Anda di halaman 1dari 78

Tetanus pada bayi dan

anak

Ismoedijanto
Divisi infeksi dan pediatri tropik
departemen ilmu kesehatan anak
FK UNAIR
Tetanus

• Sudah ada sejak zaman Mesir kuno, 3000 th yang lalu

• Ditulis pertama kali oleh Hippocrates

• Etiologi mikrobiologik ditemukan pada tahun 1884 oleh Carle


and Rattone

• Imunisasi pasif dengan serum antitetanus (dari kuda) th 1893dan


selama PD I antibodi antitetanus mulai digunakan secara luas sebagai
pengobatan dan pencegahan penyakit tetanus akibat luka

• imunisasi aktif 1923, tetanus toxoid digunakan secara meluas pada PD


II
Definisi penyakit tetanus

• Penyakit dengan tanda utama :

• Kekakuan otot
• Kejang

• Tanpa gangguan kesadaran


kuman Clostridium tetani

gram positif bacillus dengan spora di ujung (terminal


spore) sehingga berbentuk seperti pemukul
genderang (drumstick appearance)

spora mampu bertahan dalam suhu tinggi,


kekeringan dan berbagai desinfectans, mati hanya
bila dipanaskan 1200 C, 1,5 bar, 15 menit

obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada


dalam lingkungan anaerob)

menghasilkan eksotoksin yang sangat kuat


C tetani di alam

• kuman hidup di tanah margalit, terutama yang telah


diolah untuk di tanami

• Risiko tetanus di daerah peternakan dan pertanian


sangat tinggi

• atau dalam usus binatang, terutama binatang


ternak, kuda, sapi dsb

• Spora mencemari lingkungan secara biologik


C tetani di alam

• dalam keadaan yang tak menguntungkan,


bentuk vegetatif akan membuat spora yang
mampu bertahan selama bertahun‑tahun

• Spora kuman Cl. tetani yang tahan kekeringan


dapat bertebaran dimana‑mana: dalam debu
jalanan, debu diatas lampu operasi, bubuk
antiseptic (dermatol) ataupun pada alat‑alat
suntik dan operasi.

• dalam lingkungan yang anaerob, spora dapat


berubah kembali menjadi bentuk vegetatif yang
akan menghasilkan eksotoksin
epidemiologi

 Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia (global)

 Insidens tergantung pada cakupan imunisasi


DTP/DT/TT dan tingkat pencemaran biologik
lingkungan peternakan /pertanian

 Kekebalan berkaitan dengan usia, dan kejadian


berkaitan dengan risiko trauma pada kelompok umur
tertentu

 upaya kausal menurunkan attack rate dengan jalan


mengubah lingkungan fisik atau biologik atau merubah
cara hidup pertanian atau peternakan hampir tidak
mungkin.
Tetanus - United States, 1947-2001*

*2001 provisional data


Insidens tetanus
tetanus neonatorum

• Tetanus neonatorum bersifat khusus, karena angka


kematian tetanus neonatorum adalah 19.3% angka
kematian bayi atau 39.5% angka kematian perinatal.

• Insidens Tetanus neonatorum di Indonesia di akhir tahun


80’an masih cukup tinggi sekitar 6 ‑ 7/1000 lahir hidup
untuk daerah perkotaan dan 11 ‑ 23/1000 lahir hidup
untuk daerah pedesaan.

• Terdapat sekitar 60.000 kematian bayi tiap tahun

• Indonesia merupakan salah satu dari senbilan negara di


dunia dimana 80% kasus tetanus neonatorum terjadi.
Pengaruh kematian tetanus neonatorum pada kematian
perinatal dan kematian bayi
tetanus neonatorum

 Program eliminasi tetanus neonatorum di Indonesia


mengupayakan angka kematian tetanus neonatorum
turun dari 110/10.000 menjadi 1/10.000 kelahiran
hidup.

 Kematian tetanus neonatorum di lapangan sukar


ditekan : tanpa terapi CFR (Case Fatality Rate) 80-100%,
dengan terapi konventional sekitar 40%, dengan
perawatan intensif di rumah sakit, CFR menjadi sekitar
6-11%, namun cara ini masih terlampau mahal untuk
negara berkembang pada umumnya.

