Udara
CO2
O2
Jaringan
VentiLasi TransPorTasi
RespiRasi InternaL
Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot pernapasaan. Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical. Tekanan intrapleura menurun dari -4mmHg menjadi -8 mmHg Tekanan intrapulmonal sampai -2 mmHg dari 0 mmHg Selisih tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.
Selama ekspirasi, terjadi gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru.
Otot interkostalis internus relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang.
Tekanan intrapulmonal meningkat dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Udara mengalir keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada di bawah tekanan atmosfer selama siklus pernapasan.
Proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5 m).
Kekuatan pendorong : selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas.
O2 dapat diangkut dari paru ke jaringan-jaringan melalui dua jalan: secara fisik larut dalam plasma (1%) atau secara kimia berikatan dengan Hb sebagai oksihemoglobin (HbO2). 25% O2 dalam darah arteri melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh 75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran.
Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara : 1. 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma 20% CO2 berikatan dengan gugus amino (karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah 70% diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-). pada Hb
2.
3.
Proses absorpsi oksigen dan pelepasan karbon dioksida dari sel. Proses respirasi internal ini disebut juga respirasi selular, terjadinya di mitokondria.
Nilai normal 35-45 mmHg (rata-rata, 40) 80-100 mmHg 97-100 7,35-7,45 22-26 Eq/L
Tekanan O2
Persentase kejenuhan O2 Konsentrasi hydrogen Bikarbonat
PaO2
SaO2 ion pH HCO3-
Hipoventilasi PaCO2 pH darah ASIDOSIS RESPIRATORIK Hiperventilasi PaCO2 pH darah ALKALOSIS RESPIRATORIK Bila PaO2 turun sampai di bawah nilai normal, terjadi hipoksemia. Pada gagal pernapasan yang berat, PaO2 makin turun sampai 30-40 mmHg.
Keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal. Klasifikasi: 1. Hipoksemia ringan dinyatakan pada keadaan PaO2 60-79 mmHg dan SaO2 90-94% 2. Hipoksemia sedang PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89% 3. Hipoksemia berat bila PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2 kurang dari 75%.
Hipoksemia akibat penyakit paru disebabkan oleh salah satu atau lebih dari mekanisme di bawah ini : 1. ketidakseimbangan antara proses ventilasiperfusi (penyebab tersering), 2. hipoventilasi alveolar, 3. gangguan difusi, atau 4. pirau anatomik intrapulmonar. Hipoksemia akibat tiga kelainan yang pertama dapat diperbaiki dengan pemberian O2. Tetapi pirau anatomik intrapulmonar (pirau arteriovenosa) tidak dapat diatasi dengan terapi O2.
Kekurangan O2 di tingkat jaringan. Hipoksia jaringan Aliran oksigen tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan, hal ini dapat terjadi kira-kira 4-6 menit setelah ventilasi spontan berhenti.
dibagi dalam 4 jenis : Hipoksia hipoksik : PaO2 darah berkurang , penurunan difusi oksigen ke jaringan. Disebabkan oleh hipoventilasi, tempat tinggi, ketidakcocokan ventilasi perfusi, pirau, defek difusi pulmonal. Gejala : iritabilitas, insomnia, sakit kepala, sesak nafas, mual dan muntah. Dapat diperbaiki dengan meningkatkan ventilasi alveolar/suplemen oksigen.
Hipoksia anemik : Akibat penurunan konsentrasi hemoglobin secara efektif. Dapat mengganggu aktivitas.
Hipoksia sirkulasi : Diakibatkan karena tidak adekuatnya sirkulasi perifer. Dapat diakibatkan oleh penurunan cardiac output, obstruksi vascular, aliran darah rendah. Diperbaiki dengan mengatasi penyebab. Hipoksia histotoksik : Disebabkan oleh hambatan proses oksidasi jaringan paling sering diakibatkan oleh keracunan sianida. Sianida menghambat sitokrom oksidasi serta mungkin beberapa enzim lainnya. Biru metilen atau nitrit digunakan untuk mengobati keracunan sianida. Zat-zat tersebut bekerja dengan sianida, menghasilkan sianmethemoglobin, suatu senyawa non toksik. Pemberian terapi oksigen hiperbarik mungkin juga bermanfaat.
Mempertahankan oksigenasi.
Tujuan umum diberikannya terapi oksigen adalah untuk: Mengatasi keadaan hipoksemia sesuai dengan hasil AGD Menurunkan kerja pernapasan Menurunkan beban kerja otot jantung
Klien dengan peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon terhadap keadaan hipoksemia melalui peningkatan laju dan dalamnya pernapasan serta kerja otot tambahan pernapasan Klien dengan peningkatan kerja miokard, untuk mengatasi gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.
Kondisi klinis yang mungkin memerlukan terapi oksigen : Henti jantung paru. RJP hanya memberikan 25 33% dari sirkulasi efektif. Gagal napas, gagal jantung atau AMI. Syok. Meningkatnya kebutuhan oksigen (luka bakar, infeksi berat, multiple trauma). Keracunan CO. Kehilangan darah, penyakit paru. Hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg, SaO2 < 90 mmHg). Hipotensi (sistolik < 100 mmHg). Low cardiac output dan asidosis metabolic (bikarbonat < 18 mmol/L). Respiratory distress (RR > 24 x/mnt).
OXYGEN SOURCE
Oxygen outlet Portable oxygen tank Liquid oxygen unit Oxygen concentrator
Flowmeter regulator
Delivery System
Sistem Aliran Rendah
Kateter nasal Kanula nasal Sungkup muka sederhana Sungkup muka dengan kantong rebreathing Sungkup muka dengan kantong non rebreathing Transtracheal catheter
Resuscitator Venturi mask Tracheostomy mask Aerosol mask T-tube adapters Face tents
Kateter Nasal
klien bebas bergerak, makan dan berbicara, murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap
tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 45%, FiO2 beragam, tehnik memasukkan kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir nasofaring, aliran lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumbat
Kanula Nasal
aliran 1 6 L/mnt konsentrasi 24% - 44% cocok digunakan pada pasien yang tidak mengalami hipoksia parah dan pada pasien dengan penyakit paru kronis
pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernapasan teratur, mudah memasukkan kanul dibanding kateter, klien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien.
tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, FiO2 beragam, suplai O2 berkurang bila klien bernapas lewat mulut, mudah lepas karena kedalaman kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir pada aliran yang lebih tinggi (pada aliran lebih dari 4 L/mnt dianjurkan menggunakan humidifikasi)
konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, membutuhkan humidifikasi, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol, dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma/penyakit di hidung.
tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan ansietas pada pasien dengan klaustropobia, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah, harus dilepas jika makan/minum, membutuhkan perawatan kulit teratur karena adanya kelembaban berlebih dalam area tertutup.
konsentrasi O2 lebih tinggi daripada sungkup muka sederhana, tidak mengeringkan selaput lendir, tidak membutuhkan humidifikasi meskipun konsentrasi oksigennya tinggi.
tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa terlipat, dapat terjadi aspirasi bila muntah, empisema subkutan ke dalam jaringan mata pada aliran O2 tinggi dan nekrosis jaringan bila dipasang terlalu ketat, harus dilepas ketika makan/minum, dapat menyebabkan ansietas pada pasien dengan klaustropobia, membutuhkan perawatan kulit teratur karena adanya kelembaban berlebih dalam area tertutup.
konsentrasi O2 mencapai 90% aliran 8 12 L/mnt udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi. pasien dengan kebutuhan oksigen dengan konsentrasi tinggi, dengan penyakit kritis yang terkadang membutuhkan ventilasi mekanik.
konsentrasi O2 tinggi, tidak mengeringkan selaput lendir, tidak membutuhkan humidifikasi meskipun konsentrasi oksigennya tinggi.
kantong O2 bisa terlipat, dapat terjadi aspirasi bila muntah, empisema subkutan ke dalam jaringan mata pada aliran O2 tinggi dan nekrosis jaringan bila dipasang terlalu ketat, harus dilepas ketika makan/minum, dapat menyebabkan ansietas pada pasien dengan klaustropobia, membutuhkan perawatan kulit teratur karena adanya kelembaban berlebih dalam area tertutup.
Transtracheal Catheters
konsentrasi O2 mencapai 24 40% aliran 0,5 4 L/mnt Kateter dipasang pada stoma yang dibuat melalui prosedur operasi di sela-sela cincin trachea kedua dan ketiga.
tidak menyolok mata, tidak ada bunyi gaduh, tidak ada iritasi muka/hidung.
biaya tinggi, risiko infeksi local, dapat terjadi komplikasi seperti emfisema subkutan, bronkospasme, batuk porisismal, infeksi stoma, mucus ball
Aliran 12 15 L/mnt dapat menghasilkan konsentrasi oksigen mendekati 100% jika menggunakan reservoir. Jika tidak menggunakan reservoir, konsentrasi oksigen sekitar 50%.
penumpukan air pada aspirasi bila muntah serta nekrosis karena pemasangan sungkup muka yang terlalu ketat
Venturi Mask
gas yang dialirkan dari tabung akan menuju ke sungkup kemudian dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibat udara luar dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran 2 15 L/mnt dan konsentrasi 24 60%. dapat digunakan bagi pasien dengan PPOK karena memberikan suplemen oksigen tingkat rendah, sehingga menghindari risiko dorongan hipoksik.
Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola napas terhadap FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat dikontrol, serta tidak terjadi penumpukan CO2.
Aerosol Mask
Alat ini menyediakan aliran 8 10 L/mnt dengan konsentrasi oksigen berkisar antara 30 100%. Kabut aerosol harus tersedia secara konstan untuk pasien selama keseluruhan fase inspirasi.
T-tube Adapters
Ini adalah metode untuk mengoksigenasi pasien yang diintubasi atau yang ditracheostomi selama transport. Alat ini sesuai dengan ETT dan dapat disesuaikan dengan tracheostomy collars. Aliran 4 10 L/mnt dengan konsentrasi oksigen 30 100%.
Face Tents
Sering digunakan pada pasien pos operasi yang mengalami klaustropobia dengan sungkup muka sederhana. Aliran oksigen berkisar antar 8 10 L/mnt dengan konsentrasi oksigen 30 - 100%.
(1) frekuensi, kedalaman dan irama pernapasan, (2) penggunaan otot bantu nafas, (3) sianosis, (4) dyspnea, (5) hipoksia, (6) kelebihan oksigen, dll
O2 bukan zat pembakar tetapi O2 dapat memudahkan terjadinya burning injury, oleh karena itu pasien dengan terapi pemberian O2 harus menghindari : merokok, membuka alat listrik dalam area sumber O2, menghindari penggunaan listrik tanpa ground. Umumnya terapi oksigen hanya untuk meningkatkan PaO2 kembali ke nilai dasar (antara 60 s/d 95 mmHg) dengan kurva disosiasi oksihemoglobin 80% s/d 98% (0,80 s/d 0,98). Nilai FiO2 yang lebih tinggi tidak lagi signifikan menambah jumlah oksigen pada plasma, sehingga bukannya membantu tetapi justru dapat menimbulkan depresi ventilasi. Konsentrasi oksigen tinggi akan menurunkan dorongan bernafas yang sudah terbentuk oleh tekanan oksigen rendah yang kronis pada pasien (penurunan ventilasi alveolar) sehingga dapat meningkatkan tekanan CO2 yang progresif yang mengarah pada kematian akibat narkosis CO2 dan asidosis. Tanda dan gejala toksisitas oksigen berupa distress substernal, parestesia, dyspnea, gelisah, keletihan, malaise, kesulitan bernafas progresif.
Depresi Ventilasi
Toksisitas oksigen
American Association for Respiratory Care, 2002, AARC Clinical Practice Guideline Oxygen Therapy for Adults in the Acute Care Facility 2002 Revision & Update, Respiratory Care, vol. 47, no. 6, pp. 717-720, viewed 20 September 2011, <www.guideline.gov>. Bateman, N.T., Leach, R.M., 1998, ABC of Oxygen: Acute Oxygen Therapy: Clinical Review, BMJ, vol.317, pp 798801, viewed 24 September 2011, www.bmj.com Ganong, William, 2003, Fisiologi Kedokteran, Edisi 20, EGC, Jakarta. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, EGC, Jakarta. Harahap, I.A., 2005, Oksigenasi dalam Suatu Asuhan Keperawatan, Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, vol. 1, pp. 29-35, viewed 19 September 2011, <repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../ruf-mei2005%20(5).pdf>. Hidayat, A.A.A. dan Uliyah M., 2004, Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. EGC, Jakarta. Nasir, A.U.Z., 2009, Terapi Oksigen, dalam Sudoyo,A.W., Setiyohadi,B., Alwi, I., Simadibrata, K., Setiati,S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi V, Internal Publishing, Jakarta, pp. 161-165. Smeltzer,S.C., dan Bare, B.G., 2002, Pertukaran Oksigen-Karbondioksida dan Fungsi Pernapasan, dalam Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8, Vol.1, EGC, Jakarta, pp. 505-686. Timby, B.K., 2008, Fundamental Nursing Skills and Concepts, Ninth Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, viewed 20 September 2011, <http://books.google.co.id>