Anda di halaman 1dari 7

MENGKONSTRUK

SEJARAH DAN
MENCARI SOLUSI
PERADABAN
KE DEPAN ANGGOTA
NAMA ANGGOTA:
ADELYA INDAH SAFIRAH
MOHAMMAD MUJIBUR ROHMAN
FAJAR ARIFIAN
Rekrontruksi Peradaban:
■ Setiap bangsa besar memiliki akar tunggang budaya yang mengalami pasang surut.
Oleh karenanya, budaya dan capaian peradaban sebuah bangsa dan tradisi agama
bersifat dinamis. Di sana terdapat budaya dan agama yang sirna dan tak kunjung
kembali. Di sini berlaku hukum Darwinisme sosial, sintasan yang paling cocok
(survival of the fittest). Hanya mereka yang kuat dan bisa beradaptasi dengan cepat yang
bisa bertahan dan berkembang.
Keredupan peradaban:
■ Demikian pula halnya dengan peradaban Islam, yang menurut catatan, mulai meredup pada abad ke-11.
Sejarawan menamakan abad ke-8 sampai dengan ke-13 sebagai Zaman Keemasan Islam (The Golden Ages of
Islam). Istilah ini dipopulerkan oleh kalangan modernis muslim yang merasa kalah menghadapi kemajuan Barat,
lalu mencari referensi dan motivasi ke masa lalu. Ratusan buku telah ditulis untuk mencari jawaban, apa
penyebab utama kemunduran peradaban Islam dan mengapa Barat lalu menyalip dan berkembang jauh lebih
cepat.
■ Ada pendapat, di antara penyebabnya adalah krisis politik dan ekonomi di sentra-sentra kekuasaan Islam yang
membuat tradisi keilmuan terhenti. Para penguasa lebih fokus pada pemikiran fikih untuk mengendalikan perilaku
rakyatnya. Sementara itu ulama lalu memilih kajian tasawuf untuk meraih ketenangan hidup. Peristiwa Perang
Salib telah ikut merusak bangunan peradaban. Tradisi keilmuan beralih ke atmosfer peperangan.
■ Warisan peradaban Islam dalam bidang keilmuan terpecah dan menyempit. Ilmu-ilmu alam, sosial, dan
humaniora justru dipelihara, dipupuk, dan dikembangkan di Eropa yang pada urutannya oleh dunia Islam
dikucilkan dengan label ilmu umum atau sekuler. Sementara itu, dunia Islam lebih semangat mengembangkan
ilmu fikih dan tasawuf yang dipandang sebagai inti ilmu keislaman dengan ikon Imam Al-Ghazali yang menulis
karya sangat monumental: Ihya Ulum al-Din.
■ Memasuki abad modern, di kalangan muslim muncul kerinduan akan kebangkinan kembali peradaban Islam.
Namun nampaknya, pendulum sejarah masih berjalan sangat lambat. Atau, dunia luar yang berjalan lebih cepat.
Kita memang bisa belajar dari sejarah, tapi kita mungkin bukan murid yang cerdas dari sejarah. Diperlukan aktor
dan institusi yang mendesain strategi dan punya peta jalan untuk eksekusinya. Tidak mudah bagi sebuah bangsa
yang pernah maju peradabannya —seperti Yunani, Mesir, dan Irak,— untuk bangkit kembali.
Bingkai rekonstruksi:
■ ahli politik kelahiran Iran yang saat ini mengajar di Universitas Aarhus Denmark,
menawarkan peta jalan untuk membangun kembali peradaban Islam. Baginya, yang
dibutuhkan saat ini adalah melakukan rekontruksi sejarah lampau. Rekontruksi adalah
proses dimana elemen lampau di sana yang mesti dipertahankan, akan tetapi dilengkapi
dengan elemen kontekstual sesuai kebutuhan masanya.
■ Berbeda dengan reproduksi yang bersifat mekanistik atau menyalin masa lampau untuk
dihadirkan lagi. Reproduksi ini menjadi sulit untuk beranjak dari tempatnya karena
dibawah bayang bayang masa lalu.
Elemen lampau:
elemen lampau yang bersifat perenial dan dapat kita lacak kembali pada masa awal Islam
serta pada ajaran dasarnya. Ada 3 elemen yaitu:
■ Semangat tauhid, sikap berserah diri sepenuhnya kepada Allah Sang Pencipta. Kesadaran ini, jika
dimaknai dengan baik, akan menjadi sumber energi abadi. Kesadaran ini juga yang mengantarkan kita
pada pemahaman bahwa Islam tidak hanya hadir sebagai rahmat bagi kaum muslim, tetapi bagi semesta
alam. 
■ harus terus dikawal: nilai kemanusiaan universal. Pesan universalisme Islam perlu dilantangkan. Inilah
nilai yang menjadikan Islam dapat diterima dengan baik oleh banyak kalangan karena sifatnya yang
begitu inklusif dan apresiatif pada martabat manusia, apapun latar belakang agama, etnis dan budayanya.
Pada abad awal, Islam sudah mulai berkembang melampaui batas etnis dan kawasan yang telah
mendorong munculnya peradaban baru di luar tradisi Arab.
■ ekletisisme implementasi ajaran Islam. Maksudnya Islam mengajarkan muslim bersifat terbuka terhadap
hal-hal baik. Tentu, ini bukan berarti membuka pintu sinkretisme akidah, tetapi umat Islam bersikap
apresiatif terhadap peradaban baru yang dijumpainya di mana pun mereka berada. Dalam konteks ini
terjadi proses kreatif-dialektis antara “islamisasi nilai pribumi” dan “pribumisasi nilai Islam”. Dalam
ungkapan lain, berlangsung kontekstualisasi ajaran Islam. Dengan demikian, kehadiran Islam akan
dipahami sebagai bagian solusi dari masalah kemanusiaan.
Elemen kontekstual:
Tokoh dan pemikiran besar pada zamannya akan tidak lagi dianggap relevan sebagai respons yang tepat pada zaman
yang berbeda. Dalam konteks kekinian, seorang muslim jangan terjebak pada pendekatan reaktif layaknya
pemadaman api. Untuk itu ada 2 agenda yang perlu dipertimbangkan matang-matang.

■ kalangan muslim perlu mendesain beragam masa depan kolektifnya. Masa depan tidak singular.
Terlebih dengan kehadiran teknologi digital yang sangat membantu menghubungkan berbagai
informasi yang tadinya tertutup dan tidak tersambung dengan yang lain. Wajah dunia semakin terlihat
plural dan saling bersentuhan. Peta jalan dan imajinasi masa depan ini mesti kita bahas bersama secara
reflektif-kontemplatif berdasarkan data dan pengalaman sejarah masing-masing bangsa dan negara.
■ umat Islam pun harus secara proaktif mengikuti perkembangan mutakhir, termasuk dalam penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Revolusi senyap yang didorong oleh beragam teknologi modern,
seperti kecerdasan buatan, mahadata, Internet of things, dan biologi modern yang melahirkan
neurosains, perlu dikuasai. Ini semua adalah kerja kolektif khususnya bagi kalangan intelektual
kampus. Berkembangnya pemeluk Islam dari hari ke hari jika tidak diikuti prestasi keilmuan dan
kontribusi pada peradaban dunia, akan menjadikan dunia Islam diposisikan pada garis koordinat
pinggiran yang tidak produktif, meski secara demografis besar. Sekedar indikator kecil, selama
pandemi ini tak ada negara muslim yang ikut berdiri di garis depan memproduksi vaksin untuk ikut
serta mengatasi problem kemanusiaan. Yang sering terdengar justru konflik sesama mereka yang
menyedot energi sangat besar.
Hatur Nuhun

Anda mungkin juga menyukai