (wafat 1274), sehingga
disebut pula Thomisme. Thomas mengambil alih teori ma’rifat Ibnu Sina mengenai otorites
akal dalam memahami dunia atau serta teori wujud yang terdiri dari wajib, mungkin dan
mustahil. Selain Thomas, terdapat pula Bernard van Trilia, Aegedius van Lessen dan lain-lain.
Tokoh-tokoh ini sependapat saja dengan Aristo mengenai wujud ini yang terdiri dari “hule”
dan “form” (materi dan bentuk), lalu mengikuti pendapat Ibnu Sina bahwa materi itu terdiri
atas materi pertama yang belum terbentuk yang disebutnya “al- mad-datu l-ula al-musytarak,”
materi yang belum nyata dan materi kedua yang sudah berbentuk dan telah menjadi kenyataan
dan inilah yang menjadi dasar individualitas.

Al-Gazali (Algozel), selain ketenarannya di Timur sebagai “Hujjatul-Islam” karena


pembelaannya terhadap agama, ia dikenal pula sebagai filosof yang masyhur di Barat.
Mengenai pengaruhnya terhadap filsafat Kristen diuraikan secara luas oleh beberapa penulis
Barat, antara lain dikemukakan oleh Dwight M. Donaldson bahwa pada abad pertengahan baik
orang-orang Yahudi, demikian pula orang-orang Kristen banyak membaca, karya-karya
alGazali mengenai mistik dan filsafatnya
Al-Gazali (Algozel), selain ketenarannya di Timur sebagai “Hujjatul-Islam” karena
pembelaannya terhadap agama, ia dikenal pula sebagai filosof yang masyhur di Barat.
Mengenai pengaruhnya terhadap filsafat Kristen diuraikan secara luas oleh beberapa
penulis Barat, antara lain dikemukakan oleh Dwight M. Donaldson bahwa pada abad
pertengahan baik orang-orang Yahudi, demikian pula orang-orang Kristen banyak
membaca, karya-karya alGazali mengenai mistik dan filsafatnya.

Ibnu Baja (Avenvace) dan Ibnu Tufail (Abu Basar), dua orang filosof Islam Andalusia
yang juga berpengaruh pada filsafat Masehi. Terutama Ibnu Tufail, karyanya yang
berjudul “Hayyi Ibnu Yagdzan” dianggap sebagai salah satu buku yang paling
mengagumkan di Barat pada abad pertengahan. Buku itu bahkan nampak pula
pengaruhnya pada pemikir--pemikir moderen.

Dari semua filosof Islam yang telah disebutkan, maka pengaruh Ibnu Rusyd menempati
rangking pertama di Barat. Pikiran-pikirannya menjadi titik tolak pergolakan pikiran-
pikiran Barat, baik di kalangan filosof Kristen abad pertengahan maupun di kalangan
pemikir- pemikir modern
Pada abad pertengahan muncul aliran Averroisme Latin. Aliran ini
mendesarkan pandangannya pada pokokpokok pikiran Ibnu Rusyd. Tokoh
utama aliran ini adalah Siger van Brabant. Selain itu juga dikenal pula
Boethius de Dacia, Berner van Nijvel don Antonius van Parma. Pandangan
aliran ini mengenai manusia, sependapat dengan aliran Avicennisme
(Thomisme). Adapun soal pembuktian tentang adanya Tuhan mengikuti
sepenuhnya teori Aristo dan Ibnu Rusyd yakni memandang Tuhan sebagai
penggerak yang tidak bergerak.

Pada tahun 1270, ajaran-ajaran Ibnu Rusyd yang dikembangkan oleh Siger
itu dianggap sebagai ajaran ekstrim dan berbahaya, sehingga dinyatakan
sebagai aliran terlarang oleh Gereja. Dalam pada itu Thomas Aquinas
menyerang pikiran- pikiran Ibnu Rusyd dan mengkafirkan pengikut-
pengikutnya. Namun demikian, jika melihat ajaran-ajarannya yang selaras
dengan pandangan Aristo, dengan sendirinya pengaruh Ibnu Rusyd tetap
juga nampak adanya.
C
FILSAFAT ISLAM
DAN FILSAFAT
MODERN
Filsafat skolastik Masehi berakhir setelah munculnya zaman “renaissance,”
kelahiran kembali, yaitu sekitar abad ke-15 dan 16 Masehi. Pada zaman ini
orang- orang Barat merasa dilahirkan kembali dari suatu masa yang gelap, di
mana dogmatisme Kristen tidak lagi mengkungkung alam pikiran mereka,
justru manusia dijadikan sebagai patokan dalam menentukan segala sesuatu.

Dengan renaissance, dimaksudkan untuk membangkitkan kebudayaan Yunani


dan Romawi kuno, yang bertolakukuran akal semata-mata, sehingga tidak lagi
bersandar pada wahyu. Harapan renaissance tersebut timbul disebabkan
karena campur tangan Gereja sedemikian jauhnya mengkungkung kebebasan
berpikir mereka. Ajaran-ajaran Gereja itu sebahagiannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara rasio.
Sebenarnya renaissance ini merupakan dampak daripada Averroisme yang
pada abad ke-13 mendapat tekanan sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya
mengambil bentuk yang sangat ekstrim, dengan meninggalkan agama sama
sekali. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi, seandainya kaum Gereja mau
bersikap lunak atau seandainya kitab suci mereka belum lagi dinodai oleh
berbagai penyimpangan.

Masa renaissance inilah yang menjadi perantara masa Filsafat skolastik


Kristen dengan filsafat moderen. Kalau pada masa renaissance belum terdapat
suatu sistem filsafat yang utuh, maka filsafat moderen ini ditandai dengan
munculnya aliran Rasionalisme pada awal abad ke-17, kemudian muncul pula
aliran Empirisme kemudian menyusul aliran Kritisisme atau Kantinisme,
menurut nama pendirinya.
Masa renaissance menjadi perantara antara masa Filsafat Skolastik Kristen
dengan Filsafat Moderen. Filsafat Moderen ini ditandakan dengan munculnya
aliran Rasionalisme pada awal abad ke-17.
Filsafat Islam nampaknya tidak hanya mempengaruhi Filsafat Skolastik
Masehi dan memotori Renaissance, tetapi juga mempengaruhi pikiran tokoh-
tokoh Filsafat Moderen.

Rene Descartes (pendiri aliran Rasionalisme) telah menggunakan metode


skeptis seperti Al-Ghazali. Pemikir Islam itu menggunakan metode skeptis
untuk mendapatkan pengetahuan yang hakiki.
Demikianlah juga Descartes, ia menyatakan bahwa metode yang paling cocok
untuk memperbaharui filsafat adalah “kesangsian metodis,” menyangsikan
segala hal.
Francis Bacon (perintis aliran Empirisme) yang mendasarkan pengetahuannya
pada pengalaman inderawi. Pandangannya kemudian dikembangkan oleh John
Locke dalam bentuk yang lebih radikal. Baginya, tidak ada pikiran bawaan,
yang ada hanyalah kumpulan pengalaman yang di-desistematisir oleh akal
setelah menerima perangsang dari luar.
Francis Bacon menolak hukum-hukum logika Aristoteles, khususnya
mengenai jalan pikiran deduksi (sillogisme). Ia kemudian berpendapat bahwa
untuk memperoleh pengetahuan yang benar harus melalui jalan pikiran
induksi, suatu metode yang bertolak belakang dari perkara-perkara partikuler
kepada kesimpulan yang universal.
Roger Bacon secara sportif mengakui peranan filosof Islam. Secara pribadi ia
merasa telah berguru terhadap pemikir-pemikir Islam, sedangkan Francis
Bacon hanya melanjutkan usaha-usaha yang telah dirintis oleh Roger.
Immanuel Kant sebelumnya adalah penganut Rasionalisme. Ia
membela pandangan Descartes mengenai otoritas akal dalam
pengetahuan yang dikritik oleh John Locke dengan
pernyataannya bahwa akal pikiran itu keadaannya tidak lebih
dari kertas kosong sebelum ia menerima input yang ditransfer
dari obyeknya melalui pengalaman inderawi.

la kemudian mengambil jalan tengah antara Rasionalisme


Descartes dan Empirisme Locke tersebut. Selain ia mengakui
peranan pengalaman dan akal bawaan, ia mengakui adanya
kekuatan lain yang disebutnya dengan akal praktis yang
berbeda dengan apa yang dipahami oleh Descartes.
Menurut Kant, terdapat tiga alat pada
manusia untuk mengetahui, yakni:
1.Pancaindera
2.Akal budi
3.Akal praktis

Dengan pembagian ini, ia ingin


membuktikan ketidakmampuan akal dalam
memahami persoalan-persoalan
metafisika.
KESIMPULAN
D e n g a n demikian n a m p a k l a h b a h w a sejarah
pemikiran manusia m erupak an m a t a r antai y ang
te r j al i n secara b e r k e s i n am bu ng an , d a l a m prosesnya
t e r j a d i p e n g a r u h a n t a r a satu d e n g a n y a n g lainnya.
S e h i n g g a t e r b e n t u k l a h sistem- sistem k e f i l s a f a t a n
y a n g b e r d i r i sendiri, k a r e n a a d a n y a p e r b e d a a n -
p e r b e d a a n y a n g m e n o n j o l s e b a g a i ciri k h a s n y a .
THANK
YOU

Anda mungkin juga menyukai