 Bila ditemukan dilapangan, rujuk segera ke RS !


port of entry

• tak selalu dapat diketahui dengan pasti, diduga


melalui:

1.  Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan,


gigitan binatang, luka bakar yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan
(debridemant) dengan baik.
3.  otitis media, caries gigi, tukak kulit yang kronis.
4.  pemotongan tali pusat yang tidak steril
5. pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran
binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan
daun‑daunan merupakan penyebab utama kasus
tetanus neonatorum.
Tetanus - 1995-1997
Injuries and Conditions

Data available for 120 of 124 reported cases


Toksin tetanus

Rantai ringan (L), Hn dan frgamenC, masing masing sekitar 50KD

NH2 S- COO

•Bagian L
•Bagian Hn •Bagian Hc
•Zn dependent
•endosome •Imunogenik
protease
•Neuronal cell binding
•Cleavage
synaptobrevin •Ganglioside binding
•Retrograde transport

hambat GABA ke synaptic cleft


Untuk nempel dan transport
Perlekatan dan internalisasi toksin tetanus
Patogenesis dan toksin

1. Hc nempel ke gangglioside
2. Internalisasi toksin, diangkut dari perifer ke CNS
secara retrograde axonal dan trans sinaptik
3. Masuk sel presinap, Hn melepas rantai ringan L
dari endosome.
4. Rantai L (zinc metaloprotease) dapat membelah
synaptobrevin ( bagian dari kantung synap untuk
fusi dengan membrane presynaps), menghambat
isinya (inhibitory neurotransmitter GABA) masuk ke
synaptic cleft.
5. Motor neuron alfa menjadi tanpa kontrol inhibisi,
sehingga terus-menerus terangsang dan tonus otot
meningkat terus
Patogenesis dan toksin

6. Toksin memberi pengaruh pada sel spinal cord,


brainstem, saraf tepi, neuromuscular junction
7. Toksin tetanus mirip toksin C. botulinum, namun
gambaran 3 dimensi dengan X-ray crystallography
menunjukkkan perbedaan yang menyebabkan
perbedaan titik kerja toksin, toksin botulinum tidak
diangkut ke CNS, tetap di perifer dan mencegah
keluarnya acetylcholine, sehingga menimbulkan
acute fllacid paralysis
8. perbedaan juga terdapat pada adanya kemampuan
Hc menempel pada receptor dan juga kemampuan
diangkut ke daerah sentral
Penyaluran toksin

• Toksin diangkut lewat pembuluh limfe dan darah.

• toxin mulai merambat dari tempat luka lewat motor


endplate dan axis cylinder dari saraf tepi ke
anterior‑horn cel dari sumsum belakang dan
menyebar keseluruh SSP

• Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik,


terutama serabut saraf motor.
Efek toksin

1. Sinaps ganglion pra sumsum tulang belakang :


memblok sinaps jalur antagonist, mengubah
keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga
tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Otak: toxin yang menempel pada cerebral
gangliosides diduga menyebabkan kekakuan dan
kejang yang khas pada tetanus.
3. Saraf otonom: terutama mengenai saraf simpatis
dan menimbulkan gejala: keringat yang
berlebihan, hyperthermia, hypotensi, hypertensi,
arythmia, cardiac block atau takhikardia,
4. Nervi kranialis: menyebabkan kelumpuhan
Efek toksin
 

Menghambat sekresi saraf otonom


neurotransmitter
 
Keseimbangan tonus suhu
otot bergaris keringat
 jantung
Tonus otot meningkat tek. darah

Kaku (spasme)

Tonus makin  kejang
Mekanisme timbulnya kekakuan pada tetanus
Gejala klinik
 Sekalipun variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya
berkisar antara 5 ‑ 14 hari, makin lama inkubasinya,
gejala yang timbul makin ringan.

 Penilaian derajat beratnya penyakit (Ablett, Phillips, Surabaya)


 lama masa inkubasi atau dari lama period of onset.
 gejala klinik yang tampak

Terbagi menjadi
 Ringan
 Sedang
 berat
 sangat berat : berat dengan gangguan otonomik
Gejala klinik

 Kekakuan tetanus sangat khas :

1. flexi kedua lengan


2. extensi pada kedua kaki
3. flexi pada telapak kaki
4. tubuh kaku,
5. melengkung bagai busur.
Corpus hyppocraticum
Gejala kinik

•Kejang tonik-klonik
•Kekakuan otot khas: fleksi lengan atas, ekstensi kaki
•Trismus spasme otot masseter
•Risus sardonicus spasme otot mimik
•Opistotonus spasme otot penunjang tulang belakang
•Tetanus berat : spasme larynx
hipertermia
hiperhidrosis
gangguan saraf otonom
Gejala klinik

• Opisthotonus
• Spasme otot
penunjang tubuh/tl
belakang
• Otot ini sangat
kuat, melebihi
kekuatan otot
dinding perut
gejala klnik tetanus neonatorum

• Extensi leher
• Mulut terbuka (karper-
mond)
• Tak bisa menetek
• Badan kaku
• Kejang
gejala klinik trismus dan risus sardonicus

• Trismus
• Kekakuan otot masseter
• Tak bisa buka mulut yang
lebar
• Diukur jarak bukaan
antara baris gigi depan

Risus sardonicus
• spasme otot mimik
• Alis terangkat
• Bibir sudutnya tertarik
kebawah
Gambaran klinik

1. Trismus : Adalah kekakuan otot‑otot mengunyah


(masseter), sehingga sukar membuka mulut. Pada
neonati kekakuan ini menyebabkan mulut
"mecucu" seperti mulut ikan dan bayi tak mau
menetek. Untuk menilai beratnya penyakit dan
menilai kemajuan klinik, lebar bukaan mulut harus
diukur tiap hari

2. Risus sardonicus : ekspresi muka yang sangat


khas, terjadi akibat kekakuan otot otot mimik dahi
mengkerut, alis terangkat, mata agak menyipit ,
sudut mulut keluar dan kebawah
Gambaran klinik

3 Opisthotonus:Tubuh yang kaku akibat kekakuan


otot‑otot yang menunjang tubuh: otot leher, otot pung­
gung, otot pinggang, semua trunk muscle dst.
Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan
tubuh melengkung seperti busur, tubuh bertumpu pada
pundak dan tumit, sehingga kita dapat memasukan
tangan di bawah pinggang penderita.

4 Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut


seperti papan.
5 Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang
kejang umum, mula‑mula hanya terjadi setelah
dirangsang, misalnya digerakkan secara kasar,
terkena sinar. Lambat laun selang waktu "masa
istirahat" antara kejang makin pendek, sehingga anak
jatuh dalam status convulsivus.
Gambaran klinik
6. Pada tetanus yang berat akan terjadi :
 hipoksia, akibat kejang yang terus menerus
 atau oleh karena kekakuan (spasme) otot larynx yang
bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.
 dehidrasi dan gangguan elektrolit akibat suhu badan
yang sangat tinggi (hipertermi)
 atau keringat yang banyak (hiperhidrosis).
 gangguan sirkulasi, akibat pengaruh toksin pada saraf
otonom (terjadi gangguan irama jantung, hipertensi
atau hipotensi),
 kekakuan otot sphincter dan otot polos lain: retentio
alvi, retentio urinae, spasme larynx dsb.
 patah tulang panjang atau fraktur kompresi tulang
belakang
laboratorium

 Hasil pemeriksaan laboratorik tidak khas : liquor


normal, leukosit normal atau sedikit meningkat.
Biakan kuman yang memerlukan prosedur
anaerobik yang mahal, namun hasil yang positif
tanpa gejala klinik tidak mempunyai arti.
Pemeriksaan serologik kadar IgG antitetanus tidak
dapat dilakukan secara rutin.
Anamnesis dan Pemeriksaan fisik

Anamnesis:
• anamnesa terarah untuk diagnostik dan prognostik.

• diagnostik : menelusuri kemungkinan infeksi Cl .tetani


melalui perlakuan yang dialami penderita : luka tusuk,
infeksi puntung talipusat.

• Prognostik : semakin pendek masa inkubasi atau


period of onset akan semakin berat gejala klinik yang
terjadi. Mengingat masa inkubasi sering sukar
ditentukan karena port of entry yang tidak pasti, period
of onset dapat digunakan sebagai pegangan beratnya
penyakit
Keluhan dan gejala klinik
Anamnesis
 
Neonatus Anak
•Penolong persalinan •adanya luka/benda asing
•Cara memotong tali pusat
•Perawatan •imunisasi dasar dan
puntung tali pusat booster
•Mulai kapan

tidak bisa menetek •period of onset


•Imunisasi TT pada remaja
wanita usia subur / ibu hamil
pemeriksaan fisik

 Gejala klinik penderita sangat jelas sehingga diagnosa


mudah ditegakkan.

 Status neurologik: ada kekakuan perifer


 Tonus otot: sangat meningkat
 Kekakuan mempunyai pola khusus : trismus, risus,
opisthotonus
 Refleks fisiologik meningkat
 Refleks patologik negatif
 Klonus positif
 Kejang rangsang atau spontan
 Saraf otonom:
Hipertermi
Hiperhidrosis , dsb
Diagnosis dan Diagnosa Banding

Dx dibuat atas dasar:


•Anamnesis yang jelas, (diagnostik & prognostik)
•Gejala klinis sangat khas,
• kesadaran tetap baik

Pemeriksaan Lab & foto utk komplikasi


Diagnosa banding

1. Meningitis, meningoencefalitis, encefalitis, pada bayi


dan anak kecil, cari ada tidaknya gejala trismus,
risus-sardonicus, ada tidaknya gangguan kesadaran
dan kelainan liquor cerebrospinalis.
2. Tetani :oleh karena hypokalsemia : adanya
carpopedalspasme, pemeriksaan kadar Ca .
3. Keracunan strychnin : karena minum tonicum terlalu
banyak (pada anak).
4. Rabies: kesukaran menelan disertai dengan
hydrophobia: anamnesa gigitan binatang pada waktu
wabah
5. Trimus oleh karena process lokal : mastoiditis, OMP,
peritonsilar abcess, dll., biasanya proses bersifat
asymetris
Diagnosa banding

6.   Pada tetanus neonatorum: Sepsis, meningitis,


dehidrasi, kelainan elektrolit darah, adanya trauma kela­
hiran.
7. Bila ragu (terutama pada tetanus neonatorum), lakukan
pungsi lumbal (setelah diberi antikonvulsan) atau
dilakukan studi diagnosis yang lebih terarah, sesuai
dengan kemampuan laboratorium setempat.
8. gangguan kesadaran hendaklah dinilai sebelum
pemberian antikonvulsan yang pertama.
9. diagnosa banding dan studi diagnosis harus dilakukan
lebih teliti untuk setiap kasus dengan dugaan tetanus
neonatorum, tetanus lokal ataupun cephalic tetanus. 
penyulit

1. Sepsis (pada neonatus)


2. pneumonia, setelah hari kelima, akibat kekakuan
dinding dada
3. Kejang terus menerus (status convulsivus)
4. perdarahan paru pada tetanus neonatorum
5. laringospasmus dan sumbatan jalan nafas.
6. Aspirasi lendir/makanan/minuman, akibat kejang otot
diafragma
7. patah tulang panjang dan tulang belakang
(compression fracture).
Kriteria Abblet : 1967, berdasar data ICU

• Ringan:
• Trismus ringan atau sedang
• Kekakuan menyeluruh ringan/sedang
• Tidak sulit menelan, Tidak ada gangguan nafas
• Sedang
• Trismus sedang
• Kekakuan menyeluruh sedang/berat
• Ada kesulitan menelan
• Kejang rangsang
• Frekuensi nafas lebih cepat
• Berat
• Klinis sedang dengan kejang spontan dan kekakuan pada extensor
• Sangat Berat
• Frekuensi kejang sering dengan gejala disfungsi otonomik
Penentuan severitas klinik metode surabaya
dilakukan oleh perawat jaga, sehingga tindakan sesuai perjalanan

klnik
 Tetanus berat :
anak kaku dan sering kejang spontan, tanpa rangsangan
Period of onset kurang dari 2 hari, masa inkubasi kurang
dari 2 hari .

 tetanus sedang
anak kaku, tanpa kejang spontan dan kejang hanya terjadi
bila dirangsang.

