Anda di halaman 1dari 211

HUKUM ACARA PERDATA

1
I. PENDAHULUAN
1. Pengertian dan Fungsi Hukum Acara
Perdata
2. Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
3. Asas-asas Hukum Acara Perdata

2
II. KEKUASAAN KEHAKIMAN DI
INDONESIA
1. Kekuasaan Kehakiman yang Mandiri
2. Badan Peradilan Negara
3. Lingkungan Lembaga Peradilan
4. Kompetensi Lembaga Peradilan

3
III.TATA CARA PENGAJUAN
TUNTUTAN HAK
1. Pengertian Tuntutan Hak Keperdataan
2. Pihak-pihak dalam Perkara Perdata
3. Tata Cara Pengajuan Gugatan
4. Penggabungan Tuntutan Hak
5. Upaya-upaya Menjamin Hak

4
IV.PROSES PEMERIKSAAN
PERKARA DI SIDANG PENGADILAN

1. Pencabutan dan Perubahan Gugatan


2. Putusan Gugur,Verstek dan Putusan Damai
3. Jawaban Tergugat
4. Proses Pembuktian dan Macam-macam
Alat Bukti

5
V. PUTUSAN HAKIM DAN
PELAKSANAANNYA
1. Pengertian Putusan dan Macam-macam
Putusan
2. Upaya Hukum Terhadap Putusan Hakim
3. Syarat-syarat Pelaksanaan Putusan
Hakim
4. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Hakim

6
1.1. Pengertian dan Fungsi Hukum Acara Perdata

Hukum Acara Perdata ------- adalah


Peraturan Hukum yang mengatur tentang
bagaimana caranya menjamin ditaatinya
hukum perdata material dengan
perantaraan hakim(Mertokusumo,1998:2)

7
Pengertian dan Fungsi Hukum Acara
Perdata
Hukum Acara Perdata-------- adalah seperangkat
norma hukum yang mengatur bagaimana
caranya menegakkan hukum perdata
material,khususnya dalam hal terjadi
pelanggaran hak atas subyek hukum tertentu
oleh subyek hukum yang lain melalui
perantaraan hakim untuk mencegah terjadinya
perbuatan main hakim sendiri

8
Pengertian dan Fungsi Hukum Acara
Perdata
Hukum Acara Perdata ---------- secara
kongkrit hukum acara perdata mengatur
tentang bagaimana caranya mengajukan
tuntutan hak,memeriksa dan memutusnya
serta pelaksanaan daripada putusannya
(Mertokusumo,1998:2)

9
1.2. Sumber-sumber Hukum Acara
Perdata
 Sumber Hukum material yaitu sumber hukum
dalam arti bahan diciptakannya atau disusun
suatu norma hukum.

 Sumber Hukum Formal yaitu sumber hukum


dalam arti dapat ditemukannya atau dapat
digalinya satu norma hukum sebagai satu
dasar yuridis suatu peristiwa hukum atau suatu
hubungan hukum tertentu.

10
Sumber Hukum Material
Sumber dalam arti sumber filosofis;

Sumber dalam arti sumber sosiologis;

Sumber dalam arti sumber historis;

Sumber dalam arti sumber yuridis.

11
Sumber Hukum Formal
Sumber Hukum Tertulis
 HIR,RBg,RV
 Undang-undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
 UU No.3 Tahun 2009 dan UU No.5 Tahun 2004 Perubahan atas
Undang-undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
 UU No. 49 Tahun 2009 danUU No.8 Tahun 2004 Perubahan atas
undang-undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
 UU No 50 Tahun 2009 dan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
 Undang-undang No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat
 Undang-undang Khusus lainnya dan peraturan-peraturan pelaksana
lainnya dalam bidang peradilan

12
Sumber Hukum Formal
Sumber Hukum Tidak Tertulis

 Yurisprudensi

 Doktrin dan ilmu Pengetahuan

13
1.3. Asas-Asas Hukum Acara perdata

Asas Hukum adalah dasar-dasar


filosofis yang menjadi dasar(ratio
legis) norma hukum yang mengandung nilai-
nilai dan tuntutan-tuntutan etis yang menjadi
jembatan antara peraturan-peraturan hukum
dan cita-cita social serta pandangan etis
masyarakat.

14
Asas Hakim Bersifat Menunggu
Adalah asas yang menyatakan ada
tidaknya perkara di muka hakim
tergantung inisiatif dari para pihak
sendiri yang berkepentingan, Hakim
lebih bersifat menunggu sampai perkara
diajukan di hadapannya.

15
Ius Curia Novit
Pengadilan atau hakim tidak boleh
menolak untuk
menerima,memeriksa ,mengadili dan
memutus suatu perkara yang
diajukan,sekalipun dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang
jelas,melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya ( Pasal 10 ayat (1) UU
No.48 Tahun 2009 )----- Hakim dianggap
tahu akan hukumnya (ius curia novit).

16
Hukum Tidak Ada / Kurang Jelas
Dalam hal hukumnya tidak ada atau kurang jelas
hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat ( Pasal 5 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009)
Penafsiran Hukum
Yurisprudensi
Doktrin dan ilmu pengetahuan
Kebiasaan dalam Praktek Peradilan

17
Asas Hakim Bersifat Pasif
Dalam memeriksa perkara hakim tidak ikut
menentukan luas pokok perkara,luas pokok perkara
ditentukan sendiri oleh para pihak,apa yang
diinginkan untuk diperiksa,diadili dan diputuskan
oleh hakim menjadi hak sepenuhnya dari para
pihak. Pengadilan atau hakim hanya mempunyai
tugas untuk membantu pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana,cepat dan biaya ringan ( Pasal 4 ayat (2)
UU No.48 Tahun 2009)
18
Hakim Wajib Memeriksa dan
Mengadili
Hakim Wajib memeriksa dan mengadili seluruh
gugatan dan hakim dilarang untuk menjatuhkan
putusan atas perkara yang tidak dituntut atau
lebih dari yang dituntut, dalam hal hakim
memutuskan melampaui batas kewenangannya
maka putusannya dapat dibatalkan oleh
pengadilan yang lebih tinggi, putusan dapat
dimintakan banding,kasasi maupun peninjauan
kembali.

19
Asas Sidang Terbuka Untuk Umum
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka
untuk umum, kecuali Undang-undang
menentukan lain ( Pasal 13 ayat (1) UU No.48
Tahun 2009), sidang pengadilan dapat dihadiri,
didengar dan dilihat oleh siapapun kecuali oleh
orang-orang yang memang dilarang oleh
undang-undang, tidak dipenuhinya asas ini
berakibat putusan hakim menjadi batal demi
hukum ( Pasal 13 ayat (3) UU No.48 Tahun
2009 )

20
Tujuan Sidang Terbuka Untuk Umum
Untuk menjamin terlaksananya
sistem peradilan yang obyektif, adil dan
fair serta memungkinkan adanya control
social dari masyarakat.

21
Pengecualian Asas Sidang Terbuka
Untuk Umum
Sidang dapat dilakukan secara
tertutup dalam hal: menyangkut perkara
anak-anak, perkara kesusilaan, perkara
yang berkaitan dengan ketertiban umum
dan rahasia negara, perkara perkawinan
dan perceraian.

22
Asas Mendengar Kedua Belah Pihak
( audi et alteram partem )
Kedua belah pihak yang bersengketa ,baik
penggugat maupun tergugat harus didengar
keterangannya secara sama dan adil,hakim tidak
boleh memihak dan berat sebelah dalam
memeriksa dan memutus perkara, hakim harus
obyektif,adil dan fair dalam memperlakukan
para pihak yang bersengketa“ Pengadilan
mengadili menurut hukum dan tidak membeda-
bedakan orang ( Pasal 4 ayat (1) UU No.48
Tahun 2009).

23
Asas Putusan hakim Harus Disertai
Alasan-alasan
“ Segala putusan Pengadilan selain harus
memuat alasan dan dasar putusan
tersebut,memuat pula pasal tertentu dari
peraturan perundangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili ( Pasal
50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 )”

24
Dasar Alasan Putusan hakim
Alasan Berdasarkan Fakta-faktanya

Alasan Berdarkan Hukumnya

Dasar alasan Putusan Hakim menjadi ukuran


atau parameter adil,obyektrif, fair tidaknya suatu
putusan hakim. Putusan Hakim Harus dapat
dipertanggungjawabkan pada para pihak,
masyarakat, hakim yang lebih tinggi dan pada
dunia ilmu pengetahuan.
25
Asas beracara dikenakan biaya
 Berperkara di pengadilan tentu diperlukan
biaya. Asasnya biaya ringan,sehingga dapat
ditanggung oleh masyarakat.
 Biaya perkara meliputi,biaya
kepaniteraan,biaya pemanggilan para pihak
maupun para saksi,biaya meterai dan
sebagainya.
 Persekot biaya perkara untuk pertama kalinya
dibayarkan oleh pihak penggugat bersama-sama
pada waktu mengajukan gugatannya, sedangkan
siapa yang harus menangung beban biaya
perkara pada prinsipnya adalah para pihak
sendiri, dalam praktek beban biaya perkara
ditentukan oleh hasil dari putusan pengadilan.
26
Biaya Perkara
Dalam hal tuntutan dikabulkan biaya perkara
dibenankan pada pihak tergugat
Dalam hal tuntutan tidak dikabulkan biaya
perkara ditanggung oleh penggugat
Dalam hal ada putusan damai,biaya perkara
ditentukan sendiri oleh penggugat dan tergugat
dalam perdamaiannya.

27
Perkara Prodeo
Bagi pihak-pihak yang tidak mampu
dapat mengajukan permohonan agar
perkaranya diperiksa secara Cuma-Cuma
(prodeo ) dengan disertai surat keterangan
tidak mampu dari pemerintah setempat,
biaya perkara ditanggung oleh negara
( Pasal 56 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009
)

28
Asas tidak ada keharusan untuk
mewakilkan
Pada prinsipnya dalam perkara
perdata para pihak dapat beracara sendiri
di muka pengadilan tanpa harus
mewakilkan pada seorang wakil atau
kuasa hukum,tetapi para pihak dapat juga
mewakilkan atau menguasakan pada
orang lain untuk beracara di muka
pengadilan sebagai kuasa hukumnya.

29
Bantuan Hukum
Setiap orang yang tersangkut perkara
berhak memperoleh bantuan hukum
( Pasal 56 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
)

30
Wakil /Kuasa berdasarkan undang-undang (wettelijke
vertegenwoodig atau legal mandatory )

undang-undanglah yang telah menetapkan seseorang atau badan untuk


dengan sendirinya menurut hukum bertindak sebagai wakil dari orang
atau badan tanpa memerlukan surat kuasa.
Contoh :
 Wali terhadap anak di bawah perwaliannya
 Orang tua terhadap anak-anaknya yang belum dewasa
 kurator terhadap orang-orang yang ada di bawah kuratelenya
 BHP, Orang atau Badan yang ditunjuk sebagi curator dalam kepailitan.

31
Wakil atau kuasa berdasarkan
perjanjian
Wakil atau kuasa berdasarkan adanya
perjanjian pemberian kuasa untuk
melakukan suatu perbuatan hukum
tertentu ,misalnya kuasa khusus untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri
antara seorang penggugat dengan
pengacaranya.

32
Acara Kepailitan
Dalam acara khusus permohonan pernyataan
pailit ,ketentuan asas tidak ada keharusan untuk
mewakilkan menjadi tidak berlaku dengan
adanya ketentuan bahwa setiap permohonan
yang berkaitan dengan kepailitan harus diajukan
oleh seorang kuasa(Advokat) sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 UU No37 Tahun 2004
tentang kepailitan.

33
. Asas obyektifitas
Hakim dalam
menerima,memeriksa,mengadili dan
memutuskan setiap perkara harus berlaku
adil,obyektif dan fair tidak boleh
memihak pada salah satu pihak kedua
belah pihak harus diperlakukan secara
imbang.

34
jaminan penerapan asas obyektifitas
 Sebagai jaminan penerapan asas obyektifitas ada
beberapa asas yang terkait dan saling
mendukung,misalnya adanya asas sidang terbuka
untuk umum,asas mendengar kedua belah
pihak,asas putusan disertai alasan-alasan,asas
hakim majelis dan lain sebaginya,di samping itu
untuk lebih menjamin asas obyektifitas pada para
pihak diberikan adanya “hak ingkar (recusatie atau
hak wraking)”
 “Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar
terhadap hakim yang akan mengadili perkaranya
( Pasal 17 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 ) “
35
Hak Ingkar
Adalah hak seorang yang diadili
untuk mengajukan keberatan yang disertai
dengan alasan terhadap seorang hakim
yang mengadili perkaranya (Pasal 17 ayat
(2) UU No.48 Tahun 2009)

36
Dasar Alasan Hak Ingkar
Dasar alasan pengajuan hak ingkar ( Pasal 17 ayat (3,4,5) UU No.48
Tahun 2009, Pasal 374 ayat (1) HIR) :
 Apabila seorang hakim terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga,atau hubungan suami atau istri meskipun telah
bercerai,dengan ketua,salah seorang hakim anggota,jaksa,advokat,atau
panitera;
 Apabila ketua majelis,hakim anggota,jaksa,atau panitera terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau
hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang
diadili atau advokat;
 Apabila hakim atau panitera mempunyai kepentingan langsung atau
tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.

37
Hak Ingkar
Berdasarkan alasan yang sama seorang hakim
atau panitera wajib untuk mengundurkan diri
baik atas keinginan sendiri maupun atas
permintaan pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap alasan
pada ayat (5) maka putusan hakim menjadi tidak
sah dan terhadap hakim atau panitera yang
bersangkutan dikenakan sanksi administrative
atau pidana berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku ( Pasal 17 ayat (6) UU
No.48 Tahun 2009 ).

38
. Asas sistem majelis
“Semua pengadilan memeriksa,mengadili
dan memutus dengan sekurang-kurangnya
3 (tiga) orang hakim kecuali undang-
undang menentukan lain (Pasal 11 ayat
(1) UU No.48 Tahun 2009) “

39
1. Asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa ( Pasal 2 ayat (1) UU No.48
Tahun 2009)

Setiap putusan pengadilan dalam kepala putusannya


harus mencantumkan klausula Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,klausula ini
merupakan klausula eksekutorial. Tidak dipenuhinya
asas ini dalam putusan,berakibat putusan tidak dapat
dilaksanakan dan putusan menjadi batal demi hukum

40
Asas peradilan yang sederhana,cepat dan biaya
ringan( Pasal 2 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 )
Sederhana dalam pengertian bahwa peradilan
dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak
formalistis,tidak memerlukan birokrasi yang sulit
serta acaranya mudah difahami oleh masyarakat;
Cepat,dalam pengertian bahwa proses peradilan
dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang
penyelesaiannya dapat diukur secara pasti dan
jelas dalam waktu berapa lama suatu perkara
dapat diselesaikan oleh hakim pada semua tingkat;
Biaya ringan,proses peradilan tentu memerlukan
biaya,hanya saja tentunya biaya yang dibebankan
selaras dan sebanding dengan perkara yang
diajukan dan dapat ditanggung oleh masyarakat.

41
II. KEKUASAAN KEHAKIMAN
DI INDONESIA

42
Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri
mandiri dalam tugas yudisial
mandiri dalam bidang administrasi
mandiri dalam bidang organisasi
mandiri dalam bidang financial

43
Kekuasaan kehakiman Yang Merdeka
“ Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila demi
terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia ( Pasal 1 butir 1 UU No. 48
Tahun 2009 ) “

44
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka
“ Kekuasaan kehakiman yang merdeka
mengandung pengertian bahwa kekuasaan
kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak
kekuasaan ekstra yudisial,kecuali dalam hal-hal
sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945 (Penjelasan Pasal 1 UU
No.4 / 2004 )”
“ Kebebasan dalam melaksanakan wewenang
yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim
adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila,sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia
(penjelasan Pasal 1 UU No.4 Tahun 2004 ) “

45
Kemandirian Peradilan
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya
hakim dan hakim konstitusional wajib
menjaga kemandirian peradilan
Bebas dari campur tangan pihak luar dan
bebas dari segala bentuk tekanan, baik
fisik maupun psikis

46
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka
“ Segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang,kecuali
dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam
Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 ( Pasal 3 ayat (2) UU No.
48 Tahun 2009 )

47
Kebebasan Wewenang Yudisial
Bersiafat tidak Mutlak dan Dibatasi Oleh :

 Nilai-nilai Norma Hukum;

 Nilai-nilai Keadilan;

 Nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945

48
2. Badan Peradilan Negara dan
Lingkungan Peradilan
“ Semua peradilan di seluruh wilayah
negara Republik Indonesia adalah
peradilan negara dan ditetapkan dengan
Undang-undang{ Pasal 2 ayat (3) UU
No.48 Tahun 2009}”

49
Penyelenggaraan Kekuasaan
Kehakiman
“ Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman…..
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum,lingkungan
peradilan agama,lingkungan peradilan
militer,lingkungan peradilan tata usaha
negara,dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
(Pasal 2 Jo Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU
No 4 Tahun 2004,Pasal 18 UU No.48 tahun
2009) “

50
Organisasi,administrasi,dan financial
Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya berada di bawah
kekuasaan Mahkamah agung ( Pasal 21
ayat ( 1 ) UU No. 48 tahun 2009)
Mahkamah Konstitusi berada di bawah
kekuasaan dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi ( Pasa 29 ayat (4) UU No.48
Tahun 2009)

51
Skema Kekuasaan Kehakiman
 MAHKAMAH MAHKAMAH
AGUNG KONSTITUSI

PENGADILAN PENGADILAN
TINGGI TINGGI AGAMA MAHMILTI PT TUN

PENGADILAN PENGADILAN
NEGERI AGAMAI MAHMIL PTUN

Umum Agama Militer Tata Usaha Negara

52
Pengadilan Khusus
“ Pengadilan Khusus hanya dapat di bentuk dalam
salah satu lingkungan peradilan sebagimana
dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan
Undang-undang (Pasal 15 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2004 )
“ Pengadilan khusus,antara lain,adalah pengadilan
anak,pengadilan niaga,pengadilan hak asasi
manusia,pengadilan tindak pidana
korupsi,pengadilan hubungan industrial yang
berada di lingkungan peradilan umum dan perdilan
pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara
( penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 / 2004

53
Peradilan syariah Islam
“ Peradilan syariah Islam di Propinsi Nanggroe
Aceh Darrussalam merupakan pengadilan
khusus dalam lingkungan peradilan agama
sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangnan peradilan agama dan merupakan
penagdilan khusus dalam lingkungan peradilan
umum sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan pengadilan umum (Pasal 15 ayat
(2) UU No.4 / 2004 )

54
Pengadilan syariah Islam
Terdiri atas Mahkamah Syariah untuk
tingkat pertama dan Mahkamah syariah
Propinsi untuk tingkat banding………
( Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No. 4
Tahun 2004 ) “

55
2.4. Kompetensi Lembaga Peradilan

56
Kompetensi / kewenangan absolut
 Adalah merupakan Kewenangan lembaga peradilan dalam
menerima, memeriksa dan mengadili serta memutus suatu perkara
tertentu berdasarkan atribusi kekuasaan kehakiman yang secara
mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain,baik dalam
lingkungan badan peradilan yang sama,maupun dalam lingkungan
peradilan yang berbeda.

 Kopetensi absolut terkait dengan pertanyaan peradilan apakah yang


mempunyai kopetensi atau kewenangan untuk memeriksa suatu
jenis perkara tertentu. Apakah peradilan umum,peradilan
agama,atau peradilan lainnya

57
Kopetensi Absolut Lingkungan
Peradilan Umum

58
Kompetensi Absolut Pengadilan Negeri
Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus
semua perkara atau sengketa keperdataan pada
tingkat pertama ( Pasal 50 UU No.2 /1986 Jo
UU No. 8 /2004)
Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus
perkara pidana pada tingkat pertama ( Pasal 50
UU No.2 /1986 Jo UU No.8 /2004 )
Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus
pada tingkat pertama perkara koneksitas.

59
Perkara Koneksitas
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama
oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan
militer,diperiksa dan diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum,kecuali
dalam keadaan tertentu menurut keputusan
Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus
diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer “ ( Pasal 24 UU
No. 4 / 2004

60
Kompetensi Absulut Pengadilan Tinggi
 Menerima,memeriksa,mengadili dan memutuskan perkara/sengketa
perdata pada tingkat banding atas putusan pengadilan tingkat
pertama ( Pasal 51 ayat (1) UU No.2 /1986 Jo UU No 8 /2004 )
 Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus perkara pidana pada
tingkat banding atas putusan pengadilan tingkat pertama ( Pasal 51
ayat (1) UU No. 2 /1986 Jo UU No.8 /2004 )
 Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus ditingkat pertama
dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan
negeri di daerah hukumnya(menyangkut kopetensi relatif---- Pasal
51 Ayat (2) UU No. 2 / 1986 Jo UU No.8 /2004 )
 Menerima,memeriksa dan mengadili serta memutus pada tingkat
pertama dan terakhir perkara /sengketa perdata secara prorogasi
(Pasal 3 ayat (1),(2) UU Dar. 1 /1951 ,Pasal 128 (2) RO dan Pasal
85 RBg

61
Kompetensi Absulut Mahkamah Agung

mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan


yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan di semua lingkubngan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung ( Pasal
11 ayat ( 2 ) huruf a UU No.4 /2004 )
 menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang
( Pasal 11 ayat ( 2) huruf b UU No. 4 / 2004 )

62
 memeriksa,mengadili dan memutus sengketa wewenang mengadili : a.
antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan
dalam lingkungan peradilan yang lain, b. antara dua pengadilan yang ada
dalam derah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari
lingkungan peradilan yang sama dan c. antara dua pengadilan tingkat
banding di lingkungan peradilan yang sama atau antara lingkungan
peradilan yang berlainan ( Pasal 33 ayat (1) UU No. 14 / 1985 )

 Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan


muatannya oleh kapal perang RI diputus oleh MA dalam tingkat pertama
dan terakhir ( Pasal 33 ayat (2) UU No. 14 / 1985

 Permohonan peninjauan kembali atas putusan yang telah memperoleh


kekuatan hukum yang tetap ( Pasal 34 UU No.14 / 1985 ).

63
Kopetensi absulut Mahkamah
Konstitusi
Mahkamah konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk: (Pasal 12 ayat
(1) UU No.4 /2004 )
menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ;

64
memutus pembubaran partai politik;
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan /atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya atau perbuatan tercela,dan /atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan /atau wakil
Presiden Pasal 12 ayat ( 2 ) UU No. 4 / 2004 ).

65
Kompetensi Relatif
Adalah kewenangan lembaga peradilan
dalam menerima,memeriksa,mengadili
dan memutus suatu perkara tertentu
berdasarkan wilayah hukum suatu
pengadilan berdasar distribusi kekuasaan
kehakiman. Kompetensi relative
menyangkut pertanyaan ke pengadilan
negeri manakah suatu perkara harus
diajukan ?

66
Kompetensi Relative Ditemukan Pengaturannya
dalam Pasal 118 HIR atau Pasal 142 RBg :

Sebagai asas ditentukan bahwa Pengadilan Negeri di


tempat tinggal tergugat yang wenang untuk
memeriksa gugatan atau tuntutan hak,asas ini disebut
asas actor sequitur forum rei ( Pasal 118 ayat (1)
HIR,142 ayat (1) RBg )
Apabila tergugat tidak mempunyai tempat tinggal
yang dikenal atau tempat tinggalnya yang nyata tidak
dikenal atau tergugat tidak dikenal,maka gugatan
diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat
sebenarnya tinggal ( Pasal 118 ayat (1) HIR,142 ayat
(1) RBg )

67
 Dalam hal ada domisili pilihan maka gugatan di ajukan kepada
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal
atau domisili pilihan tersebut ( Pasal 118 ayat (4) HIR,142 ayat (4)
RBg) ------ domisili /tempat tinggal pilihan harus dibuat dengan
akta oleh para pihak (Pasal 24 BW)
 Dalam hal pihak tergugatnya lebih dari seorang dan tempat
tinggalnya tidak dalam satu wilayah hukum pengadilan
negeri ,maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan negeri di
tempat salah satu tergugat bertempat tinggal. Penggugat dapat
memilih salah satu pengadilan di wilayah hukum para tergugat
bertempat tinggal (Pasal 118 ayat (2) HIR,Pasal 142 ayat (3) RBg )

68
Dalam hal tergugatnya terdiri orang-orang yang
berhutang (debitur) dan penanggung,maka
gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang
meliputi wilayah hukum tempat tinggal si
berhutang atau debitur (Pasal 118 ayat (2)
HIR,142 ayat(2) RBg )
Dalam hal obyek gugatan adalah benda tetap
maka gugatan diajukan ke pengadilan negeri
yang wilayah hukumnya meliputi letak benda
tetap tersebut -------- asas forum rei sitae ( Pasal
118 ayat (3) HIR,Pasal 142 ayat (5) RBg

69
Dalam hal tergugat tidak mempunyai
tempat tinggal yang dikenal maupun
tempat tinggal yang nyata atau apabila
tergugat tidak dikenal,gugatan dapat
diajukan kepada pengadilan negeri di
tempat penggugat tinggal ( Pasal 118
ayat(3) HIR, 142 ayat (3) RBg) -----
bentuk penyimpangan atas asas actor
sequitur forum rei.

70
Terhadap kompetensi relatif apabila tidak ada
eksepsi maka pengadilan tetap mempunyai
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili
perkara yang telah diajukan oleh penggugat.
Ketidak wenangan pengadilan dengan alasan
melanggar kompetensi relatif harus berdasarkan
adanya eksepsi dari salah satu pihak yang
bersengketa (pihak tergugat). Sedangkan
menyengkut kompetensi absulut ada atau tidak
eksepsi hakim harus menyatakan dirinya tidak
wenang.

71
III. TATA CARA PENGAJUAN
TUNTUTAN HAK

72
3.1. Pengertian Tuntutan hak

Tuntutan hak adalah suatu upaya yang bertujuan


untuk memperoleh perlindungan hukum atas
hak –hak tertentu yang dimiliki oleh seseorang
melalui proses peradilan yang dibenarkan
menurut hukum untuk mencegah terjadinya
“eigenrichting”atau perbuatan main hakim
sendiri dalam melaksanakan haknya sehingga
menimbulkan perbuatan melawan hukum yang
dapat merugikan pihak lainnya.

73
Macam-macam Tuntutan Hak
 Tuntutan hak yang tidak mengandung
sengketa.

 Tuntutan hak yang mengandung


sengketa

74
Tuntutan hak yang tidak mengandung
sengketa
 Yaitu tuntutan hak yang diajukan di
muka sidang pengadilan tanpa didahului
adanya persengketaan di antara pihak
pihak yang berkepentingan atau yang
terlibat di dalamnya.

 Pengajuannya berbentuk permohonan.

 Sistem peradilan yang dipakai adalah


sistem volunteer (peradilan yang tidak
sesungguhnya ).
75
Tuntutan hak yang mengandung
sengketa
 Yaitu tuntutan hak yang diajukan oleh pihak-
pihak yang berkepentingan di muka
pengadilan yang didahului adanya
persengketaan atau perselisihan atas suatu hak
tertentu di antara pihak-pihak yang
berkepentingan.
 Berbentuk gugatan atau tuntutan perdata
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 118 ayat
(1) HIR atau Pasal 142 ayat (1) RBg
 Sistem peradilan yang dipakai adalah
peradilan Contentieus (peradilan yang
sesungguhnya)
76
Perbedaan Permohonan dan Gugatan
Dilihat dari para pihaknya, dalam permohonan pada
umumnya pihaknya hanya ada pemohon,tetapi tidak
menutup kemungkinan juga ada pihak
termohonnya. Dalam gugatan para pihaknya terdiri
dari dua pihak yaitu pihak penggugat dan pihak
tergugat dan dimungkinkan juga berperkara dengan
pihak ketiga yang masuk dalam sengketa mereka.
Dilihat dari bentuk pengajuan perkaranya berbentuk
permohonan dan gugatan berbentuk gugatan.
Dilihat dari sistem peradilannya,permohonan masuk
dalam sistem peradilan volunteer sedang gugatan
masuk dalam sistem peradilan kontentieus.

77
Dilihat dari fungsi dan tugas hakim,dalam
permohonan hakim lebih bersifat sebagai
administrator,sedang dalam gugatan hakim bersifat
mengadili diantara kedua belah pihak antara yang
salah dan yang benar.
Dilihat dari putusan yang dihasilkan oleh
hakim,dalam permohonan bentuk putusannya
berupa penetapan,sedangkan dalam gugatan
berbentuk keputusan.
Pada umumnya putusan atas permohonan yang
berupa penetapan tidak memerlukan
eksekusi,sedang putusan atas gugatan pada
umumnya memerlukan eksekusi.
78
3.3. Tata Cara Pengajuan Gugatan di
Pengadilan
 Gugatan dapat diajukan secara lisan maupun secara tertulis

 Isi Gugatan,dalam HIR maupun Rbg tidak mengatur tentang apa


yang harus dicantumkan dalam gugatan,HIR dan RBg hanya
mengatur tentang tata caranya mengajukan gugatan.
 untuk mengisi kekosongan hukum ini ketentuan RV (hukum acara
perdata untuk golongan Eropa ) dapat dijadikan rujukan dalam
menyusun surat gugatan dengan merujuk ketentuan Pasal 119 HIR
dan Pasal 143 RBg yang memberi wewenang ketua pengadilan
negeri berkuasa untuk memberi nasehat dan pertolonggan kepada
orang yang mengugat atau kepada wakilnya tentang hal
memasukkan gugatannya.

79
ISI SURAT GUGATAN ( Pasal 8 No.3
RV):
Identitas dari para pihak,baik penggugat
maupun pihak tergugatnya.
Dalil-dalil Kongkrit adanya hubungan
hukum yang merupakan dasar serta alasan
dari tuntutan (Fundamentum Petendi atau
posita)
Tuntutan yang dikehendaki oleh pihak
penggugat (Petitum )

80
Identitas Para Pihak
Nama Penggugat dan Tergugat;
Umur Penggugat Maupun Tergugat;
Pekerjaan dari Penggugat dan Tergugat
Tempat Tinggal / Domisili / Tempat
Kedudukan Penggugat dan Tergugat,dll

81
Fundamentum Petendi atau posita
Tentang Faktanya (kejadian atau
peristiwanya);

Tentang Hukumnya

82
Tuntutan (Petitum )
Yaitu tentang apa yang dimintakan atau
diharapkan oleh pihak penggugat untuk
diputuskan oleh hakim. Tuntutan harus
lengkap ,jelas dan sempurna,tuntutan
yang tidak lengkap,jelas dan sempurna
akan berakibat tidak diterimanya
tuntutan .

83
Tuntutan atau petitum
Tuntutan pokok atau tuntutan primer

Tuntutan Pengganti atau tuntutan


subsider

Tuntutan Tambahan

84
Tuntutan pokok atau tuntutan primer
Yaitu tuntutan yang sifatnya pokok terkait
dengan hubungan hukum yang terjadi di
antara para pihak yang harus dipenuhi
oleh pihak tergugat sebagai bentuk
prestasi tertentu.

85
Tuntutan Pengganti atau tuntutan
subsider
Yaitu tuntutan yang diajukan oleh
penggugat yang sifatnya adalah untuk
menggantikan tuntutan primer dalam hal
nantinya tuntutan primer tidak dikabulkan
oleh hakim. Tuntutan subsider harus
sebanding dengan tuntutan primer.

86
Tuntutan Tambahan
Adalah tuntutan yang sifatnya menambah tuntutan pokok atau
tuntutan subsider,tuntutan tambahan dapat berupa:
◦ tuntutan agar tergugat dihukum membayar beaya perkara;
◦ tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar sejumlah bunga
tertentu;
◦ tuntutan agar tergugat dihukum membayar sejumlah uang paksa;
◦ dalam hal gugat cerai,sering disertai dengan tuntutan tambahan atas
nafkah istri,pembagian harta bersama,atau hak pengasuhan atas
anak;
◦ tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu,meskipun ada upaya hukum perlawanan,banding maupun
kasasi (Uit voerbaar bij vooraad )

87
Syarat-syarat dapat dikabulkannya tuntutan Uit voebaar
bij voorraad (Pasal 180 HIR,Pasal 191 RBg ) antara lain :

 ada surat yang sah (autentik titel )

 apabila ada tulisan yang mempunyai kekuatan pembuktian

 apabila ada putusan yang telah mempunyai kekuatan


hukum yang tetap

 apabila dikabulkan suatu tuntutan provisional

 dalam hal perselisihan tentang hak milik


88
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 06 Tahun
1975 tanggal 1 Desember 1975 Jo Surat Edaran
Mahkamah Agung No.03 Tahun 1978 tanggal 1 April
1978,

Mahkamah Agung meminta agar para hakim tidak


menjatuhkan putusan Uit Voerbaar bij
voorraad,walaupun syarat-syarat yang ditentukan
dalam pasal 180 ayat (1) HIR telah dipenuhi,kecuali
dalam hal-hal yang tidak dapat dihindarkan
misalnya putusan yang sifatnya sangat eksepsional

89
putusan yang sifatnya sangat
eksepsional
 putusan itu diberikan apabila ada penyitaan
conservatoir yang harga barangnya tidak cukup untuk
memenuhi gugatan

 jika dipandang perlu dapat dimintakan jaminan pada


pihak pemohon,yang berupa benda-benda jaminan
yang mudah disimpan dan tidak boleh menerima
penanggung (borg) untuk menghindarkan masuknya
pihak ketiga di dalam proses.

90
Dalam Praktek
 Tuntutan tambahan sering juga dirumuskan
dalam bentuk yang beraneka ragam,sering juga
dalam tuntutan tambahan ditambahkan
permintaan “Mohon putusan yang seadil-
adilnya dari hakim “ atau “ Agar Hakim
Mengadili Menurut Keadilan Yang Benar “
Dengan petitum tambahan yang demikian itu
diharapkan hakim dapat memutuskan secara
bebas menurut nilai-nilai keadilan dan
hukum dalam hal petitum primer maupun
sekunder tidak dikabulkan.

91
3.4. Penggabungan atau kumulasi
tuntutan
Kumulasi/penggabungan subyektif

Kumulasi /penggabungan obyektif

92
Kumulasi/penggabungan subyektif
Yaitu kumulasi yang menyangkut subyek-
subyek yang ada dalam perkara yang
sedang terjadi,misalnya penggugatnya
terdiri dari beberapa orang atau
sebaliknya tergugatnya yang terdiri dari
beberapa orang tergugat atau penggugat
maupun tergugatanya lebih dari seorang.

93
exception plurium litis consortium
Yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa
masih ada orang lain yang harus diikutkan
sebagai pihak tergugat dalam perkara
yang diajukan oleh pihak penggugat.

94
Kumulasi /penggabungan obyektif
Yaitu penggabungan tuntutan yang
menyangkut obyek tuntuan,dalam
kumulasi ini penggugat mengajukan lebih
dari satu tuntutan dalam satu perkara
secara sekaligus atas beberapa hubungan
hukum atau peristiwa hukum ,baik yang
saling berhubungan satu sama lain
maupun tidak saling berhubungan.

95
Ada tiga hal yang tidak dimungkinkan adanya
penggabungan atau kumulasi secara obyektif

1. Dalam hal tuntutan yang satu diperlukan acara khusus


(misalnya gugat cerai ) dan tuntutan yang satunya lagi
harus diperiksa dengan acara biasa (misalnya gugat
utang piutang );
2. Dalam hal hakim tidak wenang secara relative untuk
memeriksa salah satu tuntutan yang digabung
bersama-sama dalam satu gugatan;
3. Tuntutan yang menyangkut tentang bezit
egendom atau penguasaan dan kepemilikan.
96
Kumulasi dan Konkursus

Kumulasi harus dibedakan dengan


“Konkursus” yang merupakan kebersamaan
adanya beberapa tuntutan hak yang
kesemuanya menuju pada satu akibat hukum
yang sama,apabila satu tuntutan sudah
terpenuhi maka tuntutan lainnya juga sekaligus
terkabulkan..

97
Berperkara dengan pihak ketiga
Dengan cara campur tangan(Intervensi )

Dengan cara penanggungan atau garansi


(Vrijwaring )

98
Dengan cara campur tangan ( Intervensi
)
Intervensimerupakan bentuk
berperkara dengan pihak ketiga
dengan cara masuknya pihak ketiga
dalam sengketa yang terjadi diantara
pihak penggugat dan tergugat
didasarkan atas keinginan dan
kemauan dari pihak ketiga itu sendiri.

99
Dengan cara penanggungan atau
garansi (Vrijwaring )
Dalam Vrijwaring masuknya pihak ke
tiga dalam sengketa yang terjadi di
antara penggugat dan tergugat
berdasarkan keinginan dari penggugat
atau tergugat yang secara sengaja
menarik pihak ke tiga masuk dalam
sengketa mereka.

100
Bentuk Campur Tangan / Intervensi
 bersifat menyertai ( Voeging ), dalam intervensi ini pihak ke tiga
yang masuk dalam sengketa antara penggugat dan tergugat bersifat
memihak untuk membela kepentingan salah satu pihak yang
bersengketa,yang lazimnya membela kepentingan dari pihak
tergugat. Dalam intervensi ini sesungguhnya pihak intervinin
masuk dalam sengketa dengan tujuan untuk membela hak-haknya
sendiri dengan jalan membela salah satu pihak yang bersengketa.

 Intervensi yang bersifat menengahi (Tussenkomst ) , masuknya


pihak ketiga dalam sengketa berdiri di antara kepentingan
penggugat dan kepentingan tergugat,tujuan intervinin masuk dalam
sengketa adalah untuk mempertahankan hak dan kepentingan
hukumnya sendiri ,guna mencegah timbulnya kerugian atau
kehilangan hak sebagai akibat adanya sengketa diantara penggugat
dan tergugat,sehingga perlu campur tangan dari pihak intervinin.

101
Bentuk Penanggungan / Garansi
(Vrijwaring)
Vrijwaring formil yaitu apabila seorang
diwajibkan untuk menjamin orang lain
menikmati suatu hak atau benda yang bersifat
kebendaan dan semata-mata hanya menyangkut
hak –hak yang bersifat kebendaan.

Vrijwaring sederhana atau garansi simple ini


terjadi apabila sekiranya tergugat dikalahkan
dalam sengketa yang sedang berlangsung
mempunyai hak untuk menagih kepada pihak ke
tiga ( penanggung ) dengan melunasi hutangnya
mempunyai hak untuk menagih kepada debitur
102
Penarikan pihak ketiga dengan vrijwaring
dapat dilakukan oleh tergugat sebelum
tergugat memberikan jawabannya,sedang
bagi penggugat sebelum memberikan
repliknya.

103
3.5. Upaya-upaya Untuk Menjamin
Hak

104
Macam-macam sita Jaminan atau
Conservatoir beslag
Conservatoir beslag atas barang miliknya
sendiri(milik penggugat atau pemohon )

Conservatoir Beslag atas barang milik


debitur/tergugat/termohon

105
Conservatoir beslag atas barang
miliknya sendiri
 Dalam sita jaminan ini barang yang menjadi
obyek penyitaan adalah barang milik dari
pihak penggugat atau pemohon sendiri yang
dikuasai oleh pihak lain,dalam sita ini
tujuannya bukan untuk menjamin suatu
tuntutan berupa tagihan uang atau pembayaran
sejumlah uang tertentu,akan tetapi lebih
dimaksudkan hanya untuk mejamin suatu hak
kebendaan dari pemohon(penggugat) dan
penyitaan akan berakhir dengan diserahkan
benda obyek penyitaan.

106
Macam-macam Sita Jaminan atas
Barang Sendiri

 Revindikatoir beslag ;

 Sita Marital

107
Revindikatoir beslag
Yaitu penyitaan yang dilakukan atas permohonan
pemilik barang bergerak yang ada di tangan
pihak orang lain atau di bawah kekuasaan orang
lain (tergugat atau termohon ) secara lisan
maupun secara tertulis ke pengadilan negeri di
tempat orang yang menguasai benda tersebut
bertempat tinggal

Dalam permohonan sita revindikatoir tidak


diperlukan adanya alasan yang berupa praduga
bahwa termohon ada etikat tidak baik untuk
mengalihkan barang dimaksud (Pasal 226 HIR )
108
Unsur-unsur Revindicatoir Beslag
 Obyek penyitaan harus berupa barang
bergerak;
 Barang bergerak tersebut merupakan barang
milik penggugat atau pemohon yang dikuasai
oleh tergugat atau termohon;
 Permintaan/permohonan harus diajukan kepada
ketua pengadilan negeri yang wilayah
hukumnya meliputi tempat tinggal termohon;
 Permohonan dapat diajukan secara lisan
maupun tertulis;
 Barang yang menjadi obyek penyitaan harus
diterangkan secara seksama dan terinci.
109
Sita Marital
Sita Marital yaitu sita atas barang milik sendiri
yang terjadi dalam hal ada gugat cerai , sita ini
dikenal dalam sistem hukum acara untuk
golongan orang Barat yang diatur dalam Pasal
823 a RV dan seterusnya , sita marital
dimohonkan oleh pihak istri terhadap harta
bersama yang dikuasai oleh suami, baik yang
berupa barang bergerak maupun benda
tetap,tujuan dari penyitaan ini adalah untuk
menjamin agar barang-barang yang disita tidak
jatuh atau dialihkan pada pihak ketiga.

110
Conservatoir Beslag atas barang milik
debitur/tergugat/termohon
Bentuk penyitaan inilah yang merupakan bentuk
penyitaan yang sesungguhnya yang bersifat
Conservatoir Beslag (CB) sebagimana ditentukan
dalam Pasal 227 HIR ayat (1) “Jika ada
persangkaan yang beralasan,bahwa orang yang
berhutang sebelum dijatuhkan keputusan
kepadanya,atau sedang keputusan yang dijatuhkan
kepadanya,belum dapat dijalankan,berusaha akan
menggelapkan atau akan mengankut
barangnya ,baik yang tetap maupun tidak tetap
dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari
penagih hutang,maka ketua atas permohonan pihak
yang berkepentingan untuk itu
(pemohon/penggugat) dapat memberikan perintah
supaya barang itu disita untuk menjaga hak 111
Unsur-unsur Conservatoir Beslag
 pengajuan conservatoir beslag harus ada alasan praduga
bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau
dilaksanakan beritikat tidak baik untuk mengalihkan
atau menggelapkan barang-barangnya;
 barang yang menjadi obyek penyitaan adalah milik dari
pihak tergugat/termohon,bukan milik dari pihak
penggugat atau pemohon;
 permohonan Conservatoir Beslag diajukan pada ketua
pengadilan negeri yang memeriksa perkara yang
bersangkutan;
 permohonan conservatoir beslag diajukan secara
tertulis;
 obyek penyitaan Conservatoir beslag dapat berupa
benda bergerak,benda tidak bergerak atau benda
bergerak milik tergugat yang dikuasai oleh pihak ketiga.
112
Perbedaan Pokok antara Conservatoir
Beslag dan Revindicatoir Beslag :
 Obyek permohonan Conservatoir Beslag adalah benda bergerak
maupun benda tetap milik dari debitur/tergugat/termohon
maupun benda bergerak milik debitur/tergugat/termohon yang
dikuasai oleh pihak ketiga,Sedangkan dalam Revindikatoir
Beslag obyek penyitaan adalah benda bergerak milik dari
penggugat/pemohon sendiri yang dikuasai oleh tergugat.
 dalam Conservatoir Beslag permohonannya harus disertai adanya
alasan yang berupa praduga adanya itikat tidak baik dari pihak
tergugat untuk mengalihkan /menggelapkan barangnya,
sedangkan dalam Revindikatoir Beslag alasan itu tidak
diperlukan.
 Permohonan atas Conservatoir Beslag diajukan dengan surat
tertulis, Sedang dalam Revindikatoir beslag dapat secara lisan
maupun tertulis
 Dalam Conservatoir Beslag bertujuan untuk pembayaran
sejumlah uang tertentu, sedang dalam Revindicatoir Beslag
bertujuan untuk penyerahan atas barang atau benda yang menjadi
obyek penyitaan.

113
Persamaan Conservatoir Beslag dan
Revindicatoir Beslag :

 Sama-sama untuk menjamin tuntutan dalam hal tuntutan dikabulkan;

 dapat dinyatakan syah dan berharga apabila gugatan dikabulkan dan


pengajuannya memenuhi syarat berdasar undang-undang;

 dalam hal gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima,maka


Conservatoir Beslag maupun Revindicatoir Beslag akan diperintahkan untuk
diangkat, hal ini ditegaskan dalam Pasal 227 ayat (4) “ Jika gugatan itu
diterima,maka penyitaan itu disahkan,jika itu ditolak maka diperintahkan
supaya dicabut penyitaan itu “

114
IV. PROSES PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN

115
4.1. Pencabutan dan Perubahan Gugatan
Pencabutan gugatan pada prinsipnya
diperbolehkan,pencabutan gugatan dapat
dilakukan oleh penggugat,perkara mau dilanjutkan
atau tidak sesungguhnya menjadi hak dan
kewenangan dari para pihak sendiri.

Pencabutan gugatan dapat dilakukan :

 Sebelum pihak tergugat memberikan jawaban


dan;

 sesudah pihak tergugat memberikan jawabannya


116
Pencabutan Gugatan Sebelum Tergugat
Memberikan Jawaban

Gugatan dapat dicabut begitu saja oleh pihak


penggugat tanpa perlu mendapatkan ijin atau
persetujuan dari pihak tergugat
Terhadap gugatan yang dicabut sebelum ada
jawaban,dikemudian hari apabila penggugat
berkeinginan untuk mengajukan gugatannya
kembali masih dimungkinkan.

117
pencabutan gugatan dilakukan setelah
pihak tergugat memberikan jawaban

Pencabutan Surat Gugatan harus mendapatkan


persetujuan dari pihak tergugat. Dalam hal tida
mendapatkan persetujuan dari pihak tergugat maka
pencabutan tidak dapat dilakukan.
Gugatan yang dicabut setelah ada jawaban dari pihak
tergugat,maka bagi penggugat dikemudian hari sudah
tidak dapat mengajukan gugatannya kembali,oleh
karena penggugat sudah dianggap melepaskan hak-
haknya secara suka rela terhadap pihak tergugat.

118
Penambahan dan perubahan gugatan
Penambahan atau perubahan gugatan pada
prinsipnya juga diperbolehkan,HIR tidak
mengatur tentang masalah penambahan dan
perubahan gugatan,termasuk hal apa yang boleh
dan tidak boleh untuk ditambah atau dirubah.
Dalam praktek perubahan dan penambahan
diperbolehkan sepanjang tidak merugikan para
pihak khususnya kepentingan pihak tergugat dan
penambahan atau perubahan tersebut tidak
menambah atau merubah tentang pokok
perkaranya.

119
4.2. Putusan Gugur,Verstek dan
Putusan Damai

120
Putusan Gugur

Adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim


diluar hadirnya pihak penggugat atau
wakilnya pada sidang yang pertama
sekalipun yang bersangkutan sudah
dilakukan pemanggilan secara benar,syah
dan patut untuk hadir di muka sidang
pengadilan pada waktu yang sudah
ditentukan

121
Pasal 124 HIR
“ Jikalau sipenggugat,walaupun dipanggil
dengan patut,tidak menghadap pengadilan
negeri pada hari yang ditentukan itu dan tidak
juga menyuruh seorang lain menghadap selaku
wakilnya,maka gugatannya dipandang gugur
dan sipenggugat dihukum membayar biaya
perkara;akan tetapi sipenggugat berhak,sesudah
membayar biaya yang tersebut,memasukkan
gugatannya sekali lagi “

122
Pemanggilan benar,syah dan patut
Pemanggilan dilakukan dan diberikan secara
langsung pada yang bersangkutan atau wakilnya
di tempat tinggal atau domisilinya.
Dalam hal panggilan tidak dapat diberikan
secara langsung pada yang bersangkutan maka
surat panggilan disampaikan melalui kepala desa
atau lurah di tempat tinggal yang bersangkutan
Dalam hal tempat tinggal atau domisili yang
bersangkutan tidak diketahui atau tidak dikenal
maka surat panggilan harus ditempel di kantor
pengadilan yang bersangkutan dan di kantor wali
kota atau bupati.
123
Pemanggilan Benar,Syah dan Patut
Surat panggilan harus memperhatikan masa
tenggang waktu yang patut antara diterimanya
pemanggilan dengan waktu sidang,sekurang-
kurangnya panggilan disampaikan tiga hari kerja
sebelum sidang dimulai.
Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dan
dibuatkan berita acara pemanggilan pihak-pihak.
Di dalam praktek biasanya pemanggilan akan
dilakukan oleh pengadilan pada para pihak dua
kali berturut-turut,baru kalau pemanggilan kedua
tidak hadir juga dapat dijatuhkan putusan gugur.

124
Putusan Verstek( Pasal 125 HIR )
 Jika sitergugat,walaupun sudah dipanggil dengan patut tidak
menghadap pada hari yang ditentukan,dan tidak juga
menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya,maka
gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir,kecuali jika
nyata kepada pengadilan negeri,bahwa gugatan itu melawan hak
atau tidak beralasan
 Akan tetapi jika sitergugat dalam surat jawabannya
mengajukan perlawanan (tangkisan) bahwa pengadilan
negeri tidak berhak menerima perkara itu,hendaklah
pengadilan negeri,walaupun si tergugat sendiri atau
wakilnya tidak menghadap,sesudah didengar
sipenggugat,mengadili perlawanannya dan hanya kalau
perlawanannya itu ditolak,maka putusan dijatuhkan
mengenai pokok perkara.

125
Putusan Verstek
 Jika gugatan diterima,maka putusan pengadilan
negeri dengan perintah ketua diberitahukan
kepada orang yang dikalahkan,dan serta itu
diterangkan kepadanya bahwa ia berhak dalam
waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam
Pasal 129,mengajukan perlawanan terhadap
putusan tak hadir itu pada majelis pengadilan itu
juga
 Di bawah keputusan tak hadir itu panitera
pengadilan mencatat,siapa yang diperintahkan
menjalankan pekerjaan itu dan pakah
diberitahukannya tentang hal itu baik dengan
surat maupun dengan lisan.
126
Syarat-syarat putusan verstek yang mengabulkan
gugatan (Pasal 125 ayat (1) HIR :

Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak


datang pada hari sidang pertama yang telah
ditentukan;
Tidak menyuruh wakilnya untuk datang pada sidang
yang pertama;
Telah dilakukan pemanggilan secara benar,sah dan
patut;
Petitum tidak melawan hak;
Petitum beralasan

127
verszet (Perlawanan )
Terhadap putusan Verstek yang isinya
mengabulkan gugatan pihak tergugat
dapat mengajukan verszet (Perlawanan )
pada pengadilan negeri yang telah
memutus putusan verszet tersebut.

128
Tenggang waktu untuk mengajukan
perlawanan
Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek
diberitahukan kepada pihak yang dikalahkan itu
sendiri
Sampai hari kedelapan setelah teguran seperti
yang dimaksud dalam Pasal 196 HIR,apabila
yang ditegur tidak datang menghadap
Kalau tidak datang waktu ditegur,sampai hari
kedelapan setelah sita eksekutorial (197 HIR ).

129
Upaya Banding Atas Putusan Verstek
Terhadap putusan verstek yang isinya
menolak gugatan,bagi pihak penggugat
dapat mengajukan upaya hukum banding
ke pengadilan tinggi berdasarkan
ketentuan tentang upaya hukum banding

130
Putusan Damai
Putusan Damai adalah putusan
pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim
berdasarkan hasil perdamaian para pihak
yang telah disepakati dalam akta
perdamaian
Putusan damai bersifat menghukum
kedua belah pihak untuk mematuhi dan
mentaati isi perdamaian yang telah
disepakati oleh penggugat dan tergugat

131
Perdamaian Di Luar Sidang

Perdamaian yang dilakukan di luar


sidang,berlakunya bagi para pihak tidak
beda halnya dengan perjanjian pada
umumnya,perdamaian mengikat seperti
halnya undang- undang bagi penggugat
maupun tergugat dan sifat berlakunya
mengikat dengan etikat baik.

132
Perdamaian Di Dalam sidang

Perdamaian yang dilakukan di dalam sidang


(akta perdamaian) yang dikuatkan dalam bentuk
putusan damai,mempunyai kekuatan hukum
seperti putusan pengadilan yang sudah
memiliki kekuatan hukum yang tetap(in
kracht van gewijsde) mempunyai kekuatan
mengikat dan memaksa bagi para
pihak,putusan damai bersifat final and
binding.

133
Jawaban Tergugat dan Gugat Balik
(Rekonvensi)
 Jawaban yang tidak secara langsung
mengenai pokok perkara berupa
tangkisan atau eksepsi

 Jawaban yang menyangkut pokok


perkara (verweer ten principale )

134
Tangkisan(Eksepsi)

eksepsi prosesuil (processueel ) yaitu eksepsi


yang menyangkut acara pemeriksaan perkara di
pengadilan (Eksepsi yang diatur dalam HIR)

eksepsi berdasar hukum material yaitu


eksepsi yang sudah masuk dalam materi gugatan
atau sudah menyangkut pokok perkara (diatur
dalam ketentuan RV)

135
eksepsi prosesuil (processueel )
Eksepsi tentang ketidak wenangan hakim dalam
memeriksa suatu perkara tertentu ,baik
menyangkut kopetensi absulut maupun relative.
Eksepsi bahwa hakim telah melanggar asas nebis
in idem.
Eksepsi bahwa perkara yang sama sedang
diperiksa oleh pengadilan negeri yang lain.
Eksepsi bahwa perkara sedang diperiksa oleh
pengadilan banding atau kasasi.
Eksepsi bahwa yang bersangkutan tidak
mempunyai kualifikasi / sifat untuk bertindak di
muka pengadilan.
136
eksepsi berdasar hukum material
 eksepsi delatoir yaitu eksepsi yang
menyatakan,bahwa gugatan penggugat belum
dapat dikabulkan,misalnya karena penggugat
telah memberikan penundaan pembayaran dan
sebagainya.

 eksepsi peremptoir adalah eksepsi yang


bersifat menghalangi dikabulkannya
gugatan,misalnya gugatan yang diajukan
sudah lampau waktu, atau bahwa utang yang
menjadi dasar gugatan telah dihapuskan.

137
Jawaban Yang Menyangkut Pokok
Perkara
 menolak gugatan baik sebagian maupun seluruh gugatan / tuntutan
 mengakui gugatan/tuntutan baik sebagian maupun seluruhnya
 dengan alasan pertama dan kedua diikuti adanya gugat balik
(rekonvensi ). menolak gugatan baik sebagian maupun seluruh
gugatan / tuntutan
 mengakui gugatan/tuntutan baik sebagian maupun seluruhnya
 dengan alasan pertama dan kedua diikuti adanya gugat balik
(rekonvensi ). menolak gugatan baik sebagian maupun seluruh
gugatan / tuntutan
 mengakui gugatan/tuntutan baik sebagian maupun seluruhnya
 dengan alasan pertama dan kedua diikuti adanya gugat balik
(rekonvensi ).

138
Gugat Rekonvensi (Gugat Balik)
Gugat balik atau Rekonvensi diajukan oleh
tergugat terhadap penggugat secara bersama-
sama dalam memberikan jawabannya,sebelum
proses pembuktian dilakukan.

Gugat balik atau Rekonvensi pada dasarnya


dapat diajukan dalam segala perkara yang secara
langsung terkait dengan para pihak

139
Gugat Rekonvensi Yang Tidak
Diperbolehkan (Pasal 132 a HIR )
 apabila dalam gugat konvensi (gugat asal ) penggugat bertindak
sebagai suatu kualitas tertentu atau berdasarkan sifatnya,sedang
dalam gugat balik (Rekonvensi )menyangkut diri pribadi dari
penggugat atau sebaliknya. Contohnya dalam gugat konvensi
penggugat pertindak sebagai wali ,orang tua atau pengampu, maka
dalam gugat balik tidak boleh ditujukan pada penggugat secara
pribadi.
 Jika pengadilan negeri yang memeriksa gugat konvensi secara
absulut tidak wenang memeriksa gugat balik (Rekonvensi).
 Dalam perkara sengketa pelaksanaan putusan
 Dalam hal pada pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugat
rekonvensi,maka pada tingkat banding tidak boleh ada gugat
rekonvensi.
 Dalam hal perkara yang menyangkut bezit dan egendom atau
penguasaan dan kepemilikan.

140
Keuntungan adanya Gugat Balik
( Rekonvensi )
menghemat biaya
mempermudah pemeriksaan perkara
mempercepat proses penyelesaian
sengketa
menghindarkan terjadinya putusan yang
saling bertentangan.

141
4.4. Proses Pembuktian dan Macam-
macam Alat Bukti
Dalam perkara perdata para pihak
sendirilah,baik penggugat maupu tergugat yang
harus membuktikan kebenaran dari dalil-dalail
yang diajukan baik dalam gugatan maupun
dalam jawaban. Tugas hakim adalah
memberikan penilaian apakah dalil-dalil yang
diajukan oleh para pihak dapat diterima
berdasarkan pembuktian yang diajukan.
Yang harus dibuktikan oleh para pihak adalah
peristiwa yang disengketakan dan tidak semua
peristiwa harus dibuktikan

142
Peristiwa Yang Tidak Perlu Dibuktikan
karena memang peristiwanya tidak perlu untuk
dibuktikan atau diketahui atau dianggap tidak
mungkin untuk diketahui oleh hakim. Misalnya
dalam hal dijatuhkan putusan verstek,dalam hal
gugatan diakui oleh tergugat,dalam hal ada sumpah
penentu atau dalam hal bantahan kurang cukup.
Karena memang peristiwanya secara ex officio
dianggap dikenal atau diketahui oleh hakim.
Misalnya terhadap peristiwa-peristiwa notoir atau
peristiwa yang sudah diketahui oleh
umum,peristiwa-peristiwa yang terjadi selama
persidangan.
Karena menyangkut pengetahuan tentang
pengalaman yang diperoleh berdasarkan
pengetahuan umum.
143
Pengertian Pembuktian
 Pembuktian dakam arti yang logis,kata membuktikan berarti
memberikan kepastian yang absulut kebenarannya sehingga
pembuktian yang sebaliknya sudah tidak
dimungkinkan,pembuktian ini biasanya didasarkan pada suatu
aksioma tertentu yang pasti.
 Pembuktian dalam arti yang konvensionil,membuktikan adalah
memberikan kepastian,hanya kepastiannya bukan kepastian yang
absulut melainkan kepastian yang bersifat relative.
 Pembuktian dalam arti yuridis,membuktikan dalam ari yuridis
adalah pembuktian yang bersifat konvensionil dalam arti yang
khusus,yaitu bahwa pembuktian dalam arti yuridis kebenarannya
hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa saja dan tidak
berlaku bagi orang lain.

144
Membuktikan dalam arti yuridis
adalah memberikan kepastian dasar yang
cukup pada hakim yang memeriksa
perkara yang bersangkutan guna
mendapatkan kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan oleh para pihak.

145
Beban Pembuktian
adalah menyangkut pertanyaan siapa yang harus
terlebih dahulu diberikan kesempatan untuk
melakukan pembuktian atas peristiwa yang
disengketakan, apakah pihak penggugat atau
pihak tergugat. Persoalan pembuktian
merupakan persoalan adil tidak adil,persoalan
fair tidak fair,oleh karena itu pembagian beban
pembuktian merupakan persoalan yang tidak
mudah bagi hakim,karena hakimlah yang harus
membagi dan menentukan siapa yang harus
membuktikan.

146
Asas Umum Beban Pembuktian
diatur dalam Pasal 163 HIR,Pasal 283
RBg,Pasal; 1865 BW,yang menyatakan “
Barang siapa menyatakan mempunyai
suatu hak atau menyebutkan suatu
peristiwa untuk meneguhkan haknya
atau untuk membantah adanya hak
orang lain,maka orang itu harus
membuktikan adanya hak atau
peristiwa itu “

147
Ketentuan Khusus Tentang Beban
Pembuktian
Pasal 533 BW “orang yang menguasai barang
tidak perlu membuktikan adanya itikad
baiknya,siapa yang mengemukakan adanya
itikad tidak baik harus membuktikan “
Pasal 535 “ Kalau seseorang sudah memulai
menguasai sesuatu untuk orang lain ,maka selalu
dianggap meneruskan penguasaan
tersebut ,kecuali apabila terbukti sebaliknya”
Pasal 1244 “ Kreditur dibebaskan dari
pembuktian kesalahan dari debitur dalam hal
adanya wanprestasi “

148
Teori Beban Pembuktian
 Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot
affirmatief ) ----- menurut teori ini,maka pihak yang harus
membuktikan adalah pihak yang mengemukakan adanya sesuatu
bukan pihak yang mengingkarinya.
 Teori hukum subyektif ----------- berdasarkan teori ini suatu
proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum
subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif dan
pihak yang mengemukakan adanya sesuatu hak harus
membuktikan.
 Teori Hukum Acara --------- berdasarkan teori ini maka beban
pembuktian didasarkan pada kesamaan kedudukan antara
penggugat dan tergugat,sehingga dalam membagi beban
pembuktian harus didasarkan pada nilai keadilan,keseimbangan
dan nilai kepatutan bagi para pihak.

149
Teori Beban Pembuktian
Berdasarkan beberapa teori tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa dalam pembagian
beban pembuktian hakimlah yang mempunyai
peranan menentukan siapa yang harus
membuktikan dan bagaimana pembagiannya
secara adil bagi para pihak. Di dalam praktek
pembagian beban pembuktian dipandang adil
dan patut, kalau pihak yang dibebani
pembuktian adalah pihak yang paling sedikit
dirugikan jika disuruh untuk membuktikan.

150
Macam-macam Alat Bukti dan
Kekuatan Pembuktiannya
Dalam hukum acara perdata dikenal adanya
beberapa macam alat bukti ( Pasal 164 HIR atau
Pasal 284 RBg ) :
alat bukti surat atau tertulis
alat bukti saksi
alat bukti persangkaaan (vemoedens,
praesumptiones )
alat bukti pengakuan
alat bukti sumpah.

151
Alat Bukti Surat atau Tertulis
adalah alat bukti yang berbentuk sesuatu
apapun yang memuat tanda-tanda bacaan
yang berupa pencurahan isi hati atau buah
pikiran seseorang yang dapat digunakan
untuk membuktikan adanya suatu
peristiwa hukum atau perbuatan hukum
tertentu.

152
Macam-Macam Alat Bukti Surat
alat bukti surat yang berupa surat biasa
atau bukan akta;

alat bukti surat yang berbentuk akta

153
Surat Biasa
adalah surat yang pembuatannya tidak
dimaksudkan sebagai alat pembuktian
atas suatu peristiwa atau perbuatan hukum
tertentu,kalau kemudian dijadikan alat
bukti semata-mata karena adanya
kepentingan yang menghendaki dan
sifatnya kebetulan saja.

154
Akta
adalah surat yang diberi tandatangan yang
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi
dasar dari pada suatu hak atau perikatan
yang dibuat secara sengaja sejak semula
untuk kepentingan pembuktian atas
peristiwa atau perbuatan hukum yang
tercantum di dalamnya.

155
Dokumen (UU No.13/1985)
kertas yang berisikan tulisan yang
mengandung arti dan maksud tentang
perbuatan,keadaan atau kenyataan bagi
seseorang dan atau pihak-pihak yang
berkepentingan. Dari pengetian tentang
dokumen seperti tersebut ,jelas bahwa
surat,baik surat biasa maupun akta
merupakan dokumen.

156
Tanda Tangan
adalah pembubuhan nama dari si pembuat atau si
penandatangan,berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-
undang bea meterai No.13 tahun 1985
Tandatangan-------adalah “Sebagimana lazimnya
dipergunakan,termasuk pula paraf teraan atau cap
tandatangan atau cap paraf teraan cap nama atau tanda
lainnya sebagai pengganti tandatangan “
Dipersamakan dengan tandatangan adalah sidik jari
atau cap jempol yang sudah di “waarmerking “ oleh
notaries atau pejabat lain yang diberi kewenangan
untuk itu .
157
Pasal 2 ayat (1) UU No.13/1985
Tentang Bea Meterai
Alat bukti surat wajib dibubuhi metarai
Meterai berfungsi sebagai bentuk kewajiban
pembayaran pajak bea meterai
Untuk dapat digunakan sebagai alat bukti yang
sah di muka pengadilan sebagai akta
Putusan MA tanggal 13 Maret 1971 No.589 K
/SIP/1970 berpendapat bahwa surat bukti yang
tidak dibubuhi meterai tidak merupakan alat bukti
yang sah
Bukti surat yang sejak semula belum dibubuhi
meterai dapat dimintakan pemeteraian kemudian (
Nazegeling) pada pejabat kantor pos
158
Macam-macam Akta
Akta di bawah tangan

Akta otentik

159
Akta Di Bawah Tangan
Akta yang sengaja dibuat oleh para pihak sediri
tanpa bantuan seorang pejabat dengan tujuan
untuk pembuktian atas suatu peristiwa atau
hubungan hukum tertentu
Akta di bawah tangan yang memuat hutang
sepihak wajib ditulis tangan sendiri oleh
pembuatnya,atau setidak-tidaknya tentang
keterangan yang menguatkan jumlah atau
besarnya atau banyaknya yang harus dipenuhi
ditulis sendiri dengan huruf seluruhnya.

160
Kekuatan Pembuktian Akta
Kekuatan pembuktian akta sebagai alat
bukti di pengadilan dapat dilihat dari:
Kekuatan pembuktian Lahir;
Kekuatan pembuktian Formil;
Kekuatan pembuktian material

161
Kekuatan Pembuktian Lahir Akta Di
Bawah tangan
Akta di bawah tangan tidak memiliki kekuatan
lahir;
Tandatangan akta di bawah tangan dapat diakui
dapat juga diingkari oleh pembuatnya
Akta di bawah tangan yang diakui
tandatangannya oleh para pihak yang membuat
menjadikan akta di bawah tangan memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna;
Dalam hal tandatangan para pihak
diingkari,maka kebenaran akta harus diperiksa
kebenarannya.

162
Kekuatan Pembuktian Formil akta Di
Bawah tangan
Akta di bawah tangan yang diakui
tandatangannya memiliki kekuatan
pembuktian formil;
Telah memberikan kebenaran bahwa
keterangan atau pernyataan dalam akta
adalah keterangan atau pernyataan dari si
penandatangan.

163
Kekuatan Pembuktian Materiil Akta Di
Bawah Tangan
Akta di bawah tangan yang sudah diakui
tandatangannya memiliki kekuatan pembuktian
yang sempurna seperti akta otentik;
Isi keterangan di dalam akta di bawah tangan
yang sudah diakui tandatangannya secara
materiil dianggap benar bagi para pembuatnya
dan pihak-pihak yang diuntungkan dari akta
tersebut.

164
Akta Otentik
 Akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh
penguasa berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku,baik dengan bantuan maupun tidak dari pihak yang
berkepentingan,dengan mencatat apa yang dimntakan untuk dimuat
di dalamnya oleh yang berkepentingan;

 Suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu,merupakan bukti yang lengkap (sempurna)
antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang
mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya
dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai
pemberitahuan belaka,akan tetapi yang terakhir ini hanyalah
sepanjang yang diberitahukan itu erat hubunannya dengan pokok
dari akta ( Pasal 165 HIR,Pasal 285 RBg,Pasal 1868 BW)

165
Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
 Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang lengkap atau
sempurna bagi para pihak yang membuat,ahli waris dan pihak
ketiga yang mendapatkan hak dari akta yang bersangkutan;
 Jika tidak ada bukti yang sebaliknya dan sebanding ,maka akta
otentik selalu dianggap benar isinya tanpa pembuktian lebih
lanjut.
 Terhadap pihak ketiga akta otentk merupakan alat bukti yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas dan
penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hakim;
 Aktaotentik mempunyai kekuatan pembuktian lahir,formil
maupun kekuatan pembuktian materiil

166
Alat Bukti Keterangan Saksi
 Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan oleh pihak ketiga di
luar pihak-pihak yang bersengketa yang diberikan secara lisan,langsung
dan pribadi di muka sidang pengadilan tentang apa yang
dilihat,didengar,dialami atau dia ketahui atau dia rasakan terhadap suatu
peristiwa,kejadian atau perbuatan hukum tertentu.
 Kesaksian bukan merupakan kesimpulan atau pendapat atau dugaan
dari seseorang.
 pada asasnya pembuktian dengan saksi dapat dipakai dalam segala perkara
perdata ,kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 1895 BW,Pasal
139 HIR)
 Keterangan yang diperoleh dari pihak ketiga (Testimonium de auditu)
bukan merupakan keterangan saksi.
 Seorang Saksi bukanlah saksi (Unus testis nullus testis) keterangan dari
seorang saksi saja tanpa alat bukti yang lain dianggap tidak cukup dan
tidak boleh dijadikan dasar putusan hakim.

167
Unsur-unsur Keterangan Saksi
Keterangan saksi diberikan oleh pihak
ketiga;
Keterangan diberikan secara langsung,lisan
dan pribadi di dalam sidang;
Keterangan yang diberikan merupakan
peristiwa,kejadian atau perbuatan yang
dilihat,didengar,dialami atau dirasakan
sendiri;

168
Kekuatan Pembuktian Saksi
Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi
mempunyai kekuatan pembuktian yang
bebas,artinya hakim mempunyai
kebebasab untuk menilai apakah
keterangan saksi itu dapat dipecaya atau
tidak sangat tergantung pada penilaian
hakim

169
Parameter Penilaian Keterangan
Saksi(172 HIR)
Kesesuaian atau kecocokan antara keterangan
saksi yang satu dengan yang lainnya
Kesesuaian keterangan saksi dengan apa yang
diketahui dari segi lain tentang perkara yang
disengketakan
Pertimbangan yang mungkin ada pada saksi
untuk memberikan keterangan
kesaksiannya,misalnya cara hidup,adat
istiadat,serta martabat saksi atau segala seuatu
yang munkin dapat mempengaruhi tingkat
kejujuran dari saksi.

170
Testimonium de auditu
Keterangan yang diperoleh dari pihak
ketiga bukan merupakan keterangan saksi.

171
Unus testis nullus testis

Seorang Saksi bukanlah


saksi ,keterangan dari seorang saksi saja
tanpa alat bukti yang lain dianggap tidak
cukup dan tidak boleh dijadikan dasar
putusan hakim.

172
Golongan Orang Yang Dianggap Tidak
Mampu Menjadi saksi
 Golongan orang yang tidak mampu secara mutlak (hakim
dilarang mendengar mereka sebagai saksi)
a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut garis
keturunan yang lurus dari salah satu pihak;
b. Sumi istri dari salah satu pihak ,meskipun sudah bercerai.
 Golongan orang yang tidak mampu secara relatif (nisbi):
a. anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun;
b. orang-orang yang sakit ingatannya.

173
Alasan Bagi Golongan Yang Secara
Absulut Tidak Dapat Menjadi Saksi
 Pihak-pihak ini pada umumnya dianggap kurang obyektif apabila
didengar keterangannya sebagai saksi;
 untuk menjaga hubungan kekeluargaan agar tetap baik di antara
para pihak;
 untuk mencegah timbulnya tekanan batin setelah memberikan
keterangan sebagai saksi.

Pihak-pihak seperti tersebut,dalam perkara tertentu masih


dimungkinkan untuk menjadi saksidan mereka tidak berhak untuk
mengundurkan diri sebagai saksi,terutama dalam perkara yang
menyangkut kedudukan keperdataan dari para pihak atau dalam
perkara yang menyangkut tentang perjanjian kerja ( Pasal 145 ayat
(2) HIR )

174
Golongan Orang Yang Memiliki Hak
Ingkar Untuk Menjadi Saksi

segolongan orang yang atas permintaannya


sendiri dapat dibebaskan dari kewajiban untuk
menjadi saksi (Hak ingkar / Verschoningrecht) :
Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-
laki dan perempuan dari salah satu pihak;
Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus
dan saudara laki-laki dan perempuan dari pada
suami atau istri salah satu pihak;
Semua orang yang karena martabat,jabatan atau
hubungan kerja yang sah diwajibkan
mempunyai rahasia.

175
Kewajiban Saksi
Kewajiban untuk menghadap;
Kewajiban untuk bersumpah;
Kewajiban untuk memberikan keterangan
dengan benar.

176
Sanksi Bagi Saksi Yang Tidak Mau
Menghadap

Dapat dipaksa untuk menghadap


Dapat dihukum untuk membayar biaya
pemanggilan
Dapat dikenakan penyanderaan
(gijzeling)

177
Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan merupakan alat bukti yang
bersifat tidak langsung.
Persangkaan adalah kesimpulan-
kesimpulan yang oleh undang-undang
atau hakim ditarik dari suatu peristiwa
yang terang nyata ke peristiwa lain yang
belum terang kenyataannya ( Pasal 1915
BW )

178
Persangkaan
Persangkaan berdasarkan undang-undang
atau hukum (Praesumptiones juris);
Persangkaan yang merupakan kesimpulan
hakim atau persangkaan berdasarkan
kenyataan atau fakta ( Praesumtiones facti
)

179
Persangkaan Berdasar Hukum/Undang-
undang
Persangkaan yang telah diberikan oleh undang-undang sendiri yang
menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan
dengan peristiwa yang tidak diajukan
 Praesumptiones juris Tatum,yaitu persangkaan berdasarkan undang-undang
yang masih dimungkinkan ada bukti lawan.

Contoh : Pasal 633 BW tentang tembok batas, Pasal 658 BW tentang parit
atau selokan batas, Pasal 1394 tentang 3 Kuitansi pembayaran sewa

 Praesumptiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan undang-


undang yang tidak mungkin ada bukti lawan.

Contoh : Semua peristiwa yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan


perbuatan-perbuatan tertentu ( Pasal 184,911,1681 BW)

180
Persangkaan Berdasarkan Kenyataan
( Praesumptiones Facti )
Pada persangkaan berdasarkan
kenyataan,hakimlah yang memmutuskan
berdasarkan kenyataannya,apakah mungkin dan
sampai berapa jauhkah kemungkinannya untuk
membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan
membuktikan peristiwa lain.
Persangkaan berdasarkan fakta,hanya boleh
diperhatikan oleh hakim pada waktu
menjatuhkan putusan apabila persangkaan itu
bersifat :PENTING,SAKSAMA,TERTENTU
dan ada HUBUNGANNYA SATU SAMA LAIN

181
Alat Bukti Pengakuan
Keterangan dari salah satu pihak dalam
satu pekara,dimana ia mengakui apa yang
dikemukakan oleh pihak lawan ,baik
sebagian atau keseluruhan adalah benar.
Pengakuan merupakan alat bukti yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna.

182
Macam-macam Pengakuan
Pengakuan Murni;
Pengakuan dengan kualifikasi;
Pengakuan dengan klausula

183
Alat Bukti Sumpah
Sumpah Pelengkap (Suppletoir);
Sumpah Penaksiran ( aestimatoir);
Sumpah Pemutus/Penentu (dicisoir)

184
Putusan Hakim
Suatu pernyataan hakim yang diucapkan
di persidangan karena jabatannya yang
dimaksudkan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa para pihak.

185
Kekuatan Putusan Hakim
Kekuatan Mengikat;
Kekuatan Pembuktian
Kekuatan eksekutorial

186
Susunan dan Isi Putusan
Kepala Putusan;
Identitas Para Pihak;
Pertimbangan (Konsideran);
Amar Putusan ( Diktum)

187
Jenis Putusan Hakim( Pasal 185 ayat 1
HIR )
Putusanakhir;
Bukan putusan akhir

188
Sifat Putusan Akhir
Putusan yang bersifat menghukum
(condemnatoir)
Putusan yang bersifat menciptakan
(constitutif)
Putusan yang bersifat menerangkan /
menyatakan (declaratoir)

189
Putusan Condemnatoir

Putusan yang bersifat menghukum pihak yang


dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi tertentu
Dalam putusan condemnatoir diakui adanya hak
penggugat atas prestasi yang dituntut
Prestasi yang timbul karena adanya perikatan maupun
karena undang-undang
Bentuk perkaranya berupa gugatan
Contoh: Putusan hakim yang menghukum penggugat
untuk membayar sejumlah uang tertentu sebagai
pokok hutang, bunga, dll.
190
Putusan Constitutif
Putusan yang bersifat meniadakan atau
menciptakan suatu keadaan hukum yang
baru
Putusan constitutif tidak memerlukan
eksekusi.
Bentuk perkaranya permohonan
contoh : Putusan perceraian,pengangkatan
wali,pengangkatan pengampu,pernyataan
pailit
191
Putusan Declaratoir
Putusan yang isinya bersifat menerangkan
atau menyatakan apa yang sah atas suatu
peristiwa atau hubungan hukum tertentu.
Putusan declaratoir tidak memerlukan
eksekusi.
Bentuk perkaranya permohonan.
Contoh : Sengketa tentang keabsahan
seorang anak, penetapan ahli waris,
menetapkan sahnya suatu perjanjian dll
192
Upaya Hukum
Upaya Hukum Biasa, adalah upaya
hukum yang dapat digunakan oleh para
sebelum putusan memiliki kekuatan
hukum yang tetap (inkracht van
gewijsde )
Upaya hukum Luar Biasa / Istimewa,
adalah upaya hukum yang dapat
digunakan oleh para pihak terhadap
putusan yang sudah memiliki kekuatan
hukum tetap.
193
Upaya Hukum Biasa
Perlawanan ( Verzet )
Banding
Kasasi

194
Upaya Hukum Verzet
Verzet atau perlawanan merupakan upaya
hukum yang dapat digunakan oleh
tergugat yang dikalahkan dalam putusan
di luar hadir ( Putusan Verstek )
Bagi penggugat dalamputusan verstek
upaya hukum yang dapatdigunakan
adalah banding.

195
Upaya Hukum Banding
Dasar hukumnya Undang-undang No.20
Tahun 1947 untuk Jawa dan Madura dan
Pasal 199-205 RBg Untuk luar Jawa dan
Madura
Permohonan banding wajib diajukan
dalam jangka waktu 14 hari terhitung
mulai hari berikutnya sejak putusan
diberitahunan pada para pihak.

196
……..Banding
Pada pihak lawan selambat-lambatnya
dalam jangka waktu 14 hari sejak
diterimanya permohonan banding harus
diberitahu tentang adanya permohonan
banding tersebut.
Dalam jangka waktu 14 hari para pihak
diberikan kesempatan untuk melihat
berkas-berkas banding

197
Memori Banding
Pada pihak pemohon banding
diperbolehkan mengajukan memori
banding
Pada pihak termohon banding
diperbolehkan mengajukan kontra memori
banding
Memori dan kontra memori banding
bukan hal yang diwajibkan

198
Bentuk Putusan Banding
Bersifat menguatkan putusan pengadilan
negeri;
Bersifat memperbaiki putusan pengadilan
negeri;
Bersifat membatalkan putusan pengadilan
negeri.

199
Upaya Hukum Kasasi
Semua putusan yangdiberikan dalam tin
gkat akhir oleh pengadilan lain daripada
Mahkamah Agung dapat dimintakan
kasasi;
Permohonan kasasi diajukan melalui
panitera pengadilan negeri yang memutus
pokok perkara yang dimintakan kasasi

200
Kasasi
Permohonan kasasidapat diajukan secara
lisan maupuntertulis;
Permohonan kasasi dapat diajukan dalam
tenggang waktu 14 hari kerja sesudah
putusan atau penetapan yang dimaksud
diberitahukan kepada pemohon ( Pasal 46
UU No.14/1985)

201
Kasasi
Dalam tenggang waktu 14 hari sejak
permohonan kasasi didaftarkan, pemohon
wajib menyampaikan memori kasasi
( Pasal 47 UU No. 14 / 1985)
Tidak dipenuhinya tenggang waktu
permohonan maupun penyampaian
memori kasasi , permohonan kasasi harus
dinyatakan tidak dapat diterima

202
Kasasi

Memori kasasi wajib mencantumkan


dasar alasan permohonan kasasi.
Pihak termohon kasasi berhak
mengajukan jawaban terhadap memori
kasasi dalam tenggang waktu 14 hari
sejak tanggal diterimanya salinan memori
kasasi { Pasal 14 ayat (3) UU No.14
/1985 }
203
Alasan Permohonan Kasasi (Pasal 30
UU No 14/1985)
Hakim tidak wenang atau melampaui
batas wewenang;
Hakim salah menerapkan atau melanggar
hukum yang berlaku;
Hakim lalai memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kebatalan
putusan;

204
Alasan kasasi
Putusan hakim tidak cukup atau kurang
lengkap dipertimbangkan ( Yurisprudensi
MA No.492 K/SIP/1970

205
Upaya Hukum Luar Biasa
PeninjauanKembali ( Request Civil )
Perlawanan Pihak Ketiga ( Derden
Verzet )

206
Peninjauan Kembali

Peninjau adalah upaya hukum luar biasa yang dapat


digunakan oleh para pihak dalam hal upaya hukum
biasa sudah tertutup dan putusan sudah memiliki
kekuatan hukum yang tetap
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan
secara tertulis maupun lisan;
Dalam waktu 14 hari setelah Ketua Pengadilan
Negeri yang memutus perkara dalam tingkat
pertama menerima permohonan PK, maka panitera
mengirimkan salinan PK pada pihak lawan;
207
Peninjauan Kembali

Permohonan PK tidak menunda pelaksanaan


putusan
 MA memutus permohonan peninjauan
kembali pada tingkat pertama dan terakhir

208
Alasan Peninjauan Kembali
Apabila putusan didasarkan pada tipu muslihat
atau kebohongan atau di dasarkan pada bukti palsu;
Apabila setelah perkara diputus ditemukan bukti-
bukti baru yang bersifat menentukan;
Apabila telah dikabulkan sesuatu yang tidak
dituntut atau melebihi dari yang dituntut;
Apabila ada bagian yang dituntut yang tidak
diputus tanpa dipertimbangkan sebabnya;
Apabila ada putusan yang saling bertentangan;
Apabila dalam putusan ada kekilafan hakim yang
nyata.

209
Jangka Waktu PK ( Pasal 69 UU No
14 /1985
Jangka waktu pengajuan PK adalah `180 hari untuk:
1. untuk alasan pertama sejak diketahui kebohongan
atau tipu muslihat, atau untuk putusan pidana
sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. untuk alasan kedua sejak ditemukannya bukti
baru yang menentukan;
3. untuk alasan ketiga, keempat dan enam
sejakputusan memperoleh kekuatan tetap dan telah
diberitahukan pada para pihak;
4. untuk alasan terakir sejak putusan terakhir yang
bertentangan memperoleh kekuatan hukum tetap

210
Pelaksanaan Putusan
Putusan yang memerlukan eksekusi adalah
putusan yangbersifat Condemnatoir
sedangkan putusan yang bersifat
declataroir dan constitutif tidak
memerlukan eksekusi.
Putusan yang dapat dieksekusi adalah
putusan yang sudah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap atau terhadap putusan
yang mengabulkan tuntutan dapat
dilaksaakannya putusan terlebih dulu
211

Anda mungkin juga menyukai