Anda di halaman 1dari 24

POLITIK dan GEREJA

(Pejabat Gereja / Pendeta)

Politik Teoritis &


Praktis
DR. YUSUF G. MANGUMBAN, M.Th
Beberapa Alasan :
1. Rekomendasi dari Studi Institut Pesetia di Kupang 2017 yang disampaikan oleh
Pdt. Richard Daulay bahwa sudah waktunya STT-STT mereformasi
kurikulumnya sedemikian rupa, sehingga produknya siap tidak saja sebagai
rohaniwan, tetapi juga menjadi aktor dalam rangka menjalankan “politik moral” di
tengah bangsa ini
2. Mencermati diskusi-diskusi di antara pendeta yang pro kontra boleh tidaknya
gereja dan pendeta berpolitik praktis
3. Karena saya secara pribadi belajar dan pernah melakoni pengalaman
empiris/nyata politik praktis
4. Kita memasuki tahun politik (minggu depan) untuk berbagi dan saling
melengkapi dalam rangka menjalankan tugas panggilan sebagai warga gereja,
masyarakat dan negara
5. Bagaimana kita merespons Pesan Pastoral PGI untuk Pemilu 2024
KETERLIBATAN GEREJA
DALAM POLITIK

Apakah gereja harus berpolitik?

Apakah pendeta boleh berpolitik?


• Untuk menjawab pertanyaan seperti itu tidak sesederhana yang kita pikirkan
dengan mengatakan “ya” dan/atau tidak.

• Terlebih dahulu kita harus menjelaskan pengertian kata politik.


1. Kata politik dari kata Yun: Polis: benteng, kota, Negara,
2. Politeia: penduduk atau warga Negara, juga berarti tata Negara, bentuk
pemerintahan.

• Politik harus dipahami sebagai kemampuan untuk hidup bersama dalam sebuah
polis (Jun/Latin dalam praktik demokrasi langsung yang dilaksanakan di Negara
kota atau pada waktu lampau. Pada waktu itu, setiap laki-laki bebas (merdeka)
beramai-ramai datang ke lapangan terbuka dan di sana ikut menentukan nasib
kota, menentukan tata cara hidup bersama di dalam kota itu. Setiap warga
Negara bertanggung jawab bagi kesejahteraan kota Yermia 29 : 7.
(Yewangoe, 2009: 187,188).
• Harus ada saling ketergantungan antara warga dengan kota yang di dalamnya
warga itu bertempat tinggal. Ketergantungan itu berupa hak dan kewajiban
warga kota.

• Politik juga dapat dipahami


pertama, sebagai kemauan bersama untuk tinggal bersama di dalam kota,
kedua, kemungkinan untuk memperoleh kekuasaan.

• Yang pertama mestinya dipunyai oleh setiap anggota jemaat yang sekaligus
adalah anggota masyarakat. Mereka harus mampu hidup bersama dalam polis
(masyarakat) yang tidak saja homogen, melainkan juga heterogen. Kalau tidak
mereka akan dipandang sebagai a-politik, bahkan a-sosial.
• Hal kedua, melalui politik adanya kemungkinan seseorang memperoleh
kekuasaan, memperoleh kekuasaan tidaklah tabuh, asal saja dicapai melalui
saluran yang benar dan oleh orang yang tepat. Saluran yang benar adalah
partai-partai politik, bukan lembaga gereja.

• Orang yang tepat adalah anggota jemaat atau anggota masyarakat yang punya
minat politik (praktis), bukan para pemimpin gereja dan/atau gereja sebagai
lembaga.

• Menurut Yewangoe, para pemimpin gereja tidak boleh berpolitik praktis,.kalau


ingin berpolitik praktis, mereka harus menjaga jarak dari lembaga gereja, atau
non-aktif. Bagi anggota jemaat yang punya minat pada politik praktis, mereka
perlu didorong , dipersiapkan dan didampingi oleh gereja (Yewangoe: 2017; 3).
• Pada awalnya pengertian kata politik tidak memiliki pengertian yang bersifat
mendua atau dikotomis sebagai politik praktis maupun sebagai politik teoritis.
Namun sejalan dengan perkembangan selanjutnya politik secara teoritis
dibedakan atau dipisahkan dari politik secara praktis.

• Politik secara teoritis menunjuk kepada politik sebagai suatu wacana yang dapat
diberikan oleh semua orang dalam rangka membangun suatu masyarakat yang
adil, makmur dan sejahtera.

• Politik secara praktis menunjuk kepada apa yang dilakukan oleh orang-orang
pada partai-partai dan lembaga-lembaga politik, termasuk dalam birokrasi dan
pemerintahan Negara.

• Apabila politik dipahami sebagai kemampuan untuk hidup bersama dalam satu
polis, maka gereja mesti berpolitik, gereja mempunyai tanggung jawab politik.
• Richard Daulay menjelaskan bahwa supaya kita tidak salah kaprah, kita harus
membedakan antara politik praktis dan politik moral. Politik Praktis ialah praktek
politik yang bertujuan merebut kekuasaan dalam Negara, misalnya dengan
memasuki atau membentuk partai politik sebagai jalan yang sah merebut
kekuasaan melalui pemilihan umum. Karena itu politik praktis disebuat juga
partisan politik karena partai politik itu membangun “partition”/partisi (dinding)
yakni ideologi masing-masing partai yang berbeda satu dari yang lainnya.

• Sedangkan politik moral ialah politik kenabian yang agendanya adalah


menyampaikan suara kebenaran (suara kenabian) gereja kepada para penguasa
agar mereka menjalankan tugasnya dengan benar, sesuai dengan undang-
undang yang benar pula.
Gereja bukanlah pelaku politik dalam Negara, tetapi merupakan
moral politik.

Jadi atas
pertanyaan
bolehkah gereja
berpolitik ?
• Menurut Daulay “sejauh hal itu merupakan wilayah politik moral, seperti
menyuarakan suara kenabian, mengkritisi ketidakadilan yang terjadi, dan
melakukan pendidikan kewarganegaraan, maka gereja terpanggil untuk
berpolitik dalam arti politik moral, tetapi gereja bukanlah organisasi politik, bukan
juga kekuatan politik, maka secara teologis gereja tidak bisa dipakai sebagai
kendaraan politik.

• Warga gereja apakah kaum awam (laity) atau pendeta (clergy) yang merasa
berpotensi dan terpanggil memasuki politik praktis, oleh undang-undang dan
oleh Firman Tuhan tidak ada larangan ( Richard: 2017:32,33).

• Namun setiap gereja mempunyai aturan atau kode etik kependetaan tersendiri
secara sinodal maupun secara oikumenis (PGI). Dapat dikatakan tanggung
jawab politik gereja adalah sesuatu yang secara teologis tak tehindarkan, sebab
gereja harus memberlakukan kehendak Tuhan di dalam seluruh aspek
kehidupan termasuk di dalam kehidupan politik.
• Menurut Eka Darmaputera, sebaiknya tidak.
Sebab tugas pendeta adalah penggembalaan seluruh
warga jemaatnya. Keterlibatan secara langsung seorang
pendeta di dalam politik praktis akan menyulitkan ia di
dalam tugas penggembalaannya. Selain itu Eka
Apakah para pejabat mengatakan kemungkinan pendeta tersebut
gereja (pendeta) harus memasukkan agenda politik dari partainya ke dalam
aktif di dalam politik tugas gerejawi. Selanjutnya menurut Eka, secara
principal maupun praktis, tidak dapat diterima kalau
praktis? sebuah organisasi gerejawi di dalam persidangannya
menyatakan bahwa ia tergabung dalam kelompok partai
tertentu.
• Sikap seperti ini mengurangi hak dan kewenangan
warga gereja yang ingin melaksanakan partisipsi
politiknya melalui partai politik yang lain. Kalau seorang
pendeta mau menggunakan hak pribadinya, maka ia
melaksanakan aktivitas politiknya itu sepenuhnya di luar
gereja (Eka Darmaputera:1995:287).
Bagaimana seorang pejabat gereja
menjalankan fungsi sosial-
politiknya dalam kerangka
tanggung jawab politik gereja?
• Kita mencatat dua hal seperti yang diungkapkan Eka. Pertama, ia mempunyai
tanggung jawab umum supaya semua warganya mampu menjalankan fungsinya
sebagai warga masyarakat dan negara dengan sebaik-baiknya dan bertanggung
jawabnya. Kedua, memperlengkapi warganya yang terjun di dalam politik agar
dapat melaksanakan perannya itu dengan baik sesuai dengan iman kristianinya.
(Eka:288).