 tetanus ringan :
 kekakuan yang jelas hanya trismus, tanpa kejang
rangsang.
Manfaat penentuan severitas
• Penentuan berat ringannya penyakit ini terutama untuk
mengantisipasi perubahan klinik yang cepat (masuk
dengan derajat ringan dan malam menjadi berat), yang
memerlukan perubahan dosis diazepam secara cepat
dan tepat. Penentuan berat ringannya dapat juga
menggunakan metode Ablett, Phillips atau Dakar score
• dosis empirik maksimal adalah 280mg/hari, bilamana
masih kejang harus dilakukan kurarisasi dan pernafasan
mekanik di ICU dan tetanus berat sebaiknya dirujuk ke
RS dengan perawatan intensif
• Pada tetanus sedang dan ringan dosis antikonvulsan
dimulai dengan dosis 1/2 ‑ 2/3 dosis maksimal (sedang)
atau 2/5 (ringan) dan setiap saat harus disesuaikan
dengan perubahan gejala klinik, mengingat tetanus
sedang/ringan dapat berubah cepat menjadi tetanus
berat yang memerlukan anti konvulsan yang maximal.
Tatalaksana medik

• menghilangkan spora dan jaringan anaeroob dng


perawatan luka, ambil corpus alienum
•Membunuh kuman vegetatif dng antibiotika (penisilin
50.000-100.000U/kg/hari)
•Netralisasi toksin yg msh diproduksi dng ATS 5000U
atau TIGH 3000U
•Mengatasi kejang
•Cairan dan nutrisi cukup, tambah oksigen
•Saluran nafas bebas lendir
•Perawatan intensif
Penghentian kejang dengan diazepam

neonatus Anak
 bolus diazepam 5 mg  bolus diazepam 10 mg
dilanjutkan dosis 90-120 dilanjutkan
mg/hr dosis 120-240 /hr ,
 selalu dianggap tetanus  Dapat ditingkatkan dosisnya
berat tergantung tingkat
 bila dng dosis 40 mg/kg/hari severitas
masih kejang, sebaiknya  bila dng dosis 280 mg/hari masih
dirawat secara intensif kejang , sebaiknya dirawat
secara intensif , dengan
pelumpuhan / kurarisasi dan
pernaf asan mekanik
 dipertahankan selama 5 hari,
sblm dikan 20% setiap 3 hari 
•Prinsip dasar adalah titrasi
•Dosis disesuaikan dgn respons klinik yg diinginkan
• Aspek klinik yg diharapkan :
• Penderita masih kaku, tanpa kejang spontan,
kesadaran & nafas tak terganggu
• Dosis diazepam disesuiakan dengan tingkat
severitas, bila diatas 240mg/hari masih kejang, perlu
ventilasi mekanik dan tambahan obat lain, mis
magnesium sulfat atau pancuronium bromide
• diazepam diberikan secra iv dng syringe pump atau
bolus 12-24 kali sehari; jangan campur diazepam dng
cairan infus
Menghentikan kejang dengan magnesium
sulfat
• Pengunaan Mg sulfat mempermudah manajemen
tetanus yang dengan gangguan fungsi saraf otonom
• Selain lebih murah dan mudah didapat, dapat
mengurang pemakaian ventilator atau intubasi.
• Pada bayi dan anak yang harus diawasi adalah
adanya efek samping seperti hipotensi, kelumpuhan
otot nafas dan jantung, terutama bila kadar > 6
mmol/l. tanda awal keracunan adalah hilangnya
tanda reflex patela.
• Dosis pada anak masih belum stabil, dimulai dengan
100 mg/kg/hari dan dinaikkan secara titrasi seperti
pada diazepam
Tatalaksana medik

• Perawatan luka (debridement) sangat penting dan


harus diusahakan untuk melakukan eksisi jaringan
yang dalam/luas agar jaringan anaeroob yang ada
dapat dihilangkan, terutama bila ada benda asing.

• Perawatan talipusat: tali pusat dirawat dan dibersih­kan


dengan perhydrol, rivanol sampai bersih dan diolesi
betadine. Perawatan dilakukan tiap hari

• Konsultasi dengan dokter gigi/THK, bila perlu dengan


orthopedi (fraktura columna vertebralis atau fraktura
tulang panjang).
Tatalaksana medik

Antibiotika :
Untuk membunuh kuman C1. tetani (vegetatif) berupa
penicillin 50.000‑100.000/kg BB selama 7 ‑ 10 hari.
atau bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan
lincomisin 10 mg/kgbb sekali sehari,
atau erytromisin50 mg/kgBB/hari, atau metronidazole
30mg/kgbb/hari.
Untuk komplikasi sepsis pada neonatus atau
pneumonia harus diberikan antibiotika yang sesuai.

