Anda di halaman 1dari 24

INFEKSI HIV / AIDS

PENGERTIAN
Pasien dinyatakan terbukti ternfeksi HIV bila
dari pemeriksaan penunjang

DIAGNOSIS
Adanya faktor risiko penularan
Diagnosis HIV : tes ELISA 3 kali reaktif dengan
reagen yang berbeda
Stadium WHO:
• Stadium 1
Asimtomatik, limfadenopati generalisata

• Stadium 2
• Berat badan turun <10%
• Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo,
infeksi jamur kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
• Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
• Infeksi saluran napas atas rekuren
• Stadium 3
• Berat badan turun >10%
• Diare yang tidak diketahui penyebab, >1 bulan
• Demam berkepanjangan (intermitena atau konstan), >1 bulan
• Kandidiasis oral
• Oral haity leucoplakia
• Tuberculosis paru
• Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
• Stadium 4
• HIV wasting syndrome
• Pneumonia Pneumocystis carinii
• Toksoplasma serebral
• Kriptosporidiosis dengan diare >1 bulan
• Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah
bening (misalnya retinitis CMV)
• Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau viseral
• Progressive multifocal leucoencephalopathy
• Mikosis endemic diseminata
• Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus
• Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
• Septikemia salmonela non-tifosa
• Tuberkulosis ekstrapulmonar
• Limfoma
• Sarkoma kaposi
• Ensefalopati HIV
DIAGNOSIS BANDING
 Penyakit imunodefisiensi primer

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Anti-HIV ELISA
 Anti-HIV Western Blot
 Antigen p-24
 HitungCD4 Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR
 Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi
oportunistik.
TERAP I

 Konseling
 Terapi suportif
 Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik
 Terapi antiretrovirus kombinasi, efek samping dan
penanganannya
 Vaksinasi pada penderita HIV/AIDS
 Terapi pasca paparan HIV (post-exposure prophylaxis)
 Penatalaksanaan infeksi HIV pada kehamilan
 Penatalaksanaan koinfeksi HIV dengan hepatitis C dan
hepatitis B
KOMPLIKASI
 Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV, dan
manifestasi HIV pada organ lain

PROGNOSIS
 Tergantung stadium penyakit

WEWENANG
 RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan
PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam

UNIT YANG MENANGANI


 RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam -
Divisi Alergi-Imunologi
 RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI

1. Bartlett JG, Gallant JE. 2004 Medical


Management of HJV Infection. Muryland.
John Hopkins University School of
Medicine, 2004.
2. Goldman L, Ausiello D, editors, Cecil
Text hook of Medicine,
22’’edition.Philade1phia: Saunders, 2004
3. WHO. Scaling up antireiroviral therapy in
resource-limited settings: treatment
guidelines for apublic heatlh approach.
2003 revision.
RENJATAN ANAFILAKSIS

