Anda di halaman 1dari 61

PERTANYAAN

SEPUTAR

ROMADHON
Penjelasan Tentang Larangan Puasa Dalam Perjalanan
1.Hadhrat Masih Mau’ud as. menetapkan puasa di perjalanan sebagai hukum yang
adil. Sebagaimana Yang Mulia bersabda:
“Seandainya orang yang sakit dan orang yang melakukan perjalanan berpuasa,
maka fatwa pelanggaran hukum akan berlaku pada mereka”.
Keputusan Yang Mulia as ini tergantung pada ayat Alquran:

‫فَعِ َّدةٌ ِّم ْن اَيَّ ٍام اُ َخَر‬


dan juga didukung oleh pemahaman kumpulan Hadis-Hadis Nabi. Rasulullah saw.
telah menetapkan orang-orang yang puasa Ramadan dalam keadaan safar
(melakukan perjalanan) sebagai:

‫صاه‬
َ ُ‫ع‬
(Muslim kitabus Shaum bab Jawazus Shaum Wa al-Fithr..., jilid 1, halaman 465).
Keringanan (rukhshah) diketahui dari Hadis-
Hadis yang ditetapkan oleh Imam Zahri rh.
sebagai hadis utama. Sebagaimana penjelasan
sahih Muslim:
‫اهلل‬ ‫ى‬َّ
‫ل‬ ‫ص‬ ِ ‫آخر اْالَمري ِن و اِمَّنَا يْؤخ ُذ ِمن اَم ِر رس وِل‬
‫اهلل‬ ِ ‫ان اْ ِلفطْر‬ ‫ك‬ ‫و‬ ِ
ُ َ ُ
ْ َ ْ ْ َ ُ ْ
َ َ َ ُْ َ َ َ ‫الزْه‬
‫ى‬
ُّ ‫ر‬ ُّ ‫ال‬َ َ‫ق‬
ِ ْ‫آلخ ِر فَا‬
‫آلخ ِر‬ ِ ْ‫علَي ِه و سلَّم بِا‬
َ َ َ َْ
Zuhri berkata: “Sesungguhnya berbuka adalah
perintah terakhir dari 2 perintah tersebut dan itu
diambil dari perintah Rasulullah saw. mengenai
yang terakhir, maka itu yang terakhir”. (Muslim,
jilid 1, halaman 464)
2.Hadhrat Masih Mau’ud as. telah menetapkan Qadian sebagai tanah air kedua bagi
para Ahmadi yang datang dari luar. Oleh karena itu, mereka dapat berpuasa selama
tinggal di sana dan seandainya tidak berpuasa, itu pun jaiz.
3.Perjalanan ke tanah air kedua disebut juga dengan safar (melakukan perjalanan).
Oleh karena itu, berpuasa adalah tidak jaiz. Hadhrat Masih Mau’ud as.
memerintahkan berbuka puasa kepada orang-orang yang berpuasa yang datang ke
Qadian sebelum waktu berbuka.
4.Semua orang yang tugasnya berkaitan dengan safar (melakukan perjalan) seperti
masinis, sopir, pilot, agen perjalanan, pegawai desa dan lain-lain termasuk dalam
hukum muqim (berada di tempat) dan mereka harus berpuasa Ramadan.
(Keputusan Majelis Ifta’, halaman 26, tanggal 26 Pebruari 1967)
Hadhrat Aqdas as. menjelaskan hukum puasa dalam perjalanan:
“Seandainya perjalanan dengan kereta api, tidak ada kesusahan apapun, maka
berpuasalah. Jika tidak, ambillah faedah dari keringanan (rukhshah) Allah Taala”.
(Al-Hakam, 24 Desember 1900)
Soal: Seandainya orang yang berpuasa perlu melakukan perjalanan, apakah ia dapat
membatalkan puasanya?
Jawab: Pada hari-hari Ramadan, sedapat mungkin kita hendaknya menghindari diri dari
perjalanan dan kita hendaknya melakukan perjalanan sesuai keperluan. Perjalanan seperti
apa yang harus dilakukan. Keputusannya ada pada keinginan orang yang akan melakukan
perjalanan dan dia akan memberikan jawaban dihadapan Allah Taala. Orang lain tidak dapat
memberikan keputusan mengenai hal ini. Selebihnya, perjalan seperti apa saja, selagi
perjalanan itu berlanjut, dia hendaknya tidak berpuasa.
Melakukan Perjalanan Dengan Berpuasa
Sayidina Hadhrat Khalifatul Masih II ra. bersabda:
“Akidah dan pemikiran saya mengenai perjalanan adalah mungkin sebagian ahli fikih
berbeda pendapat tentang perjalanan yang dimulai setelah sahur dan berakhir pada sore hari,
dari segi puasa, itu bukanlah perjalanan. Syariat melarang puasa dalam perjalanan. Akan
tetapi, syariat tidak melarang melakukan perjalanan ketika berpuasa. Jadi, perjalanan yang
dimulai setelah berpuasa dan berakhir sebelum berbuka puasa, dari segi puasa, itu bukanlah
perjalanan. Dalam puasa ada perjalanan dan dalam perjalanan tidak ada puasa”. (Al-Fadhl,
25 September 1942)
Soal: Dalam keadaan melakukan perjalanan/safar, puasa dapat dilakukan atau tidak. Lalu, perjalanan
berapa mil yang di dalamnya kita tidak dapat berpuasa?

Jawab: Kita hendaknya tidak melakukan puasa Ramadan dalam perjalanan. Akan tetapi, menjauhi
makan minum secara terang-terangan untuk menghormati Ramadan adalah mustahsan (dianggap baik).
Safar serta jaraknya tidak ditetapkan definisi dan batasan secara syariat. Itu tergantung pada perasaan
dan kemampuan seseorang untuk memutuskannya. (Untuk rincian lebih lanjut mengenai safar, lihatlah
bab ‘Qashrus Shalat’)

Ringkasan

Puasa dalam perjalanan memiliki 4 keadaan:

1.Seandainya perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki, di atas kendaraan atau terus berjalan, maka
janganlah berpuasa. Karena meninggalkan puasa dalam keadaan seperti ini merupakan suatu
keharusan.

2.Seandainya selama perjalanan harus menginap pada malam hari di suatu tempat dan fasilitasnya
tersedia, maka puasa dapat dilakukan. Yakni, untuk berpuasa atau tidak kedua-duanya diizinkan,
selama tinggal di sana sepanjang hari.

3.Seandainya perjalanan dimulai dari rumah setelah makan sahur dan berakhir sebelum berbuka puasa,
yakni ada kemungkinan untuk kembali pulang, maka puasa dapat dilakukan.

4.Seandainya tinggal di suatu tempat selama 15 hari atau lebih, maka aturlah sahur di sana dan
berpuasalah.
Orang Yang Sakit Dan Musafir
Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud as:
“Barangsiapa berpuasa pada bulan puasa dalam keadaan sakit dan
musafir, dia menentang perintah Allah Taala yang jelas. Allah Taala
berfirman dengan jelas bahwa orang yang sakit dan musafir jangan
berpuasa. Berpuasalah setelah sembuh dari sakit dan selesai
melakukan perjalanan. Kita hendaknya mengamalkan perintah
Tuhan ini. Karena keselamatan bersumber dari karunia. Tidak ada
orang yang dapat meraih keselamatan dengan memperlihatkan
kekuatan amal perbuatannya. Allah Taala tidak berfirman bahwa
baik sakit itu ringan ataupun berat dan perjalanan itu dekat ataupun
jauh, bahkan perintah tersebut bersifat umum dan kita hendaknya
mengamalkan perintah ini. Seandainya orang yang sakit dan
musafir berpuasa, maka mereka dikenakan fatwa melanggar
hukum”. (Badr, 17 Oktober 1907)
Usia Untuk Berpuasa
Hadhrat Khalifatul Masih II ra. bersabda:
“Banyak orang yang memerintahkan anak kecil untuk berpuasa. Padahal bagi setiap
kewajiban dan perintah terdapat batas dan waktu yang berbeda-beda. Menurut kami, masa
sebagian perintah berlaku mulai dari usia 4 tahun dan sebagian ada yang masa perintahnya
mulai dari usia 7 tahun sampai 12 tahun dan sebagian ada yang mulai dari usia 15 tahun
sampai 18 tahun. Menurut saya, perintah puasa berlaku kepada anak mulai berusia 15
sampai 18 tahun dan ini merupakan batas kedewasaan. Dia hendaknya membiasakan
berpuasa mulai dari usia 15 tahun dan pada usia 18 tahun, dia menganggap puasa sebagai
kewajiban. Saya teringat ketika kami masih kecil. Kami juga mendambakan untuk
berpuasa. Akan tetapi, Hadhrat Masih Mau’ud as. tidak membiarkan kami berpuasa.
Sebaliknya, beliau memberi berbagai macam anjuran tentang berpuasa kepada kami. Beliau
senantiasa menanamkan ru’ub/wibawa kepada kami. Untuk menjaga kesehatan anak dan
mengembangkan potensi kekuatannya, kita hendaknya melarang mereka untuk berpuasa.
Setelah itu, apabila masanya sudah tiba ketika mereka mencapai kemampuannya, yaitu usia
15 tahun, maka perintahkanlah mereka untuk berpuasa dan itu pun dengan
pelan-pelan/secara bertahap. Tahun pertama berapa pun mereka sanggup, maka pada tahun
berikutnya harus lebih dari itu dan tahun ketiga pun perintahkan mereka untuk berpuasa
lebih dari sebelumnya. Demikianlah mereka secara bertahap dijadikan supaya terbiasa
berpuasa”. (Al-Fadhl, 14 April 1925)
“Orang tua yang kekuatannya sudah melemah dan puasa yang membuatnya mahrum
dari kesibukan-kesibukan lain dalam kehidupannya bukanlah suatu kebaikan bagi
mereka. Kemudian bagi anak-anak yang potensinya sedang berkembang dan mereka
sedang mengumpulkan khazanah kekuatan untuk usia 50-60 di masa mendatang,
berpuasa tidak dapat menjadi kebaikan. Akan tetapi, seandainya dalam dirinya ada
kemampuan dan mereka adalah orang yang diperintahkan untuk Ramadan tidak
berpuasa, maka mereka telah berbuat dosa”. (Al-Fadhl, 2 Pebruari 1933)
Perempuan Yang Menyusui, Hamil, Anak-Anak dan Pelajar
“Di dalam Alquran hanya ada penjelasan tentang larangan berpuasa bagi orang yang
sakit dan musafir. Bagi perempuan yang sedang menyusui dan hamil tidak ada
perintah seperti ini. Akan tetapi, Rasulullah saw. menetapkannya dalam batas sakit.
Demikian pula anak-anak yang tubuhnya masih berkembang atau kesehatannya
melemah karena sibuk mempersiapkan ujian, termasuk dalam batas sakit juga. Pada
hari-hari itu otak mereka terbebani sedemikian rupa sehingga sebagian anak
terkadang menjadi stress (yang mengarah kepada kegilaan-pent). Kesehatan
seseorang terkadang menjadi rusak. Jadi, apa gunanya berpuasa sekali dan mahrum
untuk selamanya”. (Al-Fadhl, jilid 18, nomor 88, halaman 30-31)
Soal: Apa petunjuk bagi seorang pelajar yang sibuk dalam mempersiapkan ujian berkenaan
dengan puasa?
Jawab 1: Kita tidak diperintahkan untuk meninggalkan kesibukan sehari-hari karena puasa.
Oleh karena itu, seandainya seseorang tidak mampu berpuasa karena pekerjaan sehari-hari,
maka dia termasuk dalam hukum sakit. Akan tetapi, dalam hal ini dia bertanggungjawab
sepenuhnya terhadap tindakan-tindakannya dan Allah Taala akan memperlakukannya
sesuai niat dan keadaannya. Seolah-olah seseorang menjadi mufti dalam memberikan
keputusan tentang keadaannya sendiri.
“Barangsiapa karena puasa menjadi sakit, meskipun sebelumnya tidak sakit, maka
puasanya dimaafkan. Seandainya keadaannya selalu demikian, maka puasa tidak menjadi
wajib baginya. Seandainya keadaannya seperti ini dalam musim tertentu, maka puasalah di
waktu lain. Ya, bertakwalah dan berpikirlah bahwa bukan hanya alasan, melainkan sakit
yang sesungguhnya”. (Al-Fadhl, 22 Mei 1922)
Soal: Ramadan terkadang tiba pada musim ketika begitu banyak melakukan pekerjaan
bertani. Misalnya, menanam benih atau panen. Demikian pula mereka yang mata
pencahariannya sebagai buruh, mereka juga tidak dapat berpuasa. Apa petunjuk berkenaan
dengan mereka?
Jawab 2 : Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda:

“ ِ َّ‫الني‬
‫ات‬ ِ ‫ال‬ ‫م‬‫ع‬ ‫ال‬‫ا‬ ‫ا‬ ِ
‫مَّن‬
ِّ ُ َ ْ َ ْ َ ‫ا‬. Orang-orang ini menyembunyikan keadaannya.
‫ب‬
Setiap orang harus memahami keadaannya dengan ketakwaan dan kesucian.
Seandainya seorang buruh dapat berpuasa di suatu tempat, maka lakukanlah
demikian. Jika tidak, dia akan termasuk dalam hukum orang sakit. Ketika ada

kemudahan, berpuasalah. Arti dari ‫ َعلَ ى الَّ ِذيْ َن يُ ِطْي ُق ْونَ ُه‬adalah orang-orang
yang tidak mampu”. (Badr, 26 September 1907)
Seorang sahabat bertanya kepada Hadhrat Sahib tentang puasa dalam keadaan
sakit Diabetes. Dalam jawabannya, beliau bersabda:
“Dalam keadaan sakit, tidak diperbolehkan berpuasa dan untuk diabetes,
puasa merupakan hal yang sangat memudharatkan”. (Al-Fadhl, 15 Juli 1915)
Beberapa Penyakit Menahun
Ada beberapa penyakit dimana seseorang dapat melakukan semua pekerjaannya. Misalnya,
penyakit-penyakit menahun. Seseorang dapat melakukan semua pekerjaan dalam keadaan
demikian. Orang seperti ini tidak dianggap sakit.
Suatu kali Hadhrat Masih Mau’ud as. pernah ditanya suatu fatwa, apakah perjalanan seorang
karyawan termasuk safar karena tugasnya sebagai seorang karyawan? Beliau bersabda:
“Perjalanannya tidak dapat dihitung sebagai safar. Perjalanannya merupakan bagian dari
pekerjaannya. Demikian pula beberapa penyakit dimana seseorang dapat melakukan semua
pekerjaannya. Para tentara juga yang terserang penyakit-penyakit ini, mereka melakukan
semua pekerjaannya. Beberapa hari mereka terkena disentri, akan tetapi mereka tidak dapat
meninggalkan pekerjaannya untuk selamanya. Jadi, seandainya waktu diluangkan untuk
pekerjaan-pekerjaan lain, lalu apa sebabnya orang sakit seperti ini tidak dapat berpuasa.
Alasan-alasan seperti ini muncul karena mereka pada dasarnya menentang untuk berpuasa.
Boleh jadi, ini adalah perintah bahwa kita hendaknya tidak berpuasa dalam keadaan safar
dan sakit. Kita ditekankan pada hal ini supaya kita tidak menodai perintah Alquran. Akan
tetapi, orang-orang yang dapat berpuasa dengan memanfaatkan alasan ini, kemudian tidak
berpuasa atau ada beberapa hari yang tertinggal, padahal kalau mereka berupaya, maka
mereka dapat menyempurnakannya, akan tetapi mereka tidak berupaya untuk
menyempurnakannya, maka mereka berdosa seperti dosa-dosanya orang yang tidak puasa
Ramadan tanpa alasan.
. Oleh karena itu, setiap Ahmadi hendaknya setelahnya
menyempurnakan puasa sebanyak yang ia tinggalkan karena
kelalaian atau alasan syariat.
Sebagian ahli fikih berpikir bahwa puasa yang tertinggal di
tahun sebelumnya tidak dapat dilakukan di tahun selanjutnya.
(Bidayatul Mujtahid, jilid 1, halaman 206) Akan tetapi,
menurut saya, orang yang tidak dapat berpuasa karena tidak
tahu, maka ketidaktahuannya itu dapat dimaafkan. Ya,
seandainya ia tidak berpuasa karena sengaja, maka itu tidak
dapat diqadha, seperti halnya shalat yang ditinggal dengan
sengaja tidak dapat diqadha. Akan tetapi, seandainya ia tidak
berpuasa karena lupa atau kesalahan ijtihad, maka menurut
saya, ia dapat berpuasa kembali. (Al-Fadhl, 16 Agustus 1948)
Fidyah Adalah Sarana Untuk Mendapatkan Taufik Berpuasa
Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda:
“Suatu kali timbul dalam hati saya bahwa fidyah ini ditetapkan untuk apa? Diketahui
bahwa ini adalah karena untuk mendapatkan taufik berpuasa. Zat Tuhan-lah yang
menganugerahkan taufik dan segala sesuatu hendaknya memohon kepada Tuhan
semata. Dia Mahakuasa. Seandainya Dia kehendaki, maka Dia dapat menganugerahkan
taufik berpuasa kepada orang yang terkena tipus. Oleh karena itu, pantas bahwa
manakala orang yang melihat bahwa ia mahrum dari puasa patut untuk berdoa, “Ya
Allah! Ini adalah bulan Engkau yang penuh berkat. Aku mahrum daripadanya dan mana
tahu apakah tahun depan aku masih hidup atau tidak, dapat membayar puasa orang-
orang yang sudah meninggal atau tidak”. Oleh karena itu, ia harus memohon taufik
kepada-Nya.
Saya yakin bahwa Tuhan akan menganugerahkan kekuatan kepada hati yang seperti ini.
Seandainya Tuhan kehendaki, maka Dia tidak akan menghukum umat ini seperti umat-
umat yang lain. Akan tetapi, Dia menetapkan hukuman demi kebaikan. Menurut saya,
pada dasarnya ketika manusia memohon ke hadapan singgasana Ilahi dengan ketulusan
dan keikhlasan yang sempurna, “Jangan Engkau mahrumkan aku dari bulan ini”, maka
Dia tidak akan memahrumkannya.
Dalam keadaan demikian, seandainya ia sakit pada bulan Ramadan, maka penyakit tersebut
akan menjadi rahmat baginya. Karena setiap pekerjaan bergantung pada niat. Seorang
mukmin hendaknya membuktikan dirinya berani di jalan Allah Taala dengan wujudnya
sendiri. Barangsiapa yang mahrum dari puasa, akan tetapi dalam hatinya ada niat dari hati
yang perih, “Semoga saya sehat dan dapat berpuasa”, hatinya perih untuk hal ini, maka para
malaikat akan berpuasa untuknya, dengan syarat dia tidak pura-pura, maka Allah Taala sama
sekali tidak akan memahrumkannya dari pahala. Ini merupakan perkara yang halus.
Seandainya seseorang sulit untuk berpuasa karena malas dan berpikir bahwa saya sakit dan
kesehatan saya seperti ini dimana seandainya tidak makan satu waktu, maka saya akan
terkena penyakit ini dan itu. Orang yang mempersulit nikmat Tuhan atas dirinya kapan akan
mendapatkan pahala ini. Ya, orang yang hatinya senang bahwa Ramadan telah tiba dan ia
terus menanti bahwa Ramadan akan tiba dan saya akan berpuasa, kemudian ia tidak dapat
berpuasa karena sakit, maka di atas langit ia tidak mahrum dari puasa. Di dunia ini banyak
orang yang pura-pura dan berpikir bahwa kami dapat menipu orang dunia, demikian pula
dapat menipu Tuhan, akan tetapi itu tidak benar di hadapan Tuhan. Pintu formalitas sangat
luas. Seandainya seseorang mau, maka ia dapat shalat sambil duduk seumur hidup dan tidak
melakukan puasa Ramadan. Akan tetapi, Tuhan melihat niat dan keinginan orang yang
memiliki ketulusan dan keikhlasan. Tuhan mengetahui bahwa dalam hatinya ada kepedihan
dan Tuhan akan memberinya pahala lebih dari pahala yang sebenarnya, karena hati yang
pedih merupakan suatu hal yang patut dihargai”. (Fatawa Ahmadiyah, halaman 175)
Fidyah
“Seandainya seseorang sakit, baik ia terkena penyakit atau dalam keadaan dimana puasa benar-benar
akan membuatnya sakit, seperti perempuan yang hamil atau sedang menyusui atau orang tua yang
kekuatannya mulai menurun atau anak kecil yang kekuatannya sedang berkembang, maka hendaknya
tidak berpuasa. Seandainya orang seperti ini mendapatkan kemudahan, maka ia hendaknya memberi
makan kepada seorang makanan seorang laki-laki. Seandainya tidak mampu, jangan memaksa. Niat
orang seperti ini dipandangan Allah Taala sama dengan puasanya.

Seandainya halangan tersebut sementara dan sesudahnya tidak ada halangan, maka baik bayar fidyah
atau tidak, pokoknya ia harus berpuasa. Karena dengan membayar fidyah, dengan sendirinya puasa
tidak akan gugur. Bahkan ini hanya merupakan pengganti karena ia tidak dapat melaksanakan ibadah
tersebut bersama-sama dengan orang Islam yang lain pada hari itu atau sebagai rasa syukur karena
Allah Taala telah memberikan taufik kepadaku untuk melakukan ibadah ini. Orang yang membayar
fidyah sambil berpuasa, ia berhak mendapatkan pahala yang banyak karena ia bersyukur kepada Allah
Taala setelah mendapatkan taufik untuk berpuasa. Orang yang beralasan dari puasa, ia harus membayar
fidyah sebagai kafarah karena alasan tersebut.

Alasan ini ada 2 jenis, sementara dan tetap. Dalam kedua keadaan ini sebaiknya membayar fidyah.
Kemudian ketika alasan ini tidak ada lagi, maka hendaknya ia berpuasa. Ringkasnya, meskipun
membayar fidyah, akan tetapi berapa tahun pun ia dibolehkan oleh kesehatan, ia harus berpuasa sesuai
kemampuannya. Kecuali penyakit tersebut mula-mula sementara dan setelah sembuh, ia terus
berkeinginan bahwa hari ini saya berpuasa, besok berpuasa sehingga kesehatannya rusak secara tetap,
maka dalam keadaan demikian ia cukup membayar fidyah saja”. (Al-Fadhl, 10 Agustus 1945)
Soal: Fidyah Ramadan wajib diberikan kepada
siapa? Apakah orang tua, orang yang lemah, orang
yang sakit menahun, perempuan yang hamil,
perempuan yang sedang menyusui dan lain-lain
yang tidak mampu menyempurnakan bilangan
sampai Ramadan yang akan datang hanya dengan
membayar fidyah atau orang yang sakit sementara
dan terpaksa meninggalkan beberapa hari puasa,
sembuh setelah Ramadan dan berharap bisa
menyempurnakan bilangan tersebut serta
mendapatkan taufik. Berapa besarnya fidyah itu?
Jawab: Petunjuk yang umum adalah seseorang harus berpuasa dan seandainya mampu,
harus membayar fidyah juga. Berpuasa adalah wajib dan membayar fidyah adalah sunah.
Selebihnya fidyah atas puasa Ramadan tidak wajib atas orang yang terpaksa meninggalkan
beberapa hari puasa karena penyakit sementara. Kecuali dia meninggal sebelum mengqadha
puasanya. Dalam keadaan demikian, wajib atas ahli warisnya untuk membayar fidyah atas
nama almarhum atau melakukan puasa beberapa hari sejumlah yang almarhum tinggalkan.
Keharusan fidyah atas puasa Ramadan hanya berlaku bagi orang yang mampu yang tidak ada
harapan bahwa dalam waktu dekat dapat mengqadha puasa tersebut, seperti orang tua yang
lemah, orang yang sakit menahun, perempuan yang hamil dan sedang menyusui.
Allamah Ibnu Rusydi menulis dalam ‘(Bidayat al-Mujtahid, jilid 1, halaman 205)

ٌ‫ض لَِق ْولِِه َت َعاىَل "فَعِدَّة‬ ‫ي‬


‫ر‬ِ ‫مل‬ْ‫ا‬ ‫ك‬ِ‫اق و َك َذال‬
ٍ ‫ف‬ ِّ
‫ت‬ ِ
‫ا‬ِ‫ب‬ ‫اء‬ ‫ض‬‫ق‬ ‫ل‬ْ‫ا‬ ‫و‬ ‫ه‬‫ف‬َ ‫ر‬‫ط‬
َ ‫ف‬
ْ ‫ا‬
َ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ِ‫اََّم ا ح ْكم اْملس افِ ِر ا‬
ُ َْ َ َ َ ُ َ َ َُ َ َُ ُ ُ
‫"م ْن اَيَّ ٍام اُ َخَر‬
ِّ
Adapun hukum musafir, apabila dia berbuka puasa, maka itu disepakati sebagai qadhanya.
Demikian pula, hukum orang yang sakit sesuai dengan firman Allah Taala:

‫فَعِ َّدةٌ ِّم ْن اَيَّ ٍام اُ َخَر‬


Pengarang buku ‘Aujazul Masalik’ menulis:

ِ ‫اَحْلَ ِامل و اْملر ِض ُع اِذَا اَفْطَرتَ ا َماذَا َعلَْي ِهم ا و َه ِذ ِه اْملس َئ لَةُ لِْل ُعلَم ِاء فِْي َه ا اَْرَب َعةُ َم َذ ِاه‬
‫ب‬ َ َْ َ َ َ ُْ َ ُ
ٍ َّ‫ى َع ِن ابْ ِن َعب‬
‫اس‬ ِ ‫ه‬ِ ‫ي‬‫ل‬ ‫ع‬ ‫اء‬ ‫ض‬ ‫ق‬ ‫ال‬
‫و‬ ِ
ٌّ ْ َ َ ُ َ َ ََْ َ َ َ َ َ َ ْ ُ َ ‫اَ َح ُد َها ا‬
‫و‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫و‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ان‬ ‫م‬ ِ
‫ع‬ ‫ط‬ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫ه‬َّ
‫ن‬ ِ
Perempuan yang sedang hamil dan menyusui, apabila keduanya berbuka puasa, maka hal itu
tergantung pada keduanya dan masalah ini telah disepakati oleh para imam mazhab bahwa
apabila keduanya makan, maka mereka tidak perlu mengqadhanya. Ini diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas.
(Aujazul Masalik Syarah Muwatha Malik, jilid 3, halaman 37; Bidayatul Mujtahid, jilid 1,
halaman 307)

ِ َ‫الص ل‬
‫وة‬ ْ ِ ِ ‫س‬ ‫مل‬ ‫ا‬ ِ
َّ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ‫ال ا‬
‫ر‬‫ط‬ ‫ش‬ ‫ر‬ ‫اف‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ض‬‫و‬ ‫اهلل‬ َّ
‫ن‬ ِ َ َ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ق‬ ‫ه‬ َّ
‫ن‬َ‫ا‬ ِ ‫و ىِف اْحل ِدي‬
‫ث‬
ُ َ ُ ْ َ َ
َّ ‫َو َع ِن اْحلَ ِام ِل َو اْمل ْر ِض ِع‬
‫الص ْوَم‬
Dan tertera dalam Hadis, bahwasanya beliau saw. bersabda: Sesungguhnya Allah telah
ُ
meringkan bagi seorang musafir setengah shalat dan bagi perempuan yang hamil dan
menyusui puasa. (Tirmidzi, kitabus Shaum, bab Rukhshat Fil Ifthar Lil Hamli Wal Murdhi’,
jilid 1, halaman 89)
Berapa besar fidyah itu? Dalam hal ini, petunjuk prinsip:

‫اطعام عشرة مساكني من اوسط ما تطعمون اهليكم‬


“Dengan makanan yang rata-rata apa yang kamu beri makan
kepada keluargamu”. (Al-Maidah: 90)
Jadi, prinsip ini harus diperhatikan. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah
rh. memperkirakannya setengah sha’ (gandum) yakni kira-kira 2, 25
ser. {sha’ adalah alat untuk mengukur timbangan yang beratnya
sama dengan 2751 liter. Yakni, sama dengan 2751 cm2. Dalam
ukuran berat ini, 2751 gr air sama dengan 2 ser, 75 tolah, 10
masyah dan 1,83 ratti. Akan tetapi, dalam takaran gandum, sama
dengan 2173,29 gr. Yakni, sama dengan 2 ser, 26 tolah, 3 masyah,
7,1 ratti. Selanjutnya, 1 sha’ sama dengan 5, 33 ratal. Menurut
penelitian lain, 1 sha’ sama dengan 2 ser, 29 tolah, 6 masyah.
(Islam Ka Nizham Mahasil, halaman 98)}
Keterangan penerjemah:
1 tolah=11,7 gram
1 ser=0,065 gram
1 masyah=1,0711 gram
1 man=2,6 gram
1 sha’=2737,8 gram
1 ratti=1/8 masyah
1 wasaq=10,92 gram
Ini merupakan fidyah orang yang sudah meninggal yang bisa mencukupi makan 2 waktu
saja.
Fidyah tidak harus diberikan kepada orang miskin yang mampu berpuasa. Tujuan yang
sebenarnya adalah memberi makan kepada orang yang tak mampu tapi berhak, baik dia
dapat berpuasa atau tidak dapat berpuasa karena suatu alasan. Demikian pula fidyah wajib
atas orang yang mampu untuk membayarnya. Jika tidak, orang yang tidak mampu sebagai
gantinya bisa dengan menyesalinya, tobat, istigfar, berdoa, mengingat Tuhan dan
mengkhidmati agama.
Musafir Yang Tetap dan Sakit Menahun Dapat Membayar
Fidyah
Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda pada tanggal 30 Oktober 1907:
“Orang sakit dan musafir yang tidak berharap untuk mendapatkan
kesempatan berpuasa, misalnya orang tua yang sangat lemah dan tua
atau perempuan hamil yang lemah, karena ia melihat bahwa setelah
hamil, ia akan beralasan dikarenakan menyusui anak dan akan lewat
setahun. Orang seperti ini diperbolehkan untuk tidak berpuasa,
karena tidak dapat berpuasa dan harus membayar fidyah.
Fidyah hanya diberikan kepada orang yang sudah tua-renta dan
orang yang tidak mampu untuk berpuasa. Selain itu, tidak
diperbolehkan kepada orang yang membayar fidyah dan dianggap
beralasan berpuasa. Untuk orang awam yang sehat dan mampu
untuk berpuasa hanya memperhatikan fidyah dan akan membuka
pintu ibahat/kebolehan”. (Fatawa Ahmadiyah, halaman 183)
Soal: Seseorang memberikan uang sebagai fidyah demi puasa dan dia
sebelumnya diberi oleh orang lain. Apa perintah yang sebenarnya?
Jawab: Pemikiran ini keliru bahwa setelah diberi uang, seseorang
diperintahkan untuk berpuasa. Perintah yang sebenarnya adalah
seandainya seseorang tidak dapat berpuasa karena suatu alasan, maka
dia harus memberi makan 2 waktu kepada seseorang miskin yang
membutuhkan sebagai ganti setiap puasa atau membayar uang senilai
makanan tersebut. Orang yang berhak diberikan fidyah tidak harus
berpuasa sebagai ganti untuknya. Seandainya orang yang tak mampu
tersebut sakit, usianya sudah lanjut atau belum balig, ia tidak harus
berpuasa. Akan tetapi, meskipun demikian ia berhak mendapatkan
fidyah karena memperhatikan kebutuhannya. Akan tetapi, seandainya
orang yang berhak diberikan fidyah berpuasa, maka perkara ini
sungguh menjadi sarana yang mendatangkan pahala yang banyak.
Akan tetapi, syarat ini tidak menjadi keharusan bahwa fidyah tidak
dibayar tanpa itu.
Membatalkan Puasa Dengan Sengaja
Orang yang membatalkan puasa dengan sengaja sangat berdosa. Orang seperti ini wajib kafarah melalui
tobat. Yakni, dia harus berpuasa selama 60 hari berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin
sesuai kemampuan atau memberi 2 ser gandum kepada setiap orang miskin atau membayar uang senilai
makan tersebut. Pada hakikatnya, tobat adalah penyesalan sejati yang timbul dalam hati yang paling
dalam. Seandainya keadaan ini timbul dalam diri seseorang, akan tetapi tidak mampu untuk berpuasa
selama 60 hari atau memberi makan kepada 60 orang miskin, maka ia hendaknya bertumpu pada kasih
sayang dan karunia Allah Taala. Dalam keadaan demikian, istigfar cukup baginya.

Tertera dalam Hadis bahwa seseorang datang ke hadapan Rasulullah saw. dan mulai mengeluh: “Yang
Mulia! Saya telah binasa”. Yang Mulia bersabda: “Siapa yang telah membinasakanmu?”. Dia
mengemukakan: “Yang Mulia! Saya telah mendatangi istri saya dalam keadaan puasa”. Yang Mulia
bersabda: “Apakah kamu dapat memerdekakan seorang budak?”. Dia berkata: “Tidak”. Kemudian Yang
Mulia bertanya: “Apakah kamu dapat berpuasa selama 60 hari berturut-turut?”. Dia mengemukakan:
“Tidak, Yang Mulia. Seandainya demikian dan dapat menahan gejolak syahwat, mengapa kesalahan ini
timbul”. Yang Mulia bersabda: “Berilah makan 60 orang miskin”. Dia mengatakan: “Kemiskinan
menghalangi berbuat demikian”. Yang Mulia bersabda: “Duduklah”. Sementara itu, datanglah orang
yang membawa seranjang kurma. Beliau bersabda: “Bawalah dan berikan kepada orang-orang
miskin!”. Dia mengambil keranjang dan mengemukakan: “Siapa yang lebih miskin daripada saya? Saya
adalah orang yang sangat membutuhkan di seluruh Medinah”. Yang Mulia tersenyum atas permohonan
ini dan bersabda: “Pergilah dan berilah makan anak istrimu!”.
Soal: Pada bulan Ramadan, seseorang yang tidak berpuasa
menggauli istrinya yang sedang berpuasa dan memberitahu
suaminya. Apa hukumnya?
Jawab: Puasa istri akan menjadi batal. Akan tetapi, seandainya ia
tidak setuju, maka ia tidak perlu kafarah sebagai hukuman. Ya, ia
harus berpuasa kembali. Seandainya ia setuju, maka ia harus
membayar kafarah, berpuasa selama 60 hari atau memberi makan 60
orang miskin. Suaminya yang berdosa harus tobat, istigfar,
membayar fidyah dan hendaknya berjanji untuk menjauhi perbuatan
demikian di masa yang akan datang dan membayar kafarah.
Soal: Seandainya seseorang membatalkan puasa karena sangat
kehausan, apakah dia harus membayar kafarah?
Jawab: Seandainya dia terpaksa membatalkan puasa karena sangat
kehausan, maka ia harus mengqadha puasa tersebut. Akan tetapi,
dalam keadaan demikian tidak diharuskan membayar kafarah, fidyah
dan lain-lain. Kafarah hanya diharuskan ketika seseorang
membatalkan puasa dengan sengaja tanpa alasan dan terpaksa
mengada-ada. Dalam keadaan demikian, ia harus membayar kafarah
atas kesalahannya, yakni berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
Seandainya tidak mampu, maka ia harus memberi makan kepada 60
orang miskin.
Soal: Ada perkiraan bahwa hari ini adalah hari Id. Setelah sarapan
pada jam 08.00 pagi, pergi ke tempat Id. Tahu-tahu bahwa hari Id
adalah besok. Saya berniat puasa dari saat itu dan tidak makan
sampai sore hari. Apakah puasa saya masih berlaku?
Jawab: Untuk puasa diharuskan untuk tidak ada sesuatu yang
dimakan dari terbit matahari sampai terbenam matahari dan ada
niat berpuasa. Dikarenakan pada siang hari makanan telah
dimakan sambil beranggapan bahwa hari ini tidak puasa, maka ia
tidak berdosa dan puasanya tidak berlaku. Oleh karena itu, harus
mengqadhanya.
Soal: Apakah bagi orang yang puasa melakukan setiap jenis suntikan
dilarang? Apakah suntikan yang diberikan dari pemerintah bisa dilakukan terhadap
orang yang berpuasa?
Jawab: Ketika Allah Taala memberikan keringanan bahwa seandainya seseorang
sakit, maka ia harus berpuasa setelah sehat. Keterpaksaan seperti apa sehingga
dapat berpuasa meskipun dalam keadaan sakit. Suntikan diperlukan karena
seseorang sakit atau menurut dokter diperlukan suntikan untuk menahan penyakit
atau pemerintah memerintahkan suntikan untuk mencegah penyakit dan kesempatan
ini tidak akan didapat di kemudian hari. Dalam keadaan demikian, diizinkan untuk
berbuka puasa. Jadi, dalam keadaan puasa tidak lagi muncul pertanyaan berkenaan
dengan penyuntikan.
Puasa tidak menjadi batal dengan suntikan kulit, misalnya suntikan penyakit cacar.
Akan tetapi, puasa menjadi batal karena suntikan interamuscular atau interavenous.
Demikian pula, puasa menjadi batal dengan mendonorkan darah.
Perkara-Perkara Yang Tidak Membatalkan Puasa
Puasa tidak menjadi batal dengan miswak yang kering dan basah, menggunakan obat
mata, mencium wangi-wangian, dahak masuk ke tenggorokan dan debu yang melekat di
tenggorokan. Sabda Hadhrat Masih Mau’ud as. mengenai celak mata: “Menggunakan
celak mata pada siang hari adalah makruh”. (Al-Fadhl, 28 Juli 1914)
Demikian pula yang tertera dalam Hadis.
Demikian pula puasa tidak menjadi batal dengan memasang tato, muntah, dioperasi,
mencium wangi-wangian atau kloroform. Akan tetapi, hal-hal tersebut tidak disukai. Oleh
karena itu, hal-hal seperti ini adalah makruh. Selain itu, berkumur-kumur, memasukkan
air ke hidung, memakai wangi-wangian, mengoleskan minyak di jenggot atau kepala,
mandi berkali-kali, bercermin, diurapi, mencium dengan kasih sayang, diantara itu semua
tidak ada perbuatan yang dilarang. Hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa dan tidak
makruh juga. Demikian pula dalam keadaan junub, seandainya sulit untuk mandi, maka
dia dapat makan dan berniat untuk berpuasa tanpa mandi.
Soal: Dalam keadaan puasa, apa hukum berkenaan
dengan menggunakan pasta gigi atau tincur iodine
pada luka?
Jawab: Pasta gigi adalah hal yang tidak disukai. Akan
tetapi, diperbolehkan menggunakan sikat gigi yang
sederhana dan berkumur-kumur. Demikian pula tincur
iodine dapat digunakan pada anggota tubuh bagian
luar.
Soal: Apakah puasa menjadi batal dengan menghisap
tembakau?
Jawab: Menghisap tembakau dalam keadaan puasa
adalah makruh dan tidak disukai.
Makan Karena Lupa Dalam Keadaan Puasa
Seandainya seseorang tidak ingat dan makan minum sesuatu karena lupa, maka puasanya
tetap berlaku sesuai keadaannya. Tidak ada kekurangan dalam puasanya. Bahkan dalam
keadaan demikian lebih baik apabila seseorang makan minum sesuatu karena lupa, maka
orang yang didekatnya jangan mengingatkannya, karena Allah Taala sedang memberinya
makan dan minum. Lalu, apa perlunya mereka menghalanginya. Tertera dalam Hadis
bahwa Rasulullah saw. bersabda:

َ‫ضاءَ َعلَْي ِه َوال‬ ‫ق‬ ‫ال‬


َ ‫و‬ ِ
‫ه‬ ‫ي‬َ‫ل‬ِ
‫ا‬ ‫اهلل‬ ‫ه‬ ‫ق‬ ‫ا‬ ‫س‬ ‫ق‬
ٌ ‫ز‬ِ
‫ر‬ ‫و‬‫ه‬ ‫ا‬َ‫مَّن‬ِ
‫ا‬ ‫ف‬ ‫ا‬‫ي‬ ِ
‫اس‬‫ن‬ ‫ب‬ِ
‫ر‬ ‫ش‬ ‫و‬‫ا‬ ‫ا‬‫ي‬ ِ
‫اس‬ ‫ن‬ ‫م‬‫ِئ‬‫ا‬ ‫الص‬
َّ ‫ل‬ ‫ك‬َ ‫ا‬
َ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ِ
‫ا‬
َ َ َ ْ ُ ُ َ َ ْ َ ُ َ ً َ َ َ َْ ً َ ُ َ
‫َك َف َارَة‬
Yakni, apabila ada orang yang berpuasa makan minum karena lupa, maka ia hendaknya
tidak gelisah. Ini merupakan rezeki yang telah diberikan oleh Allah Taala kepadanya. Ia
tidak perlu qadha dan kafarah. Akan tetapi, seandainya seseorang berbuka puasa karena
keliru. misalnya, dia ingat puasa, akan tetapi ia berbuka puasa karena menganggap bahwa
matahari sudah tenggelam. Setelahnya diketahui bahwa matahari belum tenggelam, maka
dalam keadaan demikian puasanya menjadi batal dan perlu mengqadhanya. Akan tetapi, ia
tidak berdosa karena kekeliruan seperti itu dan tidak perlu kafarah.
Soal: Apakah puasa orang yang mendonorkan darahnya
kepada pasien karena kecelakaan menjadi batal?
Jawab: Puasa tidak menjadi batal hanya dengan
mendonorkan darah. Akan tetapi, dikarenakan melakukan
demikian timbul kelemahan, maka kita hendaknya
berbuka puasa. Dikarenakan donor darah terkadang
diperlukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang dan
setelahnya diizinkan untuk puasa serta Allah Taala telah
memberikan keringanan ini, maka kita hendaknya
mendonorkan darah. Barangsiapa yang mahrum dari
mengkhidmati seseorang karena alasan puasa semata,
maka dia tidak melakukan suatu kebaikan apapun.
Soal: Apakah puasa Ramadan yang ketinggalan dapat
dilakukan terus-menerus atau selang-seling setelah
Ramadan?
Jawab: Seandainya puasa Ramadan tertinggal karena
perjalanan atau sakit, maka setelahnya harus
disempurnakan. Akan tetapi, tidaklah perlu dilakukan
terus-menerus. Dapat dilakukan dengan selang-
seling. Meskipun satu hari satu hari.
Waktu Puasa Di Daerah Yang Luar Biasa
Wakilut Tabsyir Sahib mengirimkan fatwa Hadhrat Khalifatul Masih II ra. kepada mubalig
Skonde New York:
1.Untuk negara yang seperti ini diperintahkan untuk berpuasa selama 12 jam. Jangan
menunggu terbit dan terbenam matahari. Tetapkanlah waktu untuk berbuka dan sahur.
Demikian pula waktu shalat. Inilah penjelasan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. sendiri.
(File Dini Masail, 27 Agustus 1957)
2.Pada bulan Ramadan, semua orang Islam di dunia, meskipun tinggal di suatu pelosok,
diperintahkan untuk berpuasa dalam satu waktu. Mereka makan pagi sebelum terbit
matahari, kemudian tidak makan minum sepanjang hari sampai terbenam matahari. Mereka
diizinkan untuk makan minum setelah terbenam matahari sampai pagi hari.
Puasa ini di semua negara yang siangnya kurang dari 24 jam dan yang siang-malamnya 24
jam nampak dalam waktu yang berbeda, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Akan tetapi,
di negara-negara yang siang-malamnya lebih dari 24 jam, bagi orang yang tinggal di daerah
tersebut, hanya diperintahkan untuk menentukan waktunya. (Debacah Tafsirul Quran,
halaman 455)
Itikaf
Arti itikaf secara bahasa adalah terkurung atau tinggal menetap di suatu tempat. Dalam
istilah Islam adalah:
ِ ‫الصوِم و نِيَّ ِة اْ ِالعتِ َك‬
‫اف‬ ِِ ‫اَللَّْب ُ ىِف‬
ْ َ ْ َّ ‫ث اْملَ ْسجد َم َع‬
Yakni, tinggal di mesjid sambil berpuasa dengan niat ibadah disebut itikaf (Hidayah, babul
I’tikaf). Seperti halnya puasa, itikaf juga didapatkan dalam agama-agama lain. Sebagaimana
tertera dalam Alquran Karim:
‫و عهدنآ اىل ابراهيم و امسعيل ان طهرا بيىت للطآئفني و العاكفني و ركع السجود‬
Kami telah memerintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Jagalah kesucian dan kebersihan
rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, itikaf, rukuk dan sujud”. (Al-Baqarah: 126)
Demikian pula tertera mengenai Hadhrat Maryam as:
‫و اذكر ىف الكتاب مرمي اذ انتبذت من اهلها مكانا شرقيا فاختذت من دوهنم حجابا‬
(Maryam: 17-18)
Yakni, Hadhrat Maryam as. meninggalkan kerabat beliau untuk beberapa waktu dan pergi ke
suatu tempat terpisah demi ibadah, dimana beliau mendapatkan kabar suka tentang seorang
putra yang agung.
Pada hari-hari sebelum dinobatkan sebagai nabi, menjauhnya Rasulullah saw.
dari kesibukan dunia dan sibuk dalam mengingat Tuhan di gua Hira merupakan
salah satu corak itikaf. Ketika seseorang menghendaki dan pada hari apa ia
kehendaki, ia dapat melakukan itikaf. Akan tetapi, itikaf pada 10 hari terakhir
Ramadan disunahkan. Hadhrat Aisyah ra. bersabda berkenaan dengan itikaf
Rasulullah saw.:

‫اج ُه‬ َّ ِ ِ ِ
ُ َ َْ َ َ ْ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ََ ْ َ ْ َ ْ ُ َ‫ان َي ْعت‬
‫و‬‫ز‬ ‫ا‬ ‫ف‬‫ك‬َ ‫ت‬ ‫اع‬ َّ‫مُث‬ ‫اهلل‬ ‫اه‬ ‫ف‬‫و‬ ‫ت‬ ‫ىَّت‬ ‫ح‬ ‫ان‬ ‫ض‬ ‫م‬‫ر‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ر‬ ‫اخ‬‫و‬‫ال‬ ‫ا‬ ‫ر‬‫ش‬‫لع‬ ‫ا‬ ‫ف‬‫ك‬ َ ‫َك‬
‫ِم ْن َب ْع ِد ِه‬
Kebiasaan Rasulullah saw. sampai wafat beliau adalah beliau senantiasa itikaf di
10 hari terakhir Ramadan. Setelah kewafatan beliau, istri-istri suci beliau
mengikuti sunah ini. (Bukhari, halaman 271; Muslim, kitabul I’tikaf, bab I’tikaful
‘Asyril Awakhir…, jilid 1, halaman 497)
Rasulullah saw. selalu memberikan petunjuk kepada orang-
orang yang mencari Lailatul Qadr untuk itikaf di 10 hari
terakhir Ramadan. Sebagaimana sabda beliau:

‫ف‬ ِ َ‫ب ِمْن ُكم اَ ْن يعت‬


‫ك‬ ‫ف‬ ِ
‫ر‬ ِ
‫اخ‬ ‫و‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ِ
َّ َ َ ْ َ َ ََ ْ ْ َ ْ َ َ ْ َ ْ‫ق‬
‫ح‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ر‬ ‫ش‬ ‫لع‬ ‫ا‬ ‫ىِف‬ ‫ا‬ ‫ه‬َّ
‫ن‬ ‫ا‬ ‫ىِل‬ ‫ل‬ ‫ي‬ِ
َ َْ ْ
‫َّاس َم َع ُه‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ف‬ ‫ك‬
َ ‫ت‬ ‫اع‬ َ‫ف‬ . ‫ف‬ ِ
‫ك‬ ‫ت‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫ل‬
ْ ‫ف‬
ُ َ َ ْ ْ َ ْ ََ
Yakni, Yang Mulia saw. bersabda bahwa saya diberitahu
bahwa Lailatul Qadr berada di 10 hari terakhir Ramadan.
Barangsiapa diantara kalian ingin melakukan itikaf, maka
itikaflah di 10 hari ini. Oleh karena itu, para sahabat itikaf
bersama beliau di 10 hari terakhir ini. (Muslim, bab Fadhl
Lailatil Qadr, jilid 1, halaman 494)
Hadhrat Abu Said Khudri ra. berkata:

‫ال‬
َ َ‫ان ق‬ ‫ض‬ ‫م‬ ‫ر‬ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫ط‬ ‫س‬ ‫و‬‫ال‬ ‫ا‬ ‫ر‬‫ش‬ ‫لع‬ ‫ا‬ ‫م‬ َّ
‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ِ
‫ه‬ ‫ي‬‫ل‬ ‫ع‬ ‫اهلل‬ ‫ى‬ َّ
‫ل‬ ‫ص‬ ‫ىِب‬ ِ ِ
َ
َ َ ََ ْ َ َْ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ ُ َ َ ِّ َ َ َ ْ ْ ‫ا‬
َّ
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫ن‬‫ف‬ ‫ك‬َ ‫ت‬ ‫ع‬
‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ َ
ِ ‫ال فَخطَبنَ ا رس و ُل‬
‫اهلل‬ َُْ َ َ َ ‫ق‬
َ ‫ن‬ َْ‫ي‬
‫ر‬ِ ‫ش‬
ْ ِ
‫ع‬ ‫ة‬
َ ‫ح‬َ ْ‫ص ب‬
‫ي‬ِ َ ‫فَ َخَر ْجنَ ا‬
‫ت لَْيلَةَ اْل َق ْد ِر و اِىِّن نُ ِس ْيُت َها فَاْلتَ ِمس وَها ىِف‬ ‫َأي‬
ُ َْ ْ ‫ر‬ ‫ىِّن‬ِ‫ال ا‬ َ ‫ق‬
َ ‫ف‬
َ ‫ن‬ ‫ي‬
‫ر‬ِ ‫ش‬ْ ِ
‫ع‬ ‫ة‬
َ ‫ح‬ ِ
َ ْ‫ص ب‬
‫ي‬
ُْ ْ َ َْ َ
ٍ ‫ت اَىِّن اَ ْس ُج ُد ىِف َم ٍاء و ِطنْي‬ ‫َأي‬
‫ر‬ ‫ىِّن‬ ِ‫ فَا‬.‫اخ ِر ىِف اْل ِوتْ ِر‬ ِ ‫اْلع ْش ِر اْالَو‬
َ ْ ْ ُ َْ ْ َ َ
Yakni, kami itikaf bersama Rasulullah saw. di 10 hari pertengahan Ramadan.
Kami keluar dari itikaf pada 20 Ramadan pagi hari. Atas hal itu, Rasulullah saw.
membimbing kami bahwa saya melihat Lailatul Qadr di mimpi. Akan tetapi, saya
tidak ingat hari itu. Akan tetapi sekedar yang saya ingat bahwa pada malam itu
saya sujud di air dan lumpur (yakni pada malam itu sedang turun hujan). Oleh
karena itu, carilah Lailatul Qadr di malam ganjil 10 hari terakhir. (Bukhari, babul
I’tikaf, jilid 1, halaman 272; Muslim, bab Fadhlul Lailatil Qadri Wal Hats-tsi ‘Ala
Thalabiha…, jilid 1, halaman 494)
Untuk itikaf tidak ada standar yang ditetapkan. Ini terkandung pada kehendak orang
yang duduk. Berapa hari ia hendak duduk, maka duduklah. {Hidayah, halaman 190;
Fiqih Madzahib Arba’ah (urdu), jilid 1, halaman 946}
Namun, itikaf yang disunahkan yang terbukti dari amalan Rasulullah saw. adalah
sekurang-kurangnya 10 hari. Terdapat dalam Hadis:

َ ‫ان َع ْشَرَة اَيَّ ٍام َفلَ َّم ا َك‬ ‫ىِف‬ ِ ِ


‫ان‬ َ‫ض‬ َ َ َ ِّ ْ ُ َ ْ َ َ َ َ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي‬
‫م‬‫ر‬ ‫ل‬ ‫ك‬
ُ ‫ف‬ ‫ك‬ ‫ت‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫م‬ َّ
‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ َ ُّ ‫ان النَّىِب‬
َ ‫َك‬
‫ف ِع ْش ِريْ َن‬ ‫ك‬
َ ِ‫اْلعام الَّ ِذى قُبِض فِي ِه اِ ْعت‬
َ ْ َ ْ َُ
Yakni, Yang Mulia saw. selalu melakukan itikaf 10 hari di bulan Ramadan. Akan tetapi,
ketika tahun kewafatan beliau, beliau melakukan itikaf 20 hari. (Bukhari, babul I’tikaf
Fil ‘Asyri, jilid 1, halaman 274)
Itikaf hendaknya dimulai dari shalat Subuh 20 Ramadan, karena sudah jelas bahwa
Rasulullah saw. biasa melakukan itikaf 10 hari dan 10 hari genap ketika itikaf
dilakukan pada 20 Ramadan pagi.
Rasulullah saw. tinggal di tempat itikaf setelah shalat Subuh. Ada sebuah riwayat dari Hadhrat Aisyah ra:

‫ص لَّى اْلغَ َد َاة َح َّل َم َكانَهُ الَّ ِذى‬


َ ‫ا‬‫ذ‬َ ِ‫ان فَا‬
َ ‫ض‬ ‫م‬‫ر‬ ‫ل‬ ‫ك‬
ُ ‫ىِف‬ ‫ف‬ ِ
َ َ َ ِّ ْ ُ َ‫َو َس لَّ َم َي ْعت‬
‫ك‬ ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه‬
َ
ِ ‫ان رس و ُل‬
‫اهلل‬ ْ ُ َ َ ‫َك‬
‫ف فِْي ِه‬
َ
ِ َ‫ْاعت‬
‫ك‬
Rasulullah saw. selalu itikaf pada setiap bulan Ramadan. Maka apabila beliau shalat Pagi, beliau menempati
tempat untuk itikaf. (Bukhari, babul I’tikaf Fi Syawal, jilid 1, halaman 273)

Terdapat juga dalam riwayat lain:

‫صلَّى اْل َف ْج ِر مُثَّ َد َخ َل ُم ْعتَ َك َف ُه‬ ‫ف‬ ِ َ‫اِذَا اَراد اَ ْن يعت‬


‫ك‬
َ َ َْ َ َ
Ketika Rasulullah saw. hendak melakukan itikaf, maka beliau pergi ke tempat itikaf yang disediakan untuk
tujuan itu setelah melakukan shalat Subuh. (Bukhari, bab Mata Yadkhulu Man Aradal I’tikaf, jilid 1, halaman
497)

Tempat yang cocok dan sesuai untuk itikaf adalah mesjid raya. Sebagaimana terdapat penjelasan dalam
Alquran:

‫و انتم عاكفون ىف املساجد‬


“Dan kalian sedang itikaf di dalam mesjid”. (Al-Baqarah: 188)

Karena mesjid-mesjid dikhususkan untuk mengingat dan beribadah kepada Allah Taala. Dalam Hadis terdapat
penekanan untuk melakukan itikaf di mesjid.
Sebagaimana Hadhrat Aisyah ra. bersabda:

‫اف اِالَّ ىِف ْ َم ْس ِج ِد َج ِام ٍع‬‫ك‬


َ َْ ِ
‫ت‬ ‫ع‬ِ‫الَ ا‬
“Tidak ada itikaf kecuali dilakukan di dalam mesjid luas (tempat shalat berjamaah-
pent)”. (Bukhari, kitabul I’tikaf, babul Mu’takif Ya’udul Maridh, jilid 1, halaman 335)
Seandainya terpaksa, maka itikaf dapat dilakukan di luar mesjid. Hadhrat Mushlih
Mau’ud ra. bersabda:
“Itikaf dapat dilakukan di luar mesjid. Akan tetapi, pahala mesjid tidak dapat diraih”.
(Al-Fadhl, 6 Maret 1962)
Perempuan juga dapat melakukan itikaf di mesjid. Akan tetapi, lebih baik baginya untuk
melakukan itikaf dalam sebuah tempat yang dikhususkan untuk shalat dalam rumahnya.
Tertera dalam buku ‘Hidayah’:

‫ف ىِف ْ َم ْس ِج ِد َبْيتِ َها‬ ِ َ‫اََّما اْملرَأةُ َتعت‬


‫ك‬
ُ ْ َْ
“Adapun seorang perempuan melakukan itikaf di dalam mesjid rumahnya”. (Hidayah,
babul I’tikaf, jilid 1, halaman 190)
Orang yang itikaf tidak diperbolehkan untuk keluar dari mesjid kecuali untuk
keperluan-keperluan yang sangat penting. Sehingga tidak perlu keluar dari mesjid
untuk mandi biasa dan memotong rambut. Akan tetapi, keluar dari mesjid untuk
berwudhu dan mandi junub merupakan suatu keharusan.
Seandainya perempuan datang bulan (haid) pada saat itikaf, maka ia harus
meninggalkan itikaf. Dalam keadaan demikian, tinggal di mesjid tidak dibenarkan.
Orang yang itikaf harus menghabiskan waktu semaksimal mungkin dalam
mengingat dan beribadah kepada Allah Taala. Menghabiskan waktu dalam perkara
yang sia-sia dan diam begitu saja tidak dibenarkan, karena dalam Islam tidak ada
puasa ‘diam’.

‫س بُِق ْربٍَة‬ ‫ي‬َ‫ل‬ ِ ‫الصم‬


‫ت‬ َّ ‫م‬‫و‬ ‫ص‬ َّ
‫ن‬ ‫الصمت َاِل‬
َّ ‫ه‬َ‫ل‬ ‫ه‬
‫ر‬ ‫ك‬
ْ ‫ي‬ ‫و‬ ٍ ‫والَ يتَ َكلَّم اِالَّ َخِب‬
َ ْ ْ ََْ ُ ْ ُ ُ َ ُ َ ‫رْي‬ ُ َ َ
“Dan dia tidak berkata-kata kecuali mengenai perkara-perkara yang baik. Dan tidak
disukai baginya diam, karena puasa diam tidak dapat mendekatkan diri kepada
Allah-pent)”. (Hidayah, babul I’tikaf, jilid 1, halaman 192)
Pentingnya Itikaf
Rasul Yang Mulia saw. bersabda tentang kelebihan orang yang itikaf:

‫ب‬ ‫ه‬ ‫س‬ ‫ف‬ ‫ن‬ ‫ى‬ ‫ق‬ ‫ل‬‫ا‬ ِ‫ف ِمثل احمل ِر‬
‫م‬ ِ ِ
‫ك‬ ِ َّ ِ ‫اس اىِن‬ ِ ِ
ْ
َ ‫ْ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ ُ َنْي‬ َ ْ ْ َ ْ ‫ال ا‬
‫ت‬ ‫ملع‬ ‫ا‬ ‫ل‬‫ث‬‫م‬ ‫ن‬ َ َ‫ق‬ َ ََ ْ َ ْ َ ‫اَ ْخَر َج اْ َلبْي َه‬
‫ر‬‫خل‬ ‫ا‬ ‫اء‬َ‫ط‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ى‬ ‫ق‬
‫َت ْرمَحُىِن‬ ِ ‫الرمْح ِن َف َق َال و‬
‫اهلل الَ اَْبَر ُح َحىَّت‬ َّ ِ
‫ي‬ ‫يَ َد‬
ْ َ َ
Yakni, orang yang itikaf harus menempatkan dirinya ke hadirat Tuhan sepenuhnya dan
mengatakan: “Wahai Tuhan! Aku bersumpah, aku tidak akan beranjak dari sini sehingga
Engkau mengasihani aku”. (Durr-e-Mantsur, halaman 202, jilid pertama, dibawah ayat:

‫و انتم عاكفون ىف املساجد‬


Selanjutnya disabdakan:

‫ث َخنَا ِر َق اَْب َع ُد مَمَّا‬ ‫ال‬َ‫ث‬ ِ


‫ر‬ ‫َّا‬
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ن‬‫ي‬ ‫ب‬ ‫اهلل‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ج‬ ِ
‫اهلل‬ ‫ه‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫اء‬ ‫غ‬ِ‫ت‬‫ب‬ِ‫م ِن اعت َكف يوم ا ا‬
ََ َ ‫َ َ َ ُ َْ َ ُ َ َنْي‬ َ ْ َ َ َ ْ ً ْ َ َ َْ َ
ِ ‫َبنْي َ اْحلَا َفَتنْي‬
Yakni, barangsiapa melakukan itikaf sehari demi keridhaan Allah Taala, Allah Taala akan
menjadikan diantara dia dan Jahanam 3 parit yang jaraknya sejauh Timur dan Barat. (Durr-
e-Mantsur, halaman 202, jilid pertama, merujuk pada Thabrani Ausath dan Baihaqi)
‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو‬
َ
ِ ‫اس اَ َّن رس وَل‬
‫اهلل‬ َُْ ٍ ‫ب‬
َّ ‫ع‬
َ ِ
‫ن‬ ْ ‫َع‬
‫اب‬ ِ
‫ن‬
‫ب‬ِ ‫الذنُو‬ ُّ ِ
‫ن‬ ‫ع‬ ‫ف‬ ِ َ‫ف هو يعت‬
‫ك‬ ِ ِ َ‫س لَّم قَ َال ىِف اْملعت‬
‫ك‬
ْ َ ُ َْ َُ ُْ َ َ
ِ َ‫ات َكع ِام ِل اْحلسن‬
‫ات ُكلِّ َها‬ ِ َ‫و جَي ِرى لَه ِمن اْحلسن‬
ََ َ ََ َ ُ ْ َ
Yakni, Rasul Maqbul saw. bersabda tentang orang
yang itikaf bahwa orang yang itikaf terpelihara
dari semua dosanya disebabkan itikaf. Dia akan
mendapatkan balasan kebaikan yang
dilakukannya sebelum itikaf dan demikian pula
akan mendapatkan pahala atas kebaikan yang
masih dilakukannya. (Ibnu Majah, kitabul I’tikaf,
bab Tsaw.abul I’tikaf, halaman 127)
Fatwa-Fatwa
Soal: Apakah diperbolehkan melakukan itikaf di mesjid terdekat bukan di mesjid raya?
Jawab: Syarat yang diperlukan untuk kesahihan itikaf adalah mesjid tempat shalat
berjamaah. Terdapat dalam Hadis Abu Daud:

‫اف اِالَّ ىِف ْ َم ْس ِج ِد َج ِام ٍع‬


َ ْ‫ك‬
َ ِ
‫ت‬ ‫ع‬ِ‫الَ ا‬
Yakni, itikaf dapat dilakukan dalam sebuah mesjid tempat shalat berjamaah. (Abu Daud,
babul Mu’takif Ya’udul Maridh, jilid 1, halaman 335)
Kira-kira semua imam sepakat atas pendapat ini. (Nailul Authar, jilid 4, halaman 268)
Soal: Seandainya di suatu tempat tidak ada mesjid, apakah itikaf dapat dilakukan di
rumah?
Jawab: Ketika mesjid yang biasa digunakan untuk umum tidak tersedia, misalnya di suatu
tempat tinggal hanya seorang Ahmadi atau orang-orang Jemaat setempat shalat di rumah
seorang temannya, maka dalam keadaan demikian mereka dapat melakukan itikaf di
tempat yang dikhususkan untuk shalat secara umum di rumahnya. Allah Taala mengetahui
keadaan-keadaan terpaksa dan Dia memberikan ganjaran atas amal perbuatan sesuai
dengan niat hamba-Nya.
Soal: Apakah seorang perempuan dapat melakukan itikaf di tempat
khalwat di rumah?
Jawab: Seandainya di suatu tempat tidak ada mesjid atau tidak ada
pengaturan yang ma’qul tempat tinggal untuk perempuan di mesjid,
maka perempuan dapat menetapkan tempat khusus di rumah dan
melakukan itikaf.
Sejauh mungkin di rumah tangga setiap Ahmadi hendaknya ada sebuah
tempat sebagai masjidul bait (satu ruangan khusus untuk mesjid).
Perempuan-perempuan di rumah shalat di sana. Laki-laki melakukan
shalat Sunah, Nafal dan lain-lain. Ketika ada kesulitan, dijadikan tempat
mengasingkan diri dan memanjatkan doa. Cara beramal ini merupakan
sarana yang mendatangkan keberkatan yang banyak dan kebanyakan
para sahabat beramal sesuai dengan hal itu.
Soal: Apakah orang yang sudah tua, yang kesulitan untuk
berpuasa, dapat melakukan itikaf di mesjid tanpa puasa?
Jawab: Dalam keadaan umum, puasa merupakan syarat yang
diperlukan untuk itikaf. Ada sebuah riwayat dari Hadhrat
Aisyah ra. bahwa itikaf tanpa puasa adalah tidak benar. Kata-
kata riwayat tersebut adalah:

ٍ‫اف اِالَّ بِصوم‬ ِ ِ


َ ‫الَ ا ْعت َك‬
َْ
Tidak ada itikaf kecuali disertai dengan puasa. (Abu Daud,
kitabul I’tikaf, babul Mu’takif Ya’udul Maridh, jilid 1,
halaman 335)
Penjelasan ayat Alquran yang gamblang:

‫مث امتوا الصيام اىل الليل و ال تباشروهن و انتم عاكفون ىف املساجد‬


(Al-Baqarah: 188)
mendukung cara ini. Selain itu, tidak ditemukan penjelasan ini bahwa Rasulullah saw. dan
para sahabat pernah itikaf tanpa puasa. Ini merupakan cara para sahabat (Hadhrat Ibnu
Abbas ra, Hadhrat Ibnu Umar ra) dan para imam (Imam Malik rh, Imam Abu Hanifah rh,
Imam Auza’I rh) serta pendapat ulama Ahmadiyah. Sebaliknya, Hasan Bashri rh, Imam
Syafi’i rh dan Imam Ahmad rh. tidak menetapkan puasa sebagai syarat untuk itikaf. Para
ulama ini mengemukakan sebuah riwayat untuk mendukung pendapatnya bahwa suatu kali
Hadhrat Umar ra. bertanya bahwa saya bernadzar untuk itikaf satu malam, apakah saya
harus memenuhi nadzar tersebut? Rasulullah saw. bersabda: “Ya”. Oleh karena itu,
Hadhrat Umar ra. melewatkan semalam untuk itikaf. (Bukhari, kitabul I’tikaf, bab Idza
Nadzara Fil Jahiliyyah, jilid 1, halaman 274; Abu Daud, jilid 1, halaman 335)
Diketahui dari riwayat ini bahwa untuk itikaf tidak harus berpuasa, karena kita tidak
berpuasa pada malam hari. Berdasarkan pada inilah, para imam memperbolehkan itikaf
dalam waktu 2 jam. (Nailul Authar, jilid 4, halaman 268)
Soal: Selama itikaf, apakah seseorang dapat tidur dengan menghamparkan
ranjang di mesjid pada malam hari?
Jawab: Pada hari-hari itikaf, tidur dengan menghamparkan ranjang di sudut
mesjid atau tempat yang sesuai karena suatu keperluan adalah jaiz. Di dalamnya
tidak ada halangan, dengan syarat orang-orang yang shalat di mesjid tidak
merasa kesulitan dengan melakukan hal seperti ini. Tertera dalam sebuah Hadis:

‫ض ُع‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫اش‬‫ر‬ِ‫ان اِ َذا اعت َكف طُرِح لَه ف‬ ‫ك‬ ‫م‬َّ
‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬
َ َ َ َ َ َْ َ ُ ِ
‫ه‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫اهلل‬ ‫ى‬ َّ
‫ل‬ ‫ص‬ ‫ىِب‬َّ
‫ن‬ ‫ال‬ َّ
‫ن‬ ِ
‫ا‬
َ ْ ُ َ ُ ُ َ ُ َ َ َْ َ َّ
‫لَهُ َس ِرْي ُرهُ َوَراءَ اُ ْسُت َوانَِة الت َّْوبَِة‬
Yakni, ketika Yang Mulia saw. mulai itikaf, maka dihamparkanlah ranjang untuk
beliau di belakang tiang yang disebut dengan tiang ‘tobat’. (Ibnu Majah, kitabul
I’tikaf, bab Fil Mu’takif Yalzimu Makanan Fil Masjid, halaman 127; Nailul
Authar, jilid 4, halaman 266)
Karena suatu peristiwa yang terkenal, tiang ini disebut ustuwanah. (Ibnu Majah, halaman
127, catatan kaki ke-2)
Soal: Tertera dalam sebuah Hadis bahwa orang yang itikaf dapat keluar dari mesjid untuk keperluan-
keperluan yang sangat penting. Apa maksud dari keperluan-keperluan yang sangat penting itu?

Jawab: Kata-kata Hadis tersebut adalah:

‫ان اِ َذا َكا َن ُم ْعتَ ِك ًفا‬


ِ ‫َكا َن الَ ي ْدخل اْلبيت اِالَّ حِل اج ِة اْ ِالنْس‬
َ َ َ َ َْ ُ ُ َ
Yakni, Rasulullah saw. tidak pulang ke rumah dalam keadaan itikaf kecuali untuk keperluan manusiawi.
(Muslim, kitabut Thaharah, bab Jawazu Ghuslil Haidh Ra’si Jauziha…, jilid 1, halaman 117)

Apa maksud dari keperluan manusiawi? Salah satu maksudnya adalah pergi ke WC. Semua ulama
sepakat dengan pengertian ini bahwa untuk keperluan ini dapat pergi keluar dari mesjid.

Demikian pula seandainya itikaf di mesjid lingkungan, maka diizinkan pergi ke mesjid raya untuk shalat
Jumat dan itu dianggap sebagai kebutuhan manusiawi. Selain itu, dalam keperluan-keperluan lain
terdapat perselisihan, misalnya, keluar untuk ikut dalam daras Alquran atau doa bersama, potong
rambut, makan-makan (kecuali dalam keadaan terpaksa, misalnya tidak ada orang yang membawakan
makanan dari rumah), shalat Jenazah, menjenguk saudara yang sakit atau mengantarkan makanan
kepada seseorang. Kebanyakan orang menganggap tidak boleh keluar dari mesjid untuk keperluan-
keperluan tersebut. Intisari itikaf juga menuntut supaya orang yang itikaf tidak keluar dari mesjid untuk
keperluan-keperluan lain, bahkan berusaha untuk memutuskan hubungan sepenuhnya dengan dunia dan
membiasakan dirinya untuk mengorbankan hasrat dan keinginan ini.
Soal: Ada perkara yang masyhur mengenai itikaf bahwa orang yang itikaf
tidak dapat keluar mesjid kecuali kondisinya jarang-jarang. Contoh kondisi
jarang-jarang adalah keluar untuk keperluan hajat, pergi ke pengadilan untuk
memberikan kesaksian dimana kalau ditunda akan kerugian atau sebagian
orang mengizinkan untuk Jenazah, seandainya tidak ditaati, maka tujuan
puasa menjadi hilang. Akan tetapi, sebagian orang tidak memperdulikan
perintah ini dan mereka pergi ke kantor untuk mengerjakan tugas kantornya.
Tolong berikan penjelasan mengenai perkara yang sebenarnya?
Jawab: Memutuskan hubungan sepenuhnya dengan dunia adalah derajat
itikaf yang paling tinggi. Hadhrat Aisyah ra. bersabda bahwa mengikuti sunah
atau tatacara Rasulullah saw. adalah orang yang itikaf tidak keluar dari
mesjid, mengunjungi orang sakit, ikut serta dalam Jenazah. Ya, ia dapat keluar
untuk keperluan-keperluan yang sangat penting. Maksud dari keperluan-
keperluan yang sangat penting adalah pergi ke WC. (Abu Daud, kitabus
Shiyam, babul Mu’takif Ya’udul Maridh, halaman 335)
Namun, sebagian ahli fikih mengatakan bahwa untuk keperluan-keperluan yang sangat
penting sedikit diperluas. Orang yang itikaf juga dapat keluar dari mesjid untuk beberapa
keperluan lain. Secara khusus pergi untuk memberikan kesaksian dianggap penting. Sebab:
a.Tidak ada petunjuk yang jelas dari Rasulullah saw. mengenai larangan ini
b.Mafhum itikaf secara bahasa hanya menunjukkan bahwa seseorang tinggal di dalam mesjid
sampai beberpa waktu dengan niat ibadah.
c.Ada dukungan dari beberapa riwayat sebagai isyarat bahwa seseorang dapat keluar dari
mesjid dengan memperhatikan satu kebutuhan lain yang sangat penting. Misalnya, suatu kali
Hadhrat Sofyah ra. pergi malam hari untuk menemui Rasulullah saw. dan bercakap-cakap
agak lama. Ketika beliau kembali, maka Rasulullah saw. mengantarkannya sampai ke rumah.
Padahal jarak rumah dari mesjid cukup jauh. (Abu Daud, babul Mu’takif Yadkhulul Bait
Lihajat, jilid 1, halaman 335; Bukhari, jilid 1, halaman 272)
d.Diantara para Imam ada yang mengakui perizinan hal ini. Prinsip mengenai hal ini adalah
dalam keadaan yang sangat penting dan terpaksa, mengamalkan hal ini tidak menafikan
mendapatkan kemajuan rohani dan pahala. Diantara para imam terdahulu, orang-orang yang
mengakui perizinan untuk keluar dari mesjid karena pengecualian dan kepentingan ini, nama
mereka adalah Hadhrat Ali ra, Hadhrat Said bin Jubair ra, Qatadah Ibrahim Nah’i, Hasan
Bashri dan Imam Ahmad. (Aujazul Masalik, jilid 3, halaman 112)
Jadi, orang-orang yang tidak dapat melakukan itikaf
sesuai sunah yang berderajat tinggi karena beberapa
pekerjaannya yang sangat penting, maka mereka
dapat ikut serta dalam itikaf yang berderajat lain
berdasarkan dalil-dalil ini, supaya mereka tidak
mahrum sepenuhnya dari pahala. Dalam keadaan
demikian, pada saat berniat itikaf, untuk beberapa
pekerjaan yang sangat penting mereka dapat
pengecualian niat untuk keluar dari mesjid. Sabda
Hadhrat Masih Mau’ud as. dan Hadhrat Khalifatul
Masih II ra. ini berhubungan dengan itikaf yang
berderajat lain yang menyebutkan izin keluar dari
mesjid untuk beberapa keperluan lain.
Soal: Dalam keadaan itikaf, apakah ada izin untuk pergi
ke Universitas demi belajar mengajar?
Jawab: Ada beberapa hal dimana seseorang berhak untuk
melakukannya atau tidak. Akan tetapi, seandainya itu
dilakukan, maka orang yang melakukan harus terikat
dengan syarat-syarat penting tersebut, begitu juga dengan
keadaan itikaf. Seandainya saudara ingin, itikaflah dan
seandainya tidak, tinggalkanlah sesuai keadaan
saudaranya. Tidak mungkin bahwa saudara melakukan
itikaf dengan niat itikaf yang disunahkan dan
mencampurkan keinginan saudara sendiri di dalamnya.
Arti itikaf secara bahasa adalah seseorang tinggal di dalam mesjid untuk
beberapa waktu dengan niat untuk mendapatkan pahala dan ibadah. Oleh karena
itu, tinggal beberapa menit dengan niat ibadah juga disebut itikaf. Akan tetapi,
itikaf yang disunahkan yang dilakukan di 10 terakhir Ramadan, perlu bahwa
tidak keluar dari mesjid karena suatu sebab alami atau keperluan yang sangat
penting dan keperluan penting tersebut tidak termasuk mengajar di Universitas.
Tertera dalam sebuah Hadis:

َ‫س اِ ْمَر ًَأة َوال‬ ‫ال‬


َ ‫و‬ ‫ة‬
ً‫از‬ ‫ن‬‫ج‬ ‫د‬ ‫ه‬ ‫ش‬ ‫ي‬ ‫ال‬
َ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ض‬ ‫ي‬ِ
‫ر‬ ‫م‬ ‫د‬‫و‬ ‫ع‬ ‫ي‬ َّ
َّ ُ‫لس نَّةُ َعلَى اْمل ْعتَ َ َ ُ ْ َ َ ْ ً َ َ ْ َ َ َ َ َ َ مَي‬
‫ال‬ ‫ن‬
ْ ‫ا‬ ِ
‫ف‬ ِ
‫ك‬ ُّ َ‫ا‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ‫حِل‬ ُ ِ
‫الص ْوم َو َال‬ َّ ِ‫اف االَّ ب‬ ‫ك‬
َ ‫ت‬ ‫ع‬‫ا‬ ‫ال‬
َ ْ َ َ ُ ْ َُ‫و‬ . ‫ه‬ ‫ن‬‫م‬ َّ
‫د‬ ‫ب‬ ‫ال‬ َّ
‫ال‬ ‫ا‬ ‫ة‬ ‫اج‬
َ َ َ ُْ ‫يُبَ َ َ َ َ خَي‬
‫ج‬ ‫ر‬ ‫ال‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫ر‬ ‫اش‬
‫اف اِالَّ ىِف ْ َم ْس ِج ٍد َج ِام ٍع‬
َ ْ‫ك‬
َ ِ
‫ت‬ ‫ع‬ِ‫ا‬
Yakni, bagi orang yang itikaf disunahkan bahwa dia tidak pergi untuk
mengunjungi orang sakit, mengantarkan jenazah, mendatangi istri dan tidak
keluar dari mesjid selain buang air kecil, buang hajat dan lain-lain. Untuk itikaf
diperlukan puasa. Demikian pula, itikaf hendaknya dilakukan di mesjid tempat
shalat berjamaah. (Abu Daud, kitabul I’tikaf, babul Mu’takif Ya’udul Maridh,
halaman 335)
Hadhrat Aisyah ra. bersabda:

َّ‫ض فِْي ِه فَ َما اَ ْساَ ُل َعْنهُ اِال‬ ‫ي‬ِ


‫ر‬ ‫مل‬ ‫ا‬ ‫و‬ ِ
‫ة‬ ‫اج‬ ‫ح‬ ‫ل‬ِ
ُ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ‫ا ْ ُ ْ ُ اَل‬
‫ل‬ ‫ت‬ ‫ي‬ ‫لب‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫خ‬‫د‬ ‫ت‬ ‫ن‬‫ك‬ ‫ن‬ ِ
ٌ‫َو اَنَا َم َّارة‬
“Kapanpun saya pulang ke rumah untuk buang hajat dan di
rumah ada orang yang sakit, maka saya jalan terus tanpa banyak
bertanya (saya menganggap berhenti itu tidak bagus)”. (Ibnu
Majah, kitabus Shaum, bab Fil Mu’takif Ya’udul Maridh...,
halaman 127)
Hadhrat Masih Mau’ud as. pernah menulis tentang izin
mengunjungi orang sakit. Maksudnya kira-kira adalah
mengunjungi orang sakit dalam keadaan demikian
diperbolehkan.
Soal: Bagaimana cara itikaf yang disunahkan?
Jawab: Itikaf yang disunahkan adalah itikaf yang sesuai dengan cara Rasulullah
saw. dan yang terbukti dari Hadis-Hadis. Yakni, beliau saw. melewatkan puasa
selama 10 hari terakhir Ramadan di mesjid dan tidak keluar dari mesjid selain untuk
keperluan yang sangat penting.
Ini merupakan itikaf yang sempurna dan sesuai dengan sunah. Akan tetapi,
seandainya tidak mendapatkan peluang untuk itu dari segi keadaannya, maka dapat
dikurangi. Misalnya, seandainya seseorang tidak dapat melaksanakan itikaf selama
10 hari, maka ia dapat melakukannya 9 hari, 8 hari, 7 hari atau kurang dari itu sesuai
dengan peluangnya. Orang yang melakukan demikian di hadapan Allah Taala, patut
mendapatkan pahala. Demikian pula, seandainya tidak dapat berpuasa, maka ia
dapat meluangkan waktunya dalam mengingat Allah Taala di dalam mesjid dan
meraih pahala sesuai usahanya. Inilah keadaan orang-orang yang tidak dapat
beritikaf selama 10 hari. Seberapa banyak waktu yang mereka dapatkan untuk
beribadah di mesjid, maka ini akan menjadi sarana kebaikan bagi mereka. Insya
Allah.
Para Imam Salaf telah menjelaskan keringanan ini dan dalam keadaan tersebut,
Soal: Seandainya sarana terdekat tidak ada, apakah orang yang sedang itikaf dapat pergi
jauh untuk buang hajat?
Jawab: Seandainya sarana terdekat tidak ada, maka mereka dapat pergi dengan jarak yang
jauh untuk buang hajat. Akan tetapi, setelah selesai, mereka harus segera kembali ke mesjid.
Soal: Apakah orang yang sedang itikaf dapat pergi keluar dari mesjid untuk rapat Jemaat
atau tugas Jemaat?
Jawab: Sedapat mungkin, jangan pergi jauh dari mesjid untuk pekerjaan lain selain buang
hajat. Jika tidak, maka itikaf yang disunahkan tidak dapat dilaksanakan. Ya, pahala itikaf
sementara atau ibadah di mesjid dapat diraih.
Soal: Apakah orang yang sedang itikaf dapat pulang ke rumah untuk makan atau membawa
makanan dari pasar?
Jawab: Seandainya sarana untuk membawa makanan tidak tersedia, maka makanan dapat
dibawa dari rumah. Demikian pula, dari pasar.
Soal: Seandainya sarana untuk mandi tidak tersedia di mesjid, apakah orang yang sedang
itikaf dapat pulang ke rumah untuk mandi?
Jawab: Seandainya dari pertama mandi termasuk dalam niat untuk buang hajat, maka ia
dapat pulang ke rumah. Wudhu dan mandi termasuk dalam hajat. Ia dapat keluar dari mesjid
untuk tujuan tersebut.
Soal: Apakah memotong dan mencukur rambut di mesjid dalam keadaan
itikaf dibenarkan? Apakah itu tidak menghalangi adab mesjid?
Jawab: Dalam keadaan itikaf tidak ada halangan untuk memotong dan
mencukur rambut. Akan tetapi, seandainya itu dilakukan di dalam mesjid,
maka itu tidak disukai. Karena perkara ini bertentangan dengan kehormatan
dan adab mesjid. Ini merupakan pendapat kebanyakan ulama umat.
Sebagaimana tertulis dalam syarah Muwatha Imam Malik Aujazul Masalik:

ٍ ‫ان اَو َغْير م ْعتَ ِك‬


‫ َو‬... ‫ف‬ ‫ك‬ ‫ا‬ ‫ف‬ ِ
‫ك‬ ‫ت‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ق‬ ‫ل‬ ‫ط‬‫م‬ ِ ِ ِ ‫ْأ‬
ُ َ ْ َ َ ً َ ْ ُ َْ ً َْ ُ ْ ‫الر‬
‫ه‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫س‬ َّ ‫َو يُ ْكَرهُ َح ْل ُق‬
‫ك حِلَُرَم ِة اْمل ْس ِج ِد‬
َ
ِ‫َذال‬
Yakni, memotong rambut di dalam mesjid tidak disukai. Larangan ini
َ
memperhatikan kehormatan mesjid. Bukan disebabkan itikaf, karena
mencukur rambut tidak menafikan itikaf. (Aujazul Masalik, jilid 1, halaman
112-113)
Tertera dalam riwayat bahwa ketika Rasulullah saw. ingin menyisir rambut
dalam keadaan itikaf, maka beliau mengeluarkan kepala beliau dari mesjid dan
Hadhrat Aisyah ra. yang sedang berada di kamarnya, menyisir beliau saw..
Diajukan satu pertanyaan ke hadapan Hadhrat Masih Mau’ud as, “Apakah
orang yang sedang itikaf dapat membicarakan bisnis duniawinya atau tidak?”.
Beliau bersabda:
“Dia dapat melakukannya karena keperluan yang sangat penting, dapat keluar
untuk mengunjungi orang sakit dan buang hajat”. (Badr, 21 Pebruari 1907)
Pengarang buku ‘Hidayah’ menulis:

‫الس ْل َع َة‬ ‫ر‬‫ض‬ِ ‫حَّي‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ِ ‫غ‬ ‫ن‬‫م‬ِ ِ


‫د‬ ِ
‫ج‬ ‫اع ىِف اْمل ْس‬ ِ ِ ‫ْأ‬
َّ َ ْ ْ َ ‫ْ َرْي‬ َ َْ َ َ َ ْ ‫س ب‬
‫ت‬ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ع‬‫ي‬ ‫ب‬ ‫ي‬
َّ ‫ن‬
ْ ‫ا‬
َ َ َ‫الَ ب‬
َ
“Tidak ada halangan melakukan jual beli di dalam mesjid tanpa menghadirkan
barang-barang perniagaan”. (Hidayah, jilid 1, halaman 191)
Hadhrat Khalifatul Masih II ra. bersabda:
“Kami melakukan itikaf pada pagi hari yang ke-20. Kadang 10
hari dan kadang 11 hari. Suatu kali Rasulullah saw. keluar untuk
memberitahukan waktu pengabulan doa kepada orang lain. Akan
tetapi, pada saat itu ada 2 orang yang sedang berkelahi. Ketika
beliau melihat, maka beliau bersabda, ‘Setelah melihat kalian,
saya lupa akan waktu itu’. Akan tetapi, beliau sekedar bersabda,
‘Di 10 malam terakhir bulan Ramadan waktunya’. Para sufi
menulis, ‘selain malam-malam itu juga ada waktu yang lain. Akan
tetapi, di 10 malam terakhir Ramadan ada waktu khusus untuk
pengabulan doa’.
Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda berdasarkan pengalaman
pribadi beliau bahwa pada malam yang ke 27 waktunya”. (Al-
Fadhl, 3 Nopember 1914)

Anda mungkin juga menyukai