Anda di halaman 1dari 202

53

BAB II TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN : WAJIB ATAU SUKARELA ? Tanggung jawab Sosial Perusahaan tersebut apakah wajib atau sukarela telah menjadi perdebatan sejak konsep ini lahir. BAB berikut ini akan menguraikan perdebatan tersebut. Bagian terakhir dari bab ini akan menerangkan bagaimana pandangan masyarakat dan perusahaan di Indonesia mengenai CSR tersebut, wajib atau sukarela. A. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Adalah Sukarela Tanggung jawab sosial perusahaan adalah bersifat sukarela, setidak-tidaknya karena empat alasan : tujuan perusahaan mencari keuntungan, CSR merupakan kewajiban moral, pelaksanaan CSR

bertentangan dengan hak kepemilikan privat dan prinsip efisiensi dalam bisnis.

tidak sesuai dengan

1. Tujuan Perusahaan Adalah Mencari Keuntungan Korporasi didirikan oleh para pemegang saham untuk mencari keuntungan. 127 Memberikan kewajiban kepada melaksanakan CSR dianggap bertentangan korporasi, yaitu mencari keuntungan. korporasi untuk

dengan tujuan utama Walaupun pada awal

kelahirannya, aktifitas korporasi adalah untuk melayani kepentingan

Ian B. Lee, Corporate Law, Profit Maximization, And The "Responsible" Shareholder, Stanford Journal of Law, Business and Finance, 10 (Spring, 2005) : 35

127

54

negara dan agama, 128 tetapi pada perkembangannya

korporasi

modern didirikan oleh para pemegang saham sebagai institusi untuk menjalankan aktifitas bisnis. Sementara, bisnis identik dengan

kegiatan yang bertujuan mencari keuntungan. Bisnis adalah to provide product or services for a profit. 129 Secara korporasi kapitalisme konseptual, mencari keuntungan lahirnya Pada sebagai sistem saat tujuan ekonomi

muncul dalam

bersamaan masa

dengan

industrialisasi.

mengerjakan

proyek-proyek komersial pada awal industrialisasi di Inggris, 130 dan di Amerika, 131 korporasi bermetamorfosis menjadi lembaga privat yang

128 Beberapa catatan mengatakan bahwa awal kelahiran korporasi terkait erat dengan kepentingan kekuasaaan dan agama. Bruce Brown, 2003, History of Corporation; God, Demon, Servant, Master, Parasite, Provider What is the corporation? .,Diunduh dari http://www.astonisher.com/archives/ corporation_intro.html, hal. 2-3, Abdullah Alwi Haji Hassan menceritakan di Jazirah Arab, pada abad ke 5 - 6 Masehi, pada masa pra Islam maupun pada jaman kenabian Muhammad SAW, telah ada korporasi dalam bentuknya yang sederhana, yang disebut Al Shirkah. Tujuan dari Al Sharikah selain untuk perdagangan juga untuk meyebarluaskan agama Islam ke benua Asia dan kawasan Mediterania.. Abdullah Alwi Haji Hassan, Sales and Contracts in Early Islamic Commercial Law (New Delhi: Kitab Bhavan, 1997), hal. 86., Frank Ren Lpez menjelaskan : the first corporations were created to serve the public. Corporations were created as an extension of either the church or the state. "Ecclesiastical" corporations, for example, were created as a device for the church to hold property. Most early corporations, however, were created to serve the sovereignty of kings and queens. Frank Ren Lpez, Corporate Social Responsibility In A Global Economy After September 11: Profits, Freedom, And Human Rights, Mercer Law Review 55 (Winter 2004) : 743 129 K. Bertens, op. cit., hal. 147 130 Revolusi ini dimulai di Inggris dengan perkenalan mesin uap dan ditenagai oleh mesin . Revolusi Industri adalah perubahan teknologi, sosioekonomi, dan budaya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang terjadi dengan penggantian ekonomi yang berdasarkan pekerja menjadi yang didominasi oleh industri dan diproduksi mesin. Di unduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi Industri/ 131 Pada akhir masa kolonialisme Inggris di koloni Amerika dan masuk era revolusi Amerika 1776, British East India Company menggarap berbagai proyek perkebunan seperti perkebunan teh , kapas, proyek pertambangan dan perkeretaapian, Lee Drutman, The History of The Corporation, Citizen Work Corporate Power Discussion Group (Tanpa tahun),diunduh dari http://www.citizenworks.org/corp/dg/s2r1.pdf, hal. 1

55

mencari keuntungan semata. Segala gerak-geriknya hanya untuk mengumpulkan kekayaan. 132 Terkait dengan tujuan perusahaan, pendapat Adolf Berle pada tahun 1930an di Amerika Serikat, mengatakan bahwa, tujuan utama korporasi adalah mencari keuntungan untuk kepentingan pemegang saham bukan untuk pihak lainnya. Adolf Berle menekankan

perlindungan hak pemegang saham dari kecurangan para direksi (machinations). 133 Pandangan Berle ini kemudian melahirkan doktrin shareholder primacy dan fiduciary duty. 134 Berle membangun

shareholder primacy theory berdasarkan teori hukum hak kepemilikan pribadi (private property right) yang diinspirasi pemikiran John Locke. Inti ajaran Locke bahwa hak kepemilikan pribadi harus dipertahankan secara ekslusif dan tidak siapapun berhak mengambilnya tanpa hak. 135 Shareholder primacy doktrin ini mendapatkan dukungan dari para ahli hukum, yang mengatakan bahwa hak pemegang saham

132 A corporation with thousands of employees and millions of customers, a corporation that was receiving public subsidies and encroaching on communities, a more extensive reporting system that measured the impact of the corporation on peoples lives might have made sense. This never developed, however, and the profit-generating mentality remained the dominant driving force behind corporations, Ibid., hal. 2 133 Marjorie Kelly Citizen, The Divine Right of Capital, Works Corporate Power Discussion Groups, hal. 1 di unduh dari http://www.citizenworks.org/corp/dg/s2r1.pdf 134 Wells menjelaskan yang dimaksud doktrin Shareholder primacy bahwa direksi bekerja untuk kepentingan pemegang saham dan doktrin fiduciary duty yaitu ajaran tentang tanggung jawab direksi sebagai pengemban amanah dari pemegang saham. C.A. Harwell Wells, The Cycles Of Corporate Social Responsibility: An Historical Retrospective For The Twenty-First Century, University of Kansas Law Review 51 (November, 2002) : 95 135 Benedict Sheehy, Scrooge -The Reluctant Stakeholders: Theoretical Problems In The Shareholder-Stakeholders Debate, University of Miami Business Law Review 14 (Fall/Winter, 2005): 209-210

56

harus mendapatkan perlindungan hukum secara mutlak, sebagai konsekuensi atas empat alasan,yaitu : (1) hold the residual claims; (2) have the greatest risk; (3) have the greatest incentive to maximize firm value; and (4) have the least protection. 136 Selanjutnya, Julian Velasco dan J.A.C. Hetherington

menjelaskan secara lebih rinci dari perspektif hukum, tentang hak-hak fundamental dari pemegang saham, yaitu 137: 1. Economic Rights Shareholders invest in corporations primarily for economic gain. There are two main ways in which shareholders can profit from a corporation: by receiving distributions of the company's profits and by selling all or part of their interest in the corporation 2. Control Rights Shareholders have the right to vote on important matters relating to the business, which gives them some control over the corporation. Chief among their voting rights is the right to elect directors, who in turn manage the business. In theory, this should give shareholders ultimate control over the business. 3. Information Rights Shareholders also have the right to at least some information about the corporation's affairs. For example, shareholders generally do have the right to inspect the corporation's books and records 4. Litigation Rights
Ibid., hal. 215 Julian Velasco, The Fundamental Rights Of The Shareholder, U.C. Davis Law Review 40 (December, 2006) : 413-421. Hetherington mengatakan bahwa Shareholder primacy theory juga didukung oleh teori ekonomi mengenai hak kontrol, dari pemilik modal terhadap direksi sebagai pengelola perusahaan. Sebagai pemilik modal shareholder dapat merumuskan hak kontrol tersebut . J. A. C. Hetherington, Fact And Legal Theory: Shareholders, Managers, and Corporate Social Responsibility, Stanford Law Review 21 (January, 1969) : 251
137 136

57

Shareholders also have the ability to seek judicial enforcement of their other rights under certain circumstances. Most significantly, they have the right to seek enforcement of, and redress for breach of, management's fiduciary duties to "the corporation and its shareholders" by means of derivative litigation Tujuan perusahaan mencari keuntungan juga telah mendapat penguatan secara legal pada kasus Dodge v Ford Motor Company

ditahun 1919. Pada kasus ini Ford dikalahkan karena menjual mobil dengan harga murah demi memenuhi kepentingan dan kemanfaatan masyarakat umum (sosial). 138 Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Milton Friedman, bahwa satu satunya tanggung jawab sosial korporasi adalah

meningkatkan keuntungan untuk pemegang saham sebagai tugas perintah moral. 139 Selanjutnya Friedman mengatakan : In a free-

enterprise, private-property system, a corporate executive is an employee of the owners of the business. He has direct responsibility to his employers.140 Dalam menerapkan CSR, persoalan moralitas bisnis justru harus diredefinisikan direksi
138

dengan lebih jelas. Jika para pengelola atau

perusahaan melakukan CSR, dengan memberi sumbangan

Dalam kasus ini Henry Ford digugat oleh rekanannya Dodge atas tindakan menjual harga mobil dengan murah. Alasan Ford adalah ; general purpose of corporation is plan benefit mankind by lowering prices and making cars available to the masses. Tetapi pada akhir persidangan, putusan hakim di Michigan Supreme Court dalam kasus ini menyatakan : A business corporation is organized and carried on primarily for the profit of the stockholders. The powers of the directors are to be employed for that end. Lihat kembali Ian B. Lee, Corporate Law ... , op cit, hal. 34 139 Milton Friedman, The Social Responsibility of Business is to , loc. Cit. 140 Ibid.

58

pada masyarakat atas nama perusahaan,

sesungguhnya dia telah

melakukan tindakan pribadi. Sebab direksi adalah agent dari para pemegang saham (fiduciary duty doctrine). 141 Seperti yang dikatakan Friedman: in his capacity as a corporate executive, the manager is the agent of the individuals who own the corporation or establish the eleemosynary institution, and his primary responsibility is to them. 142 Seperti juga yang dikatakan oleh Joel Bakan sebagai berikut: The "best interests of the corporation" principle, now a fixture in the corporate laws of most countries, ... [compels] corporate decision makers always to act in the best interests of the corporation, and hence its owners. The law forbids any other motivation for their actions, whether to assist workers, improve the environment, or help consumers save money ... As corporate officials, however, stewards of other people's money, they have no legal authority to pursue such goals as ends in themselves--only as means to serve the corporation's own interests, which generally means to maximize the wealth of its shareholders our legal model in corporate law has historically been premised on what is called the shareholder primacy norm. This is the idea that the directors owe their fiduciary duty to the shareholders of the corporation. The shareholders' interests are prime and directors must make their decisions with the aim of benefiting shareholders. 143 Philip R. P. Coelho dan James E. McClure memberikan dukungan pada pendapat Friedman. Mereka menyampaikan dengan
Philip R. P. Coelho dan James E. McClure , The Social Responsibility of Corporate Management: A Classical Critique, Ball State University Muncie, IN, tanpa tahun, hal. 6 142 Milton Friedman, The Social Responsibility of Business is to , loc. cit 143 Joel Bakan dalam Anita Anand dan Jessica Penley, Review Joel Bakans The Corporation: The Pathological Pursuit of Profit and Power, Queen's Law Journal 40 (Spring, 2005) : 943
141

59

tegas bahwa perusahaan,

penerapan CSR adalah awal kerusakan dari hukum yang disebabkan oleh ketidakkonsistenan aturan.

Kerusakan itu dapat mengakibatkan 144: a. Managerial Corruption Dengan dalih melakukan CSR, manager perusahaan dapat

melakukan penyalahgunaan tanggung jawabnya kepada pemegang saham. Mereka tidak lagi bertanggung jawab secara mutlak untuk meningkatkan keuntungan . Bahkan , dapat saja CSR digunakan untuk melayani kepentingan pribadi para manager dengan

dukungan dan penilaian baik dari masyarakat. Setidaknya mereka akan mendapat kehormatan dan nama baik serta fasilitas lebih, hanya karena mereka menyalurkan dana perusahaan kepada masyarakat, yang sesungguhnya bukan kekayaan mereka pribadi. b. Managerial Chaos. CSR mengajarkan bahwa kepada manager harus mengutamakan

tanggungjawabnya

stakeholder

(konsumen,rekanan, akan memberikan

pemerintah,pekerja, dan masyarakat umum)

efek berbahaya. Setiap orang akan merasa punya hak untuk menuntut korporasi memberikan sumbangan. Manager akan

disibukkan melayani tuntutan stakeholder dan urusan perusahaan akan kacau balau.

144

Philip R. P. Coelho dan James E. McClure , The Social ...,op. cit. , hal. 12- 16

60

Menggunakan kekayaan korporasi untuk tujuan sosial pada dasarnya adalah tindakan amoral karena menghianati kepentingan dan mencuri hak pemegang saham. Direksi tidak punya hak selain berupaya dengan maksimal untuk mencarikan keuntungan dan tidak ada kewajiban bagi dia untuk melakukan tindakan amal dengan harta korporasi. 145 CSR dengan menggunakan harta kekayaan korporasi untuk kepentingan sosial dianggap benar-benar adil dan

diperkenankan secara moral apabila memberikan keuntungan bagi korporasi. 146 Menurut filsafat deontologi, tindakan itu benar secara moral karena dilandasi atas hak dan kewajiban, dan bukan karena hasil atau manfaat yang didapat seperti yang diajarkan oleh filsafat

utilitarianisme. Pencarian keuntungan oleh korporasi menjadi sebuah tindakan yang benar dan secara moral, karena pemegang kewajiban saham untuk

mempunyai

hak,

direksi

mempunyai

melakukannya sesuai amanat (fiduciary duty). 147 Jadi, tujuan utama korporsi adalah untuk memaksimalkan kepentingan pemegang saham, bukan memperhatikan kepentingan

Joel Bakan, The Corporation, Pengejaan Patologis Terhadap Harta dan Tahta, diterjemahkan oleh Sri Isnani Husnayati (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), hal. 5. Lihat Mukti Fajar, CSR: Tindakan Amoral Korporasi?, Kompas, 15 Agustus 2007 146 Joel Bakan, op. cit., hal. 31 147 K Bertens, op. cit., hal. 66-70

145

61

masyarakat umum. 148 Oleh sebab itu, konstruksi hukum yang ada sekarang, telah memberikan mandat bagi korporasi, untuk mencari keuntungan bagi pemiliknya (maximizing returns to shareholders), sebagai nilai universal yang diterima oleh seluruh hukum bangsabangsa di dunia. 149 Misalnya, dalam Uniform Partnership Act 1969, Pasal 6 ayat 1 disebutkan, as an association of two or more owners to carry on a business for profit. 150 Dalam Revised Model Business Corporation Act 1984 (RMBCA 1984) ada berbagai bentuk perusahan. Salah satunya adalah perusahaan yang mencari untung (profit corporation) , yaitu a corporation created to conduct a business for profit that can distribute profits to shareholder in the form of devidends. 151

148 Joseph Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, diterjemahkan oleh Edrijani Azwaldi (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006), loc. cit. 149 Marjorie Kelly Citizen, op. cit. 150 Uniform Partnership Act 1969 dalam Robert Charles Clark, Corporate Law, (New York:Aspen Law Publisher , 1986), hal. 5. Lihat dalam Modern Business Corporation Act 1950 pasal 2 ayat 1-3 151 Sebagai pembanding berbagai penggolongan bentuk perusahaan di Amerika lebih beragam. Ada yang profit oriented dan adapula yang non profit oriented. Revised Model Business Corporation Act 1984 (RMBCA 1984) menyebutkan: 1. Profit and Non Profit Corporation a. Profit corporation: A corporation created to conduct a business for profit that can distribute profits to shareholder and the form of devidends b. Non Profit Corporation: A corporation that is formed to operte charitable institutions, college, universities, and other non profit entities. 2. Public and Private Corporation a. Public Corporation: A corporation that is formed to meet spesific govermental or political purpose b. Private Corporation: A corporation that is formed to conduct privately owned business 3. Publicly Held and Closely Held Corporation a. Publicly Held Corporation: A corporation that has many shareholders and whose securities are often traded on national stock exchange

62

Tujuan korporasi mencari keuntungan menurut Kent Greenfield dan Peter C. Kostant sudah menjadi pandangan para ekonom klasik, 152 yang dikonsepsikan secara mendalam oleh Adam Smith dalam buku An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nation yang legendaris. Bahkan Adam Smith menekankan bahwa mencari

keuntungan merupakan cerminan watak dari para pelaku bisnis yang menjalankannya. Sifat ramah dan memberikan pelayanan dari para pebisnis selalu disertai niatan pamrih atas keuntungan yang mereka harapkan dari para pelanggan. 153 Menurut Teori Keuntungan (Profit Theory), setidaknya ada tiga elemen yang harus diperhatikan para pelaku bisnis tentang perlunya korporasi mencari keuntungan yaitu : (1) a payment for the use of capital, (2) a payment to the entrepreneur for management service

Kent Greenfield dan Peter C. KostantGeorge, An Experimental Test Of Fairness Under Agency And Profit-maximization Constraints (With Notes On Implications For Corporate Governance), Washington Law Review 41 (November, 2003) : 984 153 Adam Smith mengatakan It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest. We address ourselves, not to their humanity but to their self-love, and never talk to them of our own necessities but of their advantages Edwin Cannan, Adam Smith : An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nation, (New York: The Modern Library, 1965), hal. 14, selanjutnya Adam Smith mengatakan : People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices ,Ibid, hal. 110

679

Closely Held Corporation: A corporation owned by one or few shareholders Professional corporation : A corporation formed by lawyers, doctors, or other professionals 5. Domestic , Foreign, and Alien Corporation a. Domestic Corporation: a corporation in the state in which it was formed b. Foreign Corporation: a corporation in any state or jurisdiction other than the one in which it was formed c. Alien Corporation : a corporation that is incorporated in another country Henry R Cheeseman, Business Law, (New Jersey : Prentice Hall, 2004), hal. 676152

b. 4.

63

rendered, and (3) a payment that compensated for the risks of business activity. 154 Menurut Frank Knight, pencarian keuntungan oleh korporasi merupakan konsekuensi logis dari bisnis yang selalu berhadapan dengan kondisi ketidakpastian (uncertainty business environment)

dan ancaman keniscayaan kerugian. 155 Konsep ini merupakan salah satu penjelasan bahwa mencari keuntungan adalah hak normarif yang muncul karena adanya kewajiban menanggung (kemungkinan)

kerugian (risk) dari ketidakpastian (Uncertainty ) bisnis itu sendiri. Profit is the reward for risk taking, profit is is due to the assumption of risk.
156

Frank Knight menambahkan, bahwa

mencari keuntungan

sangat terkait dengan dinamika pasar sebagai berikut : Profits exist because there are uncertainties in the market that are not insurable. These arise from dynamic changes in the market. However, if we drop the assumption of perfect competition, profits may arise for a number the most important of reasons. 157

Landreth and Colander, Profit Theory in Neoclassical Economics, (tanpa tahun), hal. 3 diunduh dari http://economistsview.typepad.com/ economistsview/ 2007/06/profit_theory_i.html 155 There problem of profit in distributive theory: The primary attribute of competition, universally recognized and evident at a glance, is the "tendency" to eliminate profit or loss, Frank Knight, Risk, Uncertainty, and Profit Hart, ( New York: Houghton Mifflin Company, 1964), hal 11 156 Ibid., hal. 16 157 Frank Knight dalam Landreth and Colander, Profit Theory in , loc.cit

154

64

Bramantyo

menegaskan

bahwa

resiko

sama

dengan

ketidakpastian itu sendiri. Dia memberikan penjelasan hubungan antara resiko dan ketidakpastian dalam bisnis sebagai berikut (1) Ketidakpastian (unexpected), (2) Ketidakpastian diartikan dengan keadaan dimana ada beberapa kemungkinan, dan setiap kejadian akan menyebabkan hasil yang berbeda. Sedangkan resiko muncul karena ketidakpastian informasi yang didapat. Tetapi, inti dari semua uraian tersebut menjelaskan bahwa bisnis selalu berhadapan dengan berbagai peluang. Baik untuk adalah resiko yang tidak dapat
158

diperkirakan

mendapatkan keuntungan dan kemungkinan kerugian karena resiko atas ketidakpastian yang muncul. Untuk itu, keuntungan merupakan hasil dari kemampuan mengatasi resiko bisnis. Frank H Knight menguraikan secara lebih rinci pengertian dan kegunaan business profit sebagai berikut 159: (1) payment for certain risks, especially changes in values and the chance of failure of the whole enterprise, which cannot be insured against, and

158 Bramantyo Djohanputro, Menejemen Resiko Korporat Terintegrasi : Memastikan Keamanan dan Kelanggengan Perusahaan (Jakarta : Penerbit PPM, 2006), hal. 14-17 159 Frank Knight, , Risk, Uncertainty, and Profit, op. cit. hal. 17

65

(2)

the extra productivity of the manager's labor due to the fact that he is working for himself, his "sleepless nights" when he is planning for the business.

Selain itu H v Mongoldt menjelaskan profit sebagai berikut (1)

160

a premium on those risks which are of such a nature that he cannot shift them by insurance;

(2)

entrepreneur interest and wages, including only payments for special forms of capital or productive effort which do not admit of exploitation by any other than their owner;

(3)

entrepreneur subdivisions:

rents. (a)

These

last

again wage

fall

into

four

capital

rents,(b)

rents,(c)large

enterprise rent, and (d)"entrepreneur rent in the narrower sense". Dari relativitas makna keuntungan, menempatkan berbagai bagian yang penting dan saling terkait dengan aspek-aspek

operasional korporasi. Tetapi, yang pasti, mencari keuntungan tidak bisa dimaknai hanya untuk menumpukkan keuntungan semata. Keuntungan harus dimaknai sebagai upaya mengatasi berbagai

masalah dari kelangsungan bisnis (corporate sustainability). Uraian-uraian diatas menunjukkan konsep korporasi mencari keuntungan ini semakin menguat, hingga menjadi norma hukum yang

160

Ibid.,22

66

harus ditaati. Henry Hansmann and Reinier Kraakman memberikan argumen dalam artikel "the end of history for corporate law" yaitu : it is settled that the main purpose of corporate law is to maximize "long-term shareholder value," It is claim that legal systems in other nations are converging towards this position, or will slowly but surely be drawn to it, in large part because of its inherent superiority. 161 Sesungguhnya ada berbagai model teori yang ditawarkan yaitu oleh Henry Hansmann and Reinier Kraakman mengenai tujuan

perusahaan, yaitu : (1) The Manager Oriented Model (2)The Labor Oriented Model (3) The State Oriented Model (4) Stakeholder Oriented Model dan (5) Shareholder Oriented Model. Tetapi dari berbagai

alternatif model tersebut Henry Hansmann dan Reinier Kraakman menyimpulkan bahwa Share holder oriented model akan menjadi

model standard untuk hukum perusahaan yang diacu oleh semua sistem hukum di dunia. 162 Menurut mereka, model standard ini memiliki 5 karakter utama yaitu: (1) Kontrol utama dalam perusahaan harus dilimpahkan pada pemodal; (2) Manajemen perusahaan harus dibebani dengan kewajiban untuk mengatur kepentingan pemodal; (3) Kepentingan stakeholder seperti kreditor, pekerja, konsumen, supplier dan

masyarakat umum dilindungi lewat mekanisme kontraktual dan


Ian B. Lee, Corporate Law, Profit Maximization...,op cit, hal. 33 Hansmann and Reinier Kraakman, The End Of History For Corporate Law, Business Discussion Paper Series No 280 (Boston: Harvard Law School, 2000) hal. 3-11 dinduh dari http://lsr.nellco.org/harvard/olin/papers/280
162 161

67

regulasi diluar wilayah corporate governace; (4) Pemilik modal kecil harus mendapat perlindungan dari eksploitasi pemodal besar dan ; (5) Nilai jual saham (dipasar modal) harus menjadi tolok ukur

kepentingan pemodal di perusahaan publik. 163 Dalam diskursus yang lain, pencarian keuntungan sebagai tujuan utama korporasi disebabkan karena konsekuensi atas

penggunaan modal (capital) yang di investasikan oleh para pendiri (pemegang saham). Sebab kekayaan yang dikapitalisasikan, secara normatif menuntut adanya pertambahan nilai. 164 Simonde de Simondi, seorang ekonom Swiss abad 19

mengatakan bahwa kapital

adalah sebuah nilai tetap yang berbiak

dan tidak akan binasa. 165 Jean Baptise Say, seorang ekonom besar Perancis mengatakan bahwa : Kapital pada hakekatnya tidak bersifat material, karena bukan masalah hal apa yang menciptakan kapital itu, tetapi nilai yang terkandung dalam hal itu sendiri. 166 Hernando de Soto memberikan definisi kapital yang lebih sederhana yaitu, kekuatan yang mendorong produktivitas kerja dan

menciptakan kekayaan bangsa. 167 Para pendiri atau pemegang saham memasukkan uang atau barang kedalam korporasi untuk dikapitalisasi
Ibid., hal. 9 Hernando de Soto, The Mistery of Capital: Rahasia Kejayaan Kapitalisme Barat diterjemahkan oleh Pandu Aditya (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2004), hal. 8-10 165 Ibid., hal. 52 166 Ibid., hal. 53 167 Ibid., hal. 54
164 163

68

(capitalization). Capitalization adalah the total amount of long term financing used by a business. 168 Proses kapitalisasi inilah menurut William Cook yang membuat pencarian keuntungan sebagai

konsekuensi logis dari bisnis. 169 Karena tujuan utama dari korporasi adalah mencari keuntungan maka banyak pihak yang berpendapat bahwa pelaksanaan CSR sebaiknya dengan prinsip sukarela (voluntary). Seperti Uni Eropa dalam Kebijakan Green Paper on Promoting a European Framework for Corporate Social Responsibility menyatakan, CSR adalah tanggung

jawab yang didasarkan pada prinsip sukarela (voluntary basic). 170 Begitu pula dengan International Labour Organization yang

memberikan definisi bagi CSR sebagai inisiatif dalam ranah sukarela (voluntary initiative). 171 Niamh Garvey dan Peter Newel mengutip pendapat World Bank mengatakan bahwa CSR lebih baik selalu dalam bentuk dari pada diatur oleh

kesukarelaan melalui pendekatan pasar


168 169

Ibid., hal. 223 William Cook dalam Adam Winkler, Corporate Law Or The Law Of Business?: Stakeholders And Corporate Governance At The End Of History, Law and Contemporary Problems, Case Studies in Conservative and Progressive Legal Orders 67 (2004) : 112-113 170 Menurut Green Paper on Promoting a European Framework for Corporate Social Responsibility disebutkan CSR is concept whereby companies integrated social and enviromental concerns in their business operations and their interaction with their stakeholder on a voluntary basis, Saleem Sheikh, Promoting Corporate Social Responsibilities Within The European Union, International Company and Commercial Law Review 13 (2002) : 143 171 CSR is an area of voluntary initiative ini which enterprises develop their own approaches that go beyond legally required action to consider the impact of their activities on their workers, communities of operation and stakeholders, Janelle Diller, United Nation Reseach Institute for Social Development, International Labour Office, Switzerland.. (Switzerland: 2004), Diunduh dari www.ilo.org/public/english/ revue/articles/ind99.htm

69

peraturan perundangan secara formal. 172 Pernyataan sejenis juga disampaikan oleh Elkington dan Gills yang mengajukan pendekatan liberalisme (laissez faire) pada konsep CSR ,yaitu: Corporate voluntarism and strategies of partnership, which are at the heart of mainstream CSR approaches, are regarded as win-win, whereby the social and environmental performance of the firm is increased and corporations benefit from increased efficiency, productivity and enhanced reputation . This will be termed the liberal CSR approach as it relies on a laissez-faire approach to the question of business regulation. 173 Bahkan World Trade Organization (WTO) dalam beberapa kebijakannya justru tidak mendukung adanya CSR walau tidak secara langsung. Joris Oldenzield dan Myriam Vender Stichele dalam kertas kerja SOMO Discussion memaparkan sebagai berikut 174: 1). Regulasi WTO mengatur pemerintah bukan mengatur korporasi 2). Aturan-aturan WTO seperti GATTS Rules mengatur standar batas perijinan perilaku dan kewenangan bagi pemerintah untuk mengatur korporasi. Jika ini dilanggar maka akan mendapat

tantangan dari anggota lainnya.

