Anda di halaman 1dari 50

DIAGNOSIS &

TATALAKSANA TBC
Tatalaksana TB Sensitif Obat (SO)

Dosis paduan OAT KDT Sensitif Obat  2RHZE / 4 RH


Berat badan Fase intensif Fase lanjutan
RHZE (150/75/400/275) RH (150/75)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT

≥55 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT


Diagnosis dan Tatalaksana
TB Resistan Obat (RO)
Program TB-RO di Indonesia

• Pengobatan pasien TB RO menggunakan paduan pengobatan tanpa injeksi sesuai dengan


rekomendasi WHO tahun 2020. Paduan pengobatan yang dimaksud terdiri dari paduan pengobatan
jangka pendek dan paduan pengobatan jangka panjang.

• Paduan pengobatan seperti pada butir 1 di atas digunakan untuk seluruh pasien TB RO, baik dewasa
maupun anak. Penggunaan paduan pengobatan jangka pendek pada anak, harus mempertimbangkan
faktor usia dan berat badan anak.
Paduan pengobatan jangka pendek tanpa injeksi yang
digunakan adalah :
4-6 Bdq (6 bulan) - Lfx - Eto - Cfz - E - Z - HDT / 5 Lfx - Cfz - Z – E
1.Pada kondisi dimana pasien tidak dapat menggunakan paduan jangka pendek tanpa injeksi, maka pada
pasien tersebut diberikan paduan jangka panjang.
2.Pengobatan pasien TB RO dengan paduan jangka pendek tanpa injeksi diberikan pada pasien yang (baru)
akan memulai pengobatan. Untuk pasien TB RO yang sudah memulai pengobatan dengan paduan jangka
pendek dengan injeksi Kanamisin, maka paduan pengobatannya harus dilanjutkan sampai selesai.
Paduan pengobatan jangka panjang

• Diperuntukkan untuk pasien TB RO yang tidak dapat menggunakan paduan pengobatan


jangka pendek.
• Dalam rangka keberlangsungan pengobatan TB RO, Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis menyediakan logistik OAT lini-2 baik oral maupun injeksi yaitu Amikasin dan
Streptomisin sesuai kebutuhan. Untuk kebutuhan obat injeksi Kanamisin masih disediakan
untuk pasien yang telah memulai pengobatan TB RO dengan Kanamisin.
Paduan Jangka Panjang Tanpa Injeksi
Kriteria pasien TB RO yang diberikan paduan jangka panjang tanpa injeksi ialah:
ü Pasien TB RR/MDR dengan resistansi terhadap florokuinolon (TB pre-XDR)
ü Pasien TB RR/MDR yang gagal pengobatan jangka pendek sebelumnya
ü Pasien TB RO yang pernah mendapatkan OAT lini kedua selama ≥1 bulan
ü Pasien TB RR/MDR yang terbukti atau diduga resistan terhadap Bedaquiline, Clofazimine atau
Linezolid
ü Pasien TB MDR dengan hasil LPA terdapat mutasi pada inhA dan katG
ü Pasien TB RR/MDR paru dengan lesi luas, kavitas bilateral
ü Pasien TB RR/MDR ekstra paru berat atau dengan komplikasi (yang harus diobati jangka panjang),
seperti meningitis, osteoarticular, efusi pericardial, TB abdomen
ü Pasien TB RO dengan kondisi klinis tertentu (misalnya alergi berat / intoleran terhadap obat utama
pada paduan jangka pendek)
ü Ibu hamil, menyusui
Note: Obat
Bedaquiline
dan Delamanid
hanya
diberikan
selama 6 bulan.

Note: Amikasin
diberi apabila
obat oral di
grup C tidak
dapat diberikan
dan amikasin
masih terbukti
sensitive.
TB EKSTRA PARU (PDPI)

Tuberkolosis paru dan ekstra paru diobati dengan regimen pengobatan yang sama dan
lama pengobatan berbeda yaitu:
•Meningitis TB, lama pengobatan 9-12 bulan karena berisiko kecacatan dan
mortalitas. Etambutol sebaiknya digantikan streptomisin.
•TB tulang belakang, lama pengobatan 9-12 bulan.
•Kortikosteroid diberikan pada meningitis TB, TB milier berat, dan pericarditis TB.
•Limfadenitis TB lama pengobatan 6 bulan dan dapat diperpanjang hingga 12 bulan.
Perubahan ukuran kelenjar (membesar atau mengecil) tidak dapat menjadi acuan
dalam menentukan durasi pengobatan.
TB pada Keadaan Khusus

1. TB-HIV
• Penting dilakukannya deteksi dini HIV pada pasien TB
Konseling dan tes HIV perlu dilakukan untuk semua pasien dengan, atau yang
diduga TB kecuali sudah ada konfirmasi hasil tes yang negatif dalam dua bulan
terakhir.
Pemeriksaan HIV terutama penting sebagai bagian dari tata laksana rutin di daerah
dengan prevalensi HIV yang tinggi pada populasi umum, pada pasien dengan
gejala dan/atau tanda kondisi terkait HIV, dan pada pasien yang memiliki riwayat
risiko tinggi terpajan HIV.
Diagnosis TB-HIV
• Gambaran klinis
Demam dan penurunan BB pada ODHA + keluhan batuk berapapun lamanya 
curigai TB paru.

• Pemeriksaan sputum BTA dan TCM TB


Penegakan diagnosis TB pada pasien HIV secara klinis sulit dan pemeriksaan
sputum BTA lebih sering negatif sehingga diperlukan pemeriksaan TCM TB.

• Pemeriksaan kultur M.TB dan uji kepekaan OAT

• Foto thorax
Pemeriksaan foto toraks pada ODHA: rutin untuk deteksi dini TB, dilakukan sejak
awal bersamaan dengan pemeriksaan BTA dan atau TCM TB.
Pengobatan TB-HIV

• Prinsip tata laksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV sama seperti
pasien TB tanpa HIV

• Pada koinfeksi TB HIV sering ditemukan infeksi hepatitis  mudah terjadi efek
samping obat yang bersifat hepatotoksik.

• Rekomendasi WHO untuk pengobatan TB HIV pada fase intensif dan lanjutan
diberikan setiap hari, tidak direkomendasikan terapi intermiten
Pengobatan TB-HIV

• Dosis OAT dianjurkan dalam kombinasi dosis tetap (KDT)

• Prinsip pengobatan pasien TB/HIV mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan


ARV dimulai sesegera mungkin setelah OAT dapat ditoleransi dalam 2-8 minggu
pengobatan fase awal tanpa mempertimbangkan nilai CD4.

• Apabila nilai CD4 kurang dari 50 sel/mm3, maka pemberian ARV dapat dimulai
pada 2 minggu pertama pemberian OAT fase awal dengan pemantauan, sedangkan
pada TB meningitis pemberian ARV diberikan setelah fase intensif selesai.
Pengobatan TB-HIV

• Pada pengobatan ARV lini 1, Efavirenz (EFV) baik digunakan untuk paduan
ARV pada ODHA dalam terapi OAT, mempunyai interaksi dengan rifampisin
yang lebih ringan dibanding nevirapin.

• Pengobatan ARV lini 2 menggunakan paduan obat yang mengandung


Lopinavir/Ritonavir (LPV/r), yang mempunyai interaksi sangat kuat dengan
rifampisin  menurunkan kadar plasma LPV/r lebih rendah dari minimum
inhibitory concentration (MIC)  mengganti rifampisin dengan streptomisin.
TB-HIV
• Kotrimoksazol diberikan pada semua pasien TB-HIV tanpa
mempertimbangkan nilai CD4 sebagai pencegahan infeksi oportunistik lain.
Pada ODHA tanpa TB, pemberian profilaksis kotrimoksazol
direkomendasikan untuk pasien dengan nilai CD4 <200 sel/mm3.

• Pengobatan pencegahan TB: diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB


dan tidak mempunyai kontraindikasi. Beberapa pilihan regimen pemberian
PP TB menurut rekomendasi WHO :
• PP INH selama 6 bulan, dengan dosis INH 300 mg/hari selama 6 bulan dan ditambah
dengan B6 dosis 25mg/hari.
• Pengobatan Pencegahan dengan Rifapentine dan INH, seminggu sekali selama 12
minggu ( 12 dosis), dapat digunakan sebagai alternatif.
TB pada Keadaan Khusus
2. TB-DM
•Pada setiap penyandang DM harus dilakukan skrining TB: pemeriksaan gejala TB dan foto
toraks. Sebaliknya untuk pasien TB dilakukan penapisan DM dengan pemeriksaan GDP dan
GD2PP atau GDS.

•Prinsip pengobatan TB DM sama dengan TB tanpa DM, selama kadar gula darah terkontrol.
Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9
bulan.

•Hati-hati dengan penggunaan etambutol  sering komplikasi pada mata.

•Pemberian rifampisin mengurangi efektivitas OAD oral (golongan sulfonilurea)  diperlukan


monitoring kadar glukosa darah lebih ketat atau diganti dengan anti diabetik lainnya seperti
insulin yang dapat meregulasi gula darah dengan baik tanpa mempengaruhi efektifitas OAT.
TB pada Keadaan Khusus
3. TB-kelainan hati
•Pasien dengan pembawa virus hepatitis, riwayat hepatitis akut serta konsumsi alkohol
yang berlebihan apabila tidak terdapat bukti penyakit hati kronik dan fungsi hati normal
dapat mengkonsumsi OAT standar.

•Pada pasien hepatitis akut dan atau klinis ikterik, OAT ditunda sampai hepatitis
akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan
Streptomisin dan Etambutol maksimal 3 bulan.

•Pada pasien dengan penyakit hati kronik, pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan
sebelum pengobatan dimulai dan secara berkala selama pengobatan. Apabila kadar SGPT
>3x normal sebelum terapi dimulai maka paduan obat yang dapat diberikan adalah dapat
mengandung 2 obat hepatotoksik, 1 obat hepatotoksik atau tanpa obat hepatotoksik.
TB-kelainan hati

• Dua obat hepatotoksik


a. 9 bulan isoniazid + rifampisin + etambutol (9 RHE)
b. 2 bulan isoniazid + rifampisin + etambutol + streptomisin diikuti 6 bulan
isoniazid + rifampisin (2 HRES/6HR)
c. 6-9 bulan rifampisin + pirazinamid + etambutol (6-9 RZE)

• Satu obat hepatotoksik : 2 bulan isoniazid, etambutol, streptomisin diikuti 10 bulan


isoniazid+etambutol (2SHE/10HE)

• Tanpa obat hepatotoksik : 18-24 bulan streptomisin, etambutol, fluorokuinolon (18


– 24 SEQ)
TB pada Keadaan Khusus
4. TB-hepatitis imbas obat
•Hepatitis imbas obat: kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik. Gejala yang
paling sering ditemukan adalah mual, muntah dan anoreksia.

•Tata laksana hepatitis imbas obat:


a. Bila ditemukan gejala klinis yaitu Ikterik, gejala mual/muntah, maka OAT dihentikan.
b. Bila ditemukan gejala klinis disertai peningkatan SGOT dan/ SGPT > 3 kali, maka OAT
dihentikan.
c. Bila tidak ditemukan gejala klinis, OAT dihentikan apabila hasil laboratorium bilirubin
>2,atau SGOT, SGPT >5 kali. Apabila SGOT, SGPT >3 kali, maka pengobatan
dilanjutkan, dengan pengawasan.
TB-hepatitis imbas obat

Cara pemberian OAT yang dianjurkan:


•Hentikan OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)  monitor gejala klinis dan laboratorium.

•Bila gejala klinis dan laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT, SGPT)  mulai
diberikan rifampisin dosis naik perlahan sampai dosis penuh. Selama itu perhatikan klinis
dan periksa laboratorium saat rifampisin dosis penuh

•Bila gejala klinis dan laboratorium normal, tambahkan INH dengan dosis naik perlahan
sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan).

•Pada pasien yang mengalami ikterik, maka dianjurkan tidak memasukkan pirazinamid
kedalam paduan obat
TB-hepatitis imbas obat

• Bila rifampisin tidak dapat ditoleransi, maka paduan yang dianjurkan:


2 HES/10 HE
• Bila INH tidak dapat ditoleransi, maka paduan yang dianjurkan:
6-9 RZE
• Bila pirazinamid dihentikan pada fase intensif, maka paduan RH pada fase
lanjutan diperpanjang hingga 9 bulan.
TB pada Keadaan Khusus
5. TB-CKD
•Pengobatan TB yang dianjurkan: 2 bulan isoniazid, rifampisin, etambutol dan pirazinamid
dilanjutkan dengan 4 bulan isoniazid dan rifampisin.

•Isoniazid dan rifampisin dieliminasi melalui ekskresi bilier  tidak diperlukan penyesuaian
dosis.

•Ekskresi etambutol dan metabolit pirazinamid terjadi di ginjal  diperlukan penyesuaian


dosis atau interval pemberian. Etambutol diberikan 15 mg/kgBB dan pirazinamid 25
mg/kgBB sebanyak 3x seminggu.

•Streptomisin menyebabkan peningkatan nefrotoksik dan ototoksik sehingga streptomisin


sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gagal ginjal, namun apabila harus diberikan
maka dosisnya 15mg/kgBB (dosis maksimal 1 gram) yang diberikan 2-3 kali seminggu
dengan pemantauan kadar obat dalam darah.
Dosis yang direkomendasikan untuk pasien dewasa dengan penurunan fungsi
ginjal dan untuk pasien dewasa dengan hemodialisis
TB pada Keadaan Khusus

6. TB millier
•Manifestasi klinis TB milier tidak spesifik.

•Presentasi klinis sesuai dengan diagnosis TB: demam dengan peningkatan suhu di malam hari, penurunan berat badan,
anoreksia, takikardi, keringat malam.

