Anda di halaman 1dari 43

INTEGRASI NASIONAL

Pertanyaan mendasar setelah 60


tahun merdeka
 “benarkah kita merupakan suatu bangsa?”.
(Apakah bangsa itu?).
 “Apakah ada alasan yang sah untuk
membangun suatu negara?. “
 ”Bentuk negara seperti apa yang cocok bagi
bangsa ini?.”
 Bangsa (nation) adalah suatu konsep sosio-kultural
(Rupert Emerson seperti dikutip Suryadinata, 2000).
Jadi yang terpenting terbentuknya bangsa adalah
sense of belonging terhadap suatu warisan sejarah
yang sama dan keinginan untuk hidup bersama dalam
suatu kesatuan politik (negara).
 Sementara itu negara (state) adalah suatu satuan
politis yang mengandung tiga unsur dasar:
pemerintah yang berdaulat, rakyat dan wilayah
(Republik Indonesia memiliki tiga syarat tersebut).
 Indonesia bukan “ethnic nation” yang berasal dari
satu kelompok etnik tetapi social–nation yang
berasal dari beragam kelompok etnik (Suryadinata,
2000).
 Secara sosiologis ethnisitas lebih penting daripada ras.
 Steve Jones mengatakan:” Our colour does not say much
about what lies under the skin”.
 Kelompok ethnic percaya bahwa mereka memiliki asal yang
sama, memiliki nenek moyang yang sama, memiliki ciri
budaya yang sama. Mereka biasanya juga mengadposi
endogamy.
 Identitas ethnis bisa berbeda inensitasnya, ada yang keras ada
yang kabur (Steve Fenton 1999, dikutip oleh Haralombos hal
172). Tergantung dari “master status” yang mereka pakai. Jadi
ada hot ethnicity (emosional, mendalam dan ingin merdeka),
serta cold ethnicity (kurang emosional, digunakan untuk
mencari keuntungan sesaat). (Fenton)
 Ikatan primordial sangat mendasar dalam kehidupan sosial .
Manusia selalu menggolongkan diri menjadi: “kita” dan
“mereka”. Hal ini berasal dari sosialisasi dan unsur
psikokultural “need for belongng”
 Mc Crone mengatakan bahwa agama dan
etnisitas bisa disatukan oleh nasionalisme
asalkan kondisi ekonomi tidak mengecewakan,
tetapi bila mengecewakan agama dan etnisitas
akan digunakan sebagai senjata. Contoh yang
sangat mencolok adalah penggulingan Shah
Iran oleh Ayatulloh Khomaini 1979.
( Harolombos 211).Dalam hal ini sentimen
terhadap kolonialisme dapat muncul kembali
pada pemerintah pada masa post colonialism.
Bahkan di Wales orang masih punya sentimen
“internal colonialism”. Ini adalah mirror
image thd. Pemerintah Britania Raya.
 Pemerintah di jaman kemerdekaan yang
bersifat sekular akan
senantiasa dibayangi oleh aspirasi non
sekular. Bila pemerintah sekular tidak bisa
memenuhi kebutuhan rakyat, maka aspirasi
non sekular akan menguat, mereka melihat
pemerintahan sekular sebagai “mirror image”
dari pemerintahan kolonial.
Mc Crone juga memperkenalkan konsep neo
nationalism yaitu suatu gerakan masyarakat di
suatu daerah untuk memperjuangkan sumber-
sumber daerahnya terhadap pemerintah pusat.
Perasaan ini justru ada pada masyarakat yang
kaya sumber alam atau telah maju (sehingga
mereka memiliki suatu kesadaran untuk
membebaskan diri dari pemerintahan Pusat),
contoh masyarakat Quebeck di Kanada, atau
Basque di Perancis.
Brubaker membedakan berbagai nasionalisme
(Haralombos 212) yaitu:
 Nationalizing state: negara yang berusaha membujuk
warganya untuk merasa menjadi suatu nation.
 National minorities: negara yang sebagian besar
warganegaranya merupakan kelompok yang memiliki
kesetiaan utama pada negara tetangganya, dimana
nenek moyangnya berasal.
 National homeland: yaitu suatu negara yang
dianggap daerah asal dari sekelompok warga negara.
Misalnya New Guinea bagi sebagian masyarakat
Papua, RRC atau Taiwan bagi sekelompok etnis
Tionghoa di Indonesia, Indonesia atau Malaysia bagi
orang Melayu di Singapore.
Suatu negara akan sulit menjadi nationlizing state bila
sebagian besar warganya tidak merasa berkebangsaan
negara itu.
 Konsep ethnisitas lebih berguna dari pada ras
karena tidak terkungkung oleh warna kulit.
 Kosep ethis lebih mengakui adanya perbedaan
budaya yang tidak mudah diganti daripada
konsep “migrant-host” yang mengasumsikan
bahwa semua ethnik pendatang harus dan
mampu mengikuti budaya setempat.
 Konsep ethnisitas lebih sesuai dengan ide
multikulturalisme.
 Di Era globalisasi identitas etnis makin
“mengalir”, tetapi semua orang tetap
mengidentifikasi dirinya dengan ethnik
tertentu. Ini sebabnya kita masih tetap perlu
mempelajari ethnografi. Tetapi studi ethnik
yang sangat bersifat simbolik interaktionis
sangat bersifat interpretatif, sehingga hasilnya
sering kurang dapat dijadikan pedoman
pengambilan keputusan.
 Wallerstein: nationalisme diperlukan untuk
membangkitkan sentimen penduduk dalam
mempertahan negara dari kekuatan luar.
 Mc Crone (Sociology of Nationlism 1998)
membedakan antara Civic Nationalism
(berbagai ethnik group memiliki kesetiaan
bersama terhadap bangsa) dan Ethnic
Nationalism (suatu golongan ethnik memikiki
kesetiaan pada ethniknya dan menginginkan
suatu negara tersendiri).
 Stuart Hall (1992 dikutip Harolombos 208) di jaman
modern nsionalisme bukan menguat tetapi akan
melemah. Marxian menganggap kelas lebih penting
daripada nasionalisme, Liberalis melihat globalisasi
akan melemahkan nasionalisme, sebab pasar global
akan menghubungkan semua bagian dunia.
 Kelompok lain justru percaya bahwa nasionalisme
akan menguat. Manusia diberbagai tempat masih
mengidentifikasikan dirinya pada “bangsanya”
daripada pengelompokan lain. Scotis dan Welsch di
Britania, Basque di Spanyol, Breton di Perancis
semua bercita-cita ingin merdeka. USSR pecah
karena Lithuania, Estonia dan Ukraina ingin merdeka
sebagai bangsa. Di Yugoslavia Kroasia, Serbia dan
Muslim memperebutkan daerah untuk menjadi
negara merdeka.
 Ben Anderson:”... Indeed , nation-ness is the most
unversally legitimate value in the political life of our
 Karena konsep negara-bangsa bersifat socio-cultural
dan politik. Jadi inti persoalan negara kesatuan
Indonesia adalah terletak pada kwalitas dari
komitment sosio-kultural dan politik yang melandasi
berdirinya negara-bangsa itu.
 Bapak bangsa Polandia Josef Pilsudski mengatakan
:” Negaralah yang membentuk bangsa bukan
sebaliknya” (Simbolon, 2001).
 Ben Anderson mengatakan bahwa negara-bangsa
adalah suatu “imagined society”, jadi eksistensinya
tergantung dari berapa besar warga masyarakatnya
mengakui, mendambakan dan
membayangkannya.
 Mengingat hal itu tidak terlalu penting mencari jawab
apakah kita benar-benar merupakan suatu ”bangsa”.
Yang terpenting secara legal apakah kita dapat
mempertahankan kedaulatan, dan secara sosiologis
sejauhmana nilai-nilai kesatuan dan cita-cita sebagai
suatu bangsa tetap hidup dalam alam budaya
masyarakat Indonesia yang majemuk ini.
 Dengan kata lain bagaimana bangsa ini dapat
menjaga integrasi sosial dan nasional dengan
menyeimbangkan integrasi normatif, fungsional dan
koersif.
Integrasi Normatif
 Pertanyaan dasar:
 “Apakah ada nilai-nilai dasar yang disepakati?
 “Apakah norma-norma dasar yang dipatuhi?
 “Apakah ada rasa identitas yang sama?
 “Apakah ada cita-cita yang sama?
 “Apakah ada toleransi dan solidaritas antar
daerah dan golongan?
Kondisi integrasi normatif di
Indonesia
 Saat ini konsensus terhadap nilai-nilai kebangsaan
kita masih kontroversial (Pancasila).
 Konsensus terhadap norma dasar (UUD 45) masih
belum mantap.
 Identitas kebangsaan sudah terbentuk tetapi tanpa
kebanggaan
 Cita-cita sebagai bangsa jelas tapi pesimistik
 Solidaritas dan toleransi merosot.
…lanjutan
 Konsensus nilai dan norma (sebagai negara kesatuan)
dimasa lalu hanya dilakukan dengan kesepakatan
politis antar tokoh masyarakat, sementara proses
sosialisasi yang terjadi sehari-hari di lembaga
keluarga, keagamaan, sekolah di tingkat akar rumput
tidak pernah benar-benar dipantau, dikembangkan
dan difasilitasi oleh pemerintah, bahkan seringkali
justru di kacaukan oleh pembangunan ekonomi yang
berorientasi pertumbuhan (terjadinya kesenjangan
antar kelompok dan daerah sehingga menimbulkan
kecemburuan sosial antar kelompok SARA).
 Pola sosialisasi nilai yang mengembangkan “animosity”
(kebencian tersembunyi) yang bisa menimbulkan konflik
terselubung maupun terbuka antar kelompok sosial .
 Dalam memperkuat integrasi normative, pemerintah (terutama
pada masa orde baru) sering melakukan kebijakan integrasi
normatif secara ”paksa” seperti :
* politik ganti nama untuk orang cina, dan melarang
budaya cina.
* merangkul kelompok-kelompok primordial tertentu
untuk
kepentingan politik
* menanamkan nilai Pancasila secara koersif, tanpa
keteladanan nasional, sehingga pamornya menurun.
* Kebijakan transmigrasi yang tidak mempertimbangkan
rasa kecemburuan antar etnik pendatang dan etnik lokal.
Kebijakan ini secara sosiologis tidak berhasil memperkuat
integrasi normatif secara nasional, malah sebaliknya
menyimpan ”kebencian tersembunyi” antar golongan etnis dan
agama.
Integrasi Fungsional
Ada dua pertanyaan dasar dari
Integrasi Fungsional:

1. “Apa manfaat (fungsi) integrasi


nasional bagi masyarakat banyak?
2. ” Apakah ada ikatan fungsional yang
relatif seimbang antar unsur
(kelompok atau daerah)?”
Kondisi integrasi fungsional di
Indonesia

 Daerah tidak mampu mengembangkan potensi


alamnya untuk pembangunan lokal.
 kesenjangan ekonomi antar kelompok dan daerah
amat mencolok. Kelompok tertentu (7% dari
jumlah penduduk) menguasai hampir semua fungsi
perekonomian.
 Sebelum otonomi semua sumber kekuasaan dan
sumber ekonomi dikuasai Jawa (khususnya
Jakarta). 60-70% dari seluruh uang yang beredar di
negeri ini ada di Jakarta.
 Militer diberi ”dwi fungsi” sehingga semua
kedudukan strategis dimonopoli militer.
…lanjutan
 Potensi ekonomi maupun budaya yang khas daerah
tidak dapat dikembangkan sehingga daerah tidak
memiliki fungsi khas secara nasional.
 Fungsi dan potensi golongan perempuan dibatasi
Pembangunan desa amat terbelakang dibanding kota
(urban bias), sehingga migrasi dari desa ke kota tidak
terbendung. Para migran dianggap disfungsional di
kota sehingga dipaksa kembali ke desa.
Lanjutan.......

* Golongan miskin mengalami berbagai eksklusi


sosial (hak memperoleh pedidikan, kesehatan dasar,
modal kerja dsb.) sehingga sulit untuk keluar dari
kemiskinan apalagi mengembangkan fungsi yang
berarti secara nasional.
* Dalam era globalisasi dan liberalisasi fungsi
buruh tidak dihargai secara layak (misalnya sistem
kontrak), sehingga kepastian hidup dan karir tidak
terjamin.
* Angka pengangguran yang tinggi
mencerminkan banyaknya tenaga kerja yang ”non
fungsional” .
 Di era globalisasi berkembang kosmopolitanisme,
sehingga solidaritas sosial golongan kelas atas dan
menengah terhadap golongan kelas bawah menurun.
 Menonjolnya kekuasaan modal kapitalis dunia yang
cendeung dikuasai negara kapitalis merangsang
munculnya solidaritas antar kelompok sesama
identitas (entnis, rasial maupun agama). Solidaritas
ini bisa menyaingi atau menganggu solidaritas
nasional.
 Dengan posisi seperti itu sebagian besar
daerah dan golongan merasa tidak ada suatu
rasa saling ketergantungan (interdependensi)
fungsional antar daerah maupun kelompok
masyarakat
 Yang terjadi dalam kondisi seperti ini adalah
dependensia dari golongan miskin terhadap si
kaya dan eksploitasi si kaya terhadap si
miskin. Para pakar menamakan ini bukan
integrasi nasional tetapi suatu internal
colonialism.
 ...lanjutan.

 pelaksanaan otonomi (sekurang-kurangnya)


pada tahap awal justru akan membuka luka
baru pada integrasi nasional kita, karena
masyarakat di daerah-daerah (terutama yang
kaya) tidak mampu mengendalikan diri untuk
menyambut otonomi ini dalam suatu kerangka
solidaritas nasional, sehingga muncullah
berbagai konflik kepentingan vertikal antara
daerah dengan provinsi dan pusat maupun
horizontal antar daerah itu sendiri. Ini
merupakan akibat dari pengembangan
integrasi fungsional ditengah lemahnya
integrasi normatif (rasa kesatuan sebagai satu
Integrasi Koersif
Pertanyaan dasar:

 Apakah ada figur atau kelompok yang


memiliki kekuatan untuk mengintegrasikan?
 Sejauhmana kekuatan itu diimbangi oleh
kekuatan-kekuatan lainnya?
 Apakah pembagian pemisahan dan pembagian
kekuasaan itu efektif mengintegrasikan
negara-bangsa?
Kondisi integrasi koersif di Indonesia.

 Sejak awal rezim Orba memang telah didukung oleh


konsensus nasional untuk menjaga stabilitas nasional
dengan menggunakan pendekatan security approach
yang kemudian menjadi akar dari tindakan-tindakan
koersif rezim ini selama berkuasa.
 Pemerintah Orba bahkan bukan hanya menggunakan
military violence tetapi juga idelogical violence
(hegemony) melalui berbagai penataran dan
indoktrinasi di birokrasi, masyarakat luas sampai
pendidikan di sekolah.

lanjutan
...