Menurut World Bank, CRS lebih baik dilakukan dengan market-based approaches are regarded as more effective solutions to environmental problems than formal command and control mechanisms , Niamh Garvey and Peter Newell, op. cit., hal. 2 173 Elkington, J., Cannibals with Folks: The Triple Bottom Line of the Twenty-first Century (Oxford : Capstone, 1998). Lihat Gill, S., Globalisation, market civilization and disciplinary neo-liberalism, Millennium Journal of International Relations, Vol 24 No 3 (1995) : 413. 174 Joris Oldenzield dan Myriam Vender Stichele, Trade and The Need to Apply Corporate Social Responsibility Standard, SOMO Discussion Paper 2 (2005) hal. 1 - 2

172

70

3). Prinsip non diskriminasi WTO bertentangan dengan mekanisme CSR yang harus membedakan bagi perusahaan yang menerapkan dan tidak menerapkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup. Kalaupun dilakukan maka standarisasi tersebut harus diberlakukan bagi semua korporasi, lokal maupun asing. 4). Aturan WTO tidak begitu jelas. Pertama, dengan jalan apa label kewajiban sosial dan lingkungan digunakan dalam perjanjian teknik pembatasan perdagangan, khususnya kapan ketentuan tersebut dapat membatasi perdagangan?. Kedua, sejauh mana pemerintah dapat menggunakan klausula pengecualian dari Article XX of GATT untuk membatasi perdagangan. Ketiga, dapatkah pemerintah menggunakan konfensi ILO atau lingkungan hidup dalam praktek pengadaan barang jasa ? 5). WTO membuat sulit bagi pemerintah untuk menentang

perusahaan atau negara lain yang tidak menerapkan Prinsip Tindakan Pencegahan ( precautionary principle). Ini bisa dilihat dari kasus Amerika Serikat melawan Uni Eropa yang tidak memperhatikan perijinan bagi import organisme rekayasa genetik ( genetic modified organism).

71

Anne T Lawrence dan James Weber memberikan penjelasan tentang argumentasi yang mendukung CSR berdasarkan prinsip voluntary, yaitu
175

1). Lowers Economic Efficiency and Profit Kewajiaban CSR akan menurunkan tingkat pendapatan dan efisiensi. Setidaknya ada pengeluaran tambahan untuk

melakukan CSR 2). Imposes unequal costs among competitors Dengan mengeluarkan biaya tambahan, korporasi akan berat dalam menghadapi kompetitornya. Sebab pengaturan CSR belum berlaku secara global sehingga menimbulkan perlakuan yang tidak sama (unequal). 3). Imposes hidden cost passed on to stakeholders Banyak proposal program sosial yang diajukan kepada korporasi tidak sejalan dengan aktifitas bisnisnya. Pada akhirnya ada dana yang harus dikeluarkan dengan mengurangi hak pemegang saham, menaikkan harga jual pada konsumen atau menekan upah buruh. 4). Requires Skills Business May Lack Pada umumnya pelaku bisnis tidak dididik untuk mengatasi persoalan sosial. Mereka menguasai tentang produksi, keuangan
Anne T. Lawrence, and James Weber. Business and Society: Corporate Strategy, Public Policy, Ethics. ( New York: Irwin McGraw-Hill, 2008) hal. 53-55
175

72

atau

pemasaran. Hal ini menimbulkan persoalan mengenai

efektifitas dan efisiensi pelaku bisnis dalam bekerja. 5). Places responsibility on Business Rather than Individual Beberapa gagasan mengatakan bahwa tanggung jawab sosial adalah tanggung jawab individual dan bukan tanggung jawab badan (korporasi). Apabila ada manager secara pribadi

menyalurkan uangnya pada masyarakat itu adalah betul, tapi tidak dapat dibenarkan apabila menggunakan uang korporasi. Di beberapa negara Uni Eropa banyak yang menentang CSR diatur dalam Legally Binding Standards. Argumentasinya didasarkan pada beberapa hal berikut ini 176: a). Voluntary nature of CSR Dari awal kelahiran istilah CSR, secara fundamental di definiskan untuk tindakan sukarela . Terminolgi "social responsibility" tidak bisa diartikan kedalam "legal obligations.". Sehingga , dari prespektif ini menjadi tidak logis untuk membicarakan CSR dalam bingkai peraturan (regulation). CSR mencerminkan tindakan cultural korporasi yang akan mengarahkan korporasi untuk bertanggung jawab pada persoalan sosial. Argumen ini menghadapi tantangan bahwa tidak adanya definisi tungal secara universal dari CSR itu sendiri. Secara praktis Negara negara Uni Eropa telah mewajibkan melalui Peraturan tentang Ketenagakerjaan, Lingkungan Hidup, dan kewajiban memberikan laporan tahunan atas kegiatan korporasi dalam keterlibatannya dengan lingkungan sosial. b). Reluctance to interfere with the private sector
Pall A. Davidsson, Legal Enforcement Of Corporate Social Responsibility Within The EU, Columbia Journal of European Law 8 (Summer, 2002), hal. 541-547
176

73

Salah satu alasan dari Komisi Eropa untuk mengatur penerapan CSR adalah rasa skeptis terhadap persoalan yang masuk wilayah privat. Hal ini dikhawatirkan akan menganggu prinsip kebebasan dalam dunia bisnis. Sesungguhnya sudah banyak kesepakatan diantara anggota komisi dalam mengatur akuntabilitas korporasi secara hukum seperti perlindungan lingkungan hidup dan anti monopoli. Tetapi disisi lain Hukum di Uni Eropa sangat menghargai hak hak sipil seperti kebebasan untuk melakukan perdagangan dan kompetisi, juga hak hak sosial (seperti persamaan upah untuk pekerjaan yang sama). Sehingga pengaturan secara tegas terhadap CSR akan melanggar hak-hak dan kebebasan individu. c). Equivalent to a European version of the Helms-Burton Act. 177 Dalam hubungan eksternal , Uni Eropa ingin menerapkan mekanisme dan sanksi seperti yang diatur dalam Helms-Burton Act. Bagi perusahaan-perusahaan eropa yang melakukan transaksi dengan Negara negara yang dianggap musuh seperti Negara Kuba. Persoalan extra teritorial dikedepankan dengan argumentasi politik Internasonal Uni Eropa yang anti komunis. Persoalannya dalam kontek CSR , anggota Uni Eropa belum sepakat untuk menyepadankannya dengan The HelmsBurton Act. Hal ini disebabkan karena alasan, pertama : Sistem peradilan di Uni Eropa tidak akan memberikan keputusan terhadap persoalan yang berada diluar jurisdiksi hukum , dimana negara-negara Uni Eropa mengatur. Kedua tujuan dari Helms-Burton Act dan Pengaturan CSR secara fundamental berbeda. Helms-Burton Act memberikan sanksi kepada korporasi yang bertransaksi dengan pihak yang merusak (violator), sementara CSR akan memberikan sanksi bagi Korporasi yang melakukan pengerusakan (violation). 2. CSR Adalah Kewajiban Moral dalam Etika Bisnis.
177 Helms-Burton Act Adalah Undang-undang yang diajukan oleh Senator Jesse Helms dari negara bagian North Carolina dan Dan Burton dari negara bagian Indiana yang disahkan Konggres Amerika pada 12 Maret 1996. Undang-undang ini pada prinsipnya akan memberikan sanksi bagi perusahaan perusahaan yang melakukan perdagangan dengan Negara Kuba yang menganut politik komunis. Sanksi yang diberikan dalam bentuk embargo ekonomi, Jeffrey Dunning, The Helms-Burton Act: A Step In The Wrong Direction For United States Policy Toward Cuba, Journal Of Urban And Contemporary Law, Vol 54 (1998), hal. 213

74

CSR seringkali dikaitkan dengan persoalan etika dalam bisnis. Kajian etika dalam bisnis akan memberikan fokus pada perilaku korporasi dalam beroperasi, yang diukur dengan aspek moralitas. Etika bisnis adalah pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam

ekonomi dan bisnis. Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak dari perilaku manusia. Sementara kegiatan ekonomi merupakan suatu bidang perilaku manusia yang penting. 178 Berkaitan dengan CSR adalah bentuk dari etika bisnis yang didasarkan pada moralitas, maka sifatnya adalah voluntary. Secara universal ada hubungan antara etika dalam arti hukum dan etika dalam arti moral bisnis. Keduanya dibangun dengan menggunakan common ethical traditions. Tradisi ini menggunakan teori-teori etika klasik (kuno/accient). 179 Selain itu etika dalam bisnis juga dibangun berdasarkan ajaran dari berbagai agama. 180 Secara umum, etika adalah ilmu normatif penuntun

manusia, yang memberi perintah apa yang mesti kita kerjakan dalam

K Bartens, op. cit., hal. 33 Rob Atkinson, Connecting Business Ethics And Legal Ethics For The Common Good: Come, Let Us Reason Together, Journal of Corporation Law 29 (Spring 2004) : 476 180 An Interfaith Declaration menyampaikan beberapa prinsip agama yang dikaitkan dengan etika bisnis yaitu : (1). Justice ;(2). Mutual Respect; (3). Stewardship; (4) . Honesty . Simon Webley, "Values Inherent An Interfaith Declaration. A Code of Ethics on International Business for Christians, Muslims and Jews , (Amman, Jordan. 1993), Lihat John Hick, Towards A Universal Declaration Of A Global Ethic A Christian Comment, diunduh dari http://astro.temple.edu/~dialogue/Center/hick.htm. Lihat Khalid Duran, Leonard Swidler's Draft Of A Global Ethic: A Muslim Perspective di unduh dari http://astro.temple.edu/~dialogue /Center/duran.htm
179

178

75

batas-batas

kita

sebagai

manusia,

dengan

segala

tanggungjawabnya. Etika menunjukkan kita dengan siapa dan apa yang sebaiknya dilakukan. Maka, etika terbaik diarahkan manusia. 181 menuju Henry

perkembangan

aktualisasi

kapasitas

Cheeseman memberikan definisi yang singkat mengenai etika yaitu : a set of moral principles or value that governs the conduct of an individual or a group . 182 Secara lebih rinci menjelaskan: Ethics may be defined as the set of moral principles that distinguish what is right from what is wrong. It is a normative field because it prescribes what one should do or abstain from doing. 183 Sementara sebagai berikut: morality means a code of conduct held to be authoritative in matters of right and wrong, whether by society, philosophy, religion, or individual conscience. In its second normative and universal sense, morality refers to an ideal code of conduct, one which would be espoused in preference to alternatives by all rational people, under specified conditions. 184 itu, moralitas didefinisikan oleh ensiklopedia Rafik Issa Beekun

181 Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Etika Moral (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987), hal. 13-19 182 Henry R Cheeseman, Business Law, op cit , hal. 149 183 Rafik Issa Beekun, Islamic Business Ethics, University of Nevada And Islamic Training Foundation, International Institute of Islamic Though (1996), hal. 2, diunduh dari www.muslimtents.com/aminahsworld/ethicshm.pdf 184 Morality, Wikipedia, Encyclopedia. Diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/ Morality

76

Caroll dan yang dikaitkan

Buchholtz memberi dengan persoalan

definisi untuk etika bisnis efisiensi, keadilan dan

persamaan, sebagai berikut: Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity. 185 Dalam perekonomian yang berjalan berdasarkan prinsip pasar yaitu bisnis adalah bisnis, kebebasan berusaha adalah yang utama. Namun kebebasan tersebut mengandung kewajiban untuk memastikan bahwa, kebebasan itu digunakan nilai tambah secara bagi

bertanggungjawab perusahaan. 186

untuk

memberikan

Persoalan etika bisnis pada umumnya muncul karena adanya tanggungjawab korporasi kepada pihak-pihak diluar perusahaan (nonshareholder constituencies), seperti tenagakerja, konsumen,

suppliers dan kelompok masyarakat lainnya. Perihal inilah yang

185 Caroll & Buchholtz, Business & Society - Ethics and Stakeholder Management, di uduh dari http://www.amazon.com/exec/obidos/ASIN/ 0324225814/nofieiman-off20/ 186 F. Antonius Alijoyo, Corporate Code of Conduct, Forum for Corporate Governance in Indonesia, diunduh dari http://www.fcgi.or.id

77

membuat persoalan menjadi komplek jika dilihat dari The contractual theory of the firm . 187 Nilai-nilai dasar yang menjadi tolok ukur etika bisnis adalah tingkah laku para pengusaha dalam menjalankan bisnis. Apakah dalam usahanya mengambil keuntungan dari konsumen dilakukan dengan melalui persaingan usaha yang fair, transparan, dan etis. Perbuatan yang termasuk dalam unethical conduct misalnya,

memberikan informasi yang tidak jujur mengenai bahan mentah, ciri produk, menyembunyikan harta kekayaan perusahaan untuk

menghindari pajak, membayar upah karyawan dibawah UMR atau melakukan persekongkolan dan persaingan tidak sehat. 188 Secara umum, kebanyakan pelaku bisnis berpendapat ada hubungan melakukan secara bisnis khusus secara antara etis, keuntungan Namun finansial dengan

beberapa

diantaranya

berpendapat bahwa tidak ada hubungan langsung antara etika dan

Secara normatif korporasi hanya bertanggungjawab terhadap kepentingan shareholder, disatu sisi ada kepentingan shareholder yang harus dilindungi disisi lain adanya kepentingan stakeholder yang juga perlu diperhatikan, John R. Boatright, Business Ethics And The Theory Of The Firm, American Business Law Journal 34 (Winter, 1996) : 223 188 Ridwan Khairandy, Corporate Social Responsibility: Dari Shareholder ke Stakeholder,dan Dari Etika Bisnis Ke Norma Hukum, Makalah Seminar, Workshop Tanggungjawab Sosial Perusahaan, PUSHAM UII dan Norwegian Centre for Human Right, Yogyakarta 6-8 Mei 2008.hal. 2

187

78

keuntungan,

Thomas

I.

White

mencatat

beberapa

perbedaan

pendapat para senior manager sebagai berikut 189: Andrew Sigler, Chairman dan menegaskan, "I don't believe that ethical behavior is an impairment to profitability. I cannot remember situations where if I do the bad thing we'll make a lot of money, but if I do the right thing we'll suffer." "Lots of responsible decisions, aren't just ethically sound. They're damn smart and very smart business". Selain itu, menurut Jerry R. Junkins, President dan CEO of Texas Instruments, pimpinan korporasi akan dengan cepat menolak biaya jangka panjang akibat melakukan bisnis secara tidak etis: "If I do something unethical for some short term gain," "somebody else is going to get hurt, and they're not going to forget it. You're clearly trading a short term gain for something that's inevitably going to be worse down the road-you'll eventually lose business" "Texas Instruments' reputation for integrity," ..."dates back to the founders of the company. And we consider that reputation to be a priceless asset. Walter Klein, CEO dari The Bunge Corporation menjelaskan hubungan etika dengan karyawan: "The company gains if it's ethical because that will preserve its reputation. Yet another issue cited is the effect of unethical conduct by the corporation on its employees. Bunge's Walter Klein claims, "If the company is unethical, that company is going to be cheated by its own employees."
Thomas I. White, Ethics Incorporated: How America's Corporations Are Institutionalizing Moral Values, Center for Ethics and Business, Loyola Marymount University, Los Angeles, CA diunduh dari http://www.lmu.edu/Asset9444.aspx?method=1
189

CEO Champion International

79

David Clare, President Johnson & Johnson, menjelaskan, bahwa melakukan kebohongan sebagai sesuatu yang berbahaya terhadap korporasi. Cepat atau lambat akan menjadi bumerang yang balik menyerang: What you may perceive as a simple lie or a simple misstatement that doesn't hurt anybody and protects the company, sooner or later will come back to bite you. It'll bite you with people in your organization who know it's a lie. If you can't be open and honest at all times, you're sending a signal to the organization that you will let them get away with lying occasionally. And that includes lying to you. Karena sifatnya yang voluntary dan ada di wilayah etika maka beberapa negara dan organisasi internasional mengatur CSR dalam code of conduct, (yang kemudian dikenal dengan istilah softlaw). 190 OECD memberikan definisi Code of Conduct yang

dirumuskan dari kajian secara komprehensif

yaitu : commitments

voluntary made by companies, association or other entities, which


Ran Goel memberikan catatan berbagai softlaw yang dapat dijadikan panduan untuk melaksanakan CSR , diantaranya Account Ability 1000 Assurance Standard (AA1000), Ceres Principles Equator Principles, Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), Global Reporting Initiative Sustainability Reporting Guidelines (GRI), Global Sullivan Principles, Greenhouse Gas Protocol (GHG Protocol), International Labour Organization Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work (ILO Declaration), ISO 14000, MacBride Principles, Organisation for Economic Co-operation and Development Guidelines for Multinational Enterprises (OECD Guidelines), Social Accountability 8000 (SA8000), United Nations Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights (UN Norms) dan lain lain, Ran Goel, Guide to Instruments of Corporate Responsibility: An overview of 16 key Tools For Labour Fund Trustees, Schulich, Canadas Global Business School, University of Toronto Canada, (October 2005)
190

80

put forward standards and principles for the conduct of business activities in the marketplace. 191 Definisi OECD ini menunjukan bahwa Code of Conduct adalah kewajiban yang harus ditegakkan sendiri (self imposed obligation), tetapi bukan bagian dari peraturan perundang-undangan (rules) tentang tatakelola perusahaan (corporate governance).192 Sejarah munculnya code of conduct dimulai sejak jaman

hukum romawi dan abad pertengahan di Eropa. Romawi mengatur Korporasi sejak cara pembentukan hingga pembubaran perusahaan. Code of conduct tesebut menjadi dasar pembentukan code of conduct perusahaan modern. Di abad modern code of conduct mulai diperkenalkan pada pertengahan tahun 1890an. Catatan ini ditandai dengan dikeluarkannya the Code of Standards of Advertising Practice pada tahun 1937 oleh International Chamber of Commerce (ICC).

Beberapa tahun kemudian setelah perang dunia kedua mulai banyak code of conduct yang dibuat institusi Internasional. Kemudian menyeruak secara signifikan pada tahun 1970an, 1980an dan 1990an. 193

Definisi ini dikutip Lundbland dari OECD in 2001: Corporate Responsibilities : Private Initiatives and Public Goals, Claes Lundblad, Some Legal Dimension of Corporate Code of Conduct (Deventer : Kluwer Law International, 2005), hal. 387 192 Ibid. 193 Mark B. Baker, Promises And Platitudes: Toward A New 21st Century Paradigm For Corporate Codes Of Conduct?, Connecticut Journal of International Law 23 (Winter 2007) : 126

191

81

Saat ini ada ratusan code of conduct yang telah dibuat oleh lembaga privat, institusi publik, lembaga pemerintah maupun antar pemerintah (intergovernmental). Hal ini mencerminkan pentingnya code of conduct untuk dirujuk oleh para pelaku bisnis dan korporasi. 194 Frederik Philips, President of Philips Electronics, Olivier

Giscard d'Estaing, Vice-Chairman of INSEAD dan Ryuzaburo Kaku, Chairman of Canon Inc, pada tahun 1986 membahas pentingnya penggunaan code of conduct, dalam melakukan pembangunan

ekonomi yang konstruktif, antara korporasi dan masyarakat. Hasil pembahasan ini menghasilkan business code of conduct yang dikenal Caux Round Table Principles. Prinsip-prinsip Caux Round

Table Principles tersebut adalah 195: a. The responsibilities of business: beyond shareholders toward stakeholders. Bisnis punya peranan untuk memperbaiki hubungan dengan semua pelanggan, karyawan, dan pemegang saham, yaitu dengan berbagi atas kekayaan yang didapat mereka. Mereka harus melakukan bisnis dengan semangat kejujuran dan fairnes, dan berlaku sebagai warga negara yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dimana mereka beroperasi . Bisnis harus menjadi bagian dalam membentuk masa depan semua komunitas

Philip H Rudolph, The History, Variations, Impact, and Future of Self Regulation, dalam Ramon Mullerat (ed), Corporate Social Responsibility: The Corporate Governance of The 21st Century ( Deventer :Kluwer Law International, 2005), hal. 369 195 Caux Round Table: Principles for Business, Human Right Library, University of Minessota, di unduh dari http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cauxrndtbl.htm

194

82

b. The economic and social impact of business: towards innovation, justice and world community. Bisnis harus ikut mengembangkan dan berperan untuk kemajuan sosial negara dimana mereka bekerja, dengan membuat produktif tenaga kerja dan membantu menaikkan daya beli dari warga negara. Bisnis juga harus berperan untuk hak azasi manusia, pendidikan dan kesejahteraan. Bisnis harus ikut berperan dalam pembangunan sosial dengan dan berhatihati gunakan sumber daya secara efektif, hati-hati dan kompetisi yang adil. c. Business behaviour: beyond the letter of law, towards a spirit of trust Dengan hak-hak pengelolaan yang dimiliki, bisnis harus dilakukan secara transparan dan menjaga kestabilan setiap urusan dengan menjaga kepercayaan. d. Respect for rules Bisnis harus menghormati aturan domestik dan menjaga untuk tidak melakukan aktivitas yang merugikan masyarakat walaupun itu sah dihadapan hukum e. Support for multilateral trade Bisnis harus menghormati kesepakatan internasional dan organisasi perdagangan dunia dengan menyesuaikan kebijakan nasional dinegara tempat mereka beroperasi f. Respect for the environment Bisnis harus melindungi dan majukan lingkungan dengan mencegah pemborosan penggunaan sumber alam. g. Avoidance of illicit operations Bisnis harus dijalankan dengan menghindari segala macam uang sogokan atau tindakan korup, dengan cara menjalin kerjasama yang baik. Bisnis tidak boleh mendukung dan mendanai aktifitas teroris, lalu lintas narkoba atau mengorganisir kejahatan lain.

83

Kisah

tentang

Pendeta

Leon

Sullivan

seorang

Pembaptis Gereja dari Philadhelphia, yang juga anggota dari jajaran direksi General Motors dapat Corporation, dijadikan mengusulkan pedoman bagi

seperangkat operasional

ketentuan

yang

perusahaan America di Afrika Selatan. Gagasan ini

pada awal mulanya adalah sebagai upaya untuk mendukung penghapusan diskriminasi politik Aparteid di Afrika Selatan,

dengan cara ikut membantu pembangunan sosial ekonomi dan kesetaraan politik. 196 Hari ini catatan Pak Pendeta Leon tersebut dikenal dengan The Global Sullivan Principles of Corporate Social Responsibility dan digunakan sebagai pedoman untuk Multi National Corporation dalam melakukan CSR di negara tempat beroperasi. Prinsip Sullivan ini adalah mengajak para pemilik korporasi untuk : provide
196 The Sullivan Principles lebih lengkapnya ditulis (1) Express our support for universal human rights and, particularly, those of our employees, the communities within which we operate, and parties with whom we do business. (2) Promote equal opportunity for our employees at all levels of the company with respect to issues such as color, race, gender, age, ethnicity or religious beliefs, and operate without unacceptable worker treatment such as the exploitation of children, physical punishment, female abuse, in voluntary servitude, or other forms of abuse.(3) Respect our employees voluntary freedom of association.(4) Compensate our employees to enable them to meet at least their basic needs and provide opportunity to improve their skill and capability to raise their social and economic opportunities.(5) Provide a safe and healthy workplace; protect human health and the environment; and promote sustainable development. (6) Promote fair competition including respect for intellectual and other property rights, and not offer, pay or accept bribes. (7) Work with governments and communities in which we do business to improve the quality of life in those communitiestheir educational, cultural, economic and social well-beingand seek to provide training and opportunities for workers from disadvantaged backgrounds.(8) Promote the application of these principles by those with whom we do business, Richard E. Gardiner dan David B. Kopel, The Sullivan Principles: Protecting The Second Amendment From Civil Abuse (Colorado: Independence Institute, 1985), hal. 1

84

equal and fair employment practices for all employees and improve the quality of employees lives outside the work environment in such areas as housing, schooling, transportations, recreation, and health facilities. 197 Selain itu inisiasi code of conduct juga dibahas oleh organisasi ekonomi. Salah satu yang sering dijadikan rujukan dalam penerapan CSR bagi Perusahaan Multi Nasional adalah The OECD Guidelines for Multinational Enterprises yang dibuat oleh Organization Economic For Cooperation and Development. 198 The OECD Guidelines for Multinational Enterprises digunakan dibanyak negara sebagai rujukan untuk mengatur operasional

Henry Cheseeman, Business Law ...,op cit. hal. 163 The OECD Guidelines for Multinational Enterprises Revision 2000 berisi prinsip-prinsip umum sebagai berikut; (1)Contribute to economic, social and environmental progress with a view to achieving sustainable development.; (2)Respect the human rights of those affected by their activities consistent with the host governments international obligations and commitments; (3)Encourage local capacity building through close co-operation with the local community, including business interests, as well as developing the enterprises activities in domestic and foreign markets, consistent with the need for sound commercial practice; (4) Encourage human capital formation, in particular by creating employment opportunities and facilitating training opportunities for employees;(5)Refrain from seeking or accepting exemptions not contemplated in the statutory or regulatory framework related to environmental, health, safety, labour, taxation, financial incentives, or other issues; (6) Support and uphold good corporate governance principles and develop and apply good corporate governance practices; (7)Develop and apply effective self-regulatory practices and management systems that foster a relationship of confidence and mutual trust between enterprises and the societies in which they operate; (8)Promote employee awareness of, and compliance with, company policies through appropriate dissemination of these policies, including through training programmes; (9)Refrain from discriminatory or disciplinary action against employees who make bonafide reports to management or, as appropriate, to the competent public authorities, on practices that contravene the law, the Guidelines or the enterprises policies; (10)Encourage, where practicable, business partners, including suppliers and subcontractors, to apply principles of corporate conduct compatible with the Guidelines; (11)Abstain from any improper involvement in local political activities.
198

197

85

investasi asing oleh Perusahaan Multi Nasional. dikatakan oleh Kathryn Gordon:

Seperti yang

The OECD Guidelines are recommendations by governments to multinational enterprises (MNEs) operating in or from the 33 countries that adhere to the Guidelines. The Guidelines help ensure that MNE sactin harmony with the policies of countries in which they operate and with societal expectations. They are the only comprehensive, multilaterally endorsed code of conduct for MNEs. They establish nonbinding principles and standards covering abroad range of issues in business ethics. The basic premise of the Guidelines is that internationally agreed principles can help to prevent misunderstandings and build an atmosphere of confidence and predictability among business, labour, governments and society as a whole. 199

Sampai saat ini telah banyak code of conduct yang dibuat oleh berbagai pihak. Jennifer A. Zerk memberikan beberapa

daftar code of conduct yang terkait dengan Multi National dan CSR berdasarkan tahun publikasinya yaitu 200: 1) 2) Tahun 1948 Universal Declaration of HumanRights, UNGA res.217A(III), UN Doc.A/810,71 Tahun 1970 Declaration on the Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation Among States in accordance with the Charter of the United Nations, UNGA res.2625, Annex, 25 UN GAOR, Supp.(No.28),UN Doc.A/5217at121

Kathryn Gordon, The OECD Guidelines and Other Corporate Responsibility Instruments: A Comparison, Organization Economic For Cooperation and Development, Directorate For Financial, Fisca Land Enterprise Affairs Working Papers On International Investment, Number 2001/5 (December 2001), hal. 1 200 Jennifer A. Zerk, Multinationals and Corporate Social Responsibility :Limitations and Opportunities in International Law (New York: Cambridge University Press), hal. xiii xv

199

86

3)

Tahun 1976 OECD Declarationon International Investment and Multinational Enterprises, Paris, 21June 1976;(1976)15 ILM 967 Tahun 1976 OECD Guidelines for Multinational Enterprises (annexed toThe 1976 OECD Declarationon Investment and Multinational Enterprises, above);(1976)15 ILM 969 Tahun 1977 ILO Tripartite Declaration Concerning Multinational Enterprises and Social Policy, November 1977, Geneva;(1978) 17I LM 422 Tahun 1981 WHO International Code on Marketing of Breast Milk Substitutes, adopted by the WHA, Res. WHA 34.2,21 May 1981 Tahun 1985 FAO Code of Conduct on the Distribution and Use of Pesticides, adopted at the 25th session of the FAO Conference, Rome, 19 November 1985 Tahun 1985 UN Guidelines for Consumer Protection,UNDoc. A/RES /39/ 248 (disahkan 1986) Tahun 1990 Draft UN Code of Conducton Transnational Corporations, UNDoc. E/1990/ 94, 12 June 1990

4)

5)

6)

7)

8) 9)

10) Tahun 1992 Declaration of the UN Conference on Environment and Development,Rio de Janeiro,13 June 1992,UN Doc.A/ CONF.151/ 26/ Rev.1, Vol.1,AnnexI;(1992) 31 ILM 874 11) Tahun 1992 Agenda21: Programme of Action for Sustainable Development, adopted by the UNGA atits 46 th session, UN Doc.A/ CONF. 151/26 12) Tahun 1996 OECD Recommendation on the Tax Deductibility of Bribesto Foreign Public Officials, adopted by the Council, 11 April 1996, C (96) 27 (FINAL); (1996) 35 ILM 760 13) Tahun 1998 ILO Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work, adopted at the 86th session of the International Labour Conference , Geneva, 18 June 1998

87

14) Tahun 2000 OECD Declarationon International Investment and Multinational Enterprises, Paris, 27 June 2000, DAFFE/ IME 2000)/ 20 15) Tahun 2000 OECD Guidelines for Multinational Enterprises (annexed to 2000 OECD Declarationon International Investment and Multinational Enterprises, above);(2001)40 ILM 237 16) Tahun 2002 Declarationon Sustainable Development of the World Summit on Sustainable Development, UN, Report of the World Summit on Sustainable Development, UN Doc. A/CONF. 199/20, Sales No.E.03.II. A.1 17) Tahun 2002 Plan of Implementati on of the World Summit on Sustainable Development,UN,Report of the World Summit On Sustainable Development, UNDoc.A/CONF.199/20,Sales No.E.03.II.A.1 18) Tahun 2003 UN Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and other Business Enterprises with Regard to Human Rights, adopted by the UN SubCommission on the Protection and Promotion of Human Rights, 13 August 2003, UN Doc.E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2 Surya Deva menambahkan beberapa daftar code of conduct lainnya yaitu 201: (1) Voluntary Corporate Codes of Conduct;

(2) Principles, Labels, and standards; (3) EU's Green Paper and the Eco management and Audit Scheme; (4) U.N. Global

Compact ; (5) ILO Declaration ; (6) The MacBride Principles ; (7) The Slepak Principles

Surya Deva, Sustainable Good Governance And Corporations: An Analysis Of Asymmetries, Georgetown International Environmental Law Review 18 (Summer, 2006) : 728-739

201

88

Tetapi,

dari

sekian

banyak

code
202

of

conduct,

dapat

diklasifikasikan dalam lima tipe, yaitu a.) Company Codes Adalah code of conduct

yang dibuat oleh perusahaan sendiri

secara sukarela. Code of conduct ini dibuat oleh Perusahaan induk untuk dirujuk bagi seluruh jaringan perusahaan dan rekanannya. Salah satu contohnya adalah Shell Revised

Statement of General Business Principles, atau Levi Strauss Business Partners Terms of Engagement . b.) Trade Association Codes Adalah code of conduct yang dibuat oleh asosiasi Industri

untuk menjadi rujukan bagi para anggotanya.Contohya adalah The British Toy and Hobby Association Code of Conduct atau The Bangladesh Garment Manufacturers and Exporters

Association Code dan The Kenya Flower Council Code . c.) Multi-Stakeholder Code Adalah code of conduct yang dibuat dari hasil negosiasi dari

beberapa stakeholders, termasuk wakil dari perusahaan atau industrinya, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (NGOs) dan Trade Unions. Dalam tipe ini seringkali melibatkan pemerintah.
202 Brian W. Burkett, Mathias Link dan John D.R. Craig, Corporate Social Responsibility and Codes of Conduct: The Privatization of International Labour Law, Canadian Council On International Law Conference (October 2004).diunduh dari www.lexpert.ca/labour/files/CSR%20Final%20Paper-CCIL.pdf

89

Beberapa contohnya adalah : The UK s Ethical Trade Initiative [ETI] Base Code , The Fair Labour Association [FLA] ,

Worldwide Responsible Apparel Production Principles [WRAP], Accountability 1000, Global Reporting Initiative [GRI] dan The European based Clean Clothes Campaign [CCC]. d.) Model Codes Adalah code of conduct yang dibuat untuk meningkatkan

capaian yang diharapkan oleh perusahaan berdasarkan faktafakta atas praktek yang baik . Tipe ini tidak secara langsung dapat diterapkan, tetapi setidaknya menjadi petunjuk bagi

korporasi atau asosiasi bisnis dalam beroperasi . Tipe ini biasanya dibuat bersama antara korporasi dengan organisasi buruh seperti The ICFTUs Basic Code of Labour Practice atau dengan NGO seperti Amnesty Internationals Human Rights Guidelines for Companies dan Responsible Business Conduct. e.) Intergovernmental Codes Adalah code of conduct yang dibuat atas dasar negosiasi pada level internasional antar pemerintah. 1970an antara Negara-negara anggota Seperti pada tahun OECD membuat The Kasus yang juga The ICCs Guidebook for

OECD Guidelines for Multinational Enterprises.

sama seperti yang dilakukan oleh anggota Internatioal Labour

90

Organization

merumuskan The ILOs Tripartite Declaration of

Principles concerning Multinational Enterprises. Contoh lainnya adalah The European Union Code of Conduct, The UN Norms of Responsibilities of Transnational Corporations,The Global

Sullivan Principles, dan The Global Compact . Dari sekian tipe code of conduct sebagai usaha berbagai pihak untuk mempromosikan CSR agar dapat diterapkan secara efektif pada operasional korporasi. Tetapi perihal tersebut masih menyisakan persoalan yaitu : apakah code of conduct mempunyai dimensi hukum, sehingga dapat diterapkan dengan standar yang pasti ?. 203 Sampai saat ini banyak ahli yang memegang pendapat bahwa code of conduct merupakan bagian dari ranah etika dan

bukannya masuk dalam lapangan hukum. Corporate Code of Conduct, pada dasarnya memuat nilai-nilai etika, harus

dinyatakan dengan singkat dan jelas tetapi cukup rinci, guna memberikan arahan yang jelas perihal perilaku etika berusaha kepada siapa pedoman itu ditujukan. 204 Menurut Jeffrey Nesteruk, setiap keputusan korporasi adalah mencerminkan dari keputusan managemen dan atau

Claes Lundblad, op. cit., hal. 389 F. Antonius Alijoyo, Corporate Code of Conduct, Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), diunduh dari http://www.fcgi.or.id , hal. 2
204

203

91

keputusan pemegang saham. Nilainilai moral dapat dilihat dari keputusan-keputusan tersebut. Pada umumnya keputusan

managemen adalah mengemban keinginan

pemegang saham,

untuk berorientasi pada pencarian keuntungan. 205 Tetapi keputusan tersebut mengandung pertimbangan moral yang lebih luas, yaitu aspek pasar, seperti keamanan produk dan kelestarian lingkungan. Sehingga banyak pertimbangan moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan. 206 William Safire seorang new socialist menyatakan dengan

tegas kepada para eksekutif korporasi untuk mengadopsi moralitas sebagai tanggungjawab sosial untuk pertimbangan keputusan bisnis diluar kepentingan pribadi. Dia memberikan kritik kepada para kapitalis dari cara pandang para sosialis bahwa : Capitalism's defenders know that only stupidly shortsighted executives overlook the need for a loyal, motivated work force; we also know that good community relations help attract the best managers and innovators to a company. And easing the shock of necessary belt-tightening on workers who are not producing is "good public relation," which makes business sense provided it does not squander assets on ego-

Shareholders are the desiring element. They are primarily investors wanting only a return on their investment. Beyond the desire for financial gain, they are for the most part removed and unconnected with the day-to-day activities and decisions of the corporation. In contrast, management is the reasoning element. The essence of its job is evaluating the different business options available to the corporation on a daily basis, Jeffrey Nesteruk, Corporations, Shareholders, And Moral Choice: A New Perspective On Corporate Social Responsibility, University of Cincinnati Law Review 58 (1989) : 470 206 A core aspect of political decision-making is the evaluation of the relative worthiness of competing social goals. In this broadened context, the end of corporate profit must compete with other goals important to the shareholder-citizen such as product safety and environmental preservation, Ibid.,hal. 474-475

205

92

satisfying do-gooding or becoming the new delivery system for politicians' largesse. 207 Untuk lebih memfokuskan pembahasan, persoalan etika bisnis dan kewajiban moral korporasi akan dibahas lebih luas dan komprehensif dalam sub bab selanjutnya. Secara pragmatis, korporasi harus mematuhi code of conduct, dikarena adanya maksud mendapatkan nilai tambah.

Antonius Alijoyo menjelaskan sebagai berikut: 208 Dalam perekonomian yang berjalan berdasarkan prinsip pasar dimana bisnis adalah bisnis, kebebasan berusaha adalah yang utama. Namun kebebasan untuk mengejar tujuan dan sasaran bisnis juga mengandung kewajiban untuk memastikan bahwa kebebasan itu diperoleh secara bertanggungjawab. Adanya praktek etika dan kejujuran dalam berusaha akan menciptakan aset yang langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan nilai perusahaan Tetapi keberadaan Corporate Code of Conduct tidak cukup mampu untuk mengikat korporasi. Sebab, selain sifatnya softlaw,

sebagian besar code of conduct di inisiasi pada level internasional, sedangkan ranah hukum mempunyai wilayah jurisdiksi. Artinya code of conduct akan menjadi hukum apabila hukum nasional suatu Negara telah mengaturnya dalam produk legislasi. 209

William Safire dalam Beth Stephens, The Amorality Of Profit: Transnational Corporations And Human Rights, Berkeley Journal of International Law 20 (2002) : 62-63 208 F. Antonius Alijoyo, op. cit., hal. 2 209 Veronica Besmer, The Legal Character of Private Codes of Conduct: More Than Just A Pseudo-Formal Gloss on CSR, Hasting Business Law Journal 2 (Winter 2006): 286

207

93

Upaya ketentuan

untuk

menjadikan yang

code

of

conduct dilakukan

sebagai dengan seperti

perilaku

mengikat

telah

mengangkat isu-isu keadilan dan perlindungan hak,

keadilan social, keadilan lingkungan, perlindungan hak buruh, perlindungan hak konsumen, perlindungan hak stakeholder dan sebagainya. Di beberapa Negara, juga di Indonesia upaya tersebut mendapat legitimasi dengan dibuatnya peraturan perundangan mengenai lingkungan hidup, ketenagakerjaan konsumen. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai sebuah upaya untuk melegitimasi code of conduct menjadi peraturan yang mengikat. Sean D. Murphy menyarankan carrots agar pemerintah . Lebih atau perlindungan

menyeimbangkan

antara

prinsip

dan

sticks

lengkapnya Murphy mengatakan : To be effective (adopted code of conduct), government policy should balance the use of "carrots" and "sticks." If only carrots are created, more corporations may be pulled into the adoption of corporate codes, but with spotty adherence. If only sticks are created, corporations may view the adoption of codes as undesirable burdens. Among the "carrots" that governments might pursue that reinforce the value and benefits of the voluntary codes to corporations are the following. 210

Sean D. Murphy, Taking Multinational Corporate Codes Of Conduct To The Next Level, Columbia Journal of Transnational Law 43 (2005): 424

210

94

Alternatif lainnya, menurut Jonathan E. Hendrix,

code of

conduct akan efektif diterapkan dengan syarat adanya tekanan politis dari berbagai pihak, seperti opini publik dari para akademisi, demonstrasi dan aksi boikot atau kampaye dari LSM dan organisasi internasional, khususnya di Negara berkembang yang lemah dalam penegakan hokum. 211 Jadi code of conduct adalah salah satu alternatif untuk mewajibkan korporasi menerapkan CSR. Bahwa masih mempunyai kelemahan dalam code of conduct daya

persoalan

mengikatnya, dapat didukung dengan bentuk tekanan politis seperti kampanye, boikot maupun aksi-aksi lainnya. Tetapi harus diperhatikan bahwa aksi aksi tersebut akan bekerja jika dilakukan oleh institusi yang mempunyai reputasi yang dihormati. Selain diatur dalam code of conduct , banyak perusahaan yang membuat komitmen untuk melaksanakan CSR dalam

peraturan perusahaan yang sering disebut dengan istilah self regulation (self governance). Self regulation ini mulai dibuat oleh korporasi , khususnya multi national corporation (MNCs) pada tahun 1970 an sebagai respon atas kritik tajam dari berbagai unsur masyarakat (NGO)
211 Hendrix mencontohkan tekanan politik dapat dilakukan oleh NGOs, United Nation atau Regional Bodies, Jonathan E. Hendrix, Law Without State: The Collapsed State Challenge To Traditional International Enforcement, Wisconsin International Law Journal 24 (Spring 2006) : 596-607

95

atas perilaku korporasi yang dianggap keterlaluan terhadap hak buruh, hingga isu diskriminasi. 212 Beberapa contoh dan kisah kelahiran self regulation dapat dicatat berikut ini
213

a). General Motors code of conduct (The Sullivan Statement) The Sullivan Statement, adalah prinsip-prinsip anjuran yang dibuat oleh Pastur Leon H. Sullivan pada tahun 1976 mengenai panduan bisnis MNCs amerika di Afrika Selatan pada masa Politik Aphartaed. Dia adalah anggota dari direksi General Motor. Oleh karena it sering pula disebut General Motors Code of conduct atau Sullivan Principles . The Sullivan Statement tersebut memuat 6 (enam) prinsip, yaitu: (1) anti-

discrimination;(2) fair employment;(3) equal wages; (4) job training; (5) promotion of non-white management, and; (6)

improvement of the quality of life outside the workplace . The Sullivan Statement menuai sukses karena diikuti oleh banyak perusahaan sebagai acuan etik dalam bisnis. b). Levi-Strauss's Terms of Engagement and Guidelines Levi-Strauss's Business Partner Terms of Engagement and Guidelines ("Levi-Strauss Code") dibuat tahun 1991. The
212 Koji Ishikawa, The Rise Of The Code Of Conduct In Japan: Legal Analysis And Prospect, Loyola of Los Angeles International and Comparative Law Review 27 (Winter 2005) : 101 213 Ibid.,107-108

96

Levi-Strauss Code mengadung 5 major areas, yaitu : (1) ethical standards; (2) legal (4) requirements; (3) environmental and; dari (5) The

requirements; employment

community Ada

involvement, menarik

standards.

yang

employment standards yaitu mengenai kebebasan berserikat (freedom of association) bagi karyawan. c). Nike's Code of Conduct Nike's Code of Conduct atau ("Nike Code") dibentuk pada tahun 1992 sebagai respon dari kritik atas praktek ketenagakerjaan yang tidak fair , termasuk penggunaan tenaga kerja anak yang terjadi di Indonesia. The Nike Code dibuat

dalam format Preambul dan berisi 6 bagian yaitu ;(1) covering forced labor;(2) child labor, compensation and benefits; (3), work and overtime hours;(4) environment ; (5) health and

safety;(6) and documentation and inspection. d). Reebok's Human Rights Production Standards Formulasi dari The Reebok Human Rights Production diawali dari statemen perusahaan untuk komitmen terhadap hak asasi manusia. The Reebok code terdiri dari 7 area tentang hak-hak buruh yaitu: (1) non-discrimination; (2) working hours/overtime; (3) forced or compulsory labor; (4) fair wages;

97

(5) child labor; (6) freedom of association; and (7) and safe and healthy work environment. 214 Koji Ishikawa menjelaskan bahwa motivasi dari korporasi membuat self regulation sangat beragam. tidak dilakukan secara ikhlas Beberapa diantaranya

(from a purity of heart), untuk

memperhatikan pekerja dan rekanan asing . Namun demikian, tak dapat disangkal, bahwa keberadaan self regulation tersebut

meningkatkan standar dan mengarahkan bertambahnya perhatian korporasi terhadap upaya memperbaiki kondisi pekerja dan kontrak rekanan asing. 215 Efektifitas bekerjanya self regulation ini lebih baik

dibandingkan dengan code of conduct, karena disesuaikan dengan visi dan kondisi perusahaan masing-masing. Selain itu korporasi juga dapat mengikat perusahaan rekanannya melalui kontrak kerjasama untuk menerapkan self regulation. 216 Michael E. Murphy menjelaskan self regulation theory

dalam dua hal. Pertama, self-regulation dasar yang paling penting


214 Elisa Westfield, Globalization, Governance, And Multinational Enterprise Responsibility: Corporate Codes Of Conduct In The 21st Century, Virginia Journal of International Law 42 (Summer 2002) : 1099. 215 Koji Ishikawa, op. cit., hal.108 216 Beberapa korporasi tersebut mengatakan: "We specifically require our suppliers to extend the same principle of fair and honest dealings to all others with whom they do business including employees, sub-contractors and other third parties. For example, this principle also means that gifts or favours cannot be offered nor accepted at any time, Elisa Westfield, op. cit., hal. 1098. Lihat Ans Kolk dan Rob van Tulder, The Effectiveness of Self-regulation: Corporate Codes of Conduct and Child Labour, European Management Journa, Volume 20, Issue 3 (7 April 2002) : 291301 dinduh dari http://www.sciencedirect.com/science

98

dari kebutuhan untuk memisah kekuasaan antara komponen organisasi dalam korporasi yang saling terkait. Kedua, selfregulation tergantung pada beragam informasi yang cukup dan tersedia untuk megendalikan pusat-pusat dalam korporasi. 217 Hilton dan Gibbons menegaskan bahwa perusahaan melalui self regulation, harus secara serius menekankan keberpihakan kepada masyarakat. Ini penting karena perusahaan juga akan memperoleh keuntungan dari situasi win-win ini. Karena itu, self regulation sebagai bentuk penerapan kewajiban CSR harus

memenuhi syarat keberlanjutan (sustainable), dan harus berada di bidang yang beriringan dengan bidang usaha perusahaan yang bersangkutan. regulation Pengerahan sumber daya untuk CSR melalui self perlu secara khusus dialokasikan terpisah.

tidak

Mengembangkan program CSR yang berkelanjutan dan berkaitan dengan bidang usaha merupakan konsekuensi dari mekanisme pasar itu sendiri. 218 Namun pendapat Hilton dan Gibbons tersebut memperkuat pendapat bahwa penerapan CSR melalui self-regulation dipandang

217 Michael E. Murphy, Pension Plans And The Prospects Of Corporate SelfRegulation, DePaul Business & Commercial Law Journal 5 (Spring 2007) : 565-566 218 Ari Margiono, Menakar Keterlibatan Pemerintah dalam CSR, Bisnis Indonesia, 22 April 2006.

