Anda di halaman 1dari 7

TINDAK PIDANA KORPORASI

(ILLEGAL FISHING)

Fadhilah Afifah Rahman 201010013


Feby Alpriani Nduru 201010009
Jefry Altha 201010251
Mahastra Satria Mahendra 201010229
M. Rayhan Khan 201010139
Risma Shanti Maharani 201010263
Yulia Rahman 201010080
A. KORPORASI

Secara etimologi tentang kata korporasi (Belanda: corporatie, Inggris: corporation, Jerman:
korporation) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan
katakata lain yang berakhir dengan “tio”, maka corporatio sebagai kata benda
(substantivum), berasal dari kata kerja corporare, yang banyak dipakai orang pada zaman
Abad Pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia:
badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, corporatio itu
berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang dijadikan
orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan
manusia, yang terjadi menurut alam.

Prinsip pertanggungjawaban korporasi pertama kali diatur pada tahun 1951, yaitu dengan
Undang-Undang Penimbunan Barang dan kemudian dikenal lebih luas lagi dengan Undang-
Undang Darurat Nomor 71 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam
perkembangan kemudian pertanggungjawaban korporasi banyak diadopsi dalam peraturan
perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Pasar Modal, dan termasuk
Undang-Undang Perikanan.
Dari penggolongan tersebut, maka bentuk-bentuk korporasi dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:

1. Korporasi Publik, korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan
untuk memenuhi tugas-tugas administrasi di bidang urusan publik.Contohnya:
pemerintahan kabupaten atau kota
2. Korporasi Privat, korporasi yang didirikan untuk kepentingan privat/pribadi, yang
dapat bergerak di bidang keuangan, industri, dan perdagangan. Korporasi private
ini sahamnya dapat dijual kepada masyarakat, maka ditambah dengan istilah go
public.
3. Korporasi Publik Quasi, korporasi yang melayani kepentingan umum. Contoh: PT.
Kereta Api Indonesia, Perusahaan Listrik Negara, Pertamina, Perusahaan Air
Minum. Korporasi lebih dikenal dengan korporasi yang melayani kepentingan
umum. Berbeda dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata, hukum
pidana menambahkan yang “bukan badan hukum” yang nelum ada dalam hukum
perdata.
B. Illegal Fishing
Illegal fishing berasal dari kata illegal yang berarti tidak sah atau tidak resmi. Fishing
merupakan kata benda yang berarti perikanan; dari kata fish dalam bahasa inggris yang
berarti ikan; mengambil, merogoh; mengail, atau memancing.

Secara umum tindakan illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia, antara lain :
1. Penangkapan ikan tanpa izin;
2. Penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu;
3. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang; dan
4. Penangkapan ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin.

Contoh Kasus Illegal Fishing


Selama 2 Hari, Menteri Susi Tenggelamkan 40 Kapal Pencuri Ikan di Pontianak dan Natuna
C. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Illegal Fishing
Berbagai bentuk illegal fishing yang telah disebutkan sebelumnya dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dicantumkan beberapa pelaku terhadap
kejahatan dan pelanggaran bidang perikanan, antara lain:

a. setiap orang;
b. nakhoda atau pimpinan kapal;
c. ahli penangkapan ikan;
d. anak buah kapal;
e. pemilik kapal perikanan;
f. pemilik perusahaan perikanan;
g. penanggung jawab perusahaan perikanan;
h. operator kapal perikanan;
i. pemilik perusahaan pembudidayaan ikan;
j. kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan;
k. penanggung jawab pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia.
Undang-Undang Perikanan mengakui adanya badan hukum disamping orang
perseorangan, sebagai subjek hukum dalam tindak pidana perikanan. Namun,
undang-undang tersebut tidak mengatur lebih lanjut kapan suatu badan hukum
dikatakan melakukan tindak pidana dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindakan pidana tersebut. Sebagai akibatnya penanganan kasus-kasus tindak
pidana perikanan sulit untuk dituntaskan, khususnya yang melibatkan pihak
korporasi. Pada kebanyakan kasus, mereka yang sampai di pengadilan hanya
pelaku di lapangan seperti nakhoda kapal, kepala kamar mesin, anak buah kapal,
sedangkan pihak- pihak yang berada di belakang mereka, yaitu korporasi nyaris
tidak pernah tersentuh.
Titik terang dari persoalan tersebut sebenarnya mulai tampak ketika diatur prinsip
pertanggungjawaban korporasi dalam Undang-Undang Perikanan. Dalam hal ini,
yang dapat dituntut atas suatu tindak pidana perikanan tidak saja mereka yang
merupakan pelaku langsung di lapangan, tetapi juga pihak korporasi yang berada
di belakang para pelaku tersebut. Namun, rumusan prinsip pertanggungjawaban
korporasi dalam Undang- Undang Perikanan tersebut justru mengalami
kemunduran. Dalam Pasal 101 disebutkan bahwa “Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87,
Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95,
dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan
terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana
yang dijatuhkan”.

Anda mungkin juga menyukai