Anda di halaman 1dari 16

FILSAFAT SOSIAL

PERTEMUAN 2: MASYARAKAT
DAN KONTRAK SOSIAL
Syarif Maulana
• otoritas/oto·ri·tas/ n 1 kekuasaan yang sah yang diberikan kepada
lembaga dalam masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya
menjalankan fungsinya; 2 hak untuk bertindak; 3 kekuasaan;
wewenang; 4 hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan
untuk memerintah orang lain
RENUNGAN PEMBUKA
• Pernahkah memikirkan tentang adanya otoritas (negara, misalnya)
yang “tiba-tiba” mengatur segala kehidupan kita? Batin kita mungkin
bertanya: “Emang siapa elo, ngatur-ngatur kita?”
• Bagaimana kira-kira awalnya muncul otoritas? Apakah ada begitu saja,
atau diangkat oleh masyarakat? Tapi, kenapa masyarakat mengangkat
pihak untuk mengatur mereka? Kenapa masyarakat tidak mengatur
dirinya sendiri saja?
KONDISI ALAMIAH (STATE OF NATURE)
• Sebelum menelaah apa itu otoritas dengan segala kondisi masyarakatnya,
bayangkan kondisi yang persis sebaliknya: kondisi masyarakat tanpa otoritas.
• Kondisi ini disebut juga “kondisi alamiah” (“state of nature”) yaitu kondisi ketika
masyarakat dibiarkan “apa adanya”, tanpa ada yang mengatur, tanpa adanya
“kontrak sosial”.
• Pemikiran atas “kondisi alamiah” yang berbeda-beda ini berimplikasi pada
perbedaan pemikiran tentang bagaimana otoritas dapat terbentuk.
• Misalnya: Thomas Hobbes beranggapan bahwa “kondisi alamiah” masyarakat itu
punya kecenderungan saling berperang, sementara John Locke beranggapan bahwa
“kondisi alamiah” masyarakat itu punya kecenderungan bebas dan setara. Dengan
alasan yang berbeda, keduanya membangun argumen tentang pentingnya “kontrak
sosial” untuk menunjuk otoritas yang mengatur masyarakat.
APA ITU KONTRAK SOSIAL?

• “Kontrak sosial” adalah pemikiran yang mengandaikan bahwa di dalam suatu


masyarakat, individu-individu di dalamnya telah sepakat untuk menyerahkan
kebebasannya pada sebuah otoritas.
• Untuk apa kebebasannya tersebut diserahkan? Bisa jadi demi terlindunginya
hak-hak individu, kondisi sosial yang damai, tertib, dan teratur, adanya aturan
bersama untuk menyelesaikan konflik, serta dirumuskannya moralitas publik/
sosial sebagai acuan bagi kehidupan bermasyarakat.
MORALITAS PUBLIK/ SOSIAL
• Kehidupan sosial mengandung pluralitas. Adanya beraneka ragam moralitas
dan nilai-nilai yang dipegang menunjukkan hal tersebut.
• Bagaimana jika terjadi konflik atau benturan satu sama lain? Moralitas mana
yang bisa menjadi dasar atau acuan untuk penyelesaian masalah?
• Situasi semacam ini membuat penting untuk adanya moralitas publik, yaitu
moralitas yang dapat menjadi acuan, yang publik menerimanya sebagai
sesuatu yang dirumuskan untuk kebaikan bersama.
• Misalnya: “Jangan mencuri” dianggap hal yang tidak dibenarkan dalam
sebuah masyarakat dan berlaku sebagai moralitas publik. Setiap yang
mencuri, selain dituduh tidak bermoral, juga boleh dihukum karena
dianggap mencederai tatanan sosial.
JEBAKAN DALAM MORALITAS PUBLIK

• Moralitas publik dapat terjatuh dalam dua kondisi ekstrem, yaitu


otoritarianisme moral dan relativisme moral.
OTORITARIANISME MORAL
• Moral yang otoritarian dihasilkan dari aturan yang tidak dapat dijustifikasi
secara rasional. Mengatur dan memaksa “seenaknya”, tapi tidak bisa memberi
alasan yang cukup mengapa sebuah aturan harus ditaati (“suka-suka gue”).
• Moral yang otoritarian cenderung mengabaikan bahwa setiap orang juga
punya kebebasan.
• Misalnya: Otoritas Nazi Jerman di masa Perang Dunia II mengeluarkan aturan
yang mempersempit ruang gerak orang-orang Yahudi dan bahkan secara
perlahan merumuskan “moralitas publik” agar orang-orang ini dianggap
bukan manusia dan tidak mempunyai hak hidup. Alasan-alasannya lebih ke
arah sentimen ras – sesuatu yang tidak rasional -.
RELATIVISME MORAL
• Bayangkan jika setiap individu dibiarkan menjalani kehidupan sosial dengan
prinsip moralnya masing-masing. Jika terdapat 1000 individu dalam satu
masyarakat, berarti ada 1000 prinsip moral yang berbeda-beda!
• Perbedaan-perbedaan tersebut dibiarkan saja, dianggap sebagai “kodrat” dan
tidak ada moral yang dianggap lebih tinggi diantara yang lainnya.
• Misalnya: Robin Hood mencuri dari orang kaya untuk dibagikan pada orang
miskin. Bagi Robin Hood, itulah ciri manusia bermoral dan mungkin diantara kita
juga menyetujui sikap semacam itu. Tapi bagi orang-orang kaya yang merasa
hartanya dirampok, mereka menuduh Robin Hood dan kelompoknya sebagai
orang-orang tidak bermoral karena mengambil tanpa izin alias mencuri. Jika
prinsip moral yang relatif ini dibiarkan, apa yang terjadi? Bagaimana sebaiknya
menyelesaikan benturan semacam ini?
KASUS-KASUS DILEMA UNTUK
MEMAHAMI KONDISI SOSIAL
• Dilema tahanan (prisoner’s dilemma)
• Dilema Joker (Joker’s dilemma)
PRISONER’S DILEMMA
• Ada dua orang yang ditangkap (A dan B) karena melakukan kejahatan.
Namun barang bukti yang diperoleh hanyalah terkait kejahatan minor,
yaitu pencurian di mini market.
• Polisi meyakini bahwa A dan B ini adalah penjahat kambuhan yang
sebenarnya pernah melakukan kejahatan yang lebih besar (misalnya:
membunuh, merampok bank).
• Untuk membongkar kejahatan ini, polisi melakukan interogasi, namun
ruangan dibuat terpisah sehingga mereka ditanya sendiri-sendiri.
PRISONER’S DILEMMA
• Kondisinya adalah seperti ini:
• Jika A mengakui (kejahatan besarnya) dan B tidak mengakui/ diam saja, maka
A bebas dan B mendapat hukuman 10 tahun penjara.
• Jika A tidak mengakui/ diam saja dan B mengakui, maka A mendapat hukuman
10 tahun penjara dan B bebas.
• Jika A dan B sama-sama mengakui, maka A dan B sama-sama mendapat
hukuman 5 tahun penjara.
• Jika A dan B sama-sama tidak mengakui, maka A dan B sama-sama dihukum 1
tahun penjara (atas pencurian di mini market saja).

• Pilihan mana yang kira-kira paling “mending”?


JOKER’S DILEMMA
• Dalam film The Dark Knight (2008), Joker menempatkan peledak di dua
buah kapal, yang mana masing-masing penumpang di kapal tersebut
mempunyai pemicu untuk meledakkan kapal yang lain. Kata Joker, “Kalian
sebaiknya menekan tombol pemicu agar selamat dan membiarkan kapal
lain yang meledak. Jika tidak, saya akan meledakkan keduanya!”
• Situasi menjadi lebih menarik ketika dua kapal tersebut diisi oleh dua jenis
penumpang yang berbeda: Kapal pertama diisi warga sipil, sementara
kapal kedua diisi para narapidana.
• Mungkin kita akan berpikir praktis: Ledakkan saja kapal narapidana, toh
mereka isinya orang-orang “berbahaya”. Tapi, benarkah moralitas sehitam-
putih itu?
UNTUK DIDISKUSIKAN
• Kasus-kasus yang ada dalam prisoner’s dilemma dan Joker’s dilemma
adalah kondisi “kepepet” yang memungkinkan individu mengeluarkan
sifat dasar atau nalurinya, yang mengajak kita untuk mengandaikan
sebuah kondisi alamiah atau state of nature.
• Berdasarkan kasus-kasus tersebut, apakah Anda dapat menjelaskan
kecenderungan naluriah individu di hadapan realitas sosial?

• Silakan dipikirkan lima menit, lalu tuliskan pandangan Anda di kolom


chat di Zoom ini.
DAFTAR PUSTAKA
• Christman, John. 2002. Social and Political Philosophy: A
Contemporary Introduction. London: Routledge.
• Feinberg, Joel. 1973. Social Philosophy. New Jersey: Prentice Hall.
• Gaus, Gerald F. 1999. Social Philosophy. London: M.E. Sharpe.
• MacKenzie, John S. 1895. An Introduction to Social Philosophy 2nd ed.
New York: Macmillan & Co.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai