Anda di halaman 1dari 38

FILSAFAT DAN BERFILSAFAT

• Kemungkinan besar, saudara baru pertama kali


belajar filsafat. Tetapi dapat dipastikan bahwa
saudara sudah pernah mendengar kata
“fisafat,”baik disebutkan orang lain di depan
saudara, membacanya dalam buku, atau barang
kali saudara sendiri pernah mempergunakannya
untuk memperkuat pernyataan saudara. Nama-
nama filosof besar dan ucapan-ucapan-nya yang
laksana ‘kata-kata mutiara’ tentu pernah saudara
dengar, walau-pun terkadang apa maksud ucapan
mereka tersebut sulit dipastikan.
ANGGAPAN UMUM
• Banyak orang memahami istilah ‘filsafat’ sebagai
suatu teori umum tentang sesuatu, khususnya
tentang bagaimana mendekati suatu masalah yang
besar dan penting. Dalam media massa,
contohnya, dinyatakan bahwa kelompok ini liberal,
sementara kelompok itu konservatif. Keduanya
mempunyai perbedaan pendapat tentang filsafat
politik, dan dinyatakan bahwa para pendiri negara
kita telah sepakat tentang suatu filsafat negara.
Sistem pendidikan yang diterapkan di tanah air
juga didasarkan atas suatu filsafat.
• Istilah ‘filsafat’ juga menunjuk kepada arti
pandangan hidup (view of life) seseorang atau
sekelompok orang, atau teori umum tentang
bagaimana kita harus mengatur hidup dan
kehidupan kita. Di sini kelihatan bahwa bahwa
filsafat dipahami sebagai sesuatu yang mempunyai
orientasi praktis. Bahwa ‘hidup untuk makan’ atau
‘makan untuk hidup’ dikatakan suatu filsafat,
karena secara praktis mempengaruhi orang yang
meyakininya. Dalam konteks ini, ‘mumpungisme’
juga termasuk ‘filsafat, dan sekarang banyak
pengikutnya.
• B. Definisi
• Filsafat (dalam bahasa Arab adalah falsafah,
dan dalam bahasa Inggris adalah philosophy)
Dalam bahasa Yunani, terdiri dari kata ‘philein’
yang berarti cinta (love) dan ‘sophia’
kebijaksanaan (wisdom). Secara etimologis,
filsafat berarti berarti cinta kebijaksanaan (love
of wisdom) dalam artinya sedalam-dalamnya.
Seorang filosof (philosopher) adalah pencinta,
pendamba dan pencari kebijaksanaan.
• Metode Filsafat
• Seperti halnya dalam pengetahuan ilmiah, metode dan obyek
formal bidang filsafat tidak dapat dipisahkan. Setiap cabang
filsafat menentukan obyek formalnya, memiliki metode dan
logikanya sendiri, sesuai dengan obyek formal itu dan uraian
teorinya. Ini berarti bahwa aliran Realisme, Idealisme,
Positivisme, Materialisme, Eksistensialisme, atau aliran-aliran
yang lain mempunyai metode, obyek dan logikanya sendiri.
Meskipun demikian, filsafat sebagai upaya manusia juga dengan
sendirinya masih memakai, menghayati dan mendasarkan
penjelajahan refleksinya diatas dasar materi yang dihimpun
oleh metode-metode umum seperti yang berlaku bagi semua
penalaran dan pemahaman manusia, yang juga dipakai oleh
disiplin keilmuan, seperti: pencerapan, rasio, induksi, deduksi
dan sebagainya
• 1. Metode Kritis
• Awalnya, metode ini digunakan oleh Sokrates dan
Plato. Para filosof sebelum Sokrates lebih tertarik
meneliti dan memikirkan kosmos. Sokrateslah yang
mengarahkannya kepada manusia, terutama tentang
aspek etis. Metode ini bertitik tolak atas kenyataan
bahwa betapa banyak pengetahuan dan pendapat
manusia bersifat semu. Pengetahuan semua ini malah
lebih banyak pada masalah-masalah penting
kehidupan, seperti tentang kebahagiaan dan
kebajikan. Ternyata, banyak kekaburan dan
pertentangan dalam pengetahuan mereka dan
kebanyakan mereka hanya pura-pura tahu.
• 2. Metode Intuitif
• Plotinus dan Bergson dicatat sebagai filosof yang
mengamalkan dan menganjurkan metode ini.
Plotinus dikenal mengembangkan lebih lanjut
pokok-pikiran Plato, hingga dikenal sebagai pendiri
Neo-Platonisme dan sekaligus tokoh terkemuka.
Plotinus bukan hanya meng-ambil dari Plato, tetapi
menguasai berbagai aliran filsafat, bahkan juga
kelompok keagamaan. Metode intuitif Plotinus
memang sangat dipengaruhi aliran agama yang
memakai cara mistik dan kontemplatif.
• Sikap kontemplatif ini meresapi seluruh metode
berpikir Plotinus, hingga filsafat bukan hanya
sekedar cara berpikir, tetapi lebih merupakan way
of life. Bagi Plotinus, metode lebih terkait dengan
eksplisitasi intuisinya. Sesuai dengan pemikiran
Sokrates bahwa pada diri manusia sudah ada
potensi untuk mencapai kebenaran yang hakiki
dan intisari permasalahan. Dengan pensucian diri
dan perenungan, maka hal ini akan tercapai.
Intuisi seseorang akan memandunya
mengungkapkan kembali kebenaran itu.
• 3. Metode Skolastik
• Metode ini banyak berkembang pada Abad Pertengahan.
Thomas Aquinas (1225-1247) merupakan salah satu
penganjurnya. Pada masa Klasik, Aristoteles juga dikatakan
sebagai pengguna metode sintetis-deduktif ini.Pada Abad
Pertengahan, filsafat dikuasai oleh pemikiran teologi dan
suasana keagamaan Kristen. Filsafat skolastik dikembangkan
dalam sekolah-sekolah biara dan keuskupan. Para pastor dan
biarawan merangkap jadi filosof, hingga filsafat dan teologi
(Kristiani) tidak terpisahkan. Menurut de Wulf (Scholastic
Philosophy), pada periode ini filsafat menjadi bagian integral
dari teologi. Meskipun begitu, Thomas menunjukkan
penghargaan yang tinggi terhadap filsafat yang dikatakannya
‘puncak kemampuan akal-budi manusia’. menurut Thomas
sendiri, dalam filsafat itu argumen yang paling lemah ialah
argumen kewibawaan (yang meru-pakan ciri berpikir
keagamaan).
• 4. Metode Matematis
• Descartes (1596-1650)? Filosof, ilmuwan dan matematikawan
ini menjadi tokoh utama metode matematis. Bidang ilmu yang
dikuasainya memang sangat luas. Ia menguasai ilmu pasti,ilmu
alam, astronomi dan arsitektur, dan metafisika. Disiplin ilmu
eksakta ini membawanya ke alam filsafat.Dibekali berbagai
bidang ilmu, Descartes merasa tidak puas dengan filsafat yang
diterimanya. Ia menyadari jurang antara filsafat dan ilmu
(eksakta). Menurutnya, ilmu alam tidak dapat dibangun dan
dikembangkan tanpa menyusun terlebih dahulu satu kerangka
metafisika dan epistemologi, yang akan memberinya fondamen
yang kokoh dan dasar prinsipil yang kuat. Logika Aristoteles
dikritiknya sebagai tidak membawa kepada pengertian baru.
Sebab, dalam bentuk silogisme itu, kesimpulan bukanlah
penemuan baru, tetapi sudah termuat dalam premis umum
• 5. Metode Empiris-Eksperimental
• Para penganut empiris sangat dipengaruhi oleh sistem dan
metode Descartes, terutama dalam menekankan data
kesadaran individual yang tidak dapat diragukan lagi. Bagi
mereka, pengalaman (empeiria) adalah sumber
pengetahuan yang lebih dipercaya ketimbang rasio. David
Hume(1711-1776) adalah penyusun filsafat Empirisme ini
dan menjadi antitesa terhadap Rasionalisme. Menurut
Hume bahwa semua ilmu berhubungan dengan hakikat
manusia. Ilmu tentang manusia merupakan satu-satunya
dasar kokoh bagi ilmu-ilmu lain. Karenanya, ilmu tentang
manusia perlu disusun paling awal. Inilah yang dilakukan
dalam karyanya Treatise yang setelah menerangkan hakikat
manusia, ia menyusun sistem keilmuan yang lengkap
• 6. Metode Transendental
• Metode ini juga sering dijuluki ‘neo-skolastik.’
Immanuel Kant (1724-1804) merupakan pelopor
metode ini. Pemikiran Kant merupakan titik-
tolak periode barubagi filsafat Barat. Ia
mendamaikan dua aliran yang berseberangan:
rasionalisme dan empirisme. Dari satu segi, ia
mempertahankan obyektivitas, univesalitas dan
keniscayaan pengertian. Dari segi lain, ia
menerima pendapat bahwa pengertian berasal
dari fenomena yang tidak dapat melampaui
batas-batasnya.
• 7. Metode Dialektis
• Tokoh terkenal metode ini adalah Hegel, hingga
sering disebut ‘Hegelian Method’. Nama lengkapnya
adalah George Willhelm Friedrich Hegel (1770-
1831). Ia bertugas sebagai guru besar di Universitas
Heidelberg dan Universitas Berlin, Jerman. Filsafat
Hegel termasuk aliran idealisme yang menekankan
pada subyektifitas. Subyektifitas itu meliputi
seluruh kenyataan yang self-sufficient (cukup
dengan dirinya sendiri/swasembada), hingga
dikenal kata-katanya “Yang nyata adalah sama
dengan yang dipikirkan”, jadi “Pikiran adalah
Kenyataan”.
• 8. Metode Fenomenologis
• Edmund Husserl (1859-1938) adalah salah
seorang eksponen pendukung metode ini.
Awalnya Husserl mendalami ilmu pasti,
belakangan ia tertarik pada filsafat. Sejalan
dengan makin digandrunginya ilmu alami
(natural sciences) pada abad 19 dan 20. Husserl
ingin menjadikan filsafat sebagai suatu sistem
ilmu pengetahuan yang terbebas dari prasangka
metafisik. Sistim seperti ini tentu memerlukan
pemahaman-pemahaman dasar yang jelas dan
sistematika yang ketat.
• 9. Eksistensialisme
• Tokoh-tokoh terkemuka Eksistensialisme
adalah Heidegger, Sartre, Jaspers, Marcel dan
Merleau-Point. Para tokoh eksistensialis,
meskipun mengembangkan filsafat yang
berbeda, namun mereka tidak menyetujui
tekanan Husserl pada sikap obyektif.
Terutama mereka tidak setuju dengan reduksi
pokok yang pertama yang menyisihkan
eksistensi. Bagi kalangan eksistensialis,
manusialah yang pertama-tama dianalisa.
• Beberapa sifat eksistensialis ialah:
• a. subyektivitas individualis yang unik, bukan
obyek dan bukan umum.
• b. keterbukaan terhadap manusia dan dunia
lain: internasionalitas dan praksis bukan teori
saja.
• c. pengalaman afektif dalam hubungan
dengan dunia, bukan observasi.
• d. kesejarahan dan kebebasan, bukan essensi
yang tetap.
• e. segi tragis dan kegagalan
• 10. Metode Analitika Bahasa
• Tokoh terkemuka dari aliran ini adalah Ludwig
Wittgenstein (1889-1951). Perkenalan pertama
Wittgenstein dengan filsafat barangkali sama dengan
kebanyakan orang, karena ia penasaran dengan
filsafat yang begitu membingungkan. Setelah
ditelitinya, ia menemukan bahwa kebingungan ini
banyak disebabkan oleh bahasa filosofis yang rancu
dan kacau. Bagaimana seseorang bisa mengetahui
benar salahnya suatu pendapat, sebelum ia bisa
pastikan bahwa bahasa yang dipakai untuk
menyampaikan per-tanyaan, pernyataan dan
perbincangan itu adalah benar?
DIMENSI ONTOLOGIS ILMU
• 1. Beberapa Tafsiran Metafisika Ontologi merupakan
cabang dari metafisika yang membicarakan eksistensi
dan ragam-ragam dari suatu kenyataan. Ada beberapa
tafsiran tentang kenyataan diantaranya adalah
supernaturalisme dan naturalisme. Menurut
supernaturalisme, bahwa terdapat wujud-wujud yang
bersifat gaib (supernatural) dan wujud ini bersifat lebih
tinggi atau lebih kuasa dibanding wujud alam yang nyata.
