Anda di halaman 1dari 41

Oleh : Alisya Fajrin (07013185) Anisa Kartika Wulan(11013078) Sutrianingrum (11013097) Annisa Adya (11013122) Sri Handayani(11013140) Amalia

Amalia SJ Kahar (11013142) Elnita (11013147) Arsepta Kurnia Sandra (11013148)

Fenomenologi Husserl pada prinsipnya bercorak idealistik yaitu membahas kenyataan sejati yang bersifat spiritual mereka menyatakan bahwa Tuhan adalah bebas dan tidak terhingga sedangkan manusia tidak bebas dan berhingga kedudukan maupun tindakan manusia sudah diatur atau di tentukan oleh kekuasaan Tuhan manusia tidak memiliki kebebasan baik secara individual maupun secara kolektif karena kebebasan manusia pada dasarnya kebebasan Tuhan

Seruan Husserl yaitu kembali kapada sumber yang semula terdapat pada objek, kemudian di arahkan ke subjek, pada akhirnya sama dengan kembali pada subjek atau kesadaran. Melalui proses reduksi transedental yaitu Lebih menekankan pada esensi subjek (kesadaran) dan aktivitasnya, Husserl terus bergelut dengan masalah esensi dan aktivitas kesadaranPemahaman tentang esensi kesadaran dan aktivitasnya memang bisa dijadikan sebagai alternatif solusi untuk menghadapi krisis ilmu pengetahuan,misalnya dengan cara menjadikan pemahaman tentang esensi dan aktivitas kesadaran (manusia) sebagai landasan untuk dibangunnya teori-teori ilmiah tentang manusia.

Pemahaman tentang esensi kesadaran dan aktivitasnya memang bisa dijadikan sebagai alternatif solusi untuk menghadapi krisis ilmu pengetahuan,misalnya dengan cara menjadikan pemahaman tentang esensi dan aktivitas kesadaran (manusia) sebagai landasan untuk dibangunnya teori-teori ilmiah tentang manusia. Namun ketika kita asyik membahas tentang masalah kesadaran, melupakan eksistensi yang konkret yang di peroleh adalah gambaran yang ideal dan abstrak tentang manusia. Eksistensi manusia sendiri yang unik dan aktual, luput dari perhatian.Konsep Husserl tentang aku Transendental membuktikan hal itu.

Aku Transendental oleh Husserl dipahami sebagai subjek absolut, yang segenap akivitas atau kegiatannya adalah mengkonstitusikan (menciptakan) dunia. Namun Husserl lupa bahwa di dalam kehidupan yang sesungguhnya subjek atau kesadaran (manusia) itu sendiri, selain mengkonstitusikan dunia juga di konstitusikan oleh dunianya Heidegger menyadari kenyataan itu, tidak mau mengikuti anjuran husserl untuk kembali kepada subjek ,Kembali kepada subjek dan melupakan objek.

Dalam salah satu karyanya berjudul Sein und Zeit yang artinya Ada dan Waktu. Heidegger menyatakan bahwa manusia modern telah mengalami gejala yang disebut lupa akan makna Ada. . Lupa akan makna Ada bersifat universal dalam berbagai tingkatan aktivitas manusia . Pada tingkat teoritis, lupa akan makna ada ditandai dengan para filsuf dan ilmuan tidak mempertimbangkan nilai dan eksistensi manusia dalam asumsi-asumsi teori imiah mereka..

Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari ditandai dengan manusia tidak menjadi dirinya sendiri (ketidakontentikan) dalam menjalankan tugas dirinya sendiri (eksistensi). Berdasarkan kenyataan tersebut Heidegger mengembangkan metode yang disebut fenomenologi Fenomenologi sendiri awalnya dirumuskan dan dikembangkan oleh Edmund Husserl. Husserl mengungkapkan bahwa metode yang benar-benar ilmiah yaitu metode yang sanggup membuat fenomena menampakan diri sesuai fenomena yang terjadi tanpa manipulasi.

Fenomenologi Heidegger bertujuan untuk mengajukan pertanyaan tentang Ada dan mencari jawaban atas makna Ada. Filsafat heidegger juga disebut ontology fundamental yaitu, Ilmu Dasar tentang Makna Ada. Unit analisis dari filsafat Heidegger tentang eksistensi manusia, oleh sebab itu fenomenologi Heidegger sering disebut juga Analisis Eksistensial. Fokus utama dan titik tolak penyelidikan Heidegger pada eksistensi manusia dan pada mengadanya manusia (Dasein).

Heidegger mengartikan eksistensi sebagai kemungkinan manusia untuk menjadi atau tidak menjadi dirinya sendiri. Pengertian tersebut mengacu pada manusia untuk memilih hidup secara otentik menjadi dirinya sendiri atau tidakotentik tidak menjadi dirinya sendiri.

Makna ada dan waktu (sein dan zeit) merupakan hal yang menjadi pertanyaan bagi Heidegger dan Heidegger mencari jawaban atas pertanyaanya tersebut mengenai Ada dan Waktu . Untuk menjawab pertanyaan makna Ada dan Waktu heidegger merancang suatu pendekatan yang disebut dengan dekstrusi fenomnologi. Heidegger beranggapan bahwa selama ini pendekatan-pendekatan yang terdapat di filsat berkaitan dengan asumsi-asumsi metafisis yang menggambarkan asal-usul ada (sein) dari ada (sein).

Oleh sebab itu diperlukan destruksi fenomologis yang betujuan untuk menghilangkan metafisika tradisional itu. Oleh Heidegger diartikan sebagai kembali kepada gejala pertama dan sebenarnya yakni gejala Ada. Suatu fenomena disebut pertama sejauh mana mendahului setiap asumsi atau prasangka pengamat, dan disebut sebenarnya sejauh fenomena itu tetap tinggal sebagai makna, meskipun kehadiran gejala itu kerap tersembunyi.

Untuk dapat mengungkap fenomena ada tersebut di perlukan LOGOS untuk menanganinya . yang dimaksud dengan logos yaitu suatu metode khusus yang di sebut interprestasi (auslegung). Metode ini dipakai untuk menggali dan mengangkat kepermukaan setiap makna dari gejala Ada. Dalam arti ini Heidegger menanamakan metode tersebut sebagai fenomenology yakni interpretasi atas makna tersembunyi dari setiap gejala Ada.

Makna gejala Ada yang akan di ungkap oleh Heidegger adalah mengadanya manusia (ada yang mengada disitu = Dasein), untuk mengugkap makna tersebut diperlukan teknik khusus yang disebut hermeneutika. Istilah yang sebenarnya berarti interprestai atas naskahnaskah klasik itu kemudian diartikan Heidegger sebagai interpretasi atas fakta-fakta eksistensial manusia (dasein) dalam kehidupan yang pertama dan sebenarnya . Dengan demikian fenomenologinya bisa disebut dengan fenomenologi Hermeneutik, yakni suatu metode yang dipakai untuk mengungkap makna tersembunyi dari mengadanya manusia.

Tema-tema eksistensi manusia mengungkapkan tentang fenomenologi hermeneutik yaitu untuk mengungkap atau menginterpretasikan makna tersembunyi ada melalui mengadanya manusia (Dasein) maka dari itu, baik ada maupun dasein sudah mempunyai makna, bahkan sebelum seorang interpreter atau fenomolog menginterpretasikannya. Hal itu perlu diingat untuk menghindarkan salah pengertian bahwa makna seakan-akan berasal dari interpretasi

Eksistensi sebagai Milik Pribadi dan Berada dalam Waktu. Ada dalam Dunia. Orang (Das Man atau Manusia Impersonal) Kecemasan dan Ketiadaan

Setiap dasein mempunyai status personal atau individualnya karena ada-nya hal ini ditunjukkan dari penyelidikan Heidegger atas dasein, bahwa ada ternyata memiliki ciri personalnya dalam dasein. Disamping itu, waktu juga memiliki peran dalam menjadikan dasein sebagai individualitas. Waktu merupakan dimensi eksistensi yang memungkinkan dasein menuju ke eksistensinya sendiri. Tetapi, konsekuensinya individualitas dasein adalah fakta, karena apapun yang ada pada dasein dan apapun yang dialami dasein adalah milik pribadi dasein.

Dalam konteks yang lebih luas, fakta milik sendiri itu pada asasnya sering merupakan beban yang teramat berat dan beban itu harus di pikul sendirian. Milik sendiri identik dengan kesendirian total manusia, kesendirian yang sangat mencekam. Kecemasan, semua tema yang kelak akan di ungkap maknanya di dalam analisis eksistensial, sedikit banyak di pengaruhi oleh kesadaran manusia akan fakta kesendirian dirinya. Kesendirian adalah fakta yang tidak dapat dihindari oleh siapapun, karna fakta itu berasal dari karakter personal ada, dari status manusia menuju adanya sendiri (zu-sein).

Heidegger memperlihatkan fakta, bahwa dasein pada dasarnya adalah ada dalam dunia (inder-welt-sein) ada dalam dunia adalah struktur dasar mengadanya manusia, sedemikian rupa sehingga mengadanya manusia tidak bisa lepas dari (dan tidak dapat terealisasi tanpa) dunianya. Heidegger mengistilahkan ada dalam dunia namun kita perlu memahami terlebih dahulu, dua kata kunci dalam dan dunia. kata dalam pada istilah ada dalam dunia. Ada dalam dunia mempunyai makna yang sangat ekstensial yakni keterlibatan (concerned with), keterikatan (preoccupation), komitmen dan keakraban (familiarity).

Demikian pula halnya dengan kata dunia. yang di maksud kata dunia dalam analisis eksistensial Heidegger adalah dunia manusia yakni dunia pengalaman hidup keseharian (the world of daily experience) yang di dalamnya manusia merasa terlibat, terikat, berkomitmen dan akrab. Dunia dalam arti ini berpusatkan pada manusia (dasein) dan bersesuaian dengan keadaan subjektif manusia, sedemikian rupa sehingga setiap kontak manusia dengan sesuatu di luar dirinya (realitas luar), selalu ditandai oleh subjektifitasnya.

Kenyataan itu, tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-sehari, bendabenda tidak dialami atau dihayati oleh manusia sebagai objek-objek fisik yang ada (vorhanden atau before our hands), tampa campur tangan manusia. Sebaliknya dialami atau dihayati oleh manusia dalam kaitanya dengan cetak-biru pikiran, kemauan, atau perasaan manusia, yang bersifat subjektif dan individual.

Status eksistensi manusia di dalam Ada dalam dunia, menimbulkan pertanyaan siapakah Dasein yang ada dalam dunia itu?. Heidegger menjawab dengan tegas bahwa yang ada dalam dunia pertama-tama adalah Orang (das Man). Heidegger mengatakan tentang keterjatuhan manusia, bahwa manusia pada awalnya berada dalam kondisi lari dari dirinya sendiri dan masuk dalam eksistensi yang anonym atau tidak otentik

Alasan manusia memilih menjadi tidak otentik. Hidup tidak otentik artinya memutuskan orang lain untuk mengisi eksistensi mereka. Dengan begitu manusia terbebaskan dari perasaan cemas dan beban yang berada di pundak. manusia memilih untuk hidup secara tidak otentik apabila manusia melakukan dan memikirkan hal yang sama dengan oranglain bila perbuatan dan pemikiran tersebut gagal tidak dialami diri sendiri melainkan dialami oleh orang banyak yang mengisi eksistensinya.

Heidegger mengatakan, kita merasa senang dan gembira sebagaimana mereka (das man) bergembira. kita membaca, mengamati, dan menilai karya-karya sastra dan seni sebagaimana orang lain mengamati dan menilai karya tersebut. Meskipun demikian kondisi prilaku manusia tersebut bukan merupakan kondisi patologis (abnormalitas) yang memerlukan terapi-terapi psikologis. Kondisi tersebut juga bukan merupakan dosa yang mewajibkan manusia untuk bertobat kepada Tuhan. Kondisi tersebut merupakan kondisi eksistensial yang dialami oleh setiap manusia. Karna eksistensi manusia pada awalnya memang adalah orang menjadi impersonal (anonim) dan tidak otentik.

Menurut Heidegger manusia juga disebut Datarsein. Menurutnya, manusia adalah ada (sein) yang terdampar disitu(da) ini adalah situasi fundamental manusia yang tidak dipilih manusia, melainkan terlempar begitu saja seperti buah dadu diatas meja judi. Dalam situasi ini manusia tidak memiliki alternatif. Manusia tidak pernah memilih, misalnya untuk menjadi seorang perempuan lahir dari dalam rahim seorang ibu yang suka kawin cerai dan ayah yang tidak bertanggung jawab, dibesarkan dalam masyarakat yang berpandangan munafik serta berkebudayaan dangkal.

ini merupakan faktisitas manusia, yang dibebankan pada dirinya da menjadi milik pribadinya, tanpa diberi pilihan untuk menolak atau menerimanya. aktisitas berawal dari keterlemparan (Geworfenheit) manusia dari masa lampau yang tidak dimengerti dari masa akan datang yang juga tidak bisa dipahami arah tujuannya. Manusia juga mempunyai tugas untuk menuju ada-nya sendiri. Dalam kondisi seperti itu, hubungan antar manusia dan dunianya ditandai oleh peran suasana hati. Suasana hati manusia memberi andil besar dalam memberi karakter tertentu pada benda, pada manusia lain, dan bahkan pada kemungkinan eksistensinya sendiri.

Rasionalitas dan objektifitas sering kali luluh oleh suasana hati. Program jangjka panjang yang telah disusun secara rasional sering kali harus mundur secara mendadak atau bahkan berantakan, ketika suasana hati yang arah dan tujuannya tidak pasti tiba-tiba muncul didalam diri manusia. Kecemasan yang diproyeksikan kedalam kegembiraan dan penyerahan milik pribadi pada orang lain, tidak lepas dari peran suasana hati. Suasana hati lebih suka melupakan makna adanya dan larut kedalam suasana orang lain, dari pada menanggung kecemasan yang mencekam dan mengalami diri sendiri yang keberadaannya sudah terlempar dan rentan.

Kecemasan (Angst atau anxiety) adalah kondisi mencekam di mana manusia berhadapan dengan ketiadaan (Nicht atau No-thing, Non-being). Objek dari ketakutan jelas dan nyata sedangkan objek dari kecemasan tidak ada Mekipun objek kecemasan tidak ada namun ketiadaan merupakan ancaman yang nyata dan hebat karna ketiadaan bukan hanya mengancam sebagian kecil eksistensi manusia melainkan dapat menghancurkan dan mengancam status dan posisi manusia dalam dunia.

eksistensi manusia yang telah dibangun dan dibina dengan susah payah kemudian akan menjadi goyah, tidak pasti karna terancam menjadi tidak ada. Apabila seseorang tampak pandai bicara, selalu ingin mengetahui hal yang baru, dan pandai menyembunyikan perasaan sebenarnya apa yang Nampak itu hanyalah omong kosong. Pandai bicara hanyalah digunakan untuk membicarakan orang lain dengan teman dekat, rasa ingin tahu hanya mencari fenomena yang baru yang sedang populer dikalangan masyarakat, bukan hendak bersungguh-sungguh mendalami atau memahami fenomena yang sedang populer.

menyembunyikan perasaan hanya memproyeksikan kecemasan seseorang dari ancaman ketiadaan, orang tersebut tidak menginginkan kehidupan yang telah dijalani selama ini kemudian hilang dan tidak bermakna karna ancaman ketiadaan maka lebih baik beromong kosong, berpura-pura ingin tahu, dan berpura-pura menyembunyikan perasaan.

Dalam bukunya yang berjudul Was ist metaphysik, Heidegger menjelaskan bahwa ketiadaan adalah ancaman langsung bagi ada dan dengan demikian bagi mengadanya manusia (dasein) juga. Manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari ketiadaan karna ketiadaan selalu hadir di tengah-tengah ada dan manusia. pada dasarnya manusia hanya menunda ketiadaan, menunda kemungkinan untuk menjadi tidak ada. Puncak dari ketiadaan itu adalah kematian

Heidegger menginterpretasikan kematian sebagai kemungkinan eksistensi untuk menjadi otentik. Karena, kematian mampu menjadikan manusia sebagai dirinya sendiri, menjadi adanya sendiri yang personal. Namun, tidak berarti bahwa diri dan eksistensi akan tercapai atau secara otomatis bisa diraih, begitu kematian menjemput eksistensi. Heidegger ingin mengatakan bahwa kemungkinan untuk menjadi diri yang solit dan personal akan tercapai, jika manusia dapat menerima kematian sebagai fakta yang tidak terpisahkan dari eksistensinya.

Karena jika manusia menerima peristiwa kematian berarti manusia juga menerima kenyataan bahwa dirinya tidak lain adalah ada menuju kematian , dan menerima kenyataan bahwa ada adalah ada menuju kematian, berarti telah membuka pintu untuk menuju eksistensi yang otentik atau dirin yang solid. Denganmenerima kematian, yang identik dengan ketiadaan dan kesendirian total yang mencekam, manusia terpanggil untuk melepaskan diri dari kontrol orang lain, yang membuat eksistensi mejadi tidak otentik . dengan demikian, eksistensinya akan diisi oleh dirinya sendiri.

Dengan mengisi eksistensinya sendiri, artinya bahwa manusia bersedia mendengarkan panggilan hati nuraninya, yaitu suatu panggilan, yang tidak berasal dari kontrol dari luar, melainkan panggilan dari dalam diri sendiri. Panggilan hati nurani adalah panggilan sejati suara keprihatinan manusia. Pada tahap inilah manusia menjalani eksistrensinya yang otentik.

Martin Heidegger menyebutkan bahwa akar dari suasana hati yang telah dibahas sebelumnya pada asasnya adalah keprihatinan (Sorge). Keprihatinan letaknya jauh dibawah sadar dan merupakan struktur Dasein. Setiap parhubungan manusia dan duniannya dilandasi oleh keprihatinan, begitu juga dengan eksistensinya sendiri. suasana hati merupakan akibat dari keprihatinan ini.

Manusia prihatin dengan faktisitasnya dan atas kemungkinan eksistensinya yang tidak pasti itu. Dan ketika manusia berada dalam keprihatinan tersebut, maka manusia lebih mengandalkan suasana hatinya daripada hati nuraninya atau sikap rasional dan objektif.

Heidegger juga menyebutkan bahwa keprihatinan memilki hubungan dengan waktu atau temporalitas. Mengadanya manusia selalu melinbatkan tiga keterarahan dalam waktu, yaitu pada. 1. Kemungkinan-kemungkinan eksistensinya di masa depan, 2. Sudah terlempar dan terikat pada keterlemparanya di masa lalu, 3. Jatuh dalam kuasa (kontrol) orang lain dan hidup dalam rutinitas keseharian yang dangkal.
Diantara tiga keterarahan waktu, yang paling banyak adalah keterarahan di masa depan, karena pada masa depan merupakan penggerak eksistensi manusia, sehingga muncullah makna eksistensi tersebut.

Temporalitas mengadanya manusia adalah dasar bagi historisitas manusia. Manusia menurut Heidegger adalah Ada historisis, Ada berlangsung dalam sejarah. Waktu historis Ada merupakan suatu peristiwa aktual yang telah, sedang maupun akan terus berlangsung secara berkelanjutan, bukanlah waktu fisik maupun objektif. Dalam historisitas mengadanya manusia telah ditentukan oleh perjalanan waktu. Karena waktu Ada merupakan suatu peristiwa aktual, maka waktu historis hanya berhubungan dengan mangadanya manusia dan diberi bentuk dan warna oleh manusia.

Menurut Heidegger mengungkapkan historisitas sangat penting agar bisa menangkap makna eksistensi. Historisitas mengadanya manusia menurut analisa Heidegger menunjukkan adanya takdir individu, yaitu setiap individu adalah ahli waris dari masa lalunya. Manusia teriakat dengan masa lalu, pada keterlemparan atau kejatuhan yang tidak terelakan, tidak memilih sendiri dan dengan alas an apapun tidak dapat menyanakal masa lalu tersebut. Tetapi hal tersebut tidak menjadikan manusia sebagai Ada yang dirantai oleh masa lalu.

Dengan keterikatan tersebuat, terdapat ruang bagi manusia untuk membangun masa kini dan merancang bagan untuk orientasi ke masa depan. Ketika manusia bebas untuk membangun serta merancang orientasi ke masa depannya sendiri dengan menerima masa lalunya berarti manusia telah menunjukkan eksistensi dirinya.

Anda mungkin juga menyukai