PENGERTIAN
 Renjatan anafilaksis adalah keadaan

gawat darurat yang ditandai dengan


(hipotensi) penurunan tekanan darah
sistolik < 90 mmHg akibat respons
hipersensitivitas tipe I (adanya reaksi
antigen dengan antibodi Ig E)
DIAGNOSIS
Hipotensi, takikardia, akral dingin, oliguria yang dapat
disertai gejala klinis lain berupa :
 Reaksi sistemik ringan rasa geli/gatal serta hangat, rasa
penuh di mulut dan tenggorokan, hidung tersumbat dan
terjadi edema di sekitar mata, kulit gatal, mata berair,
bersin-bersin, onset biasanya 2 jam setelah paparan
antigen.
 Reaksi sistemik sedang: seperti reaksi sistemik ringan,
ditambah spasme bronkus dan atau edema saluran
napas, sesak, batuk, mengi, angioedema, urtikaria
menyeluruh, mual, muntah, gatal, badan terasa hangat,
ge1isahnset seperti reaksi anafilaktik ringan.
 Reaksi sistemik berat: terjadi mendadak, seperti reaksi
sistemik ringan dan sedang yang bertambah berat.
Spasme bronkus, edema laring, suara serak, stridor,
sesak napas, slanosis, henti napas. Edema dan
hipermotilitas saluran cerna sehingga sakit rnenelan,
kejang perut, diare dan muntah. Kejang uterus, kejang
umum. Gangguan kardiovaskular, aritmiajantung, koma.
DIAGNOSIS BANDING
 Renjatan kardiogenik, renjatan
hipovolemik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit,
analisis gas darah, EKG
TERAPI
A. Untuk renjatan:
 Adrenalin larutan 1: 1000, 0,3 - 0,5 ml subkutan/intramuskular pada lengan atas
atau paha. Bila renjatan anafilaksis disebabkan sengatan serangga berikan
suntikan andrenalin kedua 0,1-0,3 ml pada tempat sengatan kecuali bila
sengata di kepala, leher, tangan dan kaki. Terapi dapat dilanjutkan dengan infus
adrenalin 1 ml (1 mg) dalam dekstrosa 5% 250 cc dimulai dengan kecepatan I
ug/menit dapat ditingkatkan sampai 4 ug/menit sesuai keadaan tekanan darah.
Hati-hati pada orang tua dengan kelainan jantung atau gangguan kardiovaskular
lainnya.
 Pasang tourniqet proksimal dan suntikan atau sengatan serangga, dilonggarkan
1-2 menit setiap 10 menit.
 Oksigen bila sesak, mengi, sianosis 3-5 1/menit dengan sungkup atau kanul
nasal
 Antihistamin intravena, intramuskular atau oral.
 Rawat pasien di ICU bila dengan tindakan di atas tidak membaik, dilanjutkan
dengan terapi:
 IVFD Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaC1 2-3 1/m2 permukaan tubuh
 Dopamin 0,3-1,2 mg/kg BB/jam bila tekanan darah tidak membaik
 Kortikosteroid 7-10mg hidrokortison/kgBB intravena dilanjutkan 5 mg/kgBB tiap
6 jam, yang dihentikan setelah 72 jam.
B. Bila disertai spasme bronkus maka pada pasien
diberikan inhalasi beta-2 agonis. Jika spasme
bronkus menetap aminofilin 4-6 mg/kg BB
dilarutkan dalam NaC1 0,9% 10 ml diberikan
perlahan-lahan dalam 20 menit, bila perlu
dilanjutkan dengan infus aminofilin 0,2-1,2
mg/kgBB/jam.

C. Bila disertai edema hebat saluran napas atas


maka pada pasien dilakukan intubasi dan
trakeostomi

D. Pemantauan paling sedikit 24 jam


KOMPLIKASI
 Renjatan ireversibel, kegagalan multi organ
failure

PROGNOSIS
 Tergantung organ yang terlibat dan beratnya
gejala

WEWENANG
 RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit
Dalam
UNIT YANG MENANGANI
 RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit

Dalam — Divisi Alergi-imunologi


 RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit

Dalam

UNIT TERKAIT
 • RS pendidikan: ICU / medical High Care

 • RS non pendidikan: ICU


REFERENS
I
1. Djauzi S. Syok anafilakok. In: Subekti I,
Lydia A, Runiende CM, Syani Suprohaita,
Mansjoer A, editors. Penatalaksanaan
kedaruratan di bidang ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI: 2000.p.9 7-100.
2. Mahdi AD. Syok anafilaktik. Jn:Setiaii S,
Alwi 1, Matyantoro, Gani RA, Mansjoer A,
editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di
bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian
ASMA BRONKIAL

PENGERTIAN
Asina bronkiaL adalah penyakit inflamasi kronik saluran
napas yang ditandai dengan obstruksi jalan napas yang
dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat
hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang melibatkan sel-sel dan elemen selular terutama
mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan
epitel
DIAGNOSIS
Episode berulang sesak napas, dengan atau tanpa
mengi dan rasa berat di dada akibat fakior
pencelus. Asma brokial dibagi menjadi
• Asma iniermiten, gejala asma < I kali/minggu,
asimptornatik, APE diantara serangan normal, asma malarn
< 2 kalilbulan, APE> 80%, variabilitas <20%
• Asma persisien ringan, gejala asma > 1 kali/minggu , < 1
kali/hari, asma malam >2 kali/bulan, APE>80%,
variabilitas 20-30%
• Asma persisien sedang, gejala asma tiap hari, tiap hari
menggunakan beta-2 agonis kerja singkat, aktivitas
terganggu saat serangan, asma malam > I kali/ minggu,
APE >60% dan < 80% prediksi atau variabilitas >30%
• Asma persisten berat, gejala asma terus menerus, asma
malam sering, akitivitas terbatas, dan APE < 60% prediksi
atau variabilitas > 30%. Asma eksaserbasi akut dapat
terjadi pada semua tingkatan derajat asma.
DIAGNOSIS BANDING
 Penyakit paru obstruktifkronik (PPOK), gagal
jantung

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium : jumlah eosinofil darah dan
sputum, foto toraks, spirometri, uji tusuk kulit
(skin prick test/SPT), uji bronkodilator atas
indikasi, uji provokasi bronkus atas indikasi,
analisis gas darah atas indikasi
TERAPI
1. Asma intermiten tidak memerlukan obat pengendali
2. Asma pensisten ringan memerlukan obat
pengendali kontikostenoid inhalasi (500 ug BDP
atau ekuivalennya) atau pilihan lainnya : teofihin
lepas lambat, krornolin, antileukotrien.
3. Asma persisten sedang memerlukan obat
pengendali berupa kortikosteroid inhalasi (200-1000
ug BDP atau ekuivalennya) ditambah dengan beta-
2 agonis aksi lama (LABA) atau pilihan lain
kortikosteroid inhalasi (500-1000 ug BDP atau
ekuivalennya) + teofilin lepas lambat atau
kortikosteroid inhalasi (500-1000 ug BDP atau
ekuivalennya) + LABA oral atau kortikosteroid
inhalasi dosis ditinggikan (> 1000 ug BDP alau
ekuivalennya) atau kontikosteroid inhalasi 500-
1000ug BDP atau ekuivaIennya) antileukotrien.
4. Asma persisten berat memerlukan
kontikosteroid
Inhalasi (> 1000 ug BDP atau ekuivalennya) +
LABA
inhalasi + salah satu pilihan berikut:
~ teofilin lepas lambat
~ antileukotrien
~ LABA oral
BDP= Budesonide propionat.
Sedangkan untuk penghilang sesak pada pasien diberikan inhalasi beta-2
agonis kerja singkat tetapi tidak boleh Iebih dan 3-4 kali sehari. Inhalasi
antikolinergik, agonis beta-2 kerja singkat oral dan teofihin lepas lambat
dapat diberikan sebagai pilihan lain selain agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi. Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya
sebagai berikut:
1. Oksigen
2. Inhalasi agonis beta-2 tiap 20 menit sampai 3 kali selanjutnya
tergantung respons terapi awal
3. Inhalasi antikolinergik (ipatropium bromida) setiap 4-6 jam terutama
pada obstruksi berat (atau dapat diberikan bersama-sama dengan
agonis beta-2)
4. Kortikosteroid oral atau parenteral dengan dosis 40-60 mg/hari
setara prednison
5. Aminofilin tidak dianjurkan ( bila diberikan dosis awal 5-6 mg/kgBB
dilanjutkan infus aminofilin 0,5-0,6 mg/kg BB/jam)
6. Antibiotik bila ada infeksi sekunder
7. Pasien diobservasi 1-3 jam kemudian dengan pemberian agonis
beta-2 tiap 60 menit. Bila setelah masa observasi terus membaik,
pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5 han) : inhalasi
agonis beta-2 diteruskan, steroid oral diteruskan, penyuluhan dan
pengobatan lanjutan, antibiotik diberikan bila ada indikasi, perjanjian
kontrol berobat.
8. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada perbaikan atau pasien
termasuk golongan risiko tinggi: pemeriksaan fisik tambah berat,
APE (ants puncak ekspirasi)> 50% dan <70% dan tidak ada
perbaikan hipoksemia (dan basil analisis gas darah) pasien harus
dirawat.

Pasien dirawat di ICU bila tidak berespons terhadap upaya


pengobatan di unit gawat darurat atau bertambah beratnya
serangan/buruknya keadaan setelah perawatan 6-12 jam, adanya
penurunan kesadaran atau tanda-tanda henti napas, hasil
pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dengan
kadar pO2 < 60 mmHg dan/atau pCO2 > 45 mmHg walaupun
mendapat pengobatan oksigen yang adekuat.
KOMPLIKASI
 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal
jantung. Pada keadaan eksaserbasi akut
dapat terjadi gagal napas dan pneumotoraks.

PROGNOSIS
 Tergantung beratnya gejala

WEWENANG
 RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit
Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
 RS non pendidikan: Dokter Spesialis
Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
 RS pendidikan : Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Divisi Alergi-imunologi,


Divisi Pulmonologi
 RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit

Dalam

UNIT TERKAIT
 RS pendidikan ICU/medical High Care

 RS non pendidikan: ICU

Anda mungkin juga menyukai