Anda di halaman 1dari 33

Peraturan perundang –

undangan Narkotika,
Psikotropika, Precusor
dan Obat-obat tertentu
Kelompok 4
Theodora L. Bunga (2208030022)
Kristina Lanta (2208030023)
Maria L. D. P. Bali (2208030024)
Scorviona C. Billik (2208030025)
Yoseph P. A. Mawo (2208030026)
Heny Buwe Leo (2208030027)
Agatha F. C. Tanggung (2208030028)
Pengertian
NARKOTIKA
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan Kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai Menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan Ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-Golongan.
Pengertian
PSIKOTROPIKA
Menurut UU No. 5 tahun 1997 Psikotropika adalah zat atau
obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.

PRECUSOR
Menurut PP no.44 tahun 2010, precusor merupakan zat atau
bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam
pembuatan Narkotika dan Psikotropika.
Pengertian
OBAT-OBAT TERTENTU
Menurut Pasal 1 Ayat 1 UU No. 10 tahun 2019, Obat-Obat Tertentu
yang Sering Disalahgunakan yang selanjutnya disebut dengan Obat-
Obat Tertentu adalah obat yang bekerja di sistem susunan syaraf pusat
selain narkotika dan psikotropika, yang pada penggunaan di atas dosis
terapi dapat menyebabkan ketergantungan dan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.
Undang – Undang tentang
Psikotropika
UNDANG – UNDANG TENTANG PSIKOTROPIKA
UU No. 5 tahun 1997 BAB I
KETENTUA
N UMUM

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
2) Pabrik obat adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari Menteri untuk
melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk psikotropika.
4) Kemasan psikotropika adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus
psikotropika, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak.
12) Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan adalah lembaga yang secara khusus atau
yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan penelitian dan/atau menggunakan psikotropika
dalam penelitian, pengembangan, pendidikan, atau pengajaran dan telah mendapat
persetujuan dari Menteri dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan.
UNDANG – UNDANG TENTANG PSIKOTROPIKA
UU No. 5 tahun 1997
BAB II
RUANG
LINGKUP
DAN TUJUAN
Pasal 3
Pasal 2 Tujuan pengaturan di bidang psikotropika
2) Psikotropika yang mempunyai potensi adalah :
mengakibatkan sindroma a. menjamin ketersediaan psikotropika
ketergantungan sebagaimana dimaksud guna kepentingan pelayanan kesehatan
pada ayat (1) digolongkan menjadi : dan ilmu pengetahuan;
a. psikotropika golongan I; b. mencegah terjadinya penyalahgunaan
b. psikotropika golongan II; psikotropika;
c. psikotropika golongan III; c. memberantas peredaran gelap
d. psikotropika golongan IV psikotropika.
UNDANG – UNDANG TENTANG PSIKOTROPIKA
UU No. 5 tahun 1997

Pasal 4
1) Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan.
2) Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan.
3) Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), psikotropika
golongan I dinyatakan sebagai barang terlarang.
UNDANG – UNDANG TENTANG PSIKOTROPIKA
UU No. 5 tahun 1997
BAB IV
BAB III PEREDARA
PRODUKSI N

Bagian Pertama
Pasal 5 Umum
Psikotropika hanya dapat diproduksi Pasal 9
oleh pabrik obat yang telah memiliki 1) Psikotropika yang berupa obat hanya dapat
izin sesuai dengan ketentuan peraturan diedarkan setelah terdaftar pada departemen
perundang-undangan yang berlaku. yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
Pasal 6 Pasal 10
Psikotropika golongan I dilarang Setiap pengangkutan dalam rangka peredaran
diproduksi dan/atau digunakan dalam psikotropika, wajib dilengkapi dengan dokumen
proses produksi pengankutan psikotropika.
UNDANG – UNDANG TENTANG PSIKOTROPIKA
UU No. 5 tahun 1997

Bagian Kedua Bagian Ketiga


Penyaluran Penyerahan
Pasal 12 Pasal 14
1) Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran 1) Penyerahan psikotropika dalam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat rangka peredaran sebagaimana
dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dimaksud dalam Pasal 8 hanya
dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah. dapat dilakukan oleh apotek,
3) Psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh rumah sakit, puskesmas, balai
pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada pengobatan, dan dokter.
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan
guna kepentingan ilmu pengetahuan.
UNDANG – UNDANG TENTANG PSIKOTROPIKA
UU No. 5 tahun 1997
BAB VI
LABEL DAN
IKLAN

Pasal 29
1) Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan psikotropika.
2) Label psikotropika adalah setiap keterangan mengenai psikotropika yang
dapat berbentuk tulisan, kombinasi gambar dan tulisan, atau bentuk lain yang
disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan, atau
merupakan bagian dari wilayah dari wadah dan/atau kemasannya.
UNDANG – UNDANG TENTANG PSIKOTROPIKA
UU No. 5 tahun 1997
BAB XI
PEMUSNAHA
N

Pasal 53
1) Pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal :
a) Berhubungan dengan tindak pidana
b) Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau
tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika;
c) Kadaluarsa;
d) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
e) Kesehatan dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
UNDANG – UNDANG TENTANG PSIKOTROPIKA
UU No. 5 tahun 1997
2) Pemusnahan psikotropika sebagaimana dimaksud :
a) pada ayat (1) butir a dilakukan oleh suatu tim yang terdiri dari pejabat yang mewakili
departemen yang bertanggung jawab dibidang kesehatan, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan Kejaksaan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku, dan
ditambah pejabat dari instansi terkait dengan tempat terungkapnya tindak pidana
tersebut, dalam waktu tujuh hari setelah mendapat kekuatan hukum tetap;
b) pada ayat (1) butir a, khusus golongan I, wajib dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari
setelah dilakukan penyitaan; dan
c) pada ayat (1) butir b, butir c, dab butir d dilakukan Pemerintah, orang atau badan yang
bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran psikotropika, sarana kesehatan
tertentu, serta lembaga pendidikan dan/atau lembaga penelitian dengan disaksikan oleh
pejabat departemen yang bertanggung jawab dibidang kesehatan, dalam waktu 7 (tujuh)
hari setelah mendapat kepastian sebagaimana dimaksud pada ayat tersebut.
Undang – Undang
tentang Narkotika
UNDANG – UNDANG TENTANG NARKOTIKA
UU NO.35 tahun 2009
BAB I
KETENTUA
N UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
14) Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai Oleh dorongan untuk
menggunakan Narkotika secara Terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar
Menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya Dikurangi dan/atau dihentikan
secara tiba-tiba, Menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
15) Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan
hukum.
16) Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan Pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu Dari ketergantungan Narkotika.
UNDANG – UNDANG TENTANG NARKOTIKA
UU NO.35 tahun 2009 BAB II
DASAR,
ASAS, DAN
TUJUAN
Pasal 4
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan Pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu Pengetahuan dan teknologi;
b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial Bagi Penyalah Guna
dan pecandu Narkotika.
UNDANG – UNDANG TENTANG NARKOTIKA
UU NO.35 tahun 2009
BAB III
RUANG
LINGKUP

Pasal 6
Pasal 8
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam
1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan
pasal 5 digolongkan ke dalam:
untuk Kepentingan pelayanan kesehatan.
a. Narkotika Golongan I;
2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I
b. Narkotika Golongan II; dan
dapat Digunakan untuk kepentingan
c. Narkotika Golongan III.
pengembangan ilmu Pengetahuan dan
Pasal 7
teknologi dan untuk reagensia Diagnostik,
Narkotika hanya dapat digunakan untuk
serta reagensia laboratorium setelah
kepentingan Pelayanan kesehatan dan/atau
Mendapatkan persetujuan Menteri atas
pengembangan ilmu Pengetahuan dan
rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat
teknologi.
dan Makanan.
BAB IV
PENGADAA
N

Bagian Kedua Bagian Ketiga


Produksi Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan
Pasal 11 Teknologi
1) Menteri memberi izin khusus untuk Pasal 13
memproduksi Narkotika kepada 1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa
Industri Farmasi tertentu yang telah lembaga Pendidikan dan pelatihan serta
Memiliki izin sesuai dengan penelitian dan Pengembangan yang
ketentuan peraturan Perundang- diselenggarakan oleh pemerintah Ataupun
undangan setelah dilakukan audit oleh swasta dapat memperoleh, menanam,
Badan Pengawas Obat dan Makanan. Menyimpan, dan menggunakan Narkotika
untuk Kepentingan ilmu pengetahuan dan
teknologi setelah Mendapatkan izin Menteri.
UNDANG – UNDANG TENTANG NARKOTIKA
UU NO.35 tahun 2009
BAB VI
PEREDARA
N
Bagian Kedua Penyaluran
Pasal 39
1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar
farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin
khusus penyaluran Narkotika dari Menteri.
Bagian Ketiga Penyerahan
Pasal 43
1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh: a. apotek; b. rumah sakit; c. pusat
kesehatan masyarakat; d. balai pengobatan; dan e. dokter.
2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada: a. rumah sakit; b. pusat kesehatan
masyarakat; c. apotek lainnya; d. balai pengobatan; e. dokter; dan f. pasien.
3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk: a. menjalankan praktik
dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; b. menolong orang sakit dalam
keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau c. menjalankan tugas
di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
UNDANG – UNDANG TENTANG NARKOTIKA
UU NO.35 tahun 2009
BAB VII
LABEL DAN
PUBLIKASI

Pasal 45
1) Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan Narkotika, baik dalam bentuk
obat jadi maupun bahan baku Narkotika.
2) Label pada kemasan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk
tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada
kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari
wadah, dan/atau kemasannya.
3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label pada kemasan Narkotika harus lengkap
dan tidak menyesatkan.
UNDANG – UNDANG TENTANG NARKOTIKA
UU NO.35 tahun 2009
BAB XI
PENCEGAHAN
DAN
PEMBERANTASAN

Bagian Kesatu Kedudukan dan Tempat Kedudukan


Pasal 64
1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk
Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN.
2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah
nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab
kepada Presiden
Undang – Undang
tentang Precusor dan
Obat-obatan tertentu
UNDANG – UNDANG TENTANG PRECUSOR
Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2010
BAB I
KETENTUA
N UMUM

Pasal 3
Pasal 1 Pengaturan Prekursor bertujuan untuk:
Dalam Peraturan Pemerintah ini a. melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
yang dimaksud dengan: Prekursor;
1) Prekusor adalah zat atau b. mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor;
bahan pemula atau bahan c. mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan
kimia yang dpat digunakan Prekursor; dan
dalam pembuatan Narotika d. menjamin ketersediaan Prekursor untuk industri farmasi,
dan Psikotropika industri non farmasi, dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
UNDANG – UNDANG TENTANG PRECUSOR
Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2010
BAB III
BAB II RENCANA
PENGGOLONGA KEBUTUHAN
N DAN JENIS TAHUNAN
PREKURSOR
Pasal 5
Pasal 4 1) Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait
1) Prekursor digolongkan dalam menyusun rencana kebutuhan Prekursor untuk
Prekursor Tabel I dan kepentingan industri farmasi, industri non farmasi,
Prekursor Tabel II dan lembaga pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi setiap tahun.
2) Rencana kebutuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun berdasarkan jumlah persediaan,
perkiraan kebutuhan dan penggunaan Prekursor
secara nasional.
UNDANG – UNDANG TENTANG PRECUSOR
Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2010
BAB IV
PENGADAA
N

Bagian Kedua : Produksi


Pasal 7
1) Prekursor hanya dapat diproduksi oleh industri yang telah memiliki izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Produksi Prekursor untuk industri farmasi harus dilakukan dengan cara produksi yang baik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Prekursor untuk industri farmasi harus memenuhi standar Farmakope Indonesia dan
standar lainnya.
UNDANG – UNDANG TENTANG PRECUSOR
Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2010

Pasal 8
1) Setiap Prekursor wajib diberi label pada setiap wadah atau
kemasan.
2) Label pada wadah atau kemasan Prekursor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan
dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau
dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian
dari wadah dan/atau kemasannya
BAB VI
PEREDARAN

Bagian Kesatu Penyaluran


Pasal 14
1) Prekursor untuk industri non farmasi yang diproduksi dalam negeri hanya dapat disalurkan
kepada industri non farmasi, distributor, dan pengguna akhir.
2) Prekursor untuk industri non farmasi yang diimpor hanya dapat disalurkan kepada industri non
farmasi, dan pengguna akhir.
3) Prekursor untuk industri farmasi hanya dapat disalurkan kepada industri farmasi dan distributor.
4) Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi, distributor atau importir terdaftar dapat menyalurkan
Prekursor kepada lembaga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
5) Setiap kegiatan penyaluran Prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4) harus dilengkapi dengan dokumen penyaluran.
PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 10
TAHUN 2019

Pasal 1
2) Bahan Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan yang selanjutnya disebut dengan
Bahan Obat adalah bahan yang berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat
dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi pembuatan Obat-Obat Tertentu
termasuk baku pembanding.
3) Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan untuk melakukan kegiatan pembuatan Obat atau
Bahan Obat.
PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 10
TAHUN 2019
BAB II
OBAT-OBAT
TERTENTU

Bagian Kesatu
Kriteria Obat-Obat Tertentu
Pasal 2
1) Kriteria Obat-Obat Tertentu dalam Peraturan Badan ini terdiri atas obat atau Bahan Obat
yang mengandung:
a. tramadol; b. triheksifenidil; c. klorpromazin; d. amitriptilin; e. haloperidol; dan/atau f.
dekstrometorfan.
2) Obat-Obat Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan.
PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 10
TAHUN 2019
Bagian Kedua
Pengelolaan Obat-Obat Tertentu

Pasal 6
1) Obat-Obat Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a sampai dengan
huruf e merupakan obat keras.
2) Obat keras sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dikelola oleh Toko Obat.
Pasal 8
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dalam melakukan kegiatan penyerahan Obat-Obat Tertentu
wajib sesuai dengan:
a. kewajaran jumlah obat yang akan diserahkan; dan
b. frekuensi penyerahan obat kepada pasien yang sama.
PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 10
TAHUN 2019

Bagian Kedua
Pengelolaan Obat-Obat Tertentu

Pasal 10
1) Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dalam menyerahkan Obat-Obat Tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e wajib berdasarkan resep atau
salinan resep.
2) Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis oleh dokter.
3) Salinan resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dan disahkan oleh apoteker.
SEKIAN &
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai