Anda di halaman 1dari 44

Imunisasi

Wiwiek Setiowulan
Imunisasi: cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen sehingga bila kelak ia
terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit.

Jenis Kekebalan
 Kekebalan pasif: kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh,
bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contoh: kekebalan
pada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang
diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin.
 Kekebalan aktif: kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri
akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau
terpajan secara alamiah.
Tujuan imunisasi

 mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang

 menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok


masyarakat (contoh: DPT)
 menghilangkan penyakit tertentu dari dunia (contoh:
variola)
Respons imun
Definisi: repons tubuh berupa urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen (Ag) untuk mengeliminasi antigen tersebut.
Dikenal dua macam pertahanan tubuh:
 pertahanan nonspesifik: tidak ditujukan hanya untuk satu macam
antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen
 pertahanan spesifik: ditujukan khusus untuk satu jenis antigen,
terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada
pemberian antigen berikutnya; hal ini disebabkan telah
terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali.
Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi
mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas
humoral.

 Imunitas humoral diperankan oleh limfosit B yang akan


menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua
antibodi adalah protein dengan struktur yang disebut
imunoglobulin (Ig) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada
individu lain dengan cara penyuntikan serum.

 Imunitas selular diperankan oleh limfosit T yang setelah


dirangsang oleh antigen akan teraktivasi dan menimbulkan
serangkaian reaksi yang akan mengeliminasi antigen.
Respons imun pada imunisasi

 Pada pemberian imunisasi pertama kali akan terbentuk respons


imun primer terhadap antigen yang dimasukkan ke dalam
tubuh berupa eliminasi antigen sekaligus terbentuknya sel
limfosit memori yang akan mengenali antigen pada pemberian
berikutnya.
 Pada respons imun humoral, antibodi yang terbentuk
kebanyakan adalah IgM dan IgG dengan titer yang lebih rendah
dibandingkan respons imun sekunder. Pada pemberian
imunisasi kedua dan selanjutnya, sel B memori akan mengenali
antigen dan merangsang pembentukan antibodi yang terutama
adalah IgG dengan titer yang lebih tinggi hingga mencapai efek
protektif yang diinginkan.
Respons imun pada imunisasi (lanjutan)

 Pada respons imun selular tidak terjadi pembentukan


antibodi, melainkan aktivasi limfosit T yang akan
mengeliminasi antigen sekaligus terbentuknya sel T
memori yang berfungsi mengenali antigen pada pajanan
berikutnya.
Faktor penentu keberhasilan imunisasi

 Cara pemberian

 Dosis vaksin

 Frekuensi pemberian

 Jenis vaksin

 Ajuvan

 Kualitas vaksin

 Faktor pejamu
Jenis vaksin

 Live attenuated (kuman hidup yang dilemahkan): vaksin


virus/bakteri yang dimodifikasi sehingga masih memiliki
kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan
menimbulkan kekebalan, tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Contoh: BCG, OPV (polio oral), campak, MMR, varicella.

 Inactivated (kuman atau komponennya yang dibuat tidak aktif):


vaksin berupa keseluruhan virus/bakteri yang dimatikan,
komponen (bagian) dari virus/bakteri, toksoid (toksin bakteri yang
dilemahkan). Contoh: DPT, hepatitis B, IPV (polio inaktif), vaksin
IPD (pneumokokus), Hib, typhoid, influenza, meningokokus.
Vaksin hidup yang dilemahkan
 Dibuat dari virus/bakteri liar penyebab penyakit yang dilemahkan
dengan cara pembiakan berulang-ulang.
 Perlu bereplikasi dalam tubuh pejamu agar dapat menimbulkan
respons imun.
 Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol
(panas/cahaya) atau pengaruh luar thd replikasi organisme dalam
tubuh (antibodi yang beredar) dapat menyebabkan vaksin tidak
efektif.
 Dapat menimbulkan kejadian ikutan imunisasi yang menyerupai
penyakit aslinya dengan gejala yang lebih ringan. Namun, pada
pejamu dengan defisiensi imun dapat menimbulkan gejala
sebagaimana penyakit aslinya.
 Secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik seperti
semula (hanya terjadi pada vaksin polio hidup).
Vaksin inactivated