 Secara keseluruhan struktur lembaga birokrasi


bahkan diluar birokrasi (mis. RT/RW,
organisasi profesi dsb. dikooptasi dan
diseragamkan sehingga banyak organisasi
menjadi semu dan rakyat kehilangan
kemampuan dan minat berorganisasi.
(atomistic).
 Untuk melengkapi efektifitas preventif dan
represif bilamana perlu pemerintah Orba juga
mentrapkan pasal-pasal hukum yang
melegalkan tindakan pemerintah untuk
mengambil tindakan hukum yang melanggar
hak asasi. Pembatasan kemerdekaan berpikir
dan berekspresi meluas dari kehidupan
 Di masa Orba sentralisasi yang ketat yang
membuat masyarakat daerah tidak berdaya dan
amat bergantung.pada pusat. Puncak dari
sentralisasi keuasaan adalah memusatnya
seluruh kewenangan pemerintahan eksekutif,
legislative dan judikatif berada ditangan satu
orang yaitu presiden.
 Bangsa Indonesia selama ini telah terintegrasi
secara “semu”. Kebudayaan nasional seolah-
olah telah tertanam di semua daerah (bahasa
nasional, sistem politik nasional, pendidikan
nasional, ekonomi dan pemerintahan nasional
dsb.), tetapi nilai-nilai rasa kesatuan sebagai
bangsa jauh mundur dibanding saat republik
ini didirikan.
…lanjutan
 Pada masa reformasi, dicabutnya dwifungsi ABRI
telah mengurangi kebijakan pemerintah yang bersifat
koersif secara signifikan, tetapi hal ini tidak
menyurutkan niat daerah-daerah tertentu (Papua dan
Aceh) untuk memisahkan diri, bahkan momentum
“vacuum of power” ini seolah dimanfaatkan oleh
kelompok separatis.
 Kemandirian POLRI belum mampu mengambalikan
tingkat kekuatan koersi pada titik yang optimal.
Sementara itu dimasa reformasi ini muncul gejala
pengembangan kekuatan koersi oleh kelompok-
kelompok masyarakat sipil dengan menggunakan
atribut-atribut militer. Ini menunjukan inkonsistensi
sipil dalam mempersepsi militerisme dan kekerasan.
Disatu pihak mereka menolak kekerasan dan
militerisme, dilain pihak mereka melakukannya
sendiri.
 Sifat koersif dikalangan sipil juga bisa muncul
dengan menggunakan agama sebagai alat
untuk mengabsolutkan nilai-nilai yang mereka
tuntut, bila kelompok semacam ini bisa
mendominasi, maka masyarakat kita akan
menghasilkan lagi suatu “integrasi koersif”
bentuk baru dimasa depan.
.....lanjutan
 Ketergantungan Indonesia yang tinggi terhadap
bantuan luar negeri telah memungkinkan lembaga
internasional serta negara kreditor menekan
pemerintah Indonesia untuk mengurangi tidakan
koersi dan pelanggaran HAM. Integrasi harus dicapai
lewat usaha kesejahteraan dan kebudayaan.Ini adalah
dampak positif globalisasi terhadap integrasi nasional
kita .
 Mengingat hal ini dapat diperkirakan bahwa
kecenderungan kekuatan koersi yang berlebihan
untuk mempertahankan integrasi nasional di
Indonesia akan menurun dimasa depan. Keadaan ini
ditunjang oleh gejala berkembangnya demokratisasi
yang meluas di masyarakat yang akan mengarah
pada berkembangnya “civil society”. Jadi, integrasi
koersif seperti yang terjadi dimasa lalu nampaknya
tak akan berulang.
 Secara sosiologis, sifat koersif untuk
mempertahankan kekuasaan atau
integrasi di Indonesia masih kuat,
kalau bukan oleh militer, sipilpun
akan melakukannya.
...lanjutan.
 Tingkat dan kwalitas kesadaran berbangsa dari
masyakat kita juga cenderung memprihatinkan. Kita
dapat mengelompokkan menjadi tiga golongan:
§ Golongan rational: yang hanya menekankan pada
untung rugi (utilitarian atau oportunis), jumlahnya
tidak banyak, tetapi cenderung bertambah terus.
§ Golongan Idealis: yang mendasarkan pada nilai-nilai
yang dijunjung tinggi (nilai nasionalisme, kesatuan,
kerukunan, patriotisme dsb.). Jumlahnya masih agak
banyak tetapi cenderung menurun seiring beralihnya
generasi.
§ Golongan tradisionalis: yang menganggap bahwa
integrasi adalah otomatis, tidak perlu dipertanyakan
lagi. Golongan ini berjumlah paling besar, (mungkin
lebih dari 80% ).
Di jaman globalisasi seperti ini tidak cukup bila
integrasi nasional kita hanya didukung oleh golongan
yang tradisionalis, untuk menjadi kuat kita
membutuhkan golongan yang idealis, tetapi
mampukah kita menciptakannya? Bila kita mengikuti
kaum rationalis, maka kita akan cenderung
membiarkan gejala federalisme, bahkan separatisme.
Negara kesatuan memang bukan destiny, tetapi
haruskah kita mengambil jalan separatisme sekarang
juga? Apakah masyarakat daerah telah siap? Elit local
tidak secara otomatis berhak mengklaim seolah-olah
mereka lebih baik dari pemimpin di pusat. Di masa
awal penerapan otonomi daerah, ternyata banyak elit
local yang tidak mampu atau tidak mau
mendengarkan “silent majority” di daerahnya.
Kesimpulan
Diawal reformasi ini kita menemukan kenyataan bahwa
integrasi nasional kita amat lemah kwalitasnya
terutama untuk menghadapi era globalisasi yang
penuh tantangan dan perubahan yang pesat. Ciri dari
kelemahan tersebut ialah:
 Integrasi kita masih diterima secara “taken for
granted” atau hanya sebagai tradisi (yang tidak
dilandasi oleh suatu cita-cita kebersamaan yang
jelas).
 Aspek normatif dari integrasi kita amat lemah (nilai
kebangsaan dan solidaritas sosial).
 Aspek fungsional dari integrasi amat lemah karena
kesenjangan ekonomi. Rakyat tidak merasakan fungsi
dari integrasi.
..lanjutan
 Peningkatan aspek fungsional yang amat mendadak

melalui otonomi, tanpa diimbangi oleh menguatnya


integrasi normatif serta amat lemahnya kewibawaan
pemerintah telah menimbulkan konflik antar daerah
atau konflik daerah-pusat. Hal ini berpotensi
membuka luka yang baru thd. rasa solidaritas
kebangsaan.
 Kecenderungan menurunnya kekuatan koersi militer

karena berkhirnya dwifungsi ABRI


 Munculnya gejala koersi baru oleh sipil, tetapi

kekuatan ini diimbangi oleh kontrol internasional


yang cukup efektif dan oleh gelombang demokratisasi
yang berpotensi menghambat munculnya integrasi
koersif seperti dimasa lalu.
 Dengan kata lain pemerintahan reformasi
harus berpegang pada prinsip
keseimbangan dimensi-dimensi integrasi
yaitu normative (nilai-nilai solidaritas),
fungsional ( manfaat timbal balik secara
ekonomis dan politis) dan koersif
(kekuatan atau kewibawaan untuk
mempersatukan secara adil dan beradab).
 Dimasa depan mana yang lebih penting
citizenship atau nationhood?
 Mana yang lebih peting statehood atau
nationhood?
 Benarkah nationhood melemah disemua
bangsa? Ingat perilaku nagara-negara besar,
sosial solidarity masih tinggi
 Nationalism akan tetap ada karena sangat
flexible dan adaptif.
 Kita belum berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture)
 Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang kurang mengembangkan
kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif), tetapi lebih
mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif)
 Isu sentral dalam dimensi ini adalah masalah disintegrasi nasional dengan segala
isu yang terkait seperti gerakan separatisme, kebencian dan kecemburuan sosial
“yang terpendam” antar kelompok SARA, ide negara federal, konsep otonomi,
globalisasi , masyarakat sipil dsb.
 Konsensus nilai dan norma (sebagai negara kesatuan) dimasa lalu hanya dilakukan
dengan kesepakatan politis antar tokoh masyarakat, sementara proses sosialisasi
yang terjadi sehari-hari di lembaga keluarga, keagamaan, sekolah di tingkat akar
rumput tidak pernah benar-benar dipantau, dikembangkan dan difasilitasi oleh
pemerintah, bahkan seringkali justru di kacaukan oleh pembangunan ekonomi yang
berorientasi pertumbuhan (kesenjangan antar kelompok dan daerah sehingga
menimbulkan kecemburuan sosial antar kelompok SARA). Kecemburuan ini
diekspresikan secara budaya melalui sosialisasi nilai-nilai yang mengembangkan
suatu “animocity” (kebencian tersembunyi).
Agama
 Apakah sikretisme/lokalisasi agama merupakan perwujudan integrasi
normatif?
 Agama diperlukan untuk integrasi tetapi pada tingkat lokal saja (bukan
antar lokal atau nasional), dan seringkali integrasi agama juga bersifat
koersif (penaklukan politik + agama).
 Rakyat sering ikut pemimpin (agama menjadi budaya. Agama bukan
keyakinan pribadi tetapi kelompok
 Integrasi normatif secara nasional sulit karena: Sejarah politik daerah
berbeda dan budaya lokal juga berbeda.
 Agama selalu menjadi alasan animosity (santri-abangan, islam –kristen
dsb.)
 Agama dijadikan penggolongan untuk kepentingan politik dan ekonomi 
tidak ada integrasi fungsional
 Pengkelasan dijaman Bld berdasar agama  integrasinya koersif, bukan
normatif atau fungsional.
agama
 Mengapa Cina ayang beda agama mendapat kedudukan tinggi
(fungsional?)
 Penjajah juga memanfaatkan persamaan agama disamping
juga memanfaatkan pendidikan. Ada diskriminasi bagi
pendidikan agama (pesantren)
 Ideologisasi agama= olitisasi agama  ini yang menjadikan
agama menjadi faktor konfliktual yang menganggu integrasi
nasional.
 Pancasila merupakan nilai sekular yang diharapkan dapat
menetralisir situasi politik yang amat primordialistik.
 Gerakan multikulturalis apakah = intgrasi normatif atau
sekedar kesiapan untuk menerima perbedaan (apakah
toleransi/solidaritas? Ataukah karena fungsional?

Anda mungkin juga menyukai