•Foto toraks menunjukkan gambaran klasik pola milier.

•Pemeriksaan histopatologis dari biopsi jaringan, pemeriksaan biakan M. tuberculosis dari sputum, cairan tubuh dan
jaringan tubuh lain dapat menunjukkan gambaran tuberkulosis.

•Pemeriksaan funduskopi dapat dilakukan untuk mencari tuberkel koroid


TB-Millier

• Paduan OAT yang diberikan: 2 RHZE / 4 RH. Pada keadaan khusus atau
sakit berat pengobatan fase lanjutan dapat diperpanjang.

• Pemberian kortikosteroid tidak dilakukan secara rutin, hanya diberikan pada


keadaan tertentu yaitu apabila terdapat tanda / gejala meningitis, sesak napas,
tanda / gejala toksik, demam tinggi.
TB pada Keadaan Khusus
7. Tuberkulosis pada ibu hamil, menyusui dan pengguna kontrasepsi

a. Tuberkulosis pada kehamilan


•Tuberkulosis maternal berhubungan dengan: peningkatan risiko abortus spontan, mortalitas
perinatal dan berat badan lahir rendah, TB kongenital (akibat penyebaran hematogen maternal)
•Streptomisin berhubungan dengan ototoksisitas janin  tidak direkomendasikan untuk
pengobatan tuberkulosis pada ibu hamil.

b. Tuberkulosis pada ibu menyusui


•Konsentrasi OAT pada ASI sangat rendah  bukan kontraindikasi pada ibu menyusui dan
bukan pengobatan TB pada bayi.
•Ibu dengan TB paru sensitif obat dapat melanjutkan OAT sambil menyusui. Pemberian OAT
yang cepat dan tepat merupakan cara terbaik mencegah penularan dari ibu ke bayinya.
TB pada Keadaan Khusus

c. Tuberkulosis pada pengguna kontrasepsi

•Pada perempuan usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin,


dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB)  dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektivitas obat
kontrasepsi hormonal berkurang, dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi non-
hormonal.

•Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan.


TB pada Keadaan Khusus

8. Tuberkulosis dengan reaksi alergi pada kulit

•Jika seorang pasien terjadi gatal tanpa ruam dan tidak ada penyebab yang jelas selain
OAT  coba pengobatan simtomatik dengan antihistamin dan pelembab kulit, dan
pengobatan TB dapat dilanjutkan sambil dimonitor.

•Jika terjadi ruam kulit, semua obat anti-TB harus dihentikan. Dosis secara bertahap
ditingkatkan selama 3 hari
Apabila kemudian terjadi ruam, semua OAT harus dihentikan sementara.
Pengobatan TB harus dilakukan sampai selesai agar sembuh, oleh sebab itu,
dapat dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya
reaksi dikulit dengan cara ”drug challenging”
EFEK SAMPING OBAT

• Neuropati perifer : preventif piridoksin 25 mg/hari diberikan bersama dengan


OAT
• ESO: major dan minor
• ESO major  hentikan OAT, rujuk ke fasyankes lebih tinggi
• ESO minor  lanjutkan pengobatan dan terapi simptomatik
ESO MAJOR
EFEK SAMPING Kemungkinan obat penyebab Pengobatan
Ruam kulit (dgn atau tanpa gatal) RHZS Hentikan OAT
Tuli S Hentikan streptomisin
Pusing vertigo dan nistaagmus S Hentikan streptomisin
Ikterik tanpa penyakit hepar RHZS Hentikan OAT
Bingung (curiga gagal hati ec RHZ (sebagian besar OAT) Hentikan OAT
obat bila ada ikterik)
Gangguan penglihatan E Hentikan etambutol
Syok, purpura, gagal hinjal akut R Hentikan rifampisin
Oligouria S Hentikan streptomisin
ESO MINOR
EFEK SAMPING Kemungkinan obat penyebab Pengobatan
Anoreksia, mual, nyeri perut RHZ Berikan obat dengan bantuan
sedikit makanan atau menelan
OAT sebelum tidur, dan sarankan
untuk menelan pil secara lambat
dengan sedikit air.
Nyeri sendi H Aspirin atau obat anti inflamasi
non-steroid, atau parasetamol
Rasa terbakar, kebas atau H Piridoksin 50-75 mg/ hari
kesemutan di tangan dan kaki
Rasa mengantuk H Obat dapat diberikan sebelum
tidur
Air kemih berwarna kemerahan R Edukasi
Sindrom flu (demam, menggigil, R (intermiten) Ubah pemberian rifampisin
malaise, sakit kepala, nyeri intermiten menjadi setiap hari
tulang)

Anda mungkin juga menyukai