 Dibuat dengan menginaktivasi kuman/bakteri dengan


penanaman bahan kimia atau hanya memasukkan
komponennya saja dalam vaksin.
 Tidak dapat hidup/tumbuh dalam tubuh pejamu. Tidak
menyebabkan penyakit dan tidak dapat mengalami mutas
menjadi bentuk patogenik.
 Selalu membutuhkan dosis multipel untuk dapat menghasilkan
titer antibodi yang diinginkan.
 Vaksin yang mengandung seluruh sel bakteri bersifat sangat
reaktogenik dan paling banyak memiliki reaksi ikutan/efek
samping (contoh antigen pertusis pada DPT).
Rantai vaksin

 Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan


transportasi vaksin untuk menjamin kualitas vaksin sejak
dari pabrik sampai diberikan kepada pasien.
 Suhu optimum vaksin pada umumnya: +2 s.d. +8°C.

 Vaksin hidup: polio oral yang belum dibuka bila beku


tahan s.d. 2 tahun, namun pada suhu +2 s.d. +8°C hanya 6
bulan (disarankan disimpan dalam freezer). Vaksin campak
dan BCG yang belum dibuka memiliki masa hidup yang
sama baik beku maupun suhu +2 s.d. +8°C , yaitu BCG 1 th
dan campak 2 th (tidak perlu disimpan di freezer).
Rantai vaksin

 Vaksin mati: Bila beku, vaksin DPT dan hepatitis B akan


rusak dalam 1-2 jam. Pada suhu di atas 8°C, vaksin
hepatitis B dapat bertahan sampai 30 hari, vaksin DPT-
hepatitis B kombinasi sampai 14 hari.
Susunan vaksin dalam lemari es

 Vaksin hidup dekat bagian yang paling dingin, vaksin mati jauh dari
bagian yang paling dingin. Di antara kotak vaksin diberi jarak selebar
jari tangan (sekitar 2 cm) agar udara dingin menyebar merata ke
semua kotak vaksin.
 Bunga es dalam freezer bila telah mencapai tebal 2-3 cm harus segera
dilakukan pencairan (defrost).
 Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin, tetapi untuk
cool pack guna mempertahankan suhu bila listrik mati.
 Pelarut vaksin dan penetes (dropper) polio jangan disimpan di lemari
es.
 Tidak boleh menyimpan makanan/minuman/obat lain dalam lemari
es vaksin.
Transportasi vaksin

 Vaksin sebaiknya dibawa dalam cold box (kotak dingin) atau


termos es. Untuk mempertahankan suhu vaksin di dalam kotak
dingin/termos dimasukkan cold pack atau cool pack.
 Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu -15 s.d. -25°C
selama 24 jam, biasanya dalam wadah plastik berwarna putih.
Digunakan untuk membawa vaksin hidup.
 Cool pack berisi air dingin (tidak beku) yang didinginkan dalam
suhu +2 s.d. +8°C, biasanya dalam wadah plastik berwarna biru.
Dapat digunakan untuk membawa vaksin hidup maupun mati.
Menilai kualitas vaksin

Syarat rantai vaksin yang baik


 disimpan dalam lemari es dalam suhu tertentu

 transportasi dalam kotak dingin/termos yang tertutup rapat

 tidak terendam air

 terlindung dari sinar matahari langsung

 belum melewati tanggal kadaluwarsa

 indikator suhu berupa VVM (vaccine vial monitor) atau freeze


watch/tag belum melampaui batas suhu tertentu
 khusus untuk sisa vaksin tidak melewati batas waktu yang
ditentukan.
Vaccine vial monitor

A. Segi empat lebih terang dari lingkaran sekitar:


bila belum kadaluwarsa: GUNAKAN vaksin

B. Segi empat berubah gelap, tapi lebih terang dari


lingkaran sekitar: bila belum kadaluwarsa:
SEGERA GUNAKAN vaksin

C. Segi empat sama warna dengan lingkaran


sekitar: JANGAN GUNAKAN vaksin. Lapor
kepada pimpinan.

D. Segi empat lebih gelap dari lingkaran sekitar:


JANGAN GUNAKAN VAKSIN. Lapor kepada
pimpinan
Freeze watch dan freeze tag

 Bila dalam freeze watch terdapat warna biru yang melebar


ke sekitarnya atau dalam freeze tag terdapat tanda silang
(X), berarti vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0°C yang
dapat merusak vaksin mati (inaktif). Vaksin tersebut tidak
boleh diberikan kepada pasien.
Warna dan kejernihan vaksin

 Vaksin polio harus berwarna kuning oranye. Bila berubah


menjadi pucat atau kemerahan, berarti pHnya telah
berubah sehingga tidak stabil.
 Vaksin toksoid, rekombinan, dan polisakarida umumnya
berwarna putih jernih sedikit berkabut. Bila menggumpal
atau banyak endapan berarti sudah pernah beku, tidak
boleh digunakan karena sudah rusak. Untuk meyakinkan,
dapat dilakukan uji kocok. Bila setelah dikocok tetap
menggumpal/mengendap, maka tidak boleh digunakan.
Masa pemakaian sisa vaksin yang sudah
dibuka/dilarutkan

 Polio : 2 minggu

 DPT /DT/TT : 4 minggu


 Hepatitis B : 4 minggu
 BCG : 6 jam sejak dilarutkan
 Campak : 6-8 jam sejak dilarutkan
 Hib : 24 jam sejak dilarutkan
 Varisella : ½ jam sejak dilarutkan
Tatacara pemberian imunisasi
Sebelum memberikan imunisasi:
 Memberitahukan risiko imunisasi dan risiko bila tidak diimunisasi

 Memeriksa persiapan untuk penanganan secepatnya bila terjadi reaksi


ikutan yg tidak diharapkan
 Melakukan tanya jawab dengan orangtua/pengasuh sebelum melakukan
imunisasi. Minta persetujuan orangtua
 Tinjau kembali adakan indikasi kontra terhadap vaksin yang akan diberikan

 Periksa identitas penerima vaksin. Berikan antipiretik bila diperlukan

 Periksa jenis vaksin, yakinkan vaksin telah disimpan dengan baik

 Periksa vaksin yang akan diberikan, adakah tanda-tanda perubahan. Periksa


tanggal kadaluwarsa dan catat hal-hal istimewa
Tatacara pemberian imunisasi (lanjutan)
 Yakinkan vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal. Tawarkan vaksin
lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up vaccination)
bila diperlukan
 Berikan vaksin dengan teknik yang benar: pemilihan jarum suntik,
sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, posisi penerima vaksin
 Setelah pemberian vaksin, kerjakan:
 Berilah petunjuk kepada orangtua/pengasuh tentang apa yang harus
dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih
berat
 Catat imunisasi dalam rekam medis dan catatan klinis
 Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas
Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular (P2M)
 Periksa status imunisasi anggota keluarga lain dan tawarkan vaksinasi
untuk mengejar ketinggalan bila diperlukan
Teknik dan ukuran jarum

 Ukuran jarum standar: ukuran 23 dengan panjang 25 mm,


kecuali:
 Bayi ≤ 2 bulan: dipakai ukuran 26 dengan panjang 16 mm
 Suntikan subkutan lengan atas: dipakai ukuran 26 dengan panjang
16 mm, bayi kecil ukuran 27 dengan panjang 12 mm
 Intramuskular orang dewasa obese: ukuran 23 dengan panjang 38
mm
 Intradermal pada vaksinasi BCG: ukuran 25-27 dengan panjang 10
mm
Penyuntikan intramuskular

 Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot

 Suntik dengan arah jarum 45-60°, lakukan dengan cepat

 Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk
saat jarum disuntikkan
 Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan

 Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstremitas


berbeda
Lokasi penyuntikan: otot vastus lateralis/paha daerah antero-
lateral (jarum diarahkan ke lutut) atau otot deltoid (jarum
diarahkan ke pundak)
Penyuntikan subkutan

 Arah jarum 45° terhadap kulit

 Cubit tebal untuk suntikan subkutan

 Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan

 Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstremitas


berbeda
Indikasi kontra imunisasi secara umum

 Reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin

 Sakit sedang atau berat

 Demam >38,5° C

Perhatian!

Sakit ringan seperti batuk pilek, diare tanpa dehidrasi atau


sakit kulit BUKAN kontraindikasi imunisasi
Tuberkulosis (TB)

 Penyebab: Mycobacterium tuberculosis

 SKRT 1992: TB penyebab kematian kedua di Indonesia

 Gejala tuberkulosis pada anak:


 Demam lama/berulang tanpa diketahui sebabnya
 Batuk >3 minggu
 Berat badan sulit naik/berat badan turun
 Pembesaran kelenjar getah bening leher hingga bernanah/pecah
(skrofuloderma)
 TB berat: meningitis TB (kejang, penurunan kesadaran), TB milier
(sesak, sianosis), TB tulang (gibus)
 Reaksi cepat BCG: timbul dalam 7 hari sejak imunisasi (normal dalam
4 minggu)
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin)

 Isi: bakteri Mycobacterium bovis yang dilemahkan

 Cara pemberian dan dosis: intrakutan/intradermal di daerah lengan


kanan atas pada insersio M.deltoideus; dosis anak 0,10 ml, dosis bayi
0,05 ml
 Frekuensi: 1x usia <3 bulan

 Kontraindikasi:
 Reaksi uji tuberkulin >5 mm
 Kondisi imunodefisiensi: menderita infeksi HIV, penyakit keganasan
sumsum tulang/sistem limfe
 Menderita gizi buruk
 Menderita demam tinggi
 Menderita infeksi kulit yang luas
 Pernah sakit TB
 Kehamilan
 Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI):
 Limfadenitis supuratif di aksila atau leher. Akan sembuh sendiri, tidak
perlu diobati. Bila melekat pada kulit atau timbul fistula, dapat
dibersihkan (drainage) dan diberikan obat antituberkulosis oral

 Apabila BCG diberikan pada umur >3 bulan sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu. Bila hasil (+): pernah terinfeksi  tidak
perlu imunisasi. Bila tidak dapat dilakukan uji tuberkulin, imunisasi
tetap diberikan sambil menjelaskan, bila timbul reaksi cepat BCG agar
dibawa berobat (tanda bahwa anak telah terinfeksi TB)
 Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan BTA (+)
sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu. Bila pasien kontak sudah
tenang, bayi dapat diberi BCG
Hepatitis B

 Infeksi pada anak umumnya tidak bergejala, tetapi 80-95%


akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun akan menjadi sirosis
dan/atau kanker hati
 Penularan: semua orang dengan HBsAg positif dapat
menularkan hepatitis B melalui kontak lewat permukaan kulit
yang terbuka/luka, suntikan, dan hubungan seks.
 Gejala hepatitis B kronis: tidak khas, dengan/tanpa riwayat
hepatitis akut (kuning, demam), mual, nafsu makan turun, lesu
 Gejala sirosis/kanker hati: berat badan turun, edema,
penumpukan cairan rongga perut (asites), muntah darah, BAB
hitam, penurunan kesadaran karena keracunan amonia
Imunisasi Hepatitis B

 Imunisasi pasif: Hepatitis B immune globulin (HBIg)


 Indikasi: pasca pajanan hepatitis B (needle stick injury, bayi dari
ibu HBSAg positif, terciprat darah penderita hepatitis B ke
mukosa/mata)
 Segera memberikan proteksi dalam waktu singkat, namun hanya
bertahan 3-6 bulan. Sebaiknya diberikan bersama vaksin
hepatitis B
 Pada bayi dari ibu HBsAg (+): diberikan HBIg 0,5 ml i.m. bersama
vaksin di sisi tubuh yang berbeda dalam waktu 12 jam setelah
lahir
 Efektivitas proteksi (mencegah infeksi hepatitis B dan kronisitas):
85-95%. Bila hanya diberikan vaksin hepatitis B: efektivitas
proteksi 75%
Imunisasi Hepatitis B (lanjutan)

 Imunisasi aktif: vaksin hepatitis B


 Isi: vaksin rekombinan (hasil rekayasa genetik)
 Cara pemberian dan dosis: 0,5 ml i.m.
 Frekuensi: vaksin hepatitis B monovalen saat lahir, dilanjutkan
vaksin kombinasi DPT/hepB pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
 Pada bayi dari ibu dengan status HBsAg tidak diketahui: vaksin
hepB diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir. Bila kemudian
diketahui bahwa ibu HBsAg (+): ditambahkan HBIg sebelum bayi
berusia 7 hari
 Bayi prematur dari ibu HBsAg (-): vaksinasi ditunda sampai bayi
usia 2 bulan atau BB sudah mencapai 2 kg
 Kontraindikasi: tidak ada
 KIPI: reaksi kemerahan ringan, demam ringan selama 1-2 hari
Difteri, Pertusis, dan Tetanus

 Difteri
 Penyebab: bakteri Corynebacterium diphtheriae
 Patogenesis: anak yang terinfeksi difteri pada nasofaring,
kuman tsb akan memproduksi toksin yang menyebabkan
kerusakan jaringan setempat dan terbentuk
selaput/membran yang dapat menyumbat jalan napas.
Komplikasi: miokarditis, neuritis, trombositopenia
 Angka kematian sangat tinggi, terutama usia <5 tahun
 Pengobatan: antitoksin, antibiotik, rawat isolasi
Difteri, Pertusis, dan Tetanus

 Pertusis (batuk rejan/batuk 100 hari)


 Penyebab: bakteri Bordetella pertussis
 Patogenesis: kuman pertusis pada nasofaring akan
memproduksi toksin yang menyebabkan kelumpuhan bulu
getar saluran nafas atas sehingga terjadi gangguan aliran
sekret saluran nafas  penumpukan lendir  batuk
paroksismal tanpa inspirasi yang diakhiri bunyi whoop, dpt
berlanjut antara 1 sampai 10 minggu
 Komplikasi: pneumonia, kejang dan penurunan kesadaran
akibat hipoksia
 Pengobatan: antitoksin, antibiotik, pengobatan suportif
terhadap batuk
Difteri, Pertusis, dan Tetanus

 Tetanus
 Penyebab: bakteri Clostridium tetani
 Patogenesis: kuman tetanus masuk ke dalam tubuh manusia
melalui luka dan dalam suasana anaerob (rendah oksigen), lalu
menghasilkan toksin yang akan menempel pada reseptor di
sistem syaraf  menimbulkan kontraksi dan spastisitas otot
yang tak terkontrol, kejang, dan gangguan sistem otonom
 Gejala: kaku kuduk, trismus, perut papan, kejang spontan
dan/ atau rangsang
 Komplikasi: spasme laring, pneumonia, infeksi nosokomial
 Tatalaksana: antispasme (diazepam), antitoksin, antibiotik
Vaksin DPT

 Isi: toksoid difteri, bakteri pertusis yang dimatikan, toksoid tetanus

 Cara pemberian dan dosis: 0,5 ml i.m. di paha anterolateral

 Jadwal: imunisasi dasar 3x, yaitu usia 2, 3, dan 4 bulan (interval


tidak kurang dari 4 minggu). Imunisasi lanjutan 1 tahun setelah
dosis ketiga

 KIPI:
 Kemerahan, bengkak, nyeri pada lokasi injeksi
 Demam
 Gelisah dan menangis terus selama beberapa jam setelah penyuntikan
 Paling berat: ensefalopati akut, reaksi anafilaksis
Vaksin DPT

 Indikasi kontra
 Ensefalopati dalam 7 hari pasca DPT sebelumnya

 Perhatian khusus
 Demam >40,5°C, kolaps dan episode hipotonik-hiporesponsif
dalam 48 jam pasca DPT sebelumnya yang tidak berhubungan
dengan penyebab lain
 Kejang dalam 3 hari pasca DPT sebelumnya
 Menangis terus ≥3 jam dalam 48 jam pasca DPT sebelumnya
Polio

 Penyebab: virus polio

 Patogenesis: virus polio masuk melalui mulut dan


bermultiplikasi di faring dan saluran cerna. Virus dapat terus
dikeluarkan bersama tinja dalam beberapa minggu. Virus
menembus jaringan limfoid setempat, masuk ke pembuluh
darah, kemudian sistem saraf pusat; bereplikasi di medula
spinalis dan batang otak serta mengakibatkan kerusakan sel.
 Gejala: 95% infeksi tidak bergejala; sisanya berupa lumpuh
layuh yang dapat sembuh, namun adapula dengan gejala sisa
yang menetap
Vaksin Polio

 Isi:
 polio oral: virus hidup yang dilemahkan
 Inactivated polio vaccine (IPV): vaksin yang dimatikan

 Cara pemberian dan dosis: OPV: 2 tetes peroral tiap pemberian

 Jadwal: imunisasi dasar 4x, yaitu saat lahir, usia 2, 3, dan 4 bulan.
Imunisasi lanjutan 1 tahun setelah dosis ketiga, interval tidak
kurang dari 4 minggu

 KIPI:
 Dapat terjadi polio yang berkaitan dengan vaksin (risiko 1 : 2,5 juta),
risiko makin menurun pada pemberian dosis berikutnya
 Dapat timbul gejala pusing, diare ringan, nyeri otot
Vaksin Polio

 Bila anak muntah/diare: imunisasi ditunda

 Kontraindikasi OPV (vaksin hidup)


 Imunodefisiensi (HIV/AIDS, keganasan, terapi
imunosupresan/radiasi)
 Kehamilan
 Reaksi anafilaksis terhadap neomisin, polimiksin B, streptomisin
 Tinggal serumah dengan pasien imunodefisiensi
 Diberikan IPV (vaksin mati)
Campak

 Penyebab: virus campak

 Penularan: secara langsung dari droplet infeksi

 Gejala: demam timbul secara bertahap, meningkat sampai hari


kelima/keenam pd puncak timbulnya ruam. Terdapat batuk, pilek,
mata merah, dan Koplik’s spot. Ruam muncul pada hari
ketiga/keempat berupa erupsi makulopapula eritematosa mula2 di
leher, belakang telinga, menyebar ke wajah, ekstremitas atas, badan,
dan kaki dalam 3 hari. Lesi kemudian berubah menjadi kecoklatan
diikuti dengan timbulnya deskuamasi/kulit bersisik

 Komplikasi: ensefalitis, pneumonia, otitis media, diare hingga protein


losing enteropathy, konjungtivitis bakterialis hingga kebutaan (kasus
lebih berat pada pasien gizi buruk dan defisiensi vit A)
Vaksin Campak

 Isi: virus campak yang dilemahkan

 Cara pemberian dan dosis: 0,5 ml s.k. (kesepakatan: lengan kiri)

 Frekuensi: imunisasi dasar 1x usia 9 bulan; booster usia 6


tahun/SD kelas 1
 Kontraindikasi:
 Imunodefisiensi
 Kehamilan

 KIPI:
 Dapat timbul demam pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan
berlangsung 2 hari, dapat disertai ruam pada hari ke 7-10 selama 2-
4 hari
Imunisasi yang dianjurkan
 Hib (Haemophillus influenzae tipe b): mencegah radang otak dan pneumonia
akibat bakteri Hib, diberikan secara i.m. pada usia 2,4,6 bulan
 Pneumokokus (IPD): mencegah pneumonia akibat bakteri Streptococcus
pneumoniae, diberikan secara i.m. pada usia 2,4,6 bulan
 Influenza: mencegah infeksi virus influenza (H1N1, dll.), pemberian secara
i.m., pertama 2x dengan interval 4 minggu, selanjutnya diberikan tiap tahun
 MMR: mencegah mumps (gondongan), campak, dan rubella, diberikan secara
s.k. pada usia 15 bulan,diulang usia 6 th
 Demam tifoid: diberikan secara i.m. pada usia >2 th, diulang tiap 3 th

 Hepatitis A: diberikan secara i.m. pada usia >2 th, 2x dengan interval 6-12 bl

 HPV (human papilloma virus): mencegah kanker leher rahim, diberikan secara
i.m. pada umur >10 th sebanyak 3x dengan interval 0, (1-2), dan 6 bulan
Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar
Usia (bl) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 +12
Vaksin
HB 0
BCG
Polio 1
DPT/HB1
Polio 2
DPT/HB2
Polio 3
DPT/HB3
Polio 4
Campak

Jadwal tepat Tidak diperbolehkan

Masih diperbolehkan Waktu bagi anak >1 th yg belum lengkap

Anda mungkin juga menyukai