• Kembali kepada peran gereja dalam politik, kalau politik dipahami sebagai
kemampuan untuk hidup bersama dalam satu polis, maka gereja mesti
berpolitik.

• Gereja mempunyai tanggung jawab politik.


Politik bersangkut paut dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
dengan demikian tak seorangpun atau satu kelompok masyarakat yang dapat
menghindarkan diri dari masalah politik.
• Gereja harus tahu dan sadar bahwa ia mempunyai tanggung jawab politik yaitu
memberitakan dan memberlakukan kehendak Allah dalam seluruh aspek kehidupan
termasuk dalam bidang pilitik. Tanggung jawab politik gereja secara teologis tak
terhindarkan sebab ia harus meberlakukan kehendak Allah di dalam seluruh aspek
kehidupan termasuk dalam kehidupan politk. Tindakan-tindakan politis gereja
dilakukan sebagai perwujudan hakikatnya sebagai gereja, tanpa mengubah diri
menjadi sebuah organisasi politik.

• Masalah khusus segala kekuasaan, terutama kekuasan politik yang merasa memiliki
monopoli atas penggunaan kekuasaan. Kekuasaan cenderung digunakan oleh pihak
yang memegangnya untuk memenangkan kepentingannya sendiri terhadap
kepentingan-kepentingan mereka yang tidak berkuasa. Kekuasaan cenderung
menganggap sepi tuntutn keadilan,

• Duduk persoalan inilah yang melahirkan etika politik. Etika politik adalah kekuasaan
politik dan tuntutannya yang paling mendasar adalah keadilan. Etika politik
menempatkan kekuasaan ke dalam cahaya tuntutan kritis keadilan. Dengan kata lain
etika politik dapat dipahami sebagai usaha untuk menentang kesewenangan
kekuasaan.
• Pokok etika politik menurut Magnis Suseno, adalah legitimasi kekuasaan dari segi
prinsip-prinsip dasar moral dan kemanusiaan. Bagaimana kekuasaan dipergunakan
dan apa syaratnya dinilai etika politik, maka etika politik memaksa sistem-sistem
politik kekuasaan berperilaku benar/ berintgritas (Magnis: 988:12,13).

• Etika politik modern mengembangkan tiga paham yang ada dewasa ini dipergunakan
mengukur keberadaan suatu sistem kenegaraan modern karena nilai yang mau
dicapai melalui tiga faham itu yakni Hak Azasi Munusia, Demokrasi, dan Keadilan
sosial.

• Kehadiran dan keterlibatan gereja dalam politik mestilah diwarnai oleh nilai-nilai iman
kristiani tentang apa kehendak Allah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu
untuk kesejahteraan bersama, apakah Hak-Hak Azasi manusia dihargai, apakah
keadilan sosial ditegakkan dan apakah demokratisasi berjalan dengan baik.
• Keterlibatan pejabat gereja atau pendeta secara langsung dalam politik praktis tetap
menjadi polemik pro dan kontra yang tak habis-habisnya. Tentu kita sepaham bahwa
tugas pendeta adalah menggembalakan secara rohani seluruh warganya atau tugas
pastoralnya. Kalau pendeta jemaat atau pejabat sruktural gereja terlibat secara
langsung dalam politik praktis ia akan menyulitkan pendeta tersebut dalam tugas
pastoralnya, sebab warga jemaat berasal dari berbagai macam partai poliik. Pendeta
sangat sulit berdiri di atas semua kalau menjadi salah satu anggota partai tertentu.

• Tanggung jawab politik pendeta atau pejabat gereja dapat dilaksanakan tanpa harus
terjun masuk langsung dalam politik praktis. Tugas pejabat gereja atau para pendeta
adalah memperlengkapi warganya agar dapat memahami hak dan kewajibannya
sebagai warga gereja, masyarakat, bangsa dan Negara yang bertanggung jawab.
Tetapi juga memperlengkapi warganya yang terlibat langsung dalam politik praktis.
Gereja terpanggil untuk mempersiapkan bukan supaya dapat menjadi anggota politik
praktis, seperti Bupati, gubernur, anggota legislatif, pengurus parpol dan lain-lain,
tetapi bagaimana ia berperan meluruskan kehidupan politik kita misalnya tidak lagi
menyejahterakan rakyat, mementingkan kelompok sendiri dan sebagainya.
Apakah para pejabat gereja (pendeta) harus
aktif dalam politik praktis ?

Menurut Eka, sebaiknya tidak, tetapi kalau yang


bersangkutan tetap ngotot juga mau menggunakan hak
politiknya dan menjadi anggota politik tertentu secara
pribadi, ia harus menggunakannya sepenuhnya di luar
gereja
(Eka, 995:288).
KESIMPULAN
Gereja mempunyai tanggung jawab politik secara sosial
kemasyarakatan tetapi juga secara teologis alkitabiah. Tanggung
jawab politik tesebuat dilaksanakan melalui menyuarakan suara
kebenaran ( kenabian), gerakan moral bangsa yaitu
meperjuangkan keadilan, perdamaian, dan pemeliharaan
lingkungan hidup serta memperjuangkan Hak Azasi Manusia
(HAM) dan sebagainya.

Problematika boleh tidaknya pendeta terlibat di dalam politik


praktis tidak dapat dijawab secara hitam putih atau dengan
mengatakan “boleh” atau “tidak”.
KESIMPULAN
Terburuh-buru mengatakan pendeta atau pejabat gereja “tidak
boleh” masuk politik praktis, titik., adalah sama salahnya dengan
tanpa pikir panjang mengatakan pejabat gereja atau pendeta “ya”
boleh masuk politik praktis sebab Hak Azasi setiap orang.

Mengapa, sebab persoalan kita tidak menyajikan pilihan hitam-


putih, oleh karena itu tidak boleh mengatakan secara mutlak
bahwa pejabat gereja atau pendeta “tidak boleh” atau “ya boleh”
masuk politik praktis.

Sebab pertama, memang pada dasarnya secara prinsip maupun


praktis pendeta atau pejabat gereja tidak bisa mencampur
baurkan pelayanan rohani (bidang pastoral) dengan kegiatan
politik praktis. Kedua, realitas kehidupan menunjukkan bahwa
selalu saja ada situasi-situasi khusus yang menuntut dari kita ada
kebijaksanaan, keluwesan dan pengecualian.
Eka dan Yewangoe yang juga PGI mengingatkan
supaya gereja tidak dijadikan sebagai alat dan
kendaraan politik oleh partai manapun termasuk
yang berlabel Kristen sekalipun, atau berpihak
kepada salah satu calon atau kandidat karena
pilihan warga ada beragam.

Pendeta yang terjun dalam politik praktis supaya


dilakukan di luar lembaga gereja (atau gereja
masing-masing)
Bagaimana kita
merespons pesan
pastoral PGI
menghadapi Pemilu
2024???
PENUTUP

Demikianlah pemaparan ini,


semoga dapat mengundang
diskusi untuk saling melengkapi
di dalam menjawab panggilan
pelayanan kita masing-masing /
bersama-sama dalam gereja,
masyarakat, bangsa dan
Negara.
Daftar Sumber
Borrong Robert P., Etika Politik. Serba-serbi Politik Praktis. Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi & Pusat Studi
Etika STT Jakarta, 2006.

Darmaputera Eka, Fungsi Sosial Politik (pejabat) Gereja, dalam Penuntun Vol.1, No. 3 April, Juni 1995.

Libanio J.B. Spiritual Discerment and Politics.Trans.From Pertiguese by Theodore Morrow Meryknol, New York:
Orbis Books, 1977.

Sibarani Poltak,Y.P., Bolekah Gereja Berpolitik. Jakarta: Ramos Gospel Publishing House, 2004.

Magnis Suseno Franz, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.Jakarta; Gramedia, 1983.

----------------------------, Etika Politik, dalam, Bina Darm, No.12, Tahun ke 4 1986.

Yang Tidak Diterbitkan


Daulay Richard , Gereja dan Politik Indonesia: Panggilan dan Tantangan, Materi Studi Institute Persetia11 Juli
2017 di Kupang

Yewangoe A.A., Peranan Politik orang Kristen Catatan Pengamatan dan Pengalaman, Matei Studi Institute
Persetia, Kupang 11 July 2017.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai