Anda di halaman 1dari 15

Tugas Pendidikan

Agama Islam
Nama : Shervia Dandi Ananda
NIM : 7311420232
Fakultas : Ekonomi
FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM
KEHIDUPAN
MASYARAKAT, MADZHAB DALAM HUKUM
ISLAM, DAN
MENSIKAPI PERBEDAAN MADZHAB
FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT

1) Fungsi Ibadah. Fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah swt.
Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi ummat manusia, dan kepatuhannya
merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.

2) Fungsi Amar ma’ruf nahi munkar. Hukum Islam sebagai hukum yang ditujukan untuk
mengatur hidup dan kehidupan manusia, jelas dalam praktek akan selalu bersentuhan dengan
masyarakat. Sebagai contoh misalnya proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan
adanya keterkaitan penetap hukum (Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf).
Penetap hukum sangat menyadari bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan secara
sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar. Hukum Islam berfungsi sebagai salah satu
sarana pengendali sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak
dilecehkan dan tali kendali sosial terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang
hanya menimpa pelakunya. Namun, secara tidak langsung, lingkunganpun ikut terancam bahaya
tersebut. Oleh karena itu, dapat difahami fungsi kontrol sosial yang dilakukan lewat tahapan
pengharaman riba dan khamar. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi mungkar.
3) Fungsi Zawajir. Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang
disertai dengan ancaman hukuman atau sanksi hukum. Qishas dan diyat diterapkan untuk
tindak pidana terhadap jiwa/badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian,
perzinahan, qadzaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam
tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai
sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta
perbuatan yang membahayakan.

4) Fungsi Tanzim wa Islah ai-Ummah. Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai
sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial sehingga
terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, sejahtera. hukum Islam menetapkan aturan
yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hukum yang berkenaan dengan
masalah perkawinan dan pewarisan. Sedangkan dalam masalah lain yakni masalah
muammalah, pada umumnya hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya saja.
MAZHAB DALAM HUKUM ISLAM

Munculnya Perbedaan Mazhab


Mazhab secara bahasa artinya jalan atau tempat berjalan. Secara istilah diartikan sebagai
cara seorang Mujtahid dalam mengambil (istinbath) dari dalil Alqur’an atau As-Sunnah
yang berbeda-beda antara seorang mujtahid dengan mujtahid lainnya. Munculnya mazhab-
mazhab yang berbeda di dalam hukum islam adalah konsekuensi logis dari penyebaran
Islam ke berbagai daerah dan diterimanya ijtihad sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Dalam hukum Islam dikenal banyak mazhab tetapi yang akan dijelaskan hanya empat
mazhab. Ke-empat mazhab tersebut adalah; Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i. Ke-
empat mazhab tersebut semuanya tumbuh pada akhir masa dinasti Umayyah dan awal
dinasti Abbasyiyah (132-656H / 750-1258 M). Mazhab-mazhab tersebut lahir antara lain
karena adanya perbedaan diantara mereka dalam memegang prinsip hukum, sistim hukum,
metode pengkajian, dan pendekatan dalam memahami ajaran keagamaan yang terangkum
dalam Alqur’an dan As-sunnah (hadits), yang tidak bersifat absolut atau zanni, yang
merupakan lapangan ijtihad, dan dalam hal-hal yang bersifat furuiyah (cabang) bukan
dasar Islam.
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup segala sesuatu ia sendiri yang memimpin.
Peristiwa-peristiwa yang yang terjadi langsung mendapat putusan darinya. Setelah
Rasulullah wafat, para sahabat menggantikannya memimpin negara dan rakyat, memajukan
agama, dan memutuskan hukum. Agama Islam makin tersiar dan berkembang di timur dan
di barat, banyak para sahabat yang berpindah negeri. Daerah-daerah baru yang mereka
datangi mempunyai adat, pergaulan, peraturan-peraturan dan peristiwa-peristiwa yang
sungguh berbeda dari yang mereka alami di daerah kelahirannya. Para ulama waktu itu
berusaha agar semua persoalan yang mereka hadapi dapat disesuaikan dengan agama Islam,
karena Islam bersifat Rahmatallil ‘alamin, bukan untuk meruntuhkan atau membuang segala
yang ada, dan mengganti dengan yang baru, tetapi ia memperhatikan serta menimbang
segala sesuatu dengan dasar baik, serta melihat manfaat dan madharatnya (Rasjid, Sulaiman,
1976).
Para ulama (fuqoha) pada masa itu mendasarkan penetapan hukum atas peristiwa-peristiwa
yang terjadi berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadits, serta Ro’yu melalui ijtihad.
Perbedaan pendapat dari para ulama yang pada akhirnya memunculkan berbagai mazhab di
dalam hukum Islam dapat terjadi karena berbagai perbedaan di kalangan para ulama sebagai
berikut:
1) Perbedaan pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
2) Perbedaan dalam hal-hal yang berkaitan dengan sunnah rasul.
3) Perbedaan di dalam menggunakan berbagai kaedah fikih
4) Perbedaan di dalam menggunakan dalil-dalil di luar Al-Qur’an dan Hadits, seperti
penggunaan tradisi penduduk setempat (istihsan), al-maslahat al-mursalat (istihlah), dan
saddu al-zari’at.
Mazhab Utama, Pendiri dan Karakteristiknya

1. Mazhab Hanafi
Mazhab ini didirikan oleh Imam Nu’man bin Tsabit dan bergelar Abu Hanifah. Ia
berasal dari Kufah (Irak). Di sana pula beliau belajar dan mulai menyusun
mazhabnya. Dasar-dasar mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, Qiyas
dan Istihsan. Pemikiran Hanafi cenderung rasional. Dalam mazhab ini
penggunaan nalar/rasio lebih dominan dalam proses pengambilan hukum Islam
dari pada penggunaan al-Hadits. Hal ini karena di Iraq banyak terjadi pemalsuan
hadits yang terjadi karena pertikaian beberapa aliran teologi seperti syiah,
khawarij yang masing-masing banyak memalsukan hadits untuk membenarkan
pendapat masing-masing.
2. Mazhab Maliki
Mazhab ini didirikan oleh Malik bin Anas Al Ashbahi. Beliau berasal dan
belajar di Madinah. Di Madinah pula beliau menulis kitab Al Muwaththa’.
Dasar-dasar mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, Qiyas,
perbuatan ulama Madinah, perkataan sahabat, istihsan, saddu dzarai,
mura’ah al khilaf, istishab, mashalih mursalah dan syariat terdahulu.
Dalam proses pengambilan hukum Maliki lebih cenderung literal. Hal itu
karena Al-Hadits begitu banyak bertebaran di Madinah, sehingga dalam
memecahkan persoalan sosial (hukum), tidak memerlukan jawaban di luar
Al-Hadits yang sudah ada, karena semua hampir peristiwa hukum terdapat
kesamaannya dengan peristiwa yang dialami masa sahabat.
3. Mazhab Syafi’I
Mazhab ini didirikan oleh Muhammad bin Idris As Syafi’i Al Hasyimi. Dasar-dasar
mazhab beliau adalah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Corak pemikiran
Syafi’i cenderung moderat, konvergensi, yaitu berusaha mempertemukan antara
tradisi tekstual dan rasional. Dalam menerima dua corak pemikiran tersebut ia
bersikap kritis, selektif, sehingga bisa menarik suatu wawasan baru. Hal itu karena di
masa kehidupan Syafi’i, ilmu pengetahuan dan budaya mencapai kemajuan pesat
dengan berdirinya bait Al Hikmah oleh Khalifah Makmun. Pemikiran orisinal yang
dikembangkan Syafi’i dalam membangun pemikiran hukum Islam adalah
meletakkan fungsi sunnah dalam konstalasi pemikiran hukum Islam yang holistik.
Sebelumnya ijma’lah yang menentukan orisinalitas sebuah sunnah.
4. Mazhab Hanbali
Mazhab ini didirikan oleh Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani atau Imam Ahmad
(164 – 241 H). Dasar dari mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah, perkataan
sahabat, Ijma’, Qiyas, Istishab, Mashalih mursalah, dan Adz Dzarai’. Beliau
mengarang kitab Al Musnad mengenai hadist dan berisi sekitar 45. 000 hadist.
Reputasinya sebagai ahli hadits dan teologi lebih besar dari pada ahli hukum,
ia sama sekali tidak menerima hasil pemikiran manusia
Hukum Bermazhab

1) Mewajibkan. Semua orang harus mengikuti salah satu di antara keempat mazhab yang ada karena
pintu ijtihad sudah ditutup dan tidak seorang pun mampu menjadi seorang mujtahid di masa kini.
2) 2) Mengharamkan. Berasal dari kelompok yang menyatakan bahwa bermazhab itu bid’ah, yaitu
mengada-ada apa yang tidak diperintah oleh Nabi Muhammad SAW. Bid’ah dalam agama adalah
haram.
3) 3) Membolehkan tanpa pemaksaan pada mazhab tertentu dan kita harus menyempurnakannya
sehingga sampai pada taraf mujtahid. Kelompok ini membagi manusia dalam 3 golongan, yaitu:
a) Kelompok awam yang tidak mengerti dalil sama sekali.
b) Kelompok pencari ilmu. Bagi kelompok ini dipersilakan memilih salah satu mazhab, tapi boleh
mempelajari atau mengambil dari mazhab lain yang sahih sambil terus menyempurnakan ilmunya.
c) Kelompok para ulama mujtahid (yang memenuhi syarat untuk mampu berijtihad). Kelompok ini
haram bermazhab.
Contoh Perbedaan Pendapat Dalam Masalah Furu’.

1) Perbedaan dalam mengartikan bahasa, seperti kata quru’ dalam Al-qur’an Surat Al-baqarah:
228 bisa bermakna haidh, bisa bermakna suci.
2) Perbedaan dalam memahami hadits, seperti membaca Al-fatihah di belakang imam (apakah
hadits yang melarang membaca di belakang imam termasuk bacaan Al-fatihahnya atau bacaan
suratnya saja).
3) Perbedaan dalam menilai derajat hadits, seperti hadits “air dua kullah tidak mengandung
najis”, Imam Syafi’i menyatakan hadits ini shahih, yang lainnya mendhoifkannya.
4) Perbedaan yang sudah ada sejak dari masa Rasululloh SAW, seperti memulai Al-fatihah
dengan basmallah atau dengan Hamdalah, perbedaan dalam do’a iftitah, sujud, I’tidal, tasyahud
dan sebagainya.
Contoh perbedaan furu’ lainnya adalah hanya diberikan sebagai
contoh karena sangat banyaknya. Beberapa diantaranya adalah:
1) Fardhu wudhu.
2) Shalat qoshor.
3) Shalat jama’
4) Membaca Al-fatihah dibelakang imam

Sikap Para Ulama’ dalam Menghadapi Perbedaan Furu’


Sikap para Ulama’ dalam menyikapi perbedaan ini tidak
mempertentangkan, memaklumi serta menerimanya.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai