Tindak Pidana Korupsi Pertemuan 3
Tindak Pidana Korupsi Pertemuan 3
A. Pengertian
UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah
UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun
2002 dan UU No 1/Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002.
Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu atau untuk orang/golong-
an tertentu. Hukum Tindak Pidana Khusus menyimpang dari Hukum Pidana Materiil
dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.
Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP.
Pasal 103 ini mengandung pengertian :
1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP
sepanjang UU itu tidak menentukan lain.
2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak
mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin
lengkap).
Perundang-undangan Pidana :
1. UU pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara;
2. Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana
terhadap aturan yang berada di luar hukum pidana umum
Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana ada bebebarapa substansi:
1. UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989
yang diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No 43/1999, UU No
Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang
KUHAP, KUHP Militer).
5. Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan Hukum administrasi ( HPE, Hk. Pidana
Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan).
C. Kekhususan T.P. Khusus.
KKN
PENDAHULUAN
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara
Pengertian penegakan hukum dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya,
yaitu dari segi hukumnya
Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan
penegakan hukum itu merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan
hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil
yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik
oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur
penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-
undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
INDONESIA NEGARA HUKUM.
Segala sesuatu yang ada di indonesia diatur oleh hukum,
- Hukum yang tertulis.
- Hukum yang tidak tertulis/ adat / kebiasaan.
- Hukum
Pada tahun 2010, menurut data Pacific Economic and Risk Consultansy, Indonesia
menempati urutan teratas sebagai negara terkorup di Asia. Jika dilihat dalam
kenyataan sehari-hari korupsi hampir terjadi disetiap tingkatan dan aspek
kehidupan masyarakat. Mulai dari mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB),
Proyek Pengadaan Barang/Jasa di instansi pemerintah, sampai proses
penegakkan hukum.
Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar
oleh masayarakat umum, seperti memberi hadiah kepada Pejabat / Pegawai
Negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan itu
dipandang lumrah sebagai kebiasaan dari budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif ini
lama-lama menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata.
Kebiasaan berperilaku koruptif yang terus berlangsung di kalangan masyarakat salah
satunya disebabkan karena masih kurangnya pemahaman mereka terhadap pengertian
korupsi. Selama ini, kosakata korupsi sudah populer di Indonesia. Hampir semua orang
pernah mendengar kata korupsi. Dari mulai rakyat yang tinggal di pedalaman, mahasiswa,
pegawai negeri, orang swasta, aparat penegak hukum sampai pejabat negara. Namun jika
ditanya kepada mereka apa itu korupsi, jenis perbuatan apa saja yang bisa dikategorikan
tindak pidana korupsi? Hampir dipastikan sangat sedikit yang bisa menjawab secara benar
bentuk / jenis korupsi sebagaimana dimaksud oleh undang-undang.
Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian
korupsi didalam undang-undang tersebut dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang lahir sebelum negara ini merdeka. Namun hingga saat ini pemahaman
masyarakat terhadap pengertian korupsi masih sangat kurang.
Menjadi lebih memahami pengertian korupsi juga bukan sesuatu hal yang mudah.
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif yang selama
ini dianggap sebgai hal wajar dan lumrah dapat dinyatakan sebagai Tindak Pidana Korupsi.
Seperti Gratifikasi (pemberian hadiah) kepada penyelenggara negara dan berhubungan
dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat
menjadi salah satu bentuk Tindak Pidana Korupsi.
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang dalam 30 buah Pasal
dalam UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 7 (tujuh) bentuk / jenis tindak pidana
korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan
yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Ketigapuluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi tersebut pada
dasarnya dapat dikelompokan sebagai berikut :
SUAP
KERIGIAN
MENYUAP
KEUANGAN
Ps
NEGARA
5,6,11,12,13
Ps 2 & 3
PENGGELAPAN
DLM JABATAN
Ps 8, 9,
Ps 10.a,b c
PERBUATAN
PEMERASAN
KORUPSI
Ps 12, e,g, f UU NO 31 TH 1999
JO
UU NO 20 TH 2001
PERBUATAN CURANG
Ps 7 ayat (1) a,b,C,d
Ps 7 (2)
Ps 12.b
Benturan
Kepentingan Gratifikasi
Ps 12 i Ps 12 c
18
Selain defenisi tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas,
masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi. Jenis tindak pidana lain tersebut tertuang dalam Pasal 21, 22,
23, dan 24 Bab III UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi.
Janis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
terdiri atas :
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi.
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar.
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka.
4. Saksi atau Ahli yang tidak memberika keterangan atau memberi
keterangan palsu.
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan
keterangan atau memberi keterangan palsu.
6. Saksi yang membuka identitas pelapor.
TINDAK TINDAK
PIDANA PIDANA TREND
KORUPSI KORUPSI SEMAKIN
SEBAGAI DAPAT CANGGIH
BERAKIBAT CARA YANG
EKSTRA
MERUSAK DIGUNAKAN
ORDINARY PEREKONOMIAN PELAKU
CRIME NEGARA
EKSTRA ORDINARY CRIME (Kejahatan Luar
Biasa):
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak
terkendali akan membawa bencana yang tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi
juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara
pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang
meluas dan sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, dan karena itu maka tindak
pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan
sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi
suatu “kejahatan luar biasa”.
Upaya Penanggulangannya :
Untuk menanggulangi kejahatan yang luar biasa tersebut
diperlukan suatu kebijakan sosial (sosial policy).
Kemudian dijabarkan dalam kebijakan penegakan hukum
(law enforcement policy).
Pada tataran tersebut dirumuskan dan ditegakkan pula
kebijakan pidana (criminal policy).
Institusi/Administrasi
Manusia
KORUPSI
Sosial/Budaya
prepared by mulia ardi
1. Kerugian Keuangan Negara ;
Pasal 2
Pasal 3
2. Suap – Menyuap ;
• Pasal 5 Ayat (1) huruf a
• Pasal 5 Ayat (1) huruf b
• Pasal 13
• Pasal 5 Ayat (2)
• Pasal 12 huruf a
• Pasal 12 huruf b
• Pasal 11
• Pasal 6 Ayat (1) huruf a
• Pasal 6 Ayat (1) huruf b
• Pasal 6 Ayat (2)
• Pasal 12 huruf c
• Pasal 12 huruf d
3. Penggelapan Dalam Jabatan ;
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10 huruf a
Pasal 10 huruf b
Pasal 10 huruf c
4. Pemerasan ;
Pasal 12 huruf e
Pasal 12 huruf g
Pasal 12 huruf f
5. Perbuatan Curang ;
Pasal 7 Ayat (1) huruf a
Pasal 7 Ayat (1) huruf b
Pasal 7 Ayat (1) huruf c
Pasal 7 Ayat (1) huruf d
Pasal 7 Ayat (2)
Pasal 12 huruf h
6.Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan ;
Pasal 12 huruf i
7.Gratifikasi ;
Pasal 12 B jo. Pasal 12 C
Unsur Pasal 2 :
Setiap orang ;
Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi ;
Dengan cara melawan hukum ;
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Unsur Pasal 3 :
Setiap orang ;
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi ;
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana ;
Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ;
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Unsur Pasal 5 ayat (1) huruf a :
Setiap orang ;
Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu ;
Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara ;
Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya.
Unsur Pasal 13 :
Setiap orang ;
Memberi hadiah atau janji ;
Kepada Pegawai Negeri ;
Dengan mengingat kekuasan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.
Unsur Pasal 5 ayat (2) :
Pegawai Negeri atau Penyelanggara Negara ;
Menerima pemberian atau janji ;
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b
Kepada hakim ;
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan
paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50 juta dan paling banyak Rp 250 juta
Dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh
juta rupiah
Pemborong Berbuat Curang
Pasal 12 huruf i
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling
banyak Rp 1 miliar:
Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Dengan sengaja;
Langsung atau tidak langsung turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan;
Pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau
sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
GRATIFIKASI
Pengecualian
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1)
30
-PERENCANAAN, -PELAKSANAAN
MARK - UP HARGA / JUMLAH
-PELAPORAN
PERBUATAN
CURANG PENGADAAN BARANG/JASA TIDAK SESUAI OWNER ESTIMATE
Kerugian keuangan / perekonomian negara harus dibuktikan secara konkrit (didasarkan alat
bukti yang sah) tidak boleh menggunakan asumsi, kerugian yang propestif; walaupun
kegiatan institusi negara tersebut mendapat keuntungan tidak berarti perbuatan terdakwa
tidak merugikan negara
Korporasi :
adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
PERLUASAN PENGERTIAN PEGAWAI NEGERI
PREVENTIF REPRESIF
(Pencegahan) (Penindakan)
Penyelidikan
Pelaksanaan Penyidikan
Program Penuntutan
Binmatkum
UPAYA PENEGAKAN HUKUM :
Preventif,
yaitu strategi yang diarahkan untuk
mencegah terjadinya tindak pidana dengan cara
menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor
penyebab atau peluang terjadinya tindak pidana.
Detektif,
yaitu strategi yang diarahkan untuk
mengidentifikasi tindak pidana yang sering terjadi.
n
Kesimpula
3. Temuan sendiri.
4. Media massa.
Kegiatan penyelidikan dilakukan segera setelah aparat penegak hukum menerima
informasi / laporan / pengaduan tentang dugaan adanya suatu tindak pidana
korupsi. Kegiatan penyelidikan ditujukan untuk Mencari, Menggali, Mengumpulkan
Bahan Keterangan, dan Data-Data sebanyak dan selengkap mungkin dari berbagai
sumber, baik dilakukan secara terbuka maupun tertutup, yang selanjutnya bahan
keterangan dan data-data tersebut diolah dalam satu proses sehingga
menghasilkan suatu kesimpulan.
Oleh karena tugas penyelidikan berfungsi sebagai dasar untuk tugas penyidikan
selanjutnya maka hasil tugas penyelidikan tersebut diharapkan dapat memberikan
kesimpulan bahwa :
Apakah suatu peristiwa pidana itu adalah merupakan suatu kejahatan yang
sekaligus dapat menentukan arah dan alat bukti yang telah diperoleh, sehingga
dapat mempermudah penyidikanya.
Selanjutnya dari bahan keterangan dan data maupun dokumen yang diperoleh
tersebut diolah dalam satu proses analisa yuridis sehingga menghasilkan suatu
kesimpulan tentang “Apakah suatu perkara yang dilakukan penyelidikan tersebut
telah diperoleh ataupun ditemukan bukti permulaan / bukti awal yang cukup telah
terjadinya suatu tindak pidana ?”
“ BUKTI PERMULAAN “
Dalam hal Penyidik yang melakukan Penyidikan menetapkan seorang yang karena perbuatannya
atau keadaannya patut diduga sebagai tersangka pelaku tindak pidana, maka penetapan
Penyidik itu harus didasarkan pada “Bukti Permulaan” (Prima Facie Evident)
Demikian pula dalam hal Penyidik melakukan tindakan penangkapan terhadap seorang yang
diduga keras sebagai pelaku tindak pidana, maka perintah penangkapan itu harus didasarkan
pada “Bukti Permulaan”
ALAT BUKTI YANG SAH :
“ BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP “ 1. Keterangan Saksi
Adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. 2. Keterangan Ahli
Sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat bukti yang sah. 3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
Dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP diterangkan bahwa : “Yang dimaksud dengan
Bukti Permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak
pidana sesuai dengan bukyi Pasal 1 butir 14”
Pasal tersebut menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan
sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul melakukan tindak
pidana.
Dengan membaca penjelasan Pasal 17, ternyata apa yang dimaksud dengan Bukti
Permulaan (Prima Facie Evident) masih tetap tidak jelas, apakah bukti permulaan itu
berbentuk Barang Bukti ataukah berbentuk Alat Bukti Yang Sah.
Hal ini dapat menimbulkan munculnya berbagai penafsiran, berhubung tindakan
Penyidikan itu mempunyai tujuan utama untuk mengumpulkan Bukti yang pada
akhirnya akan bermuara pada penyajian pembuktian di muka sidang Pengadilan, maka
penafsiran terhadap pengertian “Bukti” harus didasarkan dan tidak boleh dilepaskan
dari pengertian “Alat-Alat Bukti Yang Sah”
Dengan demikian dapat diketahui bahwa alat pembuktian yang berlaku dan bernilai
untuk memutuskan bahwa terdakwa benar-benar bersalah melakukan tindak pidana
adalah “Alat Bukti Yang Sah” sekurang-kurangnya sebanyak 2 (dua) alat bukti yang
sah.
Untuk dapat lebih memahami bahwa yang dimaksud dengan pengertian Bukti
Permulaan itu adalah merupakan alat bukti yang sah, maka hal tersebut perlu
dikaitkan dengan keseluruhan proses peradilan perkara pidana yang dimulai
dari proses PENYIDIKAN, yaitu dalam bentuk serangakaian tindakan
PENYIDIK dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam KUHAP untuk
mencari serta mengumpulkan “Bukti” (alat-alat bukti dan barang bukti) yang
dengan bukti itu tindak pidana yang ditangani menjadi terang / jelas
(jenis/kualifikasinya, apakah pencurian, penggelapan, penipuan, penganiayaan,
pembunuhan, atau korupsi) dan sekaligus untuk menentukan dan menemukan
siapa orang yang menjadi tersangka pelaku tindak pidana yang sedang
ditangani oleh Penyidik yang bersangkutan.
Sebagai target utama dari tindakan penyidikan adalah mengumpulkan bukti
yang terdiri dari barang bukti dan alat bukti yang sah.
Dengan demikian alat bukti yang dikumpulkan/diketemukan/diperoleh dalam
pemeriksaan Penyidikan tersebut dinamakan sebagai Bukti Permulaan, karena
kedudukan dan dan fungsinya baru sebagai “Calon Alat Bukti Yang Sah”.
Calon alat bukti tersebut setelah disajikan atau diajukan oleh Penuntut Umum
di muka persidangan, maka calon alat bukti yang sah atau bukti permulaan
tersebut benar-benar berubah menjadi “Alat Bukti Yang Sah
Penyidikan
Adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.
YAKNI meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan formalitas / persyaratan, yang
diantaranya meliputi :
Tatacara penyidikan yang harus dilengkapi dengan surat perintah
Berita Acara
Izin atau persetujuan pengadilan.
Disamping penelitian kuantitas kelengkapan syarat formil perlu diteliti pula kualitas
kelengkapan syarat formal, yakni keabsahannya sesuai ketentuan UU.
KELENGKAPAN MATERIIL
PENERIMAAN BERKAS
PERKARA TAHAP-2
Dalam praktik hukum / praktik penegakan hukum, ternyata bahwa para Pejabat
Penyidik pada saat mulai mengayunkan langkah pertamanya dalam melakukan
PENYIDIKAN maka secara otomatis dan secara langsung sudah terkait dan sudah
terikat dengan ketentuan-ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP.
Bahkan yang menjadi target penting dalam kegiatan penyidikan adalah upaya
mengumpulkan alat-alat pembuktian untuk membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi.
Alat Bukti Yang Sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP adalah
sebagai berikut :
1 KETERANGAN SAKSI
2 KETERANGAN AHLI
3 SURAT
4 PETUNJUK
5 KETERANGAN TERDAKWA
Adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana berupa
keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
KETERANGAN SAKSI
dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Keterangan dari saksi yang tidak disumpah, meskipun sesuai satu dengan yang
lain bukan merupakan alat bukti yang sah. (Pasal 185 ayat 7 KUHAP).
Keterangan Saksi yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan tersebut
diberikan dibawah sumpah (Pasal 116 ayat 1), maka keterangan saksi itu berlaku
sebagai alat bukti yang sah.
Keterangan Saksi kepada Penyidik yang dituangkan dalam BAP berlaku sebagai
alat bukti “SURAT” (Pasal 187 huruf b atau d KUHAP)
Tidak berlaku sebagai Keterangan Saksi, apabila keterangan itu diperoleh dari
orang lain (testimonium de auditu)
Saksi a charge : Saksi yang memberatkan Terdakwa.
Saksi a de charge : Saksi yang meringankan Terdakwa.
Adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki “KEAHLIAN KHUSUS” tentang hal yang diperlukan
KETERANGAN AHLI untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan (di Sidang Pengadilan)
Keterangan Ahli dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau
Penuntut Umum yang dituangkan dalam bentuk “Laporan” dan dibuat “Dengan
mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.”
Jika hal tersebut tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau
Penuntut Umum, maka pada waktu pemeriksaan di Sidang Pengadilan diminta
untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam BAP (Sidang). Keterangan
tersebut diberikan setelah ia (orang ahli) mengucapkan sumpah atau janji
dihadapan Hakim.
Dalam hal Penyidik untuk kepentingan Peradilan menangani seorang korban,
baik luka, keracunan, ataupun mati diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan “Keterangan Ahli” kepada
Ahli Kedoketran Kehakiman (Kedokteran Forensik) atau dokter dan/atau ahli
lainnya (Pasal 133 ayat 1 KUHAP)
Adalah surat yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan
ALAT BUKTI SURAT
atau dikuatkan dengan sumpah.
A. Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh Pejabat Umum
yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya
sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
B. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh Pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana
yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian
sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
C. Surat keterangan dari seorang Ahli yang memuat perndapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi daripadanya.
D. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
surat
Adalah Perbuatan, Kejadian, atau Keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
ALAT BUKTI PETUNJUK
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana.
KETERANGAN SAKSI
PERBUATAN
SURAT PETUNJUK
KEJADIAN
KEADAAN
KETERANGAN TERDAKWA
Penyitaan :
Adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan
dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau
tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam Penyidikan, Penuntutan,
dan Pengadilan.
Laporan
Masyarakat/
Hasil temuan Ditelaah
Penunjukan
Instansi lain Jaksa Penyelidik
Surat
Hasil Ada Perintah
telaaha
Indikasi TP Penyelidikan
n
Tidak ada bukti `
permulaan
Proses TAHAP
Penyelidikan PENYIDIKAN
Tidak ditindak
lanjuti
Bukan merupakan
tindak pidana/tidak Hasil
cukup bukti Penyelidika Cukup Bukti
n
Penunjukan
Jaksa Penyidik Dikembalikan Penelitian
untuk dilengkapi kelengkapan
Surat Perintah berkas
Penyidikan
Cukup Bukti
Pemeriksaan
Saksi, Ahli & `
Tersangka Berita Acara
Pendapat
Penggeledahan / Hasil
Proses
Penyitaan Penyidikan Lengkap
Penyidikan
Barang Bukti
Penunjukan
Penahanan JPU
Tersangka Bukan merupakan
Dihentikan
tindak pidana /
Tidak Cukup Bukti Penyidikan
SP 3
• Dakwaan
PENGADILAN NEGERI Putusan
• Berkas
Perkara
• Barang bukti
Proses
Sikap Satu Pihak
Persidangan
Kedua Tidak
Surat
belah Menerima
Pelimpahan
pihak
Perkara
Penetapan / UPAYA
` HUKUM
Keputusan
Ketua PN /
Kedua Pihak
Hakim
Menerima
Surat
Dakwaan
Eksekusi
UPAYA HUKUM
• Banding
• Kasasi
Penunjukan Surat Pembacaan • Kasasi Demi
JPU Tuntutan Kepentingan
Tuntutan
Hukum
• Grasi
• Peninjauan
Kembali
Panitera Rohaniawan
Terdakwa
MEJA PENASIHAT HUKUM
MEJA PENUNTUT UMUM
Penuntut Umum
Penasihat Hukum
Kursi Pemeriksaan
PENGUNJUNG SIDANG