Anda di halaman 1dari 8

Kelompok 7

1. Cristin
2. Rena
3. Nani
4. Eri
5. Agresi Militer II dan Penangkapan Pimpinan Negara

Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresinya yang kedua.


Sebelum pasukan Belanda bergerak lebih jauh Van Langen ( Wakil Jenderal
Spoor) berbisik kepada fan beek(komandan lapangan agresi II). Agresi militer 2
itu telah menimbulkan bencana militer dan politik baik bagi Belanda maupun
Indonesia. Walaupun Belanda tampak memperoleh kemenangan dengan mudah
tetapi sebenarnya membayar cukup mahal. Dengan taktik perang kilat, Belanda
melancarkan serangan di semua front RI. Serangan diawali dengan penerjunan
pasukan-pasukan payung di pangkalan udara Maguwo dan dengan cepat
berhasil menduduki ibukota Yogyakarta dan presiden Soekarno dan wakil
presiden Hatta memutuskan untuk tetap tinggal di ibukota.
Kelangsungan pemerintah RI dapat dilanjutkan dengan baik karena sebelum pihak
Belanda sampai di istana presiden Soekarno telah berhasil mengirimkan radiogram yang
berisi mandat kepada menteri ke Sumatera untuk membentuk pemerintahan darurat republik
Indonesia (PDRI). Perintah sejenis juga diberikan kepada Mr. A.A Maramis yang sedang di
India. Apabila Syahrudin prawiranegara ternyata gagal melaksanakan kewajiban pemerintah
pusat maka Maramis diberi wewenang untuk membentuk pemerintah pelarian di luar negeri.
Setelah mendengar Belanda melancarkan serangan jendela Sudirman seperti timbul
semangat baru. Ia mengingat janjinya saat mengucapkan sumpah saat dilantik sebagai
panglima TNI akan memperjuangkan kedaulatan dan keutuhan NKRI sampai titik darah
yang penghabisan. Sudirman segara menuju istana presiden di gedung agung. Ketika
mengetahui presiden wakil presiden beberapa pemimpin lainnya ditangkap Belanda maka
Jenderal Sudirman dengan para pengawalnya pergi ke luar kota untuk mengadakan perang
gerilya, sedangkan pasukan di bawah pimpinan letkol Soeharto terus berusaha menghambat
gerak maju pasukan Belanda. Pada tanggal 24 Januari 1949 dewan keamanan PBB membuat
resolusi agar republik Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan
membebaskan presiden RI dan para pemimpin politik yang ditawan Belanda.
6. Peran PDRI: penjaga eksistensi RI
Pada saat terjadi agresi militer Belanda II, presiden Soekarno telah membuat
mandat kepada Syafrudin Prawiranegara yang ketiga itu berada di Bukittinggi
untuk membentuk pemerintahan darurat. PDRI yang dipimpin oleh syafruddin
prawiranegara ternyata berhasil memainkan peranan yang penting dalam
mempertahankan dan menegakkan pemerintah RI
Konflik antara Belanda dan Indonesia masih terus berlanjut. Namun semakin
terbukanya mata dunia terkait dengan konflik itu, menempatkan posisi Indonesia
semakin menguntungkan. Untuk mempercepat penyelesaian konflik ini maka
oleh DK PBB dibentuklah UNCl atau komisi PBB untuk Indonesia sebagai
pengganti KTN.
UNCl memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding KTN. UNCl berhak
mengambil keputusan yang mengikat atas dasar suara mayoritas, UNCl
memiliki tugas dan kekuasaan. Ketika presiden dan wakil presiden dan
pembesar pembesar republik di tahun Belanda di Bangka, delegasi BFO
mengunjungi mereka dan mengadakan perundingan, UNCl mengumumkan
Bahwa delegasi-delegasi republik, Belanda dan BFO telah mencapai
persetujuan pendapat mengenai akan diselenggarakannya KMB.
7. Tetap Memimpin Gerilya
Kalau para pemimpin pemerintahan seperti presiden Soekarno, wakil presiden
Muhammad Hatta dan beberapa menteri ditangkap Belanda, panglima besar
Sudirman yang dalam kondisi sakit halnya dengan satu paru-paru justru tetap
teguh untuk memimpin perang gerilya. Dalam gerakan gerilya dengan satu paru-
paru itu Sudirman kadang harus ditandu atau dipapa oleh pengawal masuk hutan,
naik gunung, turun jurang harus memimpin pasukan, memberi motivasi dan
komando kepada TNI dan para pejuang untuk terus mempertahankan tegaknya
Panji Panji NKRI. Sungguh heroik perjalanan Sudirman. Iya telah menempuh
perjalanan kurang lebih 1000 km. Waktu gerilya mencapai 6 bulan dengan penuh
derita lapar dan dahaga. Sudirman tidak lagi memikirkan harta jiwa dan raganya
semua dikorbankan demi tegaknya kedaulatan bangsa dan negara.
8. Serangan Umum 1 Maret 1949

Pihak Belanda ternyata tidak mau segera menerima resolusi DK PBB, Tanggal 28
Januari 1949. Belanda masih mengakui bahwa RI sebenarnya tinggal nama. RI sudah
tidak ada, yang ada hanyalah para pengacau. Sri Sultan berkirim surat kepada Jenderal
Sudirman tentang perlunya tindakan penyerangan terhadap Belanda. Sudirman minta
agar Sri Sultan membahasnya dengan komandan TNI setempat, yakni letkol Soeharto.
Segera penyerangan terhadap Belanda di Yogyakarta dijadwalkan tanggal 1 Maret 1949
dini hari.
Pada tanggal 1 Maret 1949 dini hari sekitar pukul 06.00 sewaktu si Rini berbunyi
sebagai tanda berakhirnya jam malam, serangan umum dilancarkan dari segala penjuru.
Letkol Soeharto langsung memegang komando menyerang ke pusat kota. Serangan
umum ini ternyata sukses. Selama 6 jam Yogyakarta dapat diduduki oleh TNI.
Keberhasilan serangan umum itu kemudian disebarluaskan melalui RRI
gerilya yang ada di gunung kidul. Berita ini dapat ditangkap oleh RRI di
Sumatera, ya itu radio rimba raya di Aceh kemudian diteruskan ke luar
negeri.
Walaupun hanya sekitar 6 jam pasukan Indonesia berhasil menduduki kota
Yogyakarta, namun serangan ini sangat berarti bagi bangsa Indonesia.
Terutama ke dunia internasional untuk membuktikan bahwa RI masih ada,
tidak seperti yang diberikan oleh Belanda. Selain itu menggambarkan
semangat rakyat kembali juga menunjukkan kepada dunia bahwa negara
Indonesia masih mempunyai kekuatan.

Anda mungkin juga menyukai