Sera anti :
Tatalaksana medik

 Antibiotika :
 Sera anti :
Dapat digunakan ATS 5.000 U
i.m.
atau TIGH (Tetanus Immune
Globulin Human) 500 ‑ 3000 Iu.
Pada tetanus anak pemberian
sera anti harus disertai dengan
imunisasi aktif dengan toksoid
(DPT,DT,TT).
Pada pemberian ATS hati‑hati
akan reaksi anafilaksis, ok serum
kuda.
prognosis

 Makin pendek masa inkubasi, makin jelek


prognosanya
 Makin pendek period of onset, makin jelek
prognosanya.
 Letak, macam luka dan luasnya kerusakan jaringan.
 tetanus neonatorum mempunyai prognosa jelek dan
harus dianggap tetanus berat).
 tingkat kekebalan penderita.
Tatalaksana epidemiologik

 Pencegahan dengan imunisasi tetanus toksoid sangat


penting mengingat tatalaksana medik perawatan
penderita masih sulit dan mahal.

 Perawatan luka : Terutama pada luka tusuk, luka yang


kotor atau luka yang tercemar dengan spora tetanus.
Harus dicegah timbulnya jaringan anaerob pada
penderita, termasuk adanya jaringan mati dan nanah
 
 ATS profilaktis : Efektif hanya pada luka baru (bila
kurang dari 6 jam), dan harus segera dilanjutkan
dengan imunisasi aktif.
Tatalaksana epidemiologik

 Imunisasi aktif dengan vaksin DTP/ DT/ TT tergantung


dari umur penderita.

 Imunisasi aktif sebaiknya segera dimulai segera pada


saat penderita masuk rumah sakit dan dilanjutkan
sampai imunisasi dasar selesai, dilanjutkan dengan
suntikan booster.

 Vaksin DPT diberikan sebagai imunisasi dasar, diulang


setahun setelah DPT III, kemudian setiap 3 tahun sampai
usia 6-8 tahun . 

 Vaksin TT (tetanus toxoid) diberikan pada setiap wanita


usia subur dan gadis mulai umur 12 tahun atau ibu yang
sedang hamil.
Tatalaksana epidemiologik

Khusus untuk mencegah tetanus neonatorum perlu


Kebersihan alas tempat tidur pada waktu persalinan
Kebersihan tangan penolong persalinan
Sterilitas alat pemotong tali pusat dan cara perawatan tali
pusat, sebelum dan sesudah puntung talipusat tanggal
Tenaga penolong persalinan (87,3 % dari penderita
neonatorum RS Dr. Soeto­mo berasal dari partus oleh
tenaga non medis). Cara ini pada program eliminasi
tetanus neonatorum dikenal dengan 3 bersih yaitu
minimal bersih tangan, alas tempat bersalin dan alat
pemotong talipusat
TATACARA PEMBERIAN IMUNISASI PADA LUKA DENGAN
RISIKO TETANUS
 SEGALA JENIS LUKA
 

PERAWATAN LUKA

 Luka yang bersih Luka lain yang kotor
 kurang dari 6 jam lebih dari 6 jam
 kerusakan jaringan minimal kerusakan jaringan luas.


 tingkat tindakan tingkat tindakan
 kekebalan kekebalan
 A ‑ tak perlu diberi ‑ A ‑ tak perlu diberi
 apa apa apa apa
 B ‑ toxoid 1 x B ‑ toksoid 1x
 C ‑ toxoid 2 x C ‑ tokosid 2x + ATS
 D ‑ toxoid 3 x D ‑ toksoid 3x + ATS

 A : Telah mendapatkan immunisasi dasar dan booster dalam waktu 5 tahun.
 B : Telah mendapat immunisasi dasar dan booster dalam waktu >5 tahun tapi < 10 tahun.
 C : Telah mendapat immunisasi dasar booster >10 tahun.
 D : Belum menyelesaikan immunisasi dasar atau tingkat kekekebalan tak diketahui.
 Selalu disediakan injeksi adrenalin dan bila timbul gejala anafilaktik berikan 0.1 ml, subcutan, disusul
dengan kortikos­teroid intravena.
Tetanus Toxoid

• Formalin-inactivated tetanus toxin

• Schedule Three or four doses + booster


Booster every 10 years

• Efficacy Approximately 100%

• Duration Approximately 10 years

• Should be administered with diphtheria toxoid as DTaP,


DT, or Td
DTaP/DTwP, DT, and Td

Diphtheria Tetanus
7-8 Lf units 5-12.5 Lf units
DTaP/DTwP, DT
2 Lf units 5 Lf units
Td (adult)

Pertussis vaccine and pediatric DT used through


age 6 years. Adult Td used for persons 7 years and
older.
Routine DTaP/DTwP Primary Vaccination
Schedule

Dose Age Interval


Primary 1 2 months ---
Primary 2 4 months 4 wks
Primary 3 6 months 4 wks
Primary 4 15-18 months 6 mos
Children Who Receive DT

• The number of doses of DT needed to complete the


series depends on the child’s age at the first dose:
• if first dose given at <12 months of age, 4 doses are
recommended
• if first dose given at >12 months, 3 doses complete the
primary series
Routine DTaP Schedule
Children <7 years of age

Booster Doses
• 4-6 years, before entering school

• 11-12 years of age if 5 years since last dose


(Td)

• Every 10 years thereafter (Td)


Routine Td Schedule
Persons >7 years of age

Dose Interval
Primary 1 ---
Primary 2 4 wks
Primary 3 6-12 mos

Booster dose every 10 years


Diphtheria and Tetanus Toxoids
Adverse Reactions

• Local reactions (erythema, induration)

• Exaggerated local reactions reactions (Arthus-type)

• Fever and systemic symptoms uncommon

• Severe systemic reactions rare


Diphtheria and Tetanus Toxoids
Contraindications and Precautions

• Severe allergic reaction to vaccine


component or following prior dose

• Moderate to severe acute illness


Tetanus Wound Management

Clean, minor All other


wounds wounds
Vaccination History Td TIG Td TIG

Unknown or <3 doses Yes Yes


No Yes
3+ doses
No* No** No
* Yes, if >10 years since last doseNo
** Yes, if >5 years since last dose
NT. Incidence Rate (1/10.000 LB) &TT2
Coverage Indonesia, 94- 98

94 95 96 97 98 Avr.
Percent of NT Cases Investigated,
Indonesia 1995-1998
Proportion of Mother ANC of NT
Cases, Indonesia 1994-1988
Proportion ( %)of Birth Attendance of
NT Cases, Indonesia 1994 - 1998
Proportion (%) of Mother Receiving TT
of NT Cases, Indonesia 1994 -1999
Proportion (%) of Cutting Umbilical Cord of
NT Cases, Indonesia 1995- 1998
Proportion (%) of Umbilical Care of NT
Cases, Indonesia 1995-1998
• Rata-rata IR prop. 1.4/10.000KLH
• TT2 70%
• Persalinan bersih : cakupan rendah
• Investigasi kasus <80%
• Kasus TN semua risiko tinggi
• Kemampuan Surveilans Risti
• Kriteria kinerja surveilans
• Line Listing
• Zero reporting
• Kriteria Risiko tinggi
• Daerah cakupan rendah
• Daerah dengan kriteria khusus
• Surveilans aktif 1 tahun sekali (PDRS)
• Kriteria eliminasi :
• IR 1 per 10. 000 KLH
• Batas Daerah
• batas waktu
• Keterpaduan pencarian kasus (AFP,campak)
Kriteria Daerah Risiko Tinggi
( Saran WHO )
Daerah dengan IR diatas 1 per 10.000 k
Cakupan TT2 sangat rendah

• Supplemen TT ( WUS)
• Bila perlu Semua WUS diberi TT2 kecuali ANC
sangat tinggi
Kriteria Eliminasi ( Saran WHO))

• IR TN 1 per 1000 KLH dg. kondisi


• Kelengkapan laporan ( semua site) > 80%
• atau Cakupan ANC > 70%
• Cakupan TT2 > 80%
• HRR rumah sakit
• Eliminasi tkt .Kabupaten

Anda mungkin juga menyukai