Animisme, pandangan yang menyatakan bahwa terdapat
roh-roh yang bersifat gaib, yang terdapat dalam benda-
benda tertentu, seperti batu, gua, keris, dst., merupakan
kepercayaan yang didasarkan supernaturalisme.
• Ada pandangan yang bertolak belakang dengan
supernaturalisme. Pandangan ini dikenal
dengan naturalisme. Materialisme, merupakan
paham yang berdasarkan naturalisme,
mengganggap bahwa gejala-gejala alam tidak
disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib tetapi
oleh kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri,
yang dapat dipelajari dan dengan demikian
dapat diketahui. Tokoh yang dipandang sebagai
pioner materialisme adalah Democritos (460-
370 SM).
• 2. Hakikat Ilmu
• Berbicara tentang ilmu tidak bisa terlepas dari pembicaraan tentang
pengetahuan karena keduanya berhubungan erat.
• Imu Pengetahuan, yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan
knowledge, menurut Jujun S. (2005 : 104), pada hakikatnya merupakan
segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di
dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang
diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti
seni dan agama.
• Ilmu, menurut pendapat di atas, menunjuk pada terminologi yang bersifat
khusus, yang merupakan bagian dari pengetahuan. Pengertian ilmu dan
perbedaannya dengan pengetahuan nampak lebih jelas sebagaimana
dinyatakan oleh Ketut Rinjin. Menurut Rinjin (1997 : 57-58), ilmu
merupakan keseluruhan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan
logis dan bukanlah sekadar kumpulan fakta, tetapi pengetahuan yang
mempersyaratkan objek, metoda, teori, hukum, atau prinsip.
• 3. Objek Ilmu
• Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu ? Dari manakah ilmu mulai ?
Dan di mana ilmu berhenti ? Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas
pada lingkup pengalaman manusia (Jujun S., 2005 : 105).
• Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas
pengalaman manusia. Ilmu tidak berbicara tentang sesuatu yang berada di luar lingkup
pengalaman manusia, seperti surga, neraka, roh, dan seterusnya. Mengapa ilmu hanya
mempelajari hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia ? Jawaban
dapat diberikan berdasarkan fungsi ilmu, yaitu deskriptif, prediktif, dan pengendalian.
Fungsi dekriptif adalah fungsi ilmu dalam menggambarkan objeknya secara jelas,
lengkap, dan terperinci. Fungsi prediktif merupakan fungsi ilmu dalam membuat
perkiraan tentang apa yang akan terjadi berkenaan dengan objek telaahannya. Dan
fungsi Pengendalian merupakan fungsi ilmu dalam menjauhkan atau menghindar dari
hal-hal yang tidak diharapkan serta mengarahkan pada hal-hal yang diharapkan. Fungsi-
fungsi tersebut hanya bisa dilakukan bila yang dipelajari berupa ilmu dunia nyata atau
dunia yang dapat dijangkau oleh pengalaman manusia. Objek setiap ilmu dibedakan
menjadi dua : objek material dan objek formal. Objek material adalah fenomena di
dunia ini yang ditelaah ilmu. Sedangkan objek formal adalah pusat perhatian ilmuwan
dalam penelaahan objek material. Atau dengan kata lain, objek formal merupakan kajian
terhadap objek material atas dasar tinjauan atau sudut pandang tertentu.
• 4. Struktur Ilmu Ilmu sebagai produk merupakan suatu
sistem pengetahuan yang di dalamnya berisi
penjelasan-penjelasan tentang berbagai fenomena
yang menjadi objek kajiannya.
• Dengan demikian ilmu terdiri dari komponen-
komponen yang saling berhubungan. Saling hubungan
di antara berbagai komponen tersebut merupakan
struktur dari pengetahuan ilmiah. Menurut The Liang
Gie (1991 : 139) sistem pengetahuan ilmiah mencakup
lima kelompok unsur, yaitu : a. jenis-jenis sasaran, b.
bentuk-bentuk pernyataan, c. ragam-ragam proposisi,
d. ciri-ciri pokok, dan e. pembagian sistematis
• 4. Struktur Ilmu
• Ilmu sebagai produk merupakan suatu sistem
pengetahuan yang di dalamnya berisi penjelasan
tentang berbagai fenomena yang menjadi objek
kajiannya. Dengan demikian ilmu terdiri dari komponen-
komponen yang saling berhubungan. Saling hubungan di
antara berbagai komponen tersebut merupakan struktur
dari pengetahuan ilmiah. Menurut The Liang Gie (1991 :
139) sistem pengetahuan ilmiah mencakup lima
kelompok unsur, yaitu : a. jenis-jenis sasaran, b. bentuk-
bentuk pernyataan, c. ragam-ragam proposisi, d. ciri-ciri
pokok, dan e. pembagian sistematis.
• a. Jenis-jenis sasaran Setiap ilmu memiliki objek
yang terdiri dari dua macam, yaitu objek material
dan objek formal. Objek material adalah fenomena
di dunia ini yang menjadi bahan kajian ilmu,
sedangkan objek formal adalah pusat perhatian
ilmuwan dalam mengkaji objek material.
• Ada bermacam-macam fenomena yang ditelaah
ilmu. Dari bermacam-macam fenomena tersebut
The Liang Gie (1991 : 141) telah mengidentifikasi 6
macam fenomena yang menjadi objek material ilmu,
yaitu : 1) ide abstrak 2) benda fisik 3) jasad hidup 4)
gejala rohani 5) peristiwa sosial 6) proses tanda
• b. Bentuk-bentuk pernyataan
• 1) Deskripsi
• Deskripsi adalah pernyataan yang bersifat
menggambarkan tentang bentuk, susunan, peranan, dan
hal-hal rinci lainnya dari fenomena yang dipelajari ilmu.
• 2) Preskripsi
• Preskripsi merupakan bentuk pernyataan yang berupa
petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai
apa yang perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan
berkenaan dengan ojkek formal ilmu. Preskripsi dapat
dijumpai antara lain dalam ilmu pendidikan dan
psikologi pendidikan.
• 3) Eksposisi Pola Bentuk ini merangkum
pernyataan-pernyataan yang memaparkan pola-
pola dalam sekumpulan sifat, ciri,
kecenderungan, atau proses lainnya dari
fenomena yang ditelaah. Pernyataan semacam
ini dapat dijumpai antara lain pada antropolog
• 4) Rekonstruksi Historis Rekonstruksi historis
merupakan pernyataan yang berusaha
menggambarkan atau menceritakan sesuatu
secara kronologis. Pernyataan semacam ini
terdapat pada historiografi dan paleontologi
• d. Ciri-ciri pokok ilmu
• . Adapun ciri-ciri pokok ilmu adalah sebagi berikut.
• 1) Sistematisasi Sistematisasi memiliki arti bahwa
pengetahuan ilmiah tersusun sebagai suatu sistem
yang di dalamnya terdapat pernyataan-pernyataan
yang berhubungan secara fungsional.
• 2) Keumuman (generality) Ciri keumuman
menunjuk pada kualitas pengetahuan ilmiah untuk
merangkum berbagai fenomena yang senantiasa
makin luas dengan penentuan konsep-konsep yang
paling umum dalam pembahasannya.
• 3) Rasionalitas berarti bahwa ilmu sebagai pengetahuan
ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi
kaidah-kaidah logika.
• 4) Objektivitas Ciri objektivitas ilmu menunjuk pada
keharusan untuk bersikap objektif dalam mengkaji suatu
kebenaran ilmiah tanpa melibatkan unsur emosi dan
kesukaan atau kepentingan pribadi.
• 5) Verifiabilitas Verifiabilitas berarti bahwa pengetahuan
ilmiah harus dapat diperiksa kebenarannya, diteliti
kembali, atau diuji ulang oleh masyarakat ilmuwan.
• 6) Komunalitas Ciri komunalitas ilmu mengandung arti
bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik
umum (public knowledge)
DIMENSI EPISTEMOLOGIS ILMU
• Telah dibicarakan bahwa pengetahuan berkembang antara lain
karena manusia memiliki rasa ingin tahu (curiousity is beginning
of knowledge). Hasrat ingin tahu manusia terpuaskan bila dirinya
memperoleh pengetahuan yang benar (kebenaran) mengenai
apa yang dipertanyakan
• Berbagai tindakan untuk memperoleh pengetahuan secara garis
besar dibedakan menjadi dua, yaitu secara nonilmiah, yang
mencakup : a) akal sehat, b) prasangka, c) intuisi, d) penemuan
kebetulan dan coba-coba, dan e) pendapat otoritas dan pikiran
kritis, serta tindakan secara ilmiah (Sumadi Suryabrata, 2000: 3).
Usaha yang dilakukan secara nonilmiah menghasilkan
pengetahuan (knowledge), dan bukan science. Sedangkan
melalui usaha yang bersifat ilmiah menghasilkan pengetahuan
ilmiah atau ilmu.
• W. Huitt (1998), dalam artikelnya yang berjudul
“Measurement, Evaluation, and Research :
Ways of Knowing”, menyatakan bahwa ada lima
macam cara untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar (kebenaran) yaitu : pengalaman,
intuisi, agama, filsafat, dan ilmu. Dengan cara-
cara tersebut dapat diperoleh diperoleh
kebenaran pengalaman atau kebenaran indera,
kebenaran intuitif, kebenaran religius,
kebenaran filosofis, dan kebenaran ilmiah
• c. Macam-macam Metoda ilmiah
• Johson (2005) dalam arkelnya yang berjudul
”Educational Research : Quantitative and
Qualitative”, yang termuat dalam situs
internet
(http://www.south.edu/coe/bset/johnson)
membedakan metoda ilmiah menjadi dua
metoda deduktif dan metoda induktif.
• 1) Metoda Deduktif Jujun S. Suriasumantri dalam
bukunya Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik
(1996 : 6) menyatakan bahwa pada dasarnya metoda
ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan
menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan : a)
kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan
argumentasi yang bersifat konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
• b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari
kerangka pemikiran tersebut; dan
• c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud
untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual.
• 2) Metoda Induktif Metoda induktif merupakan
metoda ilmiah yang diterapkan dalam penelitian
kualitatif. Metoda ini memiliki dua macam
tahapan : tahapan penelitian secara umum dan
secara siklikal (Moleong, 2005 : 126).
• a) Tahapan penelitian secara umum Tahapan
enelitian secara umum secara garis besar terdiri
dari tiga tahap utama, yaitu (1) tahap
pralapangan, (2) tahap pekerjaan lapangan, dan
(3) tahap analisis data. Masing-masing tahap
tersebut terdiri dari beberapa langkah
• b) Tahapan penelitian secara siklikal Menurut
Spradley (Moleong, 2005 : 148), tahap
penelitian kualitatif, khususnya dalam
etnografi merupakan proses yang berbentuk
lingkaran yang lebih dikenal dengan proses
penelitian siklikal, yang terdiridari langkah-
langkah : (1) pengamatan deskriptif, (2)
analisis demein, (3) pengamatan terfokus, (4)
analisis taksonomi, (5) pengamatan terpilih,
(6) analisis komponen, dan (7) analisis tema.
DIMENSI AKSIOLOGIS ILMU
• 1. Pengertian Aksiologi
• Tinjauan ilmu secara filosofis menyangkut
perenungan ilmu secara aksiologis. Apakah yang
dimaksud dengan aksiologi ? Berikut beberapa
pendapat tentang pengertian aksiologi.
• Aksiologi merupakan cabang filsafat yang
berhubungan macam-macam dan kriteria nilai serta
keputusan atau pertimbangan dalam menilai,
terutama dalam etika atau nilai-nilai moral. •
• Aksiologi merupakan paradigma yang berpengaruh
penting dalam penelitian ilmiah.
• Ilmu dan Azas Moral
• Kaitan ilmu dan moral telah lama menjadi
bahan pembahasan para pemikir antara lain
Merton, Popper, Russel, Wilardjo, Slamet Iman
Santoso, dan Jujun Suriasumantri (Jujun S.,
1996 : 2). Pertanyaan umum yang sering
muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah
: apakah itu itu bebas dari sistem nilai ?
Atakah sebaliknya, apakah itu itu terikat pada
sistem nilai ?
• Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-
masing punya pendirian terhadap masalah
tersebut
• Kelompok pertama menghendai ilmu harus
bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut
mereka tugas ilmuwan adalah menemukan
pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya
dipergunakan untuk apa, terserah pada yang
menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur
• Kelompok kedua sebaliknya berpendapat bahwa
netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan,
sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan
objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus
berlandaskan azas-azas moral (Jujun S., 2005 : 235)
• Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai
khususnya moral tidak cukup bila hanya dibahas dari
tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan
epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga
mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek
telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran
ilmiah

Anda mungkin juga menyukai