99

cukup

efektif,

sehingga

regulasi

negara

sesungguhnya

tidak

diperlukan lagi. 219 Disisi lain, masih banyak pihak yang pesimis. Sebuah penelitian yang dilakukan Vogel, menunjukkan CSR ternyata tidak memiliki korelasi positif terhadap kontribusi finansial jangka

panjang perusahaan. Perusahaan yang melakukan CSR tidak berarti kemudian lebih menguntungkan, atau sebaliknya. Vogel juga menyatakan banyak perusahaan yang menghadapi dilema ketika prinsip CSR yang dianutnya bertentangan dengan faktor yang mendorong pendapatan. Sebagai ilustrasi, perusahaan baterai akan sulit menganut CSR dalam bentuk pelestarian lingkungan karena produk yang mereka hasilkan dapat memberikan dampak buruk kepada lingkungan. 220 Artinya, jika penerapan CSR melalui self regulation tidak memberikan keuntungan perusahaan atau tidak sejalan dengan bidang usahanya, maka korporasi akan meninjau kembali atau bahkan meniadakan kewajiban CSR dalam self regulation yang mereka buat. Jika tidak ada kekuatan yang lebih tinggi dari peraturan perusahaan, seperti halnya peraturan perundangan yang mandatory, maka penerapan self regulation menjadi tidak efektif .

219 220

Ibid. Ibid.

100

Self regulation akan menjadi effektif dan mempunyai daya ikat yang kuat apabila dirumuskan oleh berbagai organ yang terdapat dalam korporasi seperti pemegang saham, direksi dan komisaris. Argumen ini menjelaskan beberapa hal: 1). Self Regulation harus mencerminkan moralitas dari organ-

organ korporasi. Untuk itu keterlibatan organ-organ dalam korporasi dalam merumuskan Self regulation menjadi penting, sehingga tidak menimbulkan conflict of interest hari. Bahkan, jika perlu mengundang di kemudian untuk

stakeholder

mengakomodasi kepentingan mereka. 2). Self regulation yang telah dirumuskan disahkan melalui

kekuasaan tertinggi dalam korporasi (misalnya RUPS dalam


Perseroan Terbatas) dan dimasukkan dalam Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga sebagai konstitusi korporasi.Hal ini untuk dijadikan dasar bagi semua pihak, baik internal maupun pihak eksternal yang menjalin hubungan dengan korporasi. 3. Kewajiban CSR bertentangan dengan Hak Kepemilikan Privat Pelaksanaan CSR yang menggunakan harta kekayaan

korporasi, dengan alasan untuk kepentingan masyarakat umum sekalipun, dapat dianggap telah melanggar dan tidak menghormati prinsip-prinsip hak milik privat. Korporasi merasa dirampas haknya dengan diwajibkannya menyalurkan sebagian kekayaan untuk

101

masyarakat. Oleh karena itu perlu dipahami dan dikaji awal mula munculnya hak kepemilikan pribadi serta kemanfaatannya untuk umat manusia dari berbagai perspektif. Konsep hak milik adalah hak mutlak individualistik, dimana hukum harus memberikan perlindungan. Hak milik pribadi (private property right) harus dijamin sepenuhnya oleh hukum negara sebagai sesuatu yang sakral (the sacred rights of private property). 221 Menurut ideologi liberal yang kapitalistik, kebebasan atas hak kepemilikan, menempatkan hak individu diatas masyarakat. 222 Hak kepemilikan pribadi tidak jatuh dari langit (taken for granted). Hak atas kepemilikan pribadi harus dihormati dan dilindungi dalam komunitas sosial. Hak kepemilikan adalah prinsip sosial politik yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa dilarang atau dicegah oleh siapapun untuk memperoleh, menyimpan, memperdagangkannya, dan ketika hak kepemilikan pribadi tidak dihormati dan tidak mendapatkan perlindungan dalam sebuah komunitas, maka pasti ada sesuatu yang salah dalam masyarakat tersebut. 223 Konsepsi liberalisme ini sangat bertentangan dengan ideologi sosialisme yang digagas oleh Karl Mark. Marxisme menolak pemilikan pribadi atas kapital atau modal, baik yang dimiliki perseorangan
Edwin Cannan, Adam Smith : An Inquiry Into ..., op. cit., hal. 149 K Bertens, op. cit., hal. 120-121 223 Randy Barnett, Right to Private Property in The Structure of Liberty, (London: Oxford University Press, 1998), hal.7 diunduh dari www.iep.utm.edu,p,property.htm
222 221

102

maupun korporasi, sebab yang memiliki kapital dengan sendirinya adalah pemilik alat-alat produksi. Pandangan Karl Mark dalam

Manifesto Komunis ditegaskan bahwa capital is not a personal, its a social power. Kapital dihasilkan karena pekerjaan banyak orang dalam masyarakat dan serentak juga memungkinkan semua orang untuk bekerja. Karena itu timbul kontradiksi apabila dijadikan milik pribadi sehingga harus dirubah menjadi kepemilikan umum. Ciri kapitalisme yang paling jelek adalah bahwa para pemilik modal mempekerjakan orang lain hanya untuk memperkaya diri sendiri. Menurut Mark hak milik pribadi pada dasarnya merupakan penindasan dan eksploitasi tenaga kerja orang lain. 224 Namun gagasan Mark tersebut tidak memberikan jawaban atas sejarah sistem ekonomi yang dapat menjanjikan kesejahteraan. Pada taraf ekonomi yang lebih luas, peran hak milik dan pencarian

keuntungan tidak boleh diabaikan, sebab akan menjadi distorsi dan merusak sistem ekonomi pasar. Ekonomi akan ambruk jika hak milik dan keuntungan ditiadakan dari setiap kegiatan bisnis. Sebagai contoh, kegagalan sistem ekonomi komunisme di Uni Soviet dan negara-negara aliansinya disebabkan sistem ekonomi berencana yang tidak mengenal motif keuntungan. 225

224 225

K Bertens, op. cit., hal. 119 K Bertens, op. cit., hal. 161

103

Sebagai pembanding, di Indonesia perlindungan hak milik diatur secara tegas dan kuat dalam konstitusi UUD 1945, pada Pasal 28G ayat (1) yaitu: Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Pasal 28 huruf H ayat (4) juga disebutkan : Setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun . Kitab Undang-undang hukum Perdata juga mengatur mengenai hak milik ( eigendom) dalam Pasal 570 yang menyebutkan: Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain ; kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak demi kepentingan umum berdasar atas undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi. 226 Dilanjutkan dalam Pasal 584 KUH Perdata mengenai lahirnya hak milik melalaui proses tertentu, yaitu: Hak milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain melainkan dengan pemilikan , karena perlekatan;karena daluwarsa; karena pewarisan, baik
R. Subekti dan R Tjitrosudibi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgerlijk Wetboek), (Jakarta:Pradnya Paramitha,1992), hal. 144.
226

104

menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat dan karena penunjukkan atau penyerahan berdasar suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik dilakukan oleh seseorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. 227 Konsepsi yang sama juga disampaikan oleh Ramello, yang secara tegas mengatakan: Property rights have been a powerful device for promoting trade development, market existence and efficiency through human history. What is not owned cannot be traded. Hence, a well-defined set of property rights is central to the existence of trade. 228 Pelaksanaan CSR, yang secara teknis adalah memberikan sebagian kekayaan korporasi kepada masyarakat, mendapatkan

hambatan dari

berbagai peraturan tentang perlindungan hak milik

Mengenai cara memperoleh hak milik tersebut disebutkan : a. Pendakuan (toeeigening) b. Ikutan (natrekking) c. Lampaunya waktu/kadaluarsa d. Pewarisan (erfopvolging) e. Penyerahan (levering) Selain itu ada juga cara memperoleh hak milik di luar Pasal 584 KUH Perdata yaitu : a. Penjadian benda (zaaksvormng) b. Penarikan buahya (vruchttrekking) c. Persatuan benda (vereniging) d. Pencabutan hak (onteigening) e. Perampasan (verbeurdverklaring) f. Pencampuran harta (boedelmenging) g. Pembubaran dari sebuah badan hukum h. Abondondement (cara yang kita jumpai dalam hukum Perdata Laut pasal 663) HFA Vollmarr, Pengantar Studi hukum Perdata, Jilid I (Jakarta : Rajagrafindo, 1996), hal. 226-231. Lihat dalam R Subekti dan R Tjitrosubono, op. cit., hal. 146. Lihat Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Perdata: Hukum Benda (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1981), hal. 76-82 228 Giovanni B. Ramello, Incentives, Efficiency and Social Justice: the Strange Case of Intellectual Property and Knowledge, POLIS - Department of Public Policy and Collective Choices Universit del Piemonte Orientale Amedeo Avogadro (2007), hal. 2

227

105

pribadi tersebut. Pemberian kewajiban hukum kepada korporasi untuk melaksanakan CSR menjadi bertentangan dan menimbulkan konflik normatif. Tetapi, sebelum menyimpulkan hal tersebut, perlu kiranya diperhatikan filosofi dan doktrin-doktrin perspekif yang lain. Mahatma Gandhi memberikan pendapat dan mengakui hak atas hak milik pribadi dari

milik pribadi, tetapi pada saat yang sama menolak apabila institusi kepemilikan pribadi sebagai hak yang tidak terbatas dari seseorang untuk memiliki kekayaan. Gandhi mengatakan : Tanah itu adalah milik Tuhan dan diberikan pada manusia untuk dimanfaatkan demi kemakmuran bersama. Sesungguhnya seluruh tanah itu milik semua rakyat. Sehingga kakayaan itu mempunyai fungsi Sosial dari kepemilikan pribadi . Kepemilikan sama artinya dengan bahwa semua bentuk kelebihan kekayaan yang dimiliki seseorang harus difungsikan demi kesejahteraan sosial. 229 Selanjutnya Mahatma Gandhi memberikan pendapat tentang hakekat keadilan ekonomi, yaitu : Semua manusia dilahirkan setara dan oleh karena itu mereka semua memiliki kesempatan yang sama dalam masyarakat atau Negara. 230 Namun kenyataannya tidak semua individu memiliki kemampuan fisik, intelektual dan kekayaan yang sama.
229 Francis Alappatt, Mahatma Gandhi: Prinsip hidup, Pemikiran Politik Dana Konsep Ekonomi , diterjemahkan oleh S. Farida (Bandung: Nusamedia, 2005), hal. 123125 230 Ibid., hal. 128-129

106

Perihal ini sependapat dengan pendapat John Rawls mengenai karunia kodrati yaitu: Kelebihan dalam bakat dan kemampuan alami, jangan lagi dianggap sebagai aset pribadi melainkan harus dipandang sebagai aset bersama. Karunia alam yang dimiliki oleh seseorang adalah milik bersama yang dititipkan kepadanya. Setiap keuntungan dari padanya harus menguntungkan semua golongan, terutama mereka yang paling tertinggal (miskin/tidak beruntung). 231 Secara esensial tidak berbeda dengan ajaran Islam, seperti yang tersurat dalam Quran Surat Al Ma'arij, ayat 24-25 yang

artinya: "dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia hak tertentu buat orang yang meminta-minta dan orang yang tidak bernasib baik."
Tentang ajaran untuk berderma (philanthropy) sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani: philos (cinta atau kasih) dan anthropos (manusia) yang berarti cinta atau belas kasih kepada sesama manusia. Kedermawanan pada awalnya dapat ditemukan dalam berbagai ajaran agama (theological approach) sebagai ajaran moral. 232 Islam mengenal zakat, infaq shodaqoh, dalam ajaran Nasrani dikenal Persepulah atau misericordian, dalam agama Jahudi dikenal konsep Tsedaqah, agama Hindu mengajarkan datra datrtva dan daanam parmrarth, dan dalam ajaran budha
231

dikenal istilah

thambun

dan thamtaan yang intinya

John Rawls dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2005), hal. 80 232 Cheryl L Wade, , Lesson From a Prophet On Vocational Indentity : profit or Philantrophy, Alabama Law Review 50, (Fall 1998) : 6

107

menyisihkan

sebagian

harta

untuk

orang

lain. 233

Ajaran

ini

menggambarkan bahwa dalam hak milik seseorang juga melekat sebagian dari hak orang lain yang membutuhkan adalah sebuah nilai moral universal. 234 Tetapi, teori kepemilikan yang berwawasan sosial dan moralis tersebut tidak berlaku bagi perspektif liberalisme modern. Setidaknya ada dua perubahan besar mengenai hak kepemilikan yaitu : (1) lumpuhnya sejarah dan preseden sebagai landasan pembenar politik, dan ; (2) semakin kecilnya kemungkinan menggunakan ajaran agama sebagai landasan pembenar prinsip prinsip politik mengenai hak milik. 235 Seperti yang disampaikan oleh John Hick secara skeptis dari sudut padang seorang Kristiani. Ia menjelaskan bahwa sebagian

besar negara di dunia barat dipengaruhi oleh agama, akan tetapi sebagian besar merupakan negara sekuler, yang menempatkan agama

Marianne Querbal dan Nino Terol, An Introduction to Asian Philantrophy and NGOs, Asian Pasific Philantrophy Consortium (2002) hal 2 234 Hak milik menurut hukum Islam adalah: Suatu kekhususan terhadap sesuatu yang memberi kemungkinan kepada pemangkunya menurut hukum syara untuk secara bebas bertindak hukum terhadap sesuatu yang dimaksud serta mengambil manfaatnya sepanjang tidak ada penghalang syariy, Yusuf Qardhowi, Hukum Zakat, Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Quran dan Hadis, Cetakan Ketujuh (Bogor : Litera Antar Nusa, 2004), hal. 55. Lihat Zahri Hamid, Harta dan Milik dalam Hukum Islam (Jakarta : Bina Usaha, 1985), hal. 14 235 Ian Shapiro, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, diterjemahkan oleh Masri Maris (Jakarta: Yayasan Obor dan Freedom Institute, 2006), hal. 299

233

108

dalam pengaruh yang sangat kecil dan diletakkan lebih banyak pada sisi budaya. 236 Berbeda dengan pendapat Proudhon dan Pierre Joseph tentang konsepsi hak kepemilikan. Apa yang dikatakan sebagai hak milik adalah sesuatu yang tidak jelas (Property is Impossible), sebab hak milik menuntut sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Mereka mengatakan : If I show that property itself is impossible -- that it is property which is a contradiction, a chimera, a utopia; and if I show it no longer by metaphysics and jurisprudence, but by figures, equations, and calculations, -- imagine the fright of the astounded proprietor! And you, reader; what do you think of the retort? 237 Dicontohkan oleh Proudhon dan Pierre Joseph dalam kasus penyewa tanah untuk pertanian: Petani menanam gandum, Pandai besi membuat alat pertanian. Tukang gerobak membuat gerobag. Mereka semua terlibat dalam proses produksi. Tetapi pemilik tanah tidak berperan apapun . Jadi atas dasar apa pemilik tanah ini mendapatkan uang sewa?. 238

236 John Hick, Universal Declaration of Global Ethic: Toward A Universal Declaration of A Global Ethic A Christian Comment, hal.2 diunduh dari http://astro.temple.edu/dialogue/Centre/hick.htm, 237 Pierre Joseph Proudhon, What is Property? An Inquiry into the Principle of Right and of Government. Translated from the French by Benj. R. Tucker Dover, Electronic Text Center, University of Virginia Library (1970), (originally published by Humboldt Publishing Company 1890) . hal. 124 diunduh dari http://etext.lib.virginia.edu/toc/modeng/public/ ProProp.html 238 Selanjutnya Proudhon mengatakan "The land is an instrument of production," they say. That is true. But when, changing the noun into an adjective, they alter the phrase, thus, "The land is a productive instrument," they make a wicked blunder, Ibid., hal. 132

109

Artinya hak kepemilikan menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak ada, sebab tanah itu instrumen produksi namun bukan instrumen yang produktif. Selanjutnya Proudhon dan Pierre Joseph memberikan pendapat bahwa peralatan,modal tanah dan sebagainya adalah tidak produktif. Sang pemiik saja yang meminta bayaran atas penggunaan alat-alat yang dikatakan sebagai miliknya. Dan ini berarti si pemilik menerima upah dari sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Kata para ekonom, produk hanya bisa dibeli dengan produk. Pemilik tidak memproduksi apapun, baik dari segi buruh atau alat. Mereka ini tidak lebih dari sekedar parasit atau pencuri. 239 Proudhon mengkritik lebih tajam : The proprietor, on the contrary, does not yield his implement; eternally he is paid for it, eternally he keeps it. 240 Hal ini , merupakan sistem ekonomi yang membuat si kaya makin kaya dan si miskin makin miskin. 4. Melaksanakan CSR tidak sesuai dengan Prinsip Efisiensi Selain bertentangan dengan hak kepemilikan privat,

pelaksanaan CSR, oleh sebagian besar korporasi selalu dianggap berakibat operasional korporasi menjadi tidak efisien. Efisiensi adalah

Tools and capital, land and labor, considered individually and abstractly, are not, literally speaking, productive. The proprietor who asks to be rewarded for the use of a tool, or the productive power of his land, takes for granted, then, that which is radically false; namely, that capital produces by its own effort, -- and, in taking pay for this imaginary product, he literally receives something for nothing, Ibid., hal. 133 240 Ibid., hal. 134

239

110

dasar dalam operasional bisnis, yaitu memanfaatkan sumber yang terbatas untuk memaksimalisasi keuntungan. 241 Efisiensi sebagai prinsip utama untuk maksimalisasi keuntungan dalam bisnis, telah menjadi doktrin yang belum terpatahkan. Walau kadang penerapan efisiensi tersebut bisa menjadi sangat berbahaya dan tidak memperhatikan persoalan kebajikan umum dan prinsip keadilan. Sehingga menimbulkan paradox antara prinsip efisiensi dan redistribusi kekayaan dalam pelaksanaan CSR. Demi efisiensi, perusahaan akan menekan upah buruh, tidak menyediakan dana untuk perbaikan lingkungan, dan memproduksi barang dan jasa yang murah namun cenderung berbahaya. Ini adalah fakta, bahwa demi efisiensi,korporasi mengabaikan tanggungjawabnya kepada masyarakat. 242 Benedict Sheehy mengamati bahwa konflik tersebut terjadi karena para ahli melakukan pendekatan yang terpisah antar hukum dan ekonomi. Sehingga diskusi Oleh mengenai karena CSR itu akan selalu

menghasilkan

pertentangan.

perlu

dilakukan

pendekatan dengan menggabungkan antara hukum dan ekonomi. Benedict Sheehy menjelaskan:
Richard A Posner, Economic Analysis of Law ... ,op. cit, hal. 13 Ingat kasus permen import dari cina yang menggunakan bahan berbahaya, atau bahan pengawet dan juga berbagai makanan berbahaya lainnya, Mewaspadai Makanan Beracun, Kompas Cyber Media, Kamis, 12 Juni 2003, diunduh dari http://kompas.com/kompas-cetak/0306/12/ilpeng/361675.htm. Lihat tentang kasus Patricia Anderson v General Motor 1993 dalam Joel Bakan, The Corporation..., op. cit., hal. 65-68 tentang kasus Patricia Anderson v General Motor 1993
242 241

111

economic analysis in legal scholarship has become so de rigueur that even those who refuse to view economics as the Holy Grail of knowledge are compelled to use economics in their scholarship. The economics adopted by law and economics scholars tends to be neo-classical positivist economics. Hence, law and economics scholars both follow and advocate efficiency, individualism, self-interest, materialism, rationalism, markets, and wealth maximization, as the fundamental principles of all social organization and as such are the basis for and purpose of law. 243 Sheehy juga mencatat, ada cendikiawan yang menaruh

perhatian dibidang ini yang perlu diperhatikan, seperti Ronald Coase dan Hakim Ricard A Posner. Kedua ahli tersebut mempunyai dasar pemikiran yang sama yaitu : Law, as a collection of principles, doctrines, institutions, and enforcement is merely a tool for

maximizing the utility of various competing claims and maximizing efficiency. 244 Ini adalah pekerjaan pertama sebagai upaya terbaik untuk memberi alat pada semua pihak, dalam mengambil keputusan dan menerapkan CSR yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. 245

Benedict Sheehy, The Importance Models: Economic and Jurisprudential Values and The Future of Corporate Law, DePaul Business & Commercial Law Journal Spring 2 (2004) : 478-479 244 Ibid., hal. 480 245 Ibid.

243

112

Posner

dengan

teori

analisis

ekonomi

terhadap

hukum,

menempatkan cost and benefit. 246 sebagai dasar dari pembentukan regulasi. Para ahli ekonomi akan melihat hukum (dengan kekuatan sanksinya) dari faktor biaya yang diperlukan. Seseorang akan

mentaati hukum apabila melihat sanksi yang diterima dari sisi biaya/harga memproduksi adalah memberatkan. 247 Misalkan, perusahaan akan barang yang aman untuk konsumen, sebab jika

perusahaan memproduksi barang yang tidak aman , walaupun murah sekalipun , maka akan diberikan sanksi yang secara perhitungan cost and benefit adalah merugikan. Perusahaan akan mentaati hukum tentang perlindungan konsumen dengan alasan untuk efisiensi. Dalam kehidupan yang materialistik, membuat regulasi dengan berikan sanksi berdasarkan perhitungan cost and benefit memang dapat bekerja secara efektif. Karena masyarakat akan melihat secara untung rugi dalam mentaati aturan hukum. Secara filosofis ini sesuai dengan teori histories materialisme dari Karl Mark. Frans Magnis Suseno memberi catatan tentang teori tersebut sebagai berikut : Masyarakat akan selalu berubah. Dan

Posner menyebutkan : the use of the word value and utility to distiguish between (1)an ecpected cost or benefit (2)what that expected cost and benefit is worth to someone who is not risk neutral obscures a more dramatic distiction. Richard A Posner, Economic Analysis of Law, op cit., hal. 13 247 Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economic, (Essex : Addison Wesley Longman Inc, 2000), hal. 3-7

246

113

segala perubahan dari sejarah peradaban masyarakat didasarkan pada faktor ekonomi dan bukan oleh ideologi politik. 248 Untuk itu, masyarakat harus direkayasa dengan mendasarkan pada faktor-faktor ekonomi. Artinya, hukum dalam hal ini sebagai alat untuk merekayasa dan mengontrol perilaku masyarakat, harus

didesain dengan dasar pertimbangan ekonomis. Beban biaya pada sanksi hukum, dan kemanfaatan yang didapat masyarakat dengan mematuhi hukum, harus dilakukan dengan perhitungan ekonomis. Pembuatan regulasi beserta penerapannya harus dilakukan dengan perhitungan yang efisien. Semakin efisien akibat dari hukum , maka masyarakat akan semakin mudah untuk mematuhi hukum. Sebaliknya, semakin tidak efisien akibat penerapan hukum, maka semakin sulit masyarakat untuk mentaati hukum. Itu semua adalah pilihan yang rasional dalam masyarakat modern yang materialistik. Coleman memberikan catatan bahwa: norma diprakarsai dan dipertahankan oleh masyarakat yang melihat keuntungan yang dihasilkan dari pengalaman terhadap norma, dan kerugian yang berasal dari pelanggaran norma tersebut. Jadi seseorang berkepentingan untuk menginternalisasikan norma pada pihak lain serta mengendalikannya karena itu adalah rasional. Karena upaya seperti itu dapat efektif dengan biaya yang masuk akal. 249

248 Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Mark: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1999) hal. 9-10 249 George Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Modern, diterjemahkan oleh Triwibowo Budi Santoso (Bandung : Penerbit Kencana, 2004), hal. 396-397

114

Tetapi pada kenyataannya, teori diatas tidak selalu berjalan dengan baik. Banyak korporasi yang berdasarkan perhitungan cost and benefit dan pertimbangan efisiensi gagal dalam melaksanakan CSR, serta cenderung merugikan masyarakat. Sekalipun korporasi harus berhadapan dengan sanksi hukum. Sebab, jika sanksi hukum itu masuk kategori tetap menguntungkan, maka hukum tetap akan dilanggar. Misalnnya, dalam kasus General Electric Coproration (GE Corp). Karena keuntungan yang didapat lebih banyak, GE Corp antara tahun 1990 sampai tahun 2001 telah melakukan pelanggaran hukum sebanyak 42 kali dan dihukum untuk membayar ganti rugi ratusan juta dollar dan merehabilitasi lingkungan, Namun sampai hari ini GE Corp tetap eksis dan tidak bangkrut.. Jadi, melangggar hukum dan membayar denda akan terus dilakukan, jika dari sisi perhitungan

tetap memberi keuntungan bagi korporsi . 250 Professor Bruce Willing menyatakan logika tersebut sebagai berikut: Praktik bisnis memandang, bahwa denda adalah tambahan biaya dalam menjalankan bisnis. Aktivitas yang dilarang tidak terhalangi oleh adanya denda sepanjang laba yang diperkirakan akan dihasilkan tersebut akan lebih besar, dari pada jumlah denda dikalikan probabilitas tertangkap dan dinyatakan bersalah. Dengan mempertimbangkan jumlah denda rata rata pencegahan adalah hal yang mustahil pada sebagian besar kasus . Argumentasinya, bahkan lebih jelas lagi, jika memakai logika residivis, korporasi sekali tertangkap

250

Joel Bakan, The Corporation, op. cit. , hal. 80-84

115

dan kena denda akan menjadi lebih lihai dalam melakukan kejahatan. 251 Artinya pertimbangan efisiensi tidak selalu menjadi pilihan yang rasional. Jika efisensi adalah nilai yang sangat sakral dalam ekonomi , maka menjadi sulit dan berbahaya untuk diadopsi dalam prinsip sosial. Untuk itu perlu dipahami ulang mengenai efisiensi, sebab efisiensi dapat mengabaikan nilai martabat manusia. Sir Richard Ivor: "A society where everyone is intent on maximizing their own wealth has its limitations." Efficiency may require killing off the excess humans or enslaving some other humans. 252 Prinsip efisiensi juga harus menciptakan kebaikan bagi Seperti yang dikatakan

masyarakat. Setiap tindakan korporasi yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat merupakan tindakan melanggar hukum. 253 Hal ini

sudah seharusnya menjadi pertimbangan yang komprehensif bagi para ekonom dalam mengambil kebijakan, seperti yang dikatakan Florenz Plassmann: Good economists never need to choose between efficiency and fairness. They have already settled the issue when they decided what kind of an economist they want to be. 254

Bruce willing dalam Joel Bakan, The Corporation, ibid., hal. 86 Benedict Sheehy, The Importance Models: Economic ,op. cit., hal. 474 253 M.Stuart Madden, The Products Liability Restatement Warning Obligations : History,Corrective Justice and Efficiency Pace University School of Law (1998) : 52 diunduh dari http://digitalcommons.pace.edu/lawfaculty/145 254 Florenz Plassmann, Do Economists need to choose between Efficiency and Justice?, Department of Economics, Binghamton University Journal (April 2003) : 1
252

251

116

Selanjutnya

Florenz

Plassmann

juga

mengingatkan

para

ekonom untuk menyadari bahwa ekonomi adalah bagian dari ilmu sosial, maka seharusnya para ekonom menempatkan analisis sosial

terhadap setiap aktivitas ekonomi. Efisiensi sebagai dasar aktivitas ekonomi tidak boleh mengabaikan faktor sosial. 255 Oleh karena itu, penyaluran sebagian kekayaan korporasi untuk melakukan CSR tidak perlu dipandang bertentangan dengan prinsip efisiensi. 256 Lalu, apakah penerapan kewajiban hukum bagi korporasi untuk melakukan CSR oleh pemerintah adalah tindakan yang benar?. Menurut Cooter, bahwa sudah tugas pemerintah untuk membuat

aturan demi menciptakan kesejahteraan sosial. 257 Kesejahteraan sosial dijelaskan secara filosofis oleh Alappatt. Dia mengatakan bahwa: Manusia tidak bisa hidup dari motif ekonomi semata. Oleh karena itu tatanan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan
Menurut Florenz Plassmann ada berbagai pendekatan dalam melakukan analisis ekonomi. yaitu Neoclassical economics is the most popular approach, at least in the United States, but it is not the only one. There are also Austrian Economics, Keynesian Economics, Institutional Economics, Ecological Economics, Feminist Economics, and Marxist Economics, to name only a few, Ibid., 2 -3 256 Cooter mengatakan : The problem is partly due to studies and disciplines being narrow and thus seeing morality as something which is separate; and partly due to the belief that social and economic justice cannot be furthered without a loss of economic efficiency. This belief is challenged by binary economics which claims that it creates not only a new economics but also a new justice and a new morality because it is a market economics whose markets work for everybody rather than just a few; and it upholds private property but private property, again, for everybody rather than just a few. A summary might be a justice which creates efficiency and an efficiency which creates justice Robert Cooter dan Herman Selvin, The Confluence of Justice and Efficiency in the Economics Analysis of Law, (Berkeley:University of California :December 2003), hal. 5 257 Cooter juga mengatakan: Fundamental laws of the state and social science cause people to produce and distribute wealth. The fairness of the distribution of wealth across classes and groups is the concern of distributive justice.Ibid., hal. 14
255

Francis

117

kehidupan yang layak dan manusiawi harus berpegang pada prinsip kemanusiaan yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia. Pertumbuhan materi atau kekayaan hanyalah salah satu bagian dari kesejahteraan integral .Ada sejumlah efek merusak yang ditimbulkan oleh sistem produksi modern dalam memperlakukan manusia. Adanya tuntutan efisiensi dalam produksi menyebabkan penurunan derajat manusia, karena manusia dianggap sebagai alat bagian dari mesin ekonomi. Hal ini harus dihindarkan demi kebaikan individu maupun keberlangsungan sistem produksi. Manusia akan mampu melakukan yang terbaik dan menghasilkan sebanyak mungkin bukan ketika dia berada dalam situasi yang penuh tekanan dan tidak manusiawi. Manusia harus dianggap benar-benar sebagai individu yang penting. Seorang manusia akan menghasilkan karya terbaiknya ketika ia mendapatkan sentuhan kasih sayang dan berada dalam iklim yang dipenuhi dengan cinta kasih. 258 Namun demikian, para ekonom tetap akan melihat dan

memprediksi akibat dari sebuah aturan pemerintah dan relevansinya dari sisi biaya. Para ekonom akan meletakkan ukuran efisiensi dan distribusi sebagai dasar yang harus dipertimbangkan. Sebab,

kebijakan pemerintah (hukum) adalah baik jika dampak yang dicapai, dengan biaya serendah mungkin dan meratanya pendapatan dan kesejahteraan.259 Artinya, kewajiban hukum bagi korporasi untuk melakukan CSR harus berbading lurus dengan biaya rendah dan penciptaan kesejahteraan. Coase Theorem dari Ronald Coase dalam article, The Problem of Social Cost yang diterbitkan tahun 1960,
258

dapat dijadikan sebagai

Pemikiran Francis Alappatt ini banyak merujuk pada pemikiran Mahatma Ghandi .Francis Alappatt, op. cit., hal. 83-84 259 Robert Cooter dan Herman Selvin, op. cit., hal. 6

118

rujukan

untuk

menyatukan

efisiensi

dan

redistribusi

kekayaan

korporasi terkait dengan isu CSR. Dia mengatakan : [U]nder perfect competition private and social costs will be equal. In a world of zero transaction costs, the allocation of resources will be efficient, and invariant with respect to legal rules of liability, income effects aside. [R]esource allocation is efficient regardless of the structure of liability law, providing that bargaining is frictionless. [I]f nothing obstructs efficient bargaining, then people will negotiate until they reach Pareto efficiency. 260 Coase Theorem ini menghendaki persyaratan adanya zero cost transaction. Dicontohkannya dengan ilustrasi oleh Robert Cooter dan Herman Selvin sebagai berikut: Di sebuah padang pasir ada dua Oase. Satu oase memiliki kelebihan ice cream dan oase lainnya tidak. Oase pertama ingin membagikan ice cream kepada oase lainnya demi keadilan . Menurut Coase Theorem untuk membuktikan bahwa justice as efficiency apabila pengiriman ice cream dari satu oase ke oase lainnya tidak ada pengurangan yang terjadi. Seperti bagaimana ice cream tidak meleleh, atau ada jaminan si pengirim ice cream yang melewati panasnya padang pasir tidak mengurangi ice cream karena kehausan. Sehingga jumlah ice cream akan terdistribusi secara efisien untuk menciptakan keadilan diantara penghuni oase. 261

Elizabeth Hoffman and Matthew Spitzer mengatakan mungkin tidak saja Zero cost transaction yang dijadikan syarat Justice as efficiency , tapi juga dipengaruhi oleh asumsi-asumsi sebagai berikut: (a) two agents to each externality (and bargain),(b) perfect knowledge of one another's (convex) production and profit or utility functions,(c) competitive markets,(d) zero transaction costs (e) costless court system,(f) profitmaximizing producers and expected utility-maximizing consumers, (g) no wealth effects, (h) [the striking by agents of] mutually advantageous bargains in the absence of transaction costs, Elizabeth Hoffman and Matthew Spitzer dalam Michael I. Swygert dan Katherine Earle Yanes, A Unified Theory Of Justice: The Integration Of Fairness Into Efficiency, Washington Law Review 73 (April, 1998), : 268 261 Robert Cooter dan Herman Selvin, op. cit., hal. 18-19

260

119

Teori

diatas,

bukanlah

satu

hal

yang

mudah

untuk

diterjemahkan dalam praktek. Efek dari perilaku pasar serta intervensi pemerintah melalui berbagai pungutan dan perpajakan tidak mungkin untuk di negasikan. Coase mengatakan: "[a]ll solutions have costs and there is no reason to suppose that government regulation is called for simply because the problem is not well handled by the market or the firm . The situation in the real world is different than it would be in an ideal world, [I]n choosing between social arrangements within the context of which individual decisions are made, we have to bear in mind that a change in the existing system which will lead to an improvement in some decisions may well lead to a worsening of others. Furthermore we have to take into account the costs involved in operating the various social arrangements (whether it be the working of a market or of a government department), as well as the costs involved in moving to a new system. In devising and choosing between social arrangements we should have regard for the total effect. 262 Benturan prinsip efisiensi dan hak kepemiikan terhadap proses redistribusi kekayaan dalam pelaksanaan CSR, sebagai sebuah

gagasan yang harus diterima untuk menciptakan keadilan sosial. Sebagai antisipasi persoalan moral, politik dan konsekuensi ekonomi itu sendiri. Seperti yang dikatakan Freiderik von Hayek, yaitu: the concept of social justice might be intelligible within the context of a command economy, in which the distribution of resources is, at least in theory, the deliberate choice of a central authority, however, on positive economic grounds that serious attempts to achieve any pre-determined pattern of income or wealth through state-sponsored redistribution will invariably

262

Michael I. Swygert dan Katherine Earle Yanes, op. cit., hal. 278

120

have disastrous moral, political, and economic consequences . 263 Maksud Hayek bahwa konsep keadilan sosial hanya dapat dimengerti apabila ada mekanisme distribusi kekayaan. Untuk itu negara perlu menyokong terjadinya redistribusi kekayaan. Salah satunya adalah mewajibkan bagi korporasi yang kaya untuk

menyalurkan kembali sebagian kekayaannya kepada masyarakat melalui CSR, adalah wujud dari konsekuensi ekonomi.

B. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Adalah Aktifitas Bisnis Yang Diwajibkan (Mandatory)

263 Pendapat Hayek tersebut didasari argumen : First, given the ineradicable fact of moral pluralism, Because there is no rationally convincing way to resolve this conflict to every-one's satisfaction, the adoption of any particular distributive principle, such as need, merit, or labor time, would necessarily entail the imposition of a unitary scale of values, which would appear morally arbitrary from the perspectives of those who disagree with the favored criterion. Second In such a system, economic rewards would ultimately be determined by political authorities, who in turn would be subject to intense interest group pressures. Under these circumstances, the quest for social justice would invariably degenerate into a zero-sum game in which different groups compete in the political arena for what they claim to be their "fair share" of scarce resources. Finally, the attempted transformation of society as a whole into an organizational mode would seriously undermine the very economic processes that are responsible for the maintenance of contemporary living standards. Samuel Taylor Morison, A Hayekian Theory Of Social Justice, New York University Journal of Law & Liberty 1 (2005) : 229-239. Konsepsi ini mirip dengan pandangan Umar Ibn Khatab: ...persamakan diantara manusia diantara pandangan kamu dan di majlis kamu dalam keadaan keadilan ; sehingga orang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu dan orang yang mulia adalah yang tidak tamak dalam kezhaliman. Jaribah bin Ahmad Al Ahritsi, Fikih Ekonomi Umar Bin Al Khatab, (Jakarta : Penerbit Khalifah, 2006), hal. 418

121

Sub bab ini akan membahas mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sebagai aktifitas Hal ini akan dikaji bisnis yang dapat diwajibkan oleh hukum. tinjauan sosial bahwa selain korporasi mencari seharusnya keuntungan.

dengan

memperhatikan

kepentingan

Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai persoalan normatif dan teknis dalam menggeser CSR dari prinsip sukarela (voluntary) ke kewajiban (mandatory), dan diakhiri dengan mengulas paradigma baru tujuan perusahaan yang berorientasi pada keuntungan, menciptakan

kesejahteraan dan pelestarian lingkungan. 1. Korporasi Harus Memperhatikan Kepentingan Sosial Bisnis bukan diruang hampa, segala keputusan yang dibuat oleh korporasi langsung atau tidak langsung akan berdampak pada masyarakat. Pada waktu dahulu, keputusan bisnis hanya didasarkan pada analisis cost benefit semata. Sumbangsih korporasi cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produknya dan membayar pajak kepada negara. 264 Tetapi menurut Beth Stephens, mencari keuntungan bukanlah satu satunya tujuan perusahaan, namun hanya sebagai bisnis

utamanya. Selebihnya korporasi harus memperhatikan kepentingan

Yusuf Wibisono, Membedah konsep dan Aplikasi CSR (Surabaya:Fascho Publishing, 2007) hal. 4-5

264

122

sosial dan lingkungan sebagai bagian dari tujuan perusahaan. 265 Perihal ini didasarkan pada dua alasan, yaitu: (1) dampak negatif dari operasional korporasi dan; (2) Hubungan antara korporasi dengan

masyarakat yang semakin komplek, sehingga diperlukannya intervensi negara dalam mengatur aktivitas korporasi. Penjelasannya sebagai berikut : Pertama, ekspansi besar-besaran dari korporasi, khususnya

perusahaan multi nasional (MNC) ke berbagai negara-negara dunia ketiga tidak memberikan sebesar kesejahteraan. demi MNC justru mencari tanpa

keuntungan

besarnya

kepentingan

pribadi,

memperhatikan hak-hak (ekonomi) masyarakat lokal. 266 Bahkan operasional korporasi, banyak menimbulkan dampak negatif bagi ekonomi dunia yang semakin timpang dan rusak. Seperti pencemaran lingkungan dan eksploitasi terhadap buruh dan

melanggar hak hak asasi manusia. Untuk itu, sekarang korporasi harus mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan lingkungan eksternal dalam setiap keputusan bisnisnya. 267

Beth Stephens , The Amorality Of Profit:,op cit., hal 51 Ibid., hal. 51-60 lihat Joseph Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, diterjemahkan oleh Edrijani Azwaldi (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006), hal. 275- 286 267 Henry Cheseeman, Business Law ..., op cit, hal. 156
266

265

123

Kedua, pencarian keuntungan yang diyakini para ekonom kapitalis akan menciptakan kesejahteran bangsa secara keseluruhan ternyata tidak terwujud. 268 Secara teori proses ini hanya akan terjadi apabila negara (pemerintah) tidak mengintervensi sistem pasar. Semboyan dari sistem ekonomi ini adalah laissez faire (biar saja berjalan sendiri) . Tugas pokok Negara dilukiskan sebagai nightwacth state (negara jaga malam). Segala kegiatan ekonomi diatur oleh invisible hands yang akan menciptakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran secara kompetitif , 269 Sehingga konsumen akan mendapatkan produk berkualitas dengan harga murah untuk tercipta kesejahteraan dalam masyarakat. 270 Intervensi Negara justru akan menciptakan inefisiensi dan hambatan hambatan. Pemerintah hanya diperlukan untuk

menjaga kompetisi dalam pasar bebas berjalan secara fair, dengan mencegah monopoli serta melakukan privatisasi terhadap perusahaanperusahaan negara atau bidang bidang usaha yang selama ini dikuasai negara . 271 Tetapi Stiglitz, menyebutkan dalam studinya tentang peran negara bahwa setelah melihat dasar-dasar teoritisnya, terdapat
Will Kymlicka, Filsafat Politik Kontemporer : Kajian Khusus atas Teori-Teori Keadilan diterjemahkan oleh Agus Wahyudi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hal. 127-138 269 K Berten, op. cit., hal. 120 270 Joseph Stiglitz, Making Globalization,op cit., hal. 128-129 271 Milton Friedman, Capitalism and Freedom, op. cit., hal., 119-132. Lihat K Berten, op. cit., hal. 137 -140
268

124

berbagai bentuk alternatif intervensi yang bisa dilakukan negara. Setidaknya ada empat alternatif bentuk intervensi negara dalam urusan ekonomi adalah 272: 1. Negara dapat memberi hak monopoli bagi perusahaan negara. 2. Negara menciptakan kondisi yang bersaing antara perusahaanperusahaan negara. 3. Negara dapat membuat seperangkat peraturan perundangundangan yang dapat menciptakan kompetisi. 4. Negara dapat mengatur monopoli swasta.

Namun seiring dengan perkembangan ekonomi kapitalis yang meminimalisir peran negara, korporasi menjadi institusi yang

dominan. Menurut Niamh Garvey dan Peter Newell pengaruh dan hubungan antara korporasi dengan masyarakat menjadi semakin meningkat. 273

272 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta : Penerbit UII Press, Yogyakarta. 2004) hal. 34 273 Niamh Garvey and Peter Newell menyampaikan dalam kertas kerjanya bahwa transnational corporations (TNCs) have increased in size, reach and power largely as a result of the processes of deregulation and privatisation associated with economic globalisation. Approximately 60,000 TNCs and 500,000 foreign affiliates invest more than US$600 billion abroad annually, and control two thirds of international trade, making them central organisers of the emerging global economy . Foreign direct investment (FDI) has grown at rates above those of GNP and exports, and has been increasingly important relative to official aid flows to developing countries during the 1990s. It is the transnationalisation of resource extraction in particular, however, that brings multinational companies into contact with communities, Niamh Garvey and Peter Newell, Corporate accountability to the poor?: Assessing the effectiveness of community-based strategies, IDS Working Paper 227, Institute Of Development Studies Brighton, Sussex BN1 9RE England (October 2004), hal. 1

125

Dalam

perhitungan

kalkulatif

misalnya,

perusahaan

yang

mempekerjakan 2.500 orang dan jika setiap orang mempunyai anggota keluarga 4 orang maka ada 10.000 orang yang bergantung secara ekonomi kepadanya. Selain itu masih ada masyarakat lain yang misalnya membuka usaha warung makan atau usaha angkutan yang secara tidak langsung terkait dengan jalannya korporasi tadi, dapat diasumsikan angkanya akan mencapai 20.000 orang yang bergantung pada korporasi tersebut . Hal ini menjadikan korporasi sebagai sebuah institusi yang secara langsung bertanggung jawab secara sosial terhadap kehidupan dan masa depan masyarakat tersebut. 274 Dari uraian tersebut, menuntut korporasi untuk tidak saja mencari keuntungan secara bebas, tetapi juga memperhatikan

kepentingan stakeholder. 275 Pemikiran mengenai hal tersebut pada awal mulanya di ajukan oleh E Merric Dodd. Berbeda dengan pendapat Adolf Berle, Dodd mengajukan konsep bahwa korporasi bekerja tidak hanya untuk kepentingan pemegang saham, tetapi juga untuk kepentingan

masyarakat umum dan kesejahteraan bangsa, yang selanjutnya lebih

Ilustrasi ini didapat dari diskusi dalam International Conference: Asean Forum on Corporate Social Responsibility yang diselanggarakan pada tanggal 8-9 September 2005 di Hotel Hilton Jakarta., Mukti Fajar ND,Corporate Social Responsibility, SKH Kedaulatan Rakyat, tanggal 25 September 2005, 275 K Berten, op. cit., hal. 150

274

126

dikenal dengan istilah stakeholder.276 Menurut R Edward Freeman yang dimaksud stakeholder adalah pihak pihak yang dipengaruhi sekaligus mempengaruhi tujuan pencapaian kuntungan perusahaan. 277 Ajaran Dodd tersebut telah melahirkan stakeholder theory. Teori ini dibangun berdasarkan pandangan, apabila direksi korporasi hanya mencari keuntungan sebanyak banyaknya demi kepentingan pemegang saham, maka kemungkinan besar bisnis akan cenderung menyimpang. Perusahaan akan melakukan eksploitasi terhadap buruh dan menekan konsumen serta rekanan bisnis. Untuk itu tujuan mencari keuntungan dari korporasi harus diperluas juga kepada pemenuhan kepentingan stakeholder. 278 Teori ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Henry Hansmann dan Reinier Kraakman secara teoritis memberikan

penjelasan mengenai tujuan perusahaan, yaitu: As a normative matter, the overall objective of corporate law as of any brach of law is presumably to serve the interest of society as a whole. More perticularly, the appropriate goal of corporate law is to advance the aggregate welfare of a firms shareholders, employees, suppliers, and customers without undue sacriface. 279
Dodd mengatakan : managers should concern themselves with the interests of employees, consumers, and the general public, as well as of the stockholders. the business corporation has a social service as well as a profit-making function, Jill E Fish, Measuring, op. cit., hal. 643-644 277 R Edward Freeman, Strategic Management : A Stakeholder Approach, dalam Fachry Ali dan Ihsan Ali Fauz, Kontrak Sosial Dunia Usaha Dan Politik Nasional, Majalah Usahawan, No. 12 TH XXVII, (Desember 1998), hal. 46 278 K Berten, op. cit., hal. 163 279 Dari uraian diatas, menunjukan bahwa tujuan perusahaan adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat umum termasuk konsumen maupun rekanan bisnis. Walaupun meningkatkan pendapatan bagi pemegang saham tetap menjadi prioritas utama dan
276

127

J.A.C. Hetherington mengutip pendapat

Owen D. Young,

pendiri dan pimpinan dari General Electric Corporation, ada tiga pihak yang harus diperhatikan kepentingannya oleh perusahaan yaitu: That there are three groups of people who have an interest in that institution. One is the group of fifty-odd thousand people who have put their capital in the company, namely, its stockholders. Another is a group of well toward one hundred thousand people who are putting their labor and their lives into the business of the company. The third group is of customers and the general public.Customers have a right to demand that a concern so large shall not only do its business honestly and properly, but, further, that it shall meet its public obligations and perform its public duties. 280 Pendapat Milton Friedman, bahwa satu satunya tanggung jawab sosial korporasi adalah meningkatkan keuntungan bagi

pemegang saham,

mungkin benar secara kontek pada tahun

1960an dan 1970an. 281 Tetapi hari ini segalanya telah berbeda. Secara faktual, kondisi dan nilai-nilai masyarakat telah berubah. Masyarakat dunia, yang sebagian ikut merasakan adanya

ketimpangan sosial dan kemalangan yang harus diderita oleh sebagian saudaranya yang lain, akan mempunyai ekpektasi yang berbeda terhadap korporasi. Dengan hak-hak yang dimiliki,

tidak boleh dikorbankan demi kepentingan apapun lainnya, Henry Hansmann dan Reinier Kraakman, The Anatomy of Corporate Law: What is Corporate Law? (New York : Oxford University Press inc, 2005), hal. 18 280 J.A.C. Hetherington, Fact And Legal Theory: Shareholders, Managers, and Corporate Social Responsibility Stanford Law Review, 21 (January, 1969) : 277 281 Milton Friedman, The Social Responsibility of Business is to , loc. cit

128

khususnya hak untuk memilih barang dan jasa, masyarakat sebagai konsumen akan mempromosikan dan memilih untuk membeli produk korporasi yang menjalankan CSR, termasuk juga kepemilikan saham melalui bursa. Dalam konteks ini CSR justru menjadi norma yang wajib dilaksanakan karena mendukung untuk increasing profit. 282 Apabila korporasi tidak memperhatikan stakeholder seperti supplier, rekanan atau konsumen, maka pada giliran berikutnya

mereka akan memperlakukan hal yang sama terhadap perusahaan, misalnya konsumen enggan membeli produknya dan supplier tidak menyetor bahan baku yang berkualitas untuk korporasi. 283 Dari pemikiran inilah banyak pihak yang mengarahkan korporasi untuk melakukan CSR sebagai tindakan yang diatur oleh hukum. Friends of The Earth International (FoEi) adalah LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup berkampaye dengan keras bahwa sebaiknya CSR, sebagai hasil dari World Summit On Sustainable Development Commitments On Corporate Social Responsibility tersebut supaya proses produksi

Shann Turnbull, Increasing profits with Corporate Social Responsibility, Australian Joint Parliamentary Committee on Corporations and Financial Services inquiry into Corporate Responsibility (November, 2005) diunduh dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=800904 283 R Edward Freeman, Strategic Management : A Stakeholder Approach dalam Fachry Ali dan Ihsan Ali Fauz, Kontrak Sosial Dunia ..., op cit., hal. 46

282

129

efekif harus dirumuskan dalam suatu ketentuan hukum yang mengikat (legally binding) dalam bentuk corporate accountability. 284 Indonesia secara tegas telah mewajibkan setiap investor untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan melalui Undangundang No 25 Tahun 2007 dan diwajibkan bagi Perusahaan

Perseroaan Terbatas untuk melaksanakan Tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam Undang-undang No 40 Tahun 2007. Namun tidak hanya di Indonesia CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan. Inggris adalah negara yang telah mengatur

CSR yang disebut The 2003 Corporate Social Responsibility Bill (CSR Bill). Dalam article 2 CSR Bill mengatur tentang penerapan

ekstateritorial CSR di semua bidang. Kewajiban korporasi untuk melakukan konsultasi dengan stakeholder, dan memberikan kewajiban bagi korporasi untuk mempublikasikan laporan perusahaan kepada

masyarakat (annual social report). Selanjutnya Article 6 memberikan kewajiban kepada perusahaan induk terhadap anak perusahaannya, untuk tidak melakukan merger, akuisisi, dan restrukturisasi yang

menyebabkan kerugian pada para pihak atau lingkungan dan sosial di wilayah Inggris. Dalam Article 7 dan 8 menekankan kewajiban

direksi terhadap persoalan sosial dan lingkungan. Hal yang sama juga

284

Ibid., hal. 28

130

diberlakukan

bagi

investasi untuk

mempertimbangkan

persoalan

sosial, lingkungan atau etika dalam penerapan investasi tersebut. 285 Pada tahun 2006 Parlemen Inggris mengesahkan Companies Act 2006. Dalam Chapter 5 Section 417 disebutkan mengenai

kewajiban Direksi untuk membuat laporan (business review). Laporan tersebut memuat informasi mengenai 286: (b) informaton about : (i) enviromental matters (including the impact of the companys business on the the environment) (ii) the companys employees, and (iii) social and community isssue

Menurut Margaret Hodge, menteri negara industri dan regional Inggris menjelaskan, bahwa dalam Companies Act 2006 tersebut juga memberikan mandat bagi direksi untuk menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan. Dia mengatakan: The new expression of the duties is part of the wider recognition and encouragement of change in the Act. The enhanced business review,which for quoted companies must now include information on environmental, employee, social and community issues, is another key example that builds on the growing consensus that it is good business sense for companies to embrace wider social responsibilities...I am sure that directors duties will continue to evolve as times change and as societal norms are transformed. Corporate social
Pradjoto, Tanggung Jawab Sosial Korporasi, Kompas, 22 Juli 2007, dalam Ridwan Khairandy, Corporate Social Responsibility: Dari Shareholder ke Stakeholder,dan Dari Etika Bisnis Ke Norma Hukum..., op. cit., hal. 15 286 United Kingdom , Company Act 2006, hlm. 256 diunduh dari www.opsi.gov.uk/ACTS/acts2006/pdf/ukpga_20060046_en.pdf,
285

131

responsibility has developed and evolved over time. The relationship between business interests and the wider world is changing all the time. The best way of achieving lasting cultural change is to go with the tide and the broad consensus of opinion. 287 Companies Act 2006 juga mewajibkan perusahaan yang sudah tercatat di bursa efek untuk melaporkan bukan saja kinerja

perusahaan (kinerja ekonomi dan finansial) melainkan kinerja sosial dan lingkungan. Menurut Daniri, laporan ini harus terbuka untuk diakses publik dan dipertanyakan. Dengan demikian, perusahaan didesak umum. 288 Pada 13 Maret 2007, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan Resolusi berjudul Corporate Social Responsibility : A New Partnership, yang mendesak Komisi Eropa untuk meningkatkan kewajiban yang terkait dengan akuntabilitas perusahaan, yaitu tugas direktur agar semakin bertanggung jawab kepada masyarakat

(directors duties ) untuk membuat pelaporan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan (environmental and social reporting).289

Resolusi ini adalah bentuk komitmen Perlemen Eropa untuk menindak lanjuti berbagai deklarasi seperti The ILO Declaration on Fundamental

Margaret Hodge, (Minister of State for Industry and the Regions), Companies Act 2006, Duties of company directors, Ministerial statements, June 2007. hlm 3. Diunduh dari http://www.berr.gov.uk/files/file40139.pdf, 288 Mas Achmad Daniri, Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Januari 17, 2008, hal. 9-10 diunduh dari http://www.madani-ri.com/2008/01/17/standarisasitanggung-jawab-sosial-perusahaan-bag-iii/ 289 Ibid.

287

132

Principles and Rights at Work 1998, the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) 1997 Anti-Bribery Convention, the 2002 Johannesburg World Summit on Sustainable , Development, the Global Reporting Initiative's G3 Sustainability and Reporting Guidelines 2006 dan lain sebagainya. 290 Filipina adalah negara yang mengatur CSR secara tegas dalam Institutionalizing Corporate Social Responsibility, Providing Incentives Therefor And For Other Purposes, yang diundangkan oleh Senate And House Of Reprsentatives Of The Philippines dengan sebutan Corporate Social Responsibility Act 2007. Dalam Section 3 menyebutkan : Any corporation, whether domestic or foreign, partnerships and other establishments its performing business in the country are hereby mandated to observe corporate social responsibility or the obligation to consider the interests of society by taking responsibility for the impact of their activities on customers, employees, shareholders, communities and the environment in all aspects of their operations. 291 Sementara di Belanda, pada saat ini sedang dilakukan penelitian yang mendalam mengenai CSR untuk dilihat

290 European Parliament resolution of 13 March 2007 on corporate social responsibility: a new partnership (2006/2133(INI)), P6_TA(2007)0062, hlm 1-4 diunduh dari..http://www.corporate-accountability.org/eng/documents/2006/ep_report_ on_csr0612.pdf. 291 Fourteenth Congress Of The Republic Of The Philippines, SENATE S.B. NO. 1928, Introduced by Senate President Manny Villar to An Act Institutionalizing Corporate Social Responsibility, Providing Incentives Therefor And For Other Purposes, di unduh dari www.senate.gov.ph/lisdata/65405784!.pdf,

133

kemungkinannya diatur dalam Undang undang Dutch Company. 292 Begitu pula di Spanyol. Pada Desember tahun 2002, telah dibicarakan dalam rapat Pleno The Spanish Parliament mengenai A draft Corporate Social Responsibility Act. Namun karena banyaknya

perdebatan, sampai hari ini draft tersebut belum disahkan menjadi Undang-undang. 293 Menurut Veronica Besmer, setidaknya ada dua alasan

mengapa CSR harus diatur dalam hukum negara, yaitu: Pertama, bahwa tidak adanya kekuatan memaksa dari hukum kebiasaan atau sukarela , tanpa diratifikasi dalam peraturan lokal sebuah Negara. Kedua, bahwa prinsip sukarela yang tidak mengikat, tidak akan memberikan efek apapun secara jelas dan terukur. 294 Pendapat ini tidak jauh berbeda dari apa yang dikatakan oleh Pablo Nieto. Dia menjelaskan alasan perlunya CSR diatur oleh hukum Negara. Pertama, bahwa negara mempunyai peran untuk mengatur korporasi dan, kedua, pengaturan hukum diperlukan untuk

memperjelas definisi tentang konsep CSR, ukuran pelaksanaan dan

J.J.Graafland, S.C.W. Eijffinger,N.C.G.M.Stoffele,H.Smith and A.M.Coldeweijer, Corporate Social Responsibility of Dutch Company : Benchmarking And Transparency, di unduh dari http://uvtws1.uvt.nl:7779/pls/kubweb/ kw3app.kw3_bin?id=00012175&mime =application/pdf&file=/faculteiten/fgw/cmo/onderzoek/mo/publicatie.pdf 293 Miguel ngel Cabra de Luna and Clara Gaztelu San Pio, Corporate Social Responsibility in Spain, diunduh dari http://www.efc.be/cgi-bin/articlepublisher.pl? filename =ML-SE-10-03-1.html 294 Veronica Besmer, The Legal Character of Private Codes of Conduct: More Than Just A Pseudo-Formal Gloss on CSR, Hasting Business Law Journal 2 (Winter 2006): 286

292

134

standarisasi dalam sistem audit. 295 Walapun dalam analisisnya, Pablo Nieto memberi catatan bahwa pengaturan tersebut berpotensi untuk menghambat proses pengembangan CSR itu sendiri. 296 Keterlibatan negara dalam pengaturan CSR dapat dikaitkan dengan hak penguasaan negara seperti yang dikonsepsikan dalam Pasal 33 UUD 1945. Peran negara menjadi penting bagi kegiatan ekonomi yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak . Konsep hak penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945 didasarkan pada : (a) pertimbangan demokrasi ekonomi; (b) untuk menghindari penumpukan produksi dan jatuh ketangan orang seorang yang berkuasa, dan; (c) untuk menghindari penindasan terhadap rakyat banyak oleh mereka yang secara ekonomi dan politik sangat kuat. 297 Adrian Henriques, memberikan penjelasan secara lebih

terperinci mengenai plus minusnya pengaturan hukum terhadap CSR. Nilai plus dari pengaturan CSR adalah
298

1) It would help to avoid the excessive exploitation of labour, bribery, and corruption. 2) Companies would know what is expected of them thereby promoting a level playing field 3) Many aspects of CSR behaviour are good for business (reputation, human resources, branding, easier to locate in

Pablo Nieto, Why Regulating : Corporate Social Responsibility is a Conceptual Error and Implies a dead wight for Competitiveness, The European Enterprise Journal (Tanpa Tahun) : 25 296 Ibid. 297 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, op cit , hlm. 34 298 Adrian Henriques, CSR and Legislation (July 2002) diunduh dari http://www.mhcinternational. com/csr_and_legislation.htm

295

135

new communities etc.) and legislation could help to improve profitability, growth and sustainability 4) Some areas, such as downsizing, could help to re-address the balance between companies and their employees 5) Rogue companies would find it more difficult to compete through lower standards 6) The wider community would benefit as companies reach out to the key issue of under-development around the world Sedangkan nilai minus dari pengaturan CSR adalah 1) Additional bureaucracy, with rising costs of observance 2) Costs of operation could rise above those required for continued profitability and sustainability 3) Critics already argue that the CSR of companies is simply to make a profit, and legislation would increase the vocalization of these concerns 4) Reporting criteria vary so much by company, sector, country and they are in constant evolution. Pall A. Davidsson menyampaikan pandangan beberapa Negara Uni Eropa yang mendukung CSR dalam Legally Binding Standards. Argument yang diajukan adalah 299: a). Enhancement of Economic Integration Masyarakat Eropa telah banyak belajar dari sejarah bahwa ekonomi, politik dan hukum tidak bisa dipisahkan.

Seperti pada jaman rejim Nazi di Jerman bahwa kekuatan ekonomi yang dijalankan oleh kekuatan politik yang

menyimpang

dapat menjadi marabahaya. Kewajiban hukum

untuk CSR akan memperbaiki persoalan tersebut dengan

Pall A. Davidsson, Legal Enforcement Of Corporate Social Responsibility Within The EU,op cit : 547-551

299

136

menciptakan harmonisasi hukum pasar. Aturan hukum akan memberikan standard yang jelas bagi semua korporasi untuk meningkatkan integrasi ekonomi dengan masyarakat. b). Beyond Existing Global Efforts Uni Eropa menegaskan bahwa pendekatan sukarela (voluntary approach), mempunyai resiko membingungkan dan tumpang tindih dengan berbagai code of conduct yang dibuat oleh NGO, organisasi internasional maupun kelompok industri. Seperti The United Nations' Global Compact, The OECD Guidelines for Multinational Enterprises dan The ILO's Tripartite Declaration of Principles Concerning Multinational Enterprises and Social Policy yang sama-sama mengangkat isu hak asasi manusia , standard kerja, perlindungan konsumen dan

lingkungan hidup. Uni Eropa menekankan bahwa penerapan CSR secara hukum tetap diperlukan, walaupun menjadi suatu perihal yang unique dalam kajian normatif demi mendukung upaya-upaya global. c). Efficiency Salah satu alasan yang menjadi pendukung penerapan CSR secara hukum adalah isu efisiensi. Lembaga Amnesty International, Global Witness dan Kelompok Lingkungan hidup World Wildlife Fund (WWF) menyatakan bahwa aturan yang

137

mengikat akan bekerja lebih efisiensi dan meyakinkan secara sosial. Tetapi The International Chamber of Commerce

meyakini bahwa tata keloka perusahaan yang

baik memberi

ruang yang cukup dan lebih efisiensi dari pada aturan hukum. Komitmen pertanggungjawaban dari bisnis dapat diadopsi dengan konsensus, kesadaran dan keyakinan dari perusahaan, dan bukannya dengan hukum dan standar baku. Alasan ini menjadi lemah ketika secara faktual banyak korporasi yang tidak mempunyai kesadaran untuk berbuat baik bagi

masyarakat dengan berbagai pelanggaran, khususnya dinegara negara yang penegakan hukumnya lemah. d). Governance CSR menyentuh area yang fundamental dari

kesejahteraan masyarakat.

Pokok perhatian dari CSR adalah

pemenuhan hak asasi manusia yang telah dinyatakan secara internasional. Seperti hak hidup yang layak dan menghormati hak buruh. Diluar itu CSR juga mendorong korporasi untuk bertanggung jawab pada lingkungan hidup dan masyarakat dimana mereka beroperasi. Untuk itu korporasi harus

138

melakukan tatakelola yang baik untuk pihak internal maupun ada pihak eksterna.l 300 Mosley salah seorang yang mendukung prinsip mandatory, bagi pelaksanaan CSR, ia mengatakan : Corporate social responsibility refers to managements obligation to set policies, make decisions and follow courses of action beyond the requirements of the law that are desirable in terms of the values and objectives of society. 301 Pendapat ini juga didukung oleh Baker yang mengatakan: CSR is not philanthropy and it must be more than just obeying the law. 302 Melihat situasi kondisi abad ke 21 ini, banyak hal buruk

yang telah dilakukan oleh korporasi. Oleh karena itu Larry Cat Backer mengutip pendapat Farley, menegaskan bahwa CSR dapat di asumsikan lebih tepatnya untuk ditempatkan dalam ranah hukum, kalau perlu dijadikan hukum yang sakral (fetish rule of

law), agar supaya korporasi lebih mentaati CSR. 303

300 Namun Parlemen Eropa ingin menegaskan bahwa pengaturan CSR, baik dengan pendekatan sukarela maupun kewajiban (voluntary or mandatory) dimaksudkan untuk memberikan standar yang jelas bagi perusahaan-perusahaan di Eropa, Ibid., hal. 1324 301 Mosley (1996) dalam Christine A. Hemingway, An Exploratory Analysis of Corporate Social Responsibility: Definitions, Motives and Values, Research Memorandum, Centre for Management and Organisational Learning (UK: Hull University Business School, 2002), hal. 6 302 Joel Baker dalam Christine A. Hemingway, loc. cit. 303 Larry Cat Backer, Extraterritoriality and Corporate Social Responsibility: Governing Corporations, Governing Developing States (March 27, 2008) diunduh dari http://lcbackerblog.blogspot.com/2008/03/extraterritoriality-and-corporate.html

139

Thomas

McInerney

memberikan

beberapa

argumentasi

bahwa CSR sebaiknya diatur oleh hukum. Pertama, norma hukum memberikan proteksi yang lebih jelas dan terukur dari pada inisiatif sukarela. Kedua, walaupun isu CSR berdimensi internasional,

tetapi korporasi secara praktis dikontrol oleh Negara dimana koperasi itu beroperasi. sukarela seringkali Ketiga, Program CSR yang berdasar prioritas pembangunan dan

mengabaikan

perlindungan bagi warga Negara. Keempat, bahwa hukum dari suatu Negara yang seharusnya berperan dalam mengarahkan pembangunan ekonomi. 304 Sementara Anne T Lawrence dan James Weber

memberikan penjelasan yang lebih komprehensif tentang perlunya penerapan kewajiban hukum terhadap CSR. Mereka menyampaikan lima hal, yaitu 305: 1). Balances Corporate Power with Responsibility

Thomas McInerney, Putting Regulation Before Responsibility: Towards Binding Norms Of Corporate Social Responsibility, Cornell International Law Journal 40 (Winter 2007): 183... bandingkan dengan pendapat Pablo Nieto, yang mengatakan bahwa ada dua pendapat untuk menyetujui dan menolak CSR dalam bentuk pengaturan ; (1) Reason for regulating : First, one suggests that goverment has the role to support the CSR culture among enterprises . Second one assumes that CSR law is needed to define concepts, normalize actions standardise conducts, and put in order audit system. (2) Argument againts Regulating : First, one is that it goes in strak contrast againts the entreprencurian mentality, which is at the ase of the socially responsible enterprise. Second argument is more philosophical by nature and addresses he semantic concept Pablo Nieto, op. cit., hal. 1-2 305 Anne T. Lawrence, and James Weber. Business and Society: Corporate Strategy, Public Policy, Ethics. ( New York: Irwin McGraw-Hill, 2008) hal .51-53

304

140

Korporasi

besar

dengan

segala

kekuasaannya

kadang

melupakan kepentingan sosial. Dengan aturan hukum yang ketat ( iron law of responsibility) akan meningkatkan komitmen korporasi pada tanggung jawab sosial. 2). Discourages Goverment Regulation Walaupun regulasi pemerintah akan berdampak pada

kebebasan dalam pengambilan keputusan bisnis, namun hal ini dianggap lebih baik . Sebab akan mengarahkan kebebasan bisnis untuk mempertemukan antara sistem pasar dengan kepentingan sosial. 3). Promotes Long Term Profit For Business CSR pada hakekatnya adalah salah satu bentuk investasi. Korporasi yang melakukannya akan mendapatkan keuntungan jangka panjang. 4). Improve Business Value and Reputation Reputasi adalah salah satu hal penting bagi bisnis dalam membangun reputation kepercayaan index banyak pada masyarakat dengan . Saat ini,

dilakukan

memberikan

penghargaan bagi korporasi yang melakukan CSR (CSR Award) 5). Corrects Social Problems Caused by Business Pada kenyataannya, aktifitas bisnis korporasi telah memberikan dampak buruk bagi masyarakat, seperti pencemaran

141

lingkungan. Kewajiban CSR adalah salah satu upaya untuk mencegah atau memulihkan kondisi buruk tersebut. Dari perspektif lain, korporasi dalam hukum perusahaan jika dilihat dari

secara konsepsi adalah institusi privat. Tetapi

pengaruhnya, maka korporasi seharusnya memiliki tanggung jawab secara publik. Seperti yang dikatakan oleh Alan Wolfe: If we believe that corporations are private agents, they are free to mind their own business outside the purview of the rest of society. They are obligated only to themselves, although presumably they may choose to extend that obligation to others. In addition, they are rights-bearing creatures protected by the same clauses in the Constitution that protect individuals, most significantly, the right to free speech. If, on the other hand, corporations are understood as public actors, all these conclusions are reversed. Corporations have obligations not only to their shareholders, but also to others in the society as well; they have public duties. 306 Craig Ehrlich juga mengingatkan, bahwa korporasi di era millenium ini mempunyai tanggung jawab pada masyarakat.

Tanggung jawab tersebut meliputi tiga hal yaitu: The first is the profit making function, an essential ingredient in a free enterprise economy. The second is the responsibility to obey the law. The third is that, "[i]n addition to fulfilling their economic and legal responsibilities, businesses are expected to fulfill ethical responsibilities as well." 307

Alan Wolfe mencatat mengenai tanggung jawab korporasi mengambil dari perdebatan antara Adolf Berle dan E Merrick Dodd di awal 1930 an ketika pemerintah Amerika mencanangkan program New Deals. Alan Wolfe, The Modern Corporation: Private Agent Or Public Actor?, Washington and Lee Law Review 50 (Fall, 1993), : 1675 307 Craig Ehrlich, Is Business Ethics Necessary?, DePaul Business & Commercial Law Journal 4 (Fall 2005) : 55

306

142

Untuk menentukan piihan tersebut tidaklah mudah. Secara teoritik, pada dasarnya para pendiri perusahaan (pemegang

saham) membuat kontrak untuk bekerjasama mendirikan korporasi dengan maksud dan tujuan individualistik (privately). Artinya mereka hanya melimpahkan amanat kepada direksi sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian korporasi. 308 Tetapi secara empirik, teori ini tidak tepat (empirically incorrect."). Seperti yang

dikatakan oleh Frederic von Hayek: So long as management has the one overriding duty of administering the resources under its control as trustees for the shareholders and for their benefit, its hands are largely tied; and it will have no arbitrary power to benefit this or that particular interest. But once the management of a big enterprise is regarded as not only entitled but even obliged to consider in its decisions whatever is regarded as the public or social interest, or to support good causes and generally to act for the public benefit, it gains indeed an uncontrollable power--a power which could not long be left in the hands of private managers but would inevitably be made the subject of increasing public control. 309 Walaupun perdebatan mengenai CSR sudah cukup panjang, namun sampai saat ini masih belum dapat disimpulkan secara definitif dan tunggal. Robert Charles Clark menjelaskan adanya perbedaan filosofi sosial yang melatarbelakanginya. Dia menguraikan ada 5 filosofi

Liberal thinkers liked the notion of privacy, and considered themselves individualists, for a reason. Individualism and privacy were important because they enabled people to become autonomous and moral agents, responsible for their own fate Alan Wolfe, The Modern Corporation, op. cit., hal. 1683 309 Ibid., hal. 1685

308

143

sosial yang dapat digunakan untuk memahami perbedaan tersebut yaitu 310: a. dualism Pemikiran filosofis ini merupakan cara berfikir yang konvensional, yaitu bahwa tugas korporasi adalah mencari keuntungan. Setelah mendapat keuntungan, korporasi harus memperhatikan persoalan sosial. Artinya korporasi akan memberi sumbangan pada masyarakat ketika target keuntungan yang diinginkan telah tercapai. Persoalan dari pemikiran filosofis ini adalah sifat tamak (profif maximization) dari korporasi sulit untuk dikontrol oleh hukum. Kapan korporasi akan menentukan bahwa keuntungannya telah cukup, dan saatnya untuk memperhatikan persoalan sosial, adalah tidak pernah dapat diperkirakan . b. monoism Pemikiran filosofis ini merupakan dasar cara berfikir yang modern. Walaupun kadang sulit , tetapi harus selalu untuk diupayakan. Kerja korporasi dalam mencari keuntungan melalui putusan putusan bisnis, sejak awal harus menggunakan CSR sebagai dasar pertimbangannya. Tujuan mencari keuntungan harus sejalan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. c. modest idealism Pandangan filosofis ini esensinya adalah, bahwa korporasi harus mentaati peraturan yang berlaku. Dengan mentaati hukum , korporasi dapat menekan dampak negatif yang akan muncul, dan meminimalisir gangguan terhadap masyarakat. Hal ini sudah cukup dianggap sebagai pelaksanaan CSR. Letak permasalahan dari filosofi ini adalah apakah hukum yang ada telah mengatur dengan benar, sehingga apa yang legal dilakukan akan berakibat yang baik bagi masyarakat dan menciptakan iklim bisnis yang kondusif ?. d. high idealism

Robert Charles Clark, Corporate Law (New York : Aspen Law Publisher, 1986), hal. 675-696

310

144

Pemikiran filosofis ini menentukan bahwa tujuan utama korporasi adalah untuk mengakomodasi dan memuaskan kepentingan sosial. Pemegang saham harus sering mengorbankan kepentingannya demi pemenuhan kepentingan sosial. Hal ini akan sering bertentangan dengan anggaran dasar dan esensi hukum korporasi. Persoalan yang timbul dari filosofi ini yaitu , korporasi menjadi sangat tidak efisien dalam alokasi anggaran dalam aktivitas bisnisnya dan tidak efektif dalam pengambilan keputusan. e. pragmatism Pemikiran filosofis ini secara nyata mengharapkan adanya hubungan kontraktual antara korporasi dengan pemerintah. Kontrak tersebut adalah untuk menjalankan bisnis yang bersifat layanan publik. Dengan model tersebut , korporasi akan mendapatkan keuntungan dari pemerintah, sekaligus memproduksi barang atau jasa untuk menjadi solusi permasalahan sosial. Misalnya memberikan bisnis untuk mengurus pendidikan, menyelenggarakan rumah sakit, membangun jalan raya dan gedung-gedung pemerintahan, membangun daerah urban dan sebagainya. Persoalan dari filosofi ini adalah mensyaratkan segala biaya dan kebutuhan dana dicukupi oleh pihak pemerintah. Misalnya segala biaya pendidikan dan kesehatan masyarakat ditanggung oleh pemerintah. Dari berbagai pandangan filosofi diatas, penulis berpendapat bahwa CSR seharusnya dilakukan oleh korporasi bersamaan proses pencarian dalam

keuntungan (monoism). Artinya pelaksanaan CSR

adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses mencari keuntungan. CSR harus ditunjukan oleh korporasi dalam setiap keputusan bisnis dan strategi manajemen. Setiap keputusan bisnis, selain tidak melanggar hukum, harus pula berdasarkan etika bisnis untuk bertanggung jawab serta ikut memperbaiki dan menjaga kondisi sosial.

145

2. Merubah CSR dari Sukarela ke Kewajiban: Persoalan Dalam Ranah Normatif dan Teknis Seperti telah dibahas diatas, CSR dilakukan oleh korporasi secara voluntary berdasarkan nilai-nilai moral dan etika bisnis, yaitu mengenai aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela dalam

menjalakan bisnis . 311 Namun, pada dasarnya pelaku bisnis mempunyai

kecenderungan untuk mencari keuntungan dengan berbagai macam cara, termasuk cara cara yang licik. 312 Perihal ini sudah di katakan pada awal sejarah filsafat. Ketika Plato, Aristoteles dan filsuf Yunani lainnya manusia menyelidiki dalam bagaimana negara sebaiknya (polis), mengatur termasuk kehidupan didalamnya

konteks

membahas tentang bagaimana kegiatan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur. 313 Plato memberikan peringatan bagi setiap bangsa, apabila akan mendirikan ibukota maka sebaiknya dijauhkan dari pantai. Maksudnya supaya jauh dari aktivitas perdagangan. Dijelaskan lebih lanjut oleh Plato: Laut adalah kawan keseharian yang menyenangkan, namun memiliki rasa yang payau dan pahit. Dekatnya ibukota
K Bartens, op. cit., hal. 33 Dikatakan oleh Adam Smith People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices Edwin Cannan, Adam Smith : An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nation ..., op. cit., hal. 110 313 K Bartens, op. cit., hal. 37
312 311

146

dengan laut akan mengakibatkan kota dibanjiri oleh para pedagang serta pemilik toko, dan akan menanamkan dalam setiap jiwa masyarakat kebiasaan seperti ketidaksetiaan dan penipuan. 314 Disini dengan sangat jelas Plato mengatakan bahwa, para pedagang mempunyai sifat suka menipu dan tidak setia. Aristoteles menyebut sifat para pedagang tersebut dengan istilah krematistik ( Khremata = kekayaan), yaitu cara melakukan pertukaran barang Cara

dengan uang yang bermaksud menambah kekayaan. 315

pertukaran seperti ini dianggap tidak wajar dan bertentangan dengan kodrat alamiah. Uang telah dipakai tidak hanya sebagai alat tukar, namun uang telah menjadi tujuan tersendiri. 316 Jika

maksimalisasi keuntungan menjadi satu satunya tujuan bisnis, maka kecenderungannya akan melakukan bisnis secara tidak etis. Bisnis akan dilakukan dengan cara penindasan terhadap nilai-nilai

kemanusiaan. 317 Etika bisnis dalam kehidupan modern, kembali menjadi

bahan kajian hangat ketika terjadi bencana collapses di Enron, WorldCom, Adhelphia, Tyco dan lainnya. Dunia bisnis baru tersadar

Ibid., hal. 46 Ibid., hal. 47 316 Aristoteles, Politik , diterjemahkan oleh Saut Pasaribu (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2004), hal. 19-30 317 K Bertens, op. cit., hal. 149
315

314

147

bahwa,

selama

ini

masalah

etika

bisnis

kurang

mendapatkan

perhatian. 318 Sebagai reaksi atas bencana ekonomi tersebut, Badan

Legislatif Amerika Serikat, mengundangkan the Sarbanes-Oxley Act of 2002. Melalui undang-undang ini, Konggres menginginkan adanya kontrol yang efektif untuk mengawasi perusahaan publik, dengan lebih meningkatkan keterbukaan (disclousure) dan standar

tatakelola perusahaan (corporate governance). 319 Kesadaran membangkitkan perlunya semangat menggunakan berbagai etika bisnis, telah

pihak

atau

organisasi

internasional untuk menawarkan dan merumuskan berbagai acuan etika untuk bisnis, yaitu: a. Corporate Initiatives. 320 dunia usaha. Ada 2 model inisiatif penggunaan etika

318 Steven R Barth, Corporate Ethics : The Business Code of Conduct for Ethical Employees (Boston : Aspatore Publisher, 2003), hal. 7 319 The Good, The Bad, And Their Corporate Codes Of Ethics: Enron, SarbanesOxley, And The Problems With Legislating Good Behavior, Westlaw Notes, Harvard Law Review, 116 (May, 2003), : 2123 320 Beberapa contoh yang dilakukan di Uni Eropa adalah : (1). Codes of conduct have been adopted throughout the European fashion industry. In March 1995, (2) The textile and clothing industry adopted a code on CSR in 1997, while the leather and tanning industry signed its code in July 2000.(3). The European toy industry adopted a code of business practices in November 1997. (4)The Ethical Trading Initiative, a U.K.-based alliance of companies code of conduct in 1998. (5) Euro-FIET, representing European commercial workers, issued a statement in 1999 (6) The Confederation of Danish Industries has released a set of guidelines on human rights that requires industrial companies to pursue the same level of social responsibility in their host and home countries..Pall A. Davidsson, op. cit., hal. 533

148

Dengan tidak adanya norma hukum yang mengikat secara global, maka upaya penerapan etika bisa di inisiasi oleh kelompok bisnis sendiri. b. Nation Initiatives. 321 Bersama kalangan bisnis , pemerintah dapat membuat regulasi mengenai etika bisnis dalam wilayah hukumnya masing-masing Peran pemerintah untuk ikut menciptakan kondisi bisnis yang beretika juga diharapkan oleh para pemuka antar agama. Hal ini disuarakan dalam An Interfaith Declaration : A Code of Ethics on

International Business for Christians, Muslims and Jews yaitu: Because the free market system, like any other, is open to abuse, it can be used for selfish or sectional interests, or it can be used for good. The State has an obligation to provide a framework of law in which business can operate honestly and fairly and business will obey and respect the law of the State a in which it operates 322

Beberapa contoh yang dilakukan di Uni Eropa dan Amerika Serikat adalah : (1) the Voluntary Principles on Security and Human Rights drawn up by the governments of the United Kingdom and the United State ., along with leading companies in the extractive and energy sectors , (2) The Danish Ministry of Social Affairs has developed a social index for measuring the degree to which companies live up to their social responsibilities.(3) French law requires companies to record in their annual reports the social and environmental consequences of their activities. (4) In addition, social labeling standards have been adopted in the Netherlands, Germany, Sweden, and the U.K. (5) British courts have heard cases involving MNEs domiciled in the U.K. based on their conduct outside the United Kingdom. (6) Article 2 of the Brussels Convention on Jurisdiction states that a contracting state where the defendant is domiciled is the place of jurisdiction regardless of the defendant's nationality (7) the North American Free Trade Agreement (NAFTA) provides a regional mechanism whereby complaints can be brought against companies for violating workers' rights. Ibid., hal. 534 - 535 322 An Interfaith Declaration. A Code of Ethics on International Business for Christians, Muslims and Jews bagian Guidelines Business and Political Economy huruf e. Simon Webley, Values Inherent in the Interfaith Declaration of International Business Ethics, (Amman, Jordan 1993), loc. cit.

321

149

Dalam prakteknya, penggunaan etika sebagai pertimbangan bisnis mempunyai manfaat yang besar. Steven Barth mengatakan: A corporate code can enhance your companys business reputation and image in the eyes of your customers, your supplies and communities in which you operate. As a result your code of conduct can lead to more and better business for your company business with fewer risks of recrimination or liability. 323 Tetapi ada persoalan mendasar dalam mengkaji etika bisnis jika dikaitkan dengan CSR sebagai aktivitas korporasi. Etika yang

didasarkan pada ajaran moral seharusnya hanya diperuntukkan bagi manusia sebagai moral agent. Sehingga menimbulkan pertanyaan,

apakah korporasi sebagai institusi bisnis dapat dibebani dengan kewajiban moral ? . Apakah konsepsi moral agent dapat diterapkan kepada badan hukum korporasi ? Moral agent secara sederhana dapat diartikan sebagai pihak yang mengemban kewajiban untuk berperilaku sesuai ajaran moral. Lebih jelasnya , moral agent dapat dipahami dari unsur unsur yang melekat didalamnya yaitu : Since a moral agent must be able to understand abstract moral principles and be able to apply them in making decisions, a moral agent must be a living creature with self-consciousness, memory, moral principles, other values, and the reasoning faculty, which allows him to devise plans for achieving his objectives, to weigh alternatives, and so on. Secondly, to weigh his options morally he must attach a positive value to acts that conform to his moral principles and a positive value to some of
323

Steven R Barth, op. cit., hal. 8

150

the results that he can achieve by violating his moral principles. (If someone is never in a situation where there is a conflict between his moral principles and his other values, he never has to make moral decisions and he can't be a moral agent.) This means that to be a moral agent you must live in a world of scarcity rather than paradise. (If all your values could be attained instantly, without effort and without sacrifices and trade-offs, you wouldn't have to choose between your moral goals and your nonmoral goals, and you couldn't exercise your moral agency). 324 Korporasi sebagai badan hukum pada dasarnya adalah subyek hukum yang mengemban hak dan kewajiban hukum. Diskursus ini akan menunjukkan bahwa korporasi dapat menanggung segala akibat hukum atas tindakan melanggar yang dilakukan. Tetapi apakah korporasi dapat dibebani tanggung jawab atas tindakannya yang benar atau salah secara moral ?. Daniel Fischel memberikan pendapat mengenai hal ini. Dia menulis: Those who argue that corporations have a social responsibility and, therefore, that managers have the right, and perhaps the duty, to consider the impact of their decisions on the public interest, assume that corporations are capable of having social or moral obligations. This is a fundamental error. Since it is a legal fiction, a corporation is incapable of having social or moral obligations, much in the same way that inanimate objects are incapable of having these obligations. Only people can have moral obligations or social responsibility. 325
324 Roy Halliday, In Defense of Moral Agents, Libertarian Nation Foundation, (Spring 2000) diunduh dari http://www.libertariannation.org/a/f73h2.html 325 Daniel Fischel dalam Alan Wolfe, The Modern Corporation: Private Agent Or Public Actor?, op. cit., hal. 1686

151

Tetapi Joel Feinberg memberikan tanggapan atas pendapat diatas. Tanggungjawab moral yang dahulu hanya diperuntukan bagi individu, telah bergeser ke arah tanggungjawab kolektif dari

korporasi. Apapun yang dilakukan oleh organ atau anggota (partner) dari korporasi menjadi tanggungjawab bersama organ atau partner lainnya. 326 Menurut Joel Feinberg, yang dimaksud dengan

tanggungjawab moral kolektif tersebut bukan dikarenakan adanya kesalahan, namun lebih pada persoalan moral atau tanggung jawab tanpa adanya kesalahan (group liability without fault), seperti perbuatan yang tidak pantas atau memalukan. 327 Daniel J.H. Greenwood memberikan pandangan bahwa ada kesamaan antara korporasi dengan individu, jika dilihat dari

kewajibannya sebagai anggota masyarakat terhadap pemerintah. Dia mengatakan: in liberal states, individuals have autonomy rights against the government. The citizens are the ends of government; the government is merely a means to our end. Here too, we treat business corporations as more analogous to citizens than to government. Our business corporations have virtually every constitutional right against governmental control and regulation humans have, except for the right not to testify against themselves. Further, corporations have rights that human citizens lack. 328

Joel Feinberg, Collective Responsibility, Journal of Philosophy, vol. LXV, no. 21 (November 1968), hal. 222, diunduh dari http://www.iep.utm.edu/c/collecti.htm 327 Ibid. 328 Daniel J.H. Greenwood, Linking Corporate Law with Progressive Social Movements : Introduction To The Metaphors Of Corporate Law, Seattle Journal for Social Justice 4 (Fall/Winter 2005): 276

326

152

Argumen tersebut harus didiskusikan lebih detil dengan membongkar pendapatnya struktur bahwa korporasi. korporasi Jeffry Nesteruk dari memaparkan yaitu

terdiri

organ-organ,

pemegang saham dan manajemen, yang masing masing mempunyai hak dan kewajiban yang terpisah. Pemegang saham adalah pemilik korporasi. Mereka mempunyai andil terhadap modal yang di

investasikan, dan secara prinsip mereka berhak mengarahkan tujuan dari korporasi. Hak yang paling utama dari pemegang saham adalah mendapatkan keuntungan, dan kewajibannya adalah menanggung kerugian sebesar modal yang ditanamkan. Tetapi dalam keseharian, pemegang saham tidak ikut memberikan keputusan-keputusan

bisnis. Hal ini menjadi kewenangan dan tanggung jawab managemen yang terdiri dari para direksi, dan prakteknya hingga karyawan yang terendah. Jadi ada beberapa individu yang secara terpisah yang

menentukan perilaku dari korporasi. 329 Untuk pembanding , manusia sebagai natural person adalah moral agent, karena segala perbuatan baik dan buruk yang

dilakukannya, dikontrol oleh dirinya sendiri. Artinya, ada perbedaan yang cukup krusial mengenai corporate decision making process dan dynamic of individual moral choice. Manusia secara pribadi dapat

Jeffry Nesteruk, Corporation,Shareholders, and Moral Choice: A New Prespective on Corporate Social Responsibility, University of Cincinnati Law Review 58 (1989) : 469-470

329

153

dinilai atas pilihan moralnya. Tetapi, dalam membuat korporasi tidak bisa dirujuk secara pilihan

keputusan karena

moralnya,

melibatkan banyak pihak. 330 Jika dikatakan bahwa direksi adalah pihak yang bekerja untuk dan atas nama perusahaan, dan dia yang dianggap sebagai penentu atas keputusan korporasi, maka tindakan korporasi dapat dilihat dari pilihan moral para direksinya. 331 Namun dalam kontek diskusi mengenai CSR, konsep ini akan ambivalen. Direksi yang bermoral adalah yang melaksanakan

tugasnya dengan iktikad baik dan berhati-hati, sesuai mandat korporasi dan setia pada pemegang saham. Sementara direksi yang berbaik hati memberikan sumbangan pada masyarakat dengan menerapkan CSR , justru melakukan tindakan amoral, karena telah menghianati amanah. Sebesar apapun, konsentrasi manager/direksi perusahaan akan dinilai dari loyalitas mereka terhadap kepentingan pemegang saham. Tentunya, segala usaha yang dilakukan harus sesuai dengan kepentingan pemegang saham sebagai pemberi

Ibid., hal. 470 Pasal 92 Undang-Undang No 40 Tahun 2007 dalam ayat (1) direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan dan ayat (2) Direksi berwenang menjalakan pengursan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat , dalam batas yang ditentukan oleh Undang-undang ini dan/atau anggaran dasar
331

330

154

hukum yang berlaku di masyarakat. Philip R. P. Coelho dan James E. McClure menegaskan : In assessing the social practices of any corporation, the focus must be on the agents of the firm meeting their prime responsibility: their fiduciary responsibility, within the legal strictures of society and without deception, to husband and increase the wealth that has been entrusted to them by shareholders. All other responsibilities of the firms agents must be subordinated to this one. Above all, ethical agents must ask themselves: Have we met our fiduciary duties to the shareholders?. 332 Persoalan ini dapat diatasi apabila secara jelas tertulis di dalam anggaran dasar korporsi. Anggaran Dasar (corporate statute) sebagai konstitusi sebuah korporasi merupakan jiwa dari

korporasi, dan pilihan moral korporasi. Ada tidaknya perintah untuk CSR dalam Anggaran Dasar akan menjadi salah satu

ukuran moralitas perilaku korporasi. Gary von Stage berpendapat bahwa sebaiknya pemerintah mengatur dengan tegas penerapan CSR melalui anggaran dasar korporasi, agar tidak ada pihak yang dirugikan. 333 Argumentasi lainnya diajukan oleh R Edward Freeman. Dia katakan bahwa dalam beberapa hal, argumen etika bisnis bukanlah sesuatu yang bersifat empiris melainkan bersifat logika. Kekuatan
Philip R. P. Coelho dan James E. McClure, The Social Responsibility of Corporate Management : A Classical Critique diunduh dari http://web.bsu.edu/cob/econ/research/papers/bsuecwp200201coelho.pdf 333 Gary von Stange, CSR Trought Constituency Statutes: Legend And Lie, Hofstra Labor Law Journal 11 (Spring 1994) : 490
332

155

argumentasi mendasar:

tersebut

adalah

dengan

mengajukan

pertanyaan

Is the corporation to be understood solely as a means to creation for wealth for stockholders, or can it be understood as a social contract among stockholders, customer, suppliers, employees and communities ?. 334 Pertanyaan ini akan mengajukan dua hal pokok. Pertama, bahwa sebagai entitas pencipta kesejahteraan, maka perilaku korporasi adalah cerminan kepentingan pemegang saham. Apapun yang dilakukan korporasi merupakan tindakan yang disesuaikan dengan kepentingan pemegang saham. Aspek moral dari pemilik dalam mencari keuntungan akan sangat mewarnai perilaku

korporasi.

Kedua, kata social contract, mengisyaratkan adanya

kesepakatan antara individu dalam masyarakat, sehingga korporasi tidak bisa selalu dikategorikan dalam wilayah privat, tetapi sudah masuk wilayah publik. Segala perilaku korporasi, langsung tidak langsung akan berdampak pada masyarakat umum. Dasar etika

menjadi sangat diperlukan untuk mengarahkan korporasi melakukan perbuatan baik bagi masyarakat. 335 Thomas Donaldson mengomentari pendapat Peter French mengenai perbedaaan antara moral korporasi dengan moral

individual , yaitu :
R Edward Freeman dalam Dunia Usaha..., op cit hal. 19 335 Ibid., hal. 20
334

Fachry Ali dan Ihsan Ali Fauz,

Kontrak Sosial

156

... a very significant distinction between moral agency and moral personhood. He (Donaldson) believes that corporations (and formal organizations generally) are moral agents capable of bearing ascriptions of responsibility, but unlike humans, are not moral persons or full fledged members of the moral community as French asserts, 336 Donaldson memberikan pendapat spesifikasi dua kondisi yang diperlukan untuk mengukur kualitas badan hukum sebagai moral agent yaitu : (1) the capacity to include moral considerations in its decision making and (2) the capacity to maintain and modify its IDS in order to maximize its likelihood of achieving its goals. 337 Selanjutnya Donaldson menyatakan bahwa korporasi

mempunyai dua kewajiban dalam dua klasifikasi indirect. Penjelasannya sebagai berikut
338

yaitu direct and

(1) Direct obligations are formal, explicit, and are often contained in written contracts, such as collective bargaining agreements or legal statutes. (2) Indirect corporate moral obligations are less straightforward and unambiguous than direct ones. A firm's indirect obligations are those owed to constituencies, such as the members of a community in which the firm operates and conducts business, or to the citizens of foreign countries where it might also operate and do business.

336 Tulisan ini disarikan dari berbabai kutipan seperti : Curtler, Hugh, Shame, Responsibility, and the Corporation (New York: Haven Publications, 1986). ; Dan Cohen, Meir, Rights, Persons, and Organizations (Berkeley: University of California Press, 1986).; Thomas Donaldson, Corporations and Morality (New Jersey: Prentice Hall, 1982). ; Fisse, Brent and Peter A. French, eds., Corrigible Corporations and Unruly Law (San Antonio: Trinity University Press, 1985).; French, Peter A., ed., Individual and Collective Responsibility (Cambridge : Mass Schenkman, 1973).; French, Peter A., Collective and Corporate Responsibility (New York: Columbia University Press, 1984). Collective Moral Responsibility, The internet encyclopedi of morality, hal. 6, diunduh dari http://www.iep.utm.edu/c/collecti.htm. 337 Ibid. 338 Ibid.

157

Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Sonny Keraf menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut
339

a. Prinsip otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk

mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
b. Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa

ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
c. Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara

sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
d. Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) menuntut

agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.


Sonny Keraf, Etika Bisnis; Tuntutan Dan Relevansinya (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1988), hal. 74-81
339

158

e. Prinsip

integritas moral terutama dihayati sebagai tuntutan

internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik

pimpinan/orang-orangnya maupun perusahaannya. Menggunakan aspek etika sebagai pertimbangan bisnis akan menciptakan kondisi budaya bisnis yang baik. Adopting a corporate code of ethical business conduct will enable your company to create a cohesive culture of doing the right thing for the right reason. 340 Cerminan personalisasi pengelolaan perusahaan akan terlihat dan terfleksikan dalam budaya perusahaan dan nilai-nilai organisasi, seperti halnya memiliki tanggung jawab sosial perusahaan. Menurut Smith Kline ada 5 inti nilai (core values) yang harus diacu oleh perusahaan yaitu 341: a. Customer Korporasi harus memproduksi barang atau jasa yang inovatif yang seperti diinginkan oleh konsumen b. People Korporasi dan masyarakat harus saling menghargai, bekerja bersama, sebagai perbedaan yang menyatu. c. Community
340 Kata personalisasi digunakan untuk menunjukan korporasi sebagai moral agent yang dapat menentukan baik buruknya tindakan, Steven R Barth, Corporate Ethics : The Business Code of Conduct for Ethical Employees ...,op. cit., hal. 8 341 Ibid., hal. 9-10

159

Dimana saja korporasi melakukan bisnis, harus berusaha untuk menciptakan kehidupan yang baik , pekerjaan dan pertumbuhan bagi masyarakat d. Excelence Korporasi harus mengusahakan dengan sangat untuk hasil yang

terbaik. Terbaik untuk layanan konsumen, terhadap karyawan , dan hasil yang terbaik untuk pemegang saham. e. Integrity Setiap aktivitas yang dilakukan oleh korporasi harus mengacu pada standar etika, yang mengajarkan kejujuran dan integritas moral.

Oleh karena itu argumen bahwa korporasi sebagai badan hukum dapat dianalogikan sebagai moral agent, seperti halnya individu. Sebab bagaimanapun korporasi dijalankan berdasarkan keputusan dari para individu yang terlibat didalamnya. Setelah menentukan bahwa korporasi adalah moral agent , persoalan selanjutnya adalah, apakah CSR sebagai kewajiban

moral korporasi yang berdasarkan sukarela (voluntary) dapat dijadikan sebagai kewajiaban (mandatory)?. Untuk itu perlu dibahas lebih mendalam mengenai hubungan antara moral dan hukum.

160

Moralitas sebagai dasar etika hukum bersumber dari ajaran teori hukum alam (natural law). Hukum alam ingin merelevansikan moral dengan hukum, sebagai apa yang seharusnya (ought to), mengatur manusia untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk. Heneste vivere, altrum non laedere, suum cuique tribuere

(hidup secara terhormat, tidak menganggu orang disekitar, mudah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya). 342 Penganut hukum alam menganggap bahwa hukum tidak semata mata merupakan perintah tetapi juga seperangkat nillai-nilai tertentu seperti moral dan keadilan. 343 Pandangan ini menjadi sangat berbeda dengan ajaran teori positivisme hukum. Para penganut teori positivisme hukum menolak pandangan dari teori hukum alam. Hukum , menurut mereka adalah serangkaian peraturan yang dibuat otoritas yang berwenang. Hukum ini menganut sanksi dari perintah ynag seharusnya dituruti atau yang lebih dikenal dengan law is a command of sovergny dari ajaran John Austin Para ahli dibidang positivisme hukum, seperti HLA Hart,

Ajaran Ulpian dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis (Jakarta : Gunung Agung, 2002), hal. 259 343 Erman Radjaguguk, , Teori Hukum, Bahan Kuliah Proram Magister, Program Pasca Sarjana, Universitas Surabaya, Magister hukum dan magister Kenotariatan (tanpa tahun) hal. 14-19, Lihat juga MDA Freeman dan Lord Lloyd, Introduction to Jurisprudence, ..., op cit., hal. 47-50

342

161

Bentham dan Austin menekankan antara hukum yang berlaku (law as its ) dan hukum yang sebaiknya (law is ought to be ) . 344 Perbedaaan mendasar antara hukum dan moral adalah 345:

1). Moral bersumber dari ajaran tuhan (devine law) atau nilai nilai
universal sedangkan hukum berasal dari buatan manusia

2). Dalam moral, penegakan dilakukan oleh manusia itu sendiri


sedangkan, dalam hukum ada sanksi yang dipaksakan oleh penegakan hukum.

3). Dalam penerapannya, seseorang berbohong adalah melanggar


ajaran moral, sedangkan menurut hukum berbohong itu baru disalahkan jika melanggar aturan hukum atau merugikan orang lain. Menurut Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di yang berjudul Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, membedakan antara ethics, morality dan law sebagai berikut : Ethics is defined as the consensually accepted standards of behavior for an occupation, trade and profession , Morality is the precepts of personal behavior based on religious or philosophical grounds. Law refers to formal codes that permit or forbid certain behaviors and may or may not enforce ethics or morality 346
344 345

Ibid., hal. 32 Ibid., 38 346 Von der Embse and Wagley R.A., Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, SAM Advanced Management Journal (1994) dalam Setyanto P. Santosa, Membangun dan Mengembangkan Etika Bisnis Dalam Perusahaan, Makalah Seminar Nasional Audit Internal YPIA, Yogyakarta, 12 13 April 2006

162

Untuk membantu menjelaskan perbedaan antara moral dan hukum, beberapa kasus dibawah ini dapat dijadikan pertimbangan : a. Kasus Nike . 347 Kasus pemutusan kontrak produksi sepatu Nike dengan PT Naga Sakti Pharama Shoes Indonesia (Nasa) dan PT Hardaya Aneka Shoes Indonesia (HASI), milik pengusaha Hartati Murdaya yang mempekerjakan sekitar 14 ribu karyawan yang terancam terkena pemutusan hubungan kerja. Memang terdapat kesepakatan Nike akan mengalihkan order ke perusahaan lain. Prinsipal asing pada dasarnya adalah kapitalis tulen. Mereka selalu akan memaksimalkan laba. Karena menghadapi persaingan yang makin ketat, pilihan logis mereka adalah mencari biaya produksi yang paling rendah. Mereka membandingkan para pemilik pabrik di suatu negara dengan pabrik di luar negeri. Dari kasus ini , memang tidak ada norma hukum yang dilanggar oleh Nike. Dengan pertimbangan mencari keuntungan, korporasi berhak untuk menutup dan memindahkan

perusahaannya kapan saja dan dimana saja secara legal. Tetapi

Pemerintah Tak Perlu Ikut Campur Kasus Nike, TEMPO Interaktif, Rabu, 25 Juli 2007 | 02:35 WIB Jakarta diunduh dari http://www.tempointeraktif.com/ hg/ekbis/2007/07/25/ brk,20070725-104309,id.html. Lihat Faisal Basri, Kasus Nike: Limbung di Tengah Deru Globalisasi, Analisis Ekonomi Baraya Sunda, 30 Jul 2007 05:21:28 -0700, diunduh dari http://www.mail-archive. com/ baraya_sunda@yahoogroups.com/ msg09993.html

347

163

Nike jelas tidak menggunakan pertimbangan moral atas nasib 14 ribu karyawan yang di PHK b.Kasus Sony.
348

Kasus Sony sebenarnya sudah beberapa kali disampaikan pengamat Indonesia akan terjadi, karena Indonesia dianggap sudah tidak kondusif, khususnya sektor industri elektronik. Terlebih lagi untuk teknologi tinggi, raksasa elektronik Jepang menganggap investasi di Indonesia tidak pantas karena sumber daya manusianya sangat terbatas yang mampu menguasai teknologi tinggi. Lebih mengkhawatirkan lagi, di tengah iklim investasi yang tidak kondusif, jumlah mereka yang korupsi semakin banyak dan berbagai pungutan yang tidak jelas semakin marak. Hal ini mengakibatkan beban biaya produksi pengusaha semakin tinggi sehingga kegiatan operasional di Indonesia makin tidak

menguntungkan. "Biaya-biaya ekstra tersebut jelas sangat merugikan

pengusaha asing yang ada di Indonesia sehingga harga akhir dari suatu produk tidak lagi kompetitif untuk bisa bersaing di pasar bebas. Secara keseluruhan akan menekan kinerja usaha yang seharusnya bisa menguntungkan malah menjadi merugikan,"
Kasus Sony Harus Dijadikan Introspeksi, Kompas, Kamis, 28 November 2002 diunduh dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0211/28/ekonomi/ kasu15.htm
348

164

papar

seorang

manajer

di

Marubeni

Corporation

yang

menekankan soal moral hazard di Indonesia yang cukup tinggi saat ini. Kondisi buruk pun kian berlarut dirasakan oleh para investor sehingga putusanpun diambil Sony menghentikan

produksinya di Indonesia. Putusan itu berarti menghentikan 1.000 orang karyawan Sony, atau sekitar 4.000 jiwa jika dipakai asumsi satu buruh memiliki tiga anggota keluarga. Jumlah ini jelas tidak kecil dan dapat berdampak luar biasa terhadap ekonomi nasional. Pemindahan investasi Perusahaan Sony dari Indonesia dengan alasan terlalu banyaknya beban biaya non economic yang harus ditanggung adalah sangat wajar dan tidak melanggar hukum. Sebab perusahaan dalam mencari keuntungan selalu berupaya melakukan efisiesi yang ketat. Tetapi Sony tidak menggunakan moral sebagai pertimbangan terhadap nasib 1000 karyawan yang akan menjadi pengangguran dan 4000 jiwa keluarganya, yang selama ini menggantungkan hidupnya dari bekerja di perusahaan Sony. Ajaran hukum perusahaan (konvensional), terkadang sulit untuk menarik hubungan yang relevan antara hukum dan etika. Sebab dengan mentaati hukum saja, belum tentu sesuai dengan

165

etika. Sebaliknya dengan banyak mentaati etika, sesuai dengan aturan hukum.

belum tentu juga

The American Bar Association Task Force on Corporate Responsibility memberikan penjelasan singkat, hubungan antara hukum bisnis dan etika bisnis yaitu memperkecil kerusakan

(keburukan) dan mentaati standar minimum yang di atur oleh hukum. 349 Dalam The Uniform Commercial Code, faith") dalam literat hukum kontrak, iktikad baik ("good

sesungguhnya mempunyai

makna moralitas yang kuat sebagai dasar untuk menjalin setiap transaksi bisnis. 350 Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata juga secara jelas mengatakan dalam ayat (1) bahwa: perjanjian yang sah menjadi hukum bagi para pihak. Dilanjutkan ayat (3) perjanjian harus dilaksanakan dasarkan pada iktikad baik. 351 Iktikad baik tersebut dapat dikatakan sebagai dasar moral dalam menjalin hubungan hukum (perjanjian). Artinya, setiap pihak dalam transaksi bisnis harus menggunakan etika dalam melaksanakan kewajiban hukum.
Craig Ehrlich, Is Business Ethics Necessary? ..., op. cit., hal. 58 Ibid., hal. 59 351 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1338 disebutkan secara rinci (1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, (2) perjanjian yang telah disepakati tidak dapat ditarik kembali secara sepihak, tanpa adanya persetujuan pihak lawan (3) perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik
350 349

166

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk menggunakan aspek moral dalam membuat
352

keputusan :

bisnis,

sehingga secara etika dapat diterapkan, yaitu 1). The utilitarian approach

Pendekatan ini memberikan pilihan untuk memperbanyak manfaat (benefit) bagi sebanyak-banyaknya orang dan berusaha untuk memperkecil kerusakan atau dampak negatif yang timbul bagi pihak lain. 2). The rights approach Pendekatan hak adalah sesuatu yang mendasar untuk menghormati hak-hak pihak lain. Jika penghormatan hak tesebut dapat dipilih secara bebas maka perlu dilakukan secara kesepakatan diantara para pihak. Hak-hak tersebut adalah hak hukum yang didasarkan pada etika seperti hak atas kebenaran dan hak untuk tidak dirugikan.

352 Craig Ehrlich, Is Business Ethics Necessary? ..., op. cit., hal. 80-81. Lihat Manuel Velasquez, Thinking Ethically, A Framework for Moral Decision Making, di unduh dari http://www.scu.edu/ethics/practicing/decision/thinking.html,.. bandingkan dengan Von der Embse and Wagley R.A yang hanya menyebutkan tiga pendekatan yaitu (1) Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu dalam bertindak korporasi seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya. (2) Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain. (3) Justice Approach : para pembuat keputusan dalam korporasi mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok. Von der Embse and Wagley R.A., Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, dalam Setyanto P. Santosa, Membangun dan Mengembangkan Etika Bisnis Dalam Perusahaan ...loc. cit.

167

3). The fairness or justice approach Pendekatan ini dari sudut pandang kesamaan atas perlindungan (equal protection) serta tidak adanya diskriminasi. 4). The common-good approach Pendekatan common good ini dicontohkan secara umum bahwa setiap pihak akan mendapatkan kebaikan dan keuntungan, seperti kesehatan , lingkungan yang baik ,keamanan umum dan kedamaian dunia. 5). The virtue approach Pendekatan ini menghendaki, bahwa kita seharusnya setiap pihak berusaha keras untuk menjunjung kejujuran, kepedulian, kedermawanan dan kebaikan hati. Dari berbagai pendekatan diatas , William H. Shaw lebih mengedepankan Utilitarian Approach sebagai argument yang lebih tepat dalam mengkaji etika bisnis. Khususnya dalam bisnis

internasional yang dibangun berbasarkan sistem kapitalisme. Robert W. McGee menjelaskan dasar argumen yang digunakan berikut 353: 1) Pendapat Jeremy Bentham yaitu: '...it is the greatest happiness of the greatest number that is the measure of right and wrong.'
Robert W. McGee, Legal Ethics, Business Ethics And International Trade: Some Neglected Issues, Cardozo Journal of International and Comparative Law 10 (Spring 2002) : 112-113
353

sebagai

168

2) Pendapat John Stuart Mill yaitu : The creed which accepts as the foundation of morals 'utility' or the 'greatest happiness principle' holds that actions are right in proportion as they tend to promote happiness; wrong as they tend to produce the reverse of happiness. 3) Henry Sidgwick yaitu: 'By utilitarianism is here meant the ethical theory, that the conduct which, under any given circumstances, is objectively right, is that which will produce the greatest amount of happiness on the whole; that is, taking into account all whose happiness is affected by the conduct. 'In other words, "an action is right if and only if it brings about at least as much net happiness as any other action the agent could have performed; otherwise it is wrong. 4) Pendapat Richard A. Posner yaitu : 'the criterion for judging whether acts and institutions are just or good is whether they maximize the wealth of society. ' If these views are to be reconciled, one might say that an act or policy or institution is ethical if it is more efficient than any other alternative. Otherwise, it is unethical. Thus, if the act or policy results in the misallocation of resources, it is unethical because it reduces efficiency. Namun ada satu kelemahan dari pendekatan utilitarian, yaitu bahwa tidak mungkin mengukur kebaikan atau keuntungan dan kesalahan atau kerugian secara akurat. Jadi, tujuan untuk

meningkatkan greatest happiness for the greatest number, adalah satu pekerjaan yang memerlukan estimasi yang tepat. Buku teks para ekonom memberikan contoh dari penerapan utility theory dalam

setiap unit, dimana mereka mendapat manfaat. Setiap manfaat menghendaki nilai yang dapat dilihat dari angka-angka (a numerical

169

value). Sebab, dari setiap penambahan nilai kenikmatan, ada nilai manfaat yang akan termarginalisasi. 354 Robert W. McGee , memberikan ilustrasi berikut ini : 355 Jane sangat lapar. Dia pergi ke restoran fast food dan memesan hamburger dengan harga US $ 1. Pada saat Jane sangat lapar, manfaat hamburger dapat dikatakan 10 point. Tetapi pada saat biasa hanya 3 point. Selanjutnya Jane memesan hamburger kedua, Nilai manfaatnya sudah berbeda dengan pada saat dia memesan yang pertama. Begitu juga apabila Jane memesan hamburger ketiga, maka manfaat yang didapat semakin menurun. Artinya setiap penambahan kenikmatan (pleasure) disatu tempat saja, maka ada nilai manfaat yang terkurangi. Direksi adalah agent dari para pemegang saham. Seperti yang dikatakan Friedman ; in his capacity as a corporate executive, the manager is the agent of the individuals who own the corporation or establish the eleemosynary institution, and his primary responsibility is to them . 356 Namun pandangan ini terlalu sempit. Jika dikaitkan dengan

CSR, persoalan moralitas dalam bisnis justru harus didefinisikan ulang agar lebih jelas. Hukum perusahaan harus di konstruksikan norma dan cara pandang baru. Sebab norma ulang hukum

dengan

perusahaan yang ada justru menjebak dan membatasi perkembangan

354 355 356

Robert W. McGee, op. cit., hal.113 Ibid., hal. 114 Milton Friedman, The Social Responsibility of Business is to , loc. Cit.

170

praktek CSR. Padahal, secara

faktual , CSR telah diterima dan

diterapkan oleh korporasi di berbagai belahan dunia dengan baik. Masih kuatnya pendapat klasik yang mengatakan bahwa CSR sesungguhnya adalah kewajiban moral, bukannya kewajiban hukum

menjadi hambatan bagi regulasi CSR. Namun, setidaknnya ada lima alasan untuk menerapkan kewajiban moral menjadi kewajiban hukum, yaitu: First, a mandatory global monitoring system is plausible because it only requires actions on the part of economic enterprises (the gathering and dissemination of information) that have been well internalized by the great majority of these entities. Economic entities harvest, use and report information all the timefor example to government regulators, to investors and to consumers, among others. This is not so much a new task as a modification of a core activity of business. Second, the sort of social disclosure to be targeted under international monitoring regimes are already being provided n large respect through private contract, for example in the context o supplier chain arrangement. Third, information gathering has been a task long assigned to international and transnational public actors. This sort of regulatory activity is something well suited to that sort of organization. Moreover, the activity itself is something that can be originated at the international level and enforced at the level of the nation state. It invites the sort of partnership that might make states leery of the seepage of power up to the supra national level less concerned on that score. Fourth, international instruments already contain monitoring provisions. Thus, the international community already has the skill set necessary to draft this ort of hard law (as do the nation states that must approve such endeavors). Lastly, there already exit a number of frameworks that detail the sort of information that might plausibly be gathered and disclosed that have been developed by global civil society and public actors. The global community has been doing

171

this, they know how to do this, there is no objection in principle to the task of information gathering and disclosure. 357 Untuk lebih menarik dalam mengkaji berbagai perdebatan tersebut. Alangkah baiknya memperhatikan beberapa kasus yang

terkait dengan isu CSR . Kasus menarik yang dirujuk Michele Sutton, bahwa gerakan CSR yang sukarela mempunyai potensi untuk diatur dalam ranah hukum, adalah kasus antara Kasky v. Nike dan kasus Herald co. v. Seawell. a. Marck Kasky warga Negara California menuntut NIKE dengan dasar Unfair Competition Law dan False Advertising Law di California

Supreme Court. Dia menuduh NIKE telah melakukan promosi CSR yang menyesatkan menurut Kasky, NIKE membuat promosi untuk meningkatkan citra perusahaan dengan mengatakan telah

memperhatikan kesejahteraan karyawan di semua Negara tempat NIKE beroperasi. Tapi itu semua adalah omong kosong. Banyak

bukti yang menunjukan bahwa NIKE tidak memperhatikan jam kerja dan upah minimum buruh dinegara berkembang. Yang menarik dalam kasus ini, NIKE berlindung dibawah hak kebebasan berbicara yang dijamin konstitusi. Pada akhirnya California

Supreme Court memutuskan kasus tersebut tidak bisa dilanjutkan


357 From Moral Obligation to International Law: Disclosure Systems, Markets and the Regulation of Multinational Corporations, Symposium Paper, sponsored by Georgetown Journal of International Law, held at Georgetown University Law School, (Feb. 5, 2008) : 3-4

172

karena gugatan dianggap. Kasus ini lebih tepat diselesaikan melalui debat pubik. Walaupun kasus ini tidak memenangkan semua puhak , tetapi kemudian NIKE memberikan sponsor sebesar US $1.5 million kepada Fair Labor Association untuk membuat standar buruh yang adil dan peningkatan kondisi kerja di seluruh dunia. Berkat kasus ini membuat banyak korporasi berhati hati dalam mempromosikan CSR. 358 b. Kasus Herald co. v. Seawell. Herald Company adalah sebuah perusahaan Surat Kabar terbesar di Amerika akan mengambil alih perusahaan Denver Post di tahun 1960. Gugatan tersebut bahwa akuisisi yang akan

dikarenakan kekhawatiran Seawell,

dilakukan oleh Herald Company mengabaikan kepentingan sosial. Pengadilan memutuskan dengan argumentasi bahwa keputusan bisnis yang dibuat korporasi harus memperhatikan kepentingan pemegang saham, karyawan dan masyarakat. Dengan keputusan tersebut proses akuisisi tersebut gagal dilakukan. Keputusan ini memancing perdebatan dari para hakim di Negara bagian lainnya. The Delaware courts berpendapat bahwa direksi perusahaan harus mengutamakan kepentingan masa depan bisnis, dengan

mengeliminasi berbagai rintangan (termasuk kepentingan sosial).

Michele Sutton, Between A Rock And A Judicial Hard Place: Corporate Social Responsibility Reporting And Potential Legal Liability Under Kasky v. Nike, UMKC Law Review 72 (Summer 2004) : 1170-1176

358

173

Sementara

The

Massachusetts

Supreme

Judicial

Court

berpendapat bahwa direksi korporasi tidak boleh mengambil keuntungan karena kedudukannya melalui keputusan bisnis ini

dengan mengabaikan hak-hak pihak menantang untuk dilakukannya

lainnya. Perdebatan terhadap

pengkajian

hukum

perusahaan yang baru. 359 Namun ada pepatah kuno dijaman Romawi, yaitu : Quid Leges Sine Moribus? yaitu Apa artinya hukum jika tidak disertai

moralitas?. Moral harus selalu menjiwai hukum. Baik dalam proses terbentuknya undang-undang maupun dalam pelaksanaan peraturan, etika memegang peranan penting. 360 Hans Kelsen mengatakan bahwa keadilan sebagai cita hukum harus didasarkan pada nilai moral. Justice is a name for certain moral requirement, which, regarded collectively, stand higher in the scale of social utility, and therefore of more paramount obligation, than any others. 361 Begitu juga pendapat Frankena. Dia melihat ada tiga prinsip dasar moral yaitu : yang hak (right), yang wajib (obligation), dan

Herald co. V. Seawell: A New Corporate Social Responsibility?, Westlaw Comment, University of Pennsylvania Law Review 121 (May, 1973) : 1158-1159 360 K Bartens, op. cit., hal. 22 361 John Stuart Mills, Utilitarianism, on Liberty and Consideration on Representative Goverment, (London : JM Dent & Sons Ltd,1987 ), hal. 66

359

174

yang baik (the good), dan dia meletakkan keadilan dalam kerangka kewajiban moral normatif dan untuk itulah hukum harus ditaati. 362 Kepatuhan pelaku bisnis terhadap hukum adalah kepatuhan minimum, tetapi belum cukup. Aktivitas bisnis belum tentu bersifat etis apabila hanya mendasarkan pada ketaatan hukum saja. Menurut John R Boartright akan lebih baik jika menggunakan motto : if its morally wrong, its probably also illegal (jika secara moral salah . kemungkinan besar secara hukum juga salah). Dengan kalimat lain dapat diartikan : lebih baik kita mengacu pada moral terlebih dahulu, sebab moral adalah standar yang lebih baik dibandingkan hokum. 363 Dari berbagai argumentasi diatas bahwa, pelaksanaan CSR yang berdasarkan prinsip sukarela (voluntary) atas pertimbangan etika bisnis, dapat kiranya dialihkan kedalam prinsip kewajiban (mandatory). Sebab sudah seharusnya kewajiban hukum dibangun berdasarkan nilai-nilai moral. Untuk itu tidak perlu diperdebatkan

lagi. Sebab antara hukum dan moral tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Apabila secara teori dan filosofis CSR sebagai kewajiaban moral dapat dialih kepada kewajiban hukum , maka persoalan selanjutnya adalah mengenai pengaturan dalam peraturan perundang362 Hans Kelsen, What Is Justice?: Justice,Law, And politcs in The mirror of Science, Collected Essays , (Barkeley : University California Press, 1957), hal. 258-259 363 John R Boartright, Ethics And The Conduct Of Business, (New Jersey, Prentice Hall, 1993), hal. 16 dalam K Bartens, Etika Bisnis, op cit, hal. 27

175

undangan.

Menurut

Cynthia A. Williams ada keterbatasan hukum

untuk mengarahkan CSR masuk ke ranah hukum. 364 Selain itu, Pall A. Davidsson mengatakan bahwa isu-isu CSR telah masuk pada level Internasional, sehingga menuntut konsekuensi pada legitimasi dan penegakan hukum. 365 Untuk lebih memfokuskan kajian pada dua hal diatas, tulisan berikut ini akan mengkaji hukum dan proses penegakan hukum. a. Persoalan Keterbatasan Hukum (the limit of the law) Hukum dalam arti peraturan perundang-undangan memiliki berbagai keterbatasan. 366 Pertama, mengenai norma yang dijadikan dasar acuan pengaturan. Kedua, adalah mengenai objek yang akan diatur. Ketiga, persoalan teks yang memberikan batasan terminologi hukum. Masing-masing persoalan tersebut akan dibahas berikut ini. Pertama, Hans Kelsen dengan stufenbau theory, menjelaskan bahwa hukum sebagai peraturan perundang undangan dibentuk
dengan mengacu pada norma yang lebih tinggi dan norma yang paling

persoalan keterbatasan

tinggi disebut dengan basic norm. Hukum sebagai sebuah sistem

Cynthia A. Williams, Corporate Social Responsibility In An Era Of Economic Globalization, op cit.,hal 724 365 Pall A. Davidsson, Legal Enforcement Of Corporate Social Responsibility Within The EU, op. cit., hal. 540 366 Orly Lobel memberikan penjelasan bahwa The limits of the law as a means of effecting social change have been a key focus of legal thinkers over the past several decades. The aggregate impact of emerging schools of thought challenging the value of legal reform in producing social change has been the development of a contemporary critical legal consciousness--a conventional wisdom about the relative inefficacy of law, Orly Lobel, The Paradox Of Extralegal Activism: Critical Legal Consciousness And Transformative Politics, Harvard Law Review 120 (February, 2007), : 938-939

364

176

perundang-undangan mensyaratkan keberadaan aturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang telah ada. 367

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pengaturan hukum terhadap CSR sesuai dengan basic norm yang ada dalam sistem perundang-

undangan di negara yang mengaturnya?. Ini menjadi tidak sederhana karena setiap negara mempunyai sistem hukum dan perundang undagan yang berbeda, begitu pula dengan basic norm yang terdapat dalam konstitusi setiap negara yang merupakan tujuan politis dari pembentuk negara, yang digali dari nilai-nilai sosiolgis

masyarakatnya. 368 Artinya dalam setiap masyarakat mempunyai nilainilai dan tujuan politik yang berbeda. Dalam konteks CSR, dimana korporasi diharapkan

menyerahkan sebagian kekayaannya untuk masyarakat, akan dinilai berbeda jika dilihat dari perlindungan hukum atas hak kepemilikan

367 Hierarki norma hukum (Stufentheory) dari Hans Kelsen menjelaskan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hieraki tata susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar dari norma yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai pada norma yang tertinggi yang disebut norma dasar (grundnorm). Norma dasar ini merupakan pre supposed yang bersifat fiktif dan hipotetis yang terlebih dahulu ditetapkan oleh masyarakat. Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan oleh Raisul Muttaqien, ( Bandung: Nusa Media, 2006), hal. 9 368 Menurut Frederick Karl Von Savigny , bahwa hukum harus sesuai dengan Volk geist yaitu a unique, ultimate, and mystical reality that linked to the biological heritage of people, MDA Freeman dan Lord Lloyd, Introduction to Jurisprudence ., op. cit., hal. 905-907. Dikatakan Savigny bahwa hukum berkembang dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat dan menjadi kuat dengan kuatnya masyarakat dan akhirnya lenyap ketika rakyat kehinlangan kebangsaannya., Wolfgang Fredman, Teori dan Filsafat Hukum : Telaah Kritis atas teori-teori hukum (Susunan II) terjemahan oleh Arifin Muhammad (Jakarta : Rajawali Press, 1990), hal. 59-62

177

(property right). Konsep hak milik di negara liberal adalah hak mutlak individualistik, dimana hukum harus memberikan perlindungan. Hak milik pribadi (private property right) harus di jamin sepenuhnya oleh hukum negara sebagai sesuatu yang sakral (the sacred rights of private property). 369 Sementara di negara komunis mempunyai keyakinan bahwa masyarakat (individu) tidak perlu memiliki hak milik. Segala keperluan dan kebutuhan dalam kehidupan

bermasyarakat, khususnya mengenai hak kepemilikan atas alat alat produksi dimiliki secara bersama dan dikuasai penuh oleh Negara. 370 Gambaran diatas menunjukkan bahwa ada persoalan normatif dan konstitutif dalam penerapan kewajiban hukum terhadap CSR di masing masing negara. Di Negara liberal CSR menjadi sangat bertentangan dengan perindungan hak kepemilikan pribadi. Di negara komunis mungkin tidak diperlukan lagi wacana kewajiban CSR, karena semua milik bersama. Sedangkan di negara yang bukan komunis dan liberalis seperti Indonesia, masih menjadi perdebatan tentang seberapa besar hak milik pribadi boleh diambil dengan paksa oleh undang-undang dengan alasan untuk kepentingan umum.

Edwin Cannan, Adam Smith : An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nation ..., op. cit., hal. 149 370 Karl Marx and Fredrick Engels, Februari 1848 (First Edition), Manifesto of the Communist Party, Marxists Internet Archive (marxists.org) 2000 diunduh dari http://arts.anu.edu.au/suara/marx3.rtf

369

178

Kedua, mengenai objek yang akan diatur. CSR sebagai sebuah fenomena terlahir dengan prinsip sukarela dan dikembangkan serta diterapkan oleh korporasi dalam berbagai bentuk. Sehingga banyak pendapat yang mengatakan bahwa CSR adalah objek yang sulit

diatur oleh hukum (beyond legal obligation). Bahkan Eric Engle menyarankan bahwa CSR lebih baik diatur dalam mekanisme pasar
(market-based remedies). Keterlibatan Negara dengan memberikan

peraturan ethically . 371

disincentives for unethical action atau incentives to act

Tetapi diluar perdebatan tersebut, Iredell Jenkins melihat dari fungsi hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat. Untuk itu perlu dipahami ranah apa saja yang masuk wilayah hukum dan mana yang tidak termasuk. Iredell Jenkins mengatakan bahwa wilayah hukum dapat dilihat dari dua rejim yaitu: necessity (kebutuhan) dan

possibility (kemungkinan). Necessity adalah rezim yang digunakan untuk mendukung pembangunan manusia (human development). Tanpa kondisi yang aman dan stabil pembangunan manusia tidak bisa dilakukan. Necessity juga dilakukan untuk merawat nilai-nilai yang untuk menghindari goncangan sosial

tertanam dalam masyarakat

(radical change) . Sementara possibility berfungsi menciptakan

Eric Engle, Corporate Social Responsibility: Market-Based Remedies For International Human Rights Violations?, Willamette Law Review 40 (Winter 2004): 109111

371

179

kebebasan, kesempatan dan kemajuan yang diperlukan, menciptakan menghindari ketidakpastian. kesempurnaan eksploitasi, Possibility kebaikan (absolute good),

untuk seperti dan

korupsi, hadir

kesewenang-wenangan sebagai upaya

menciptakan

keamanan dan keadilan. 372 Jika rezim necessity dan possibility menghendaki aturan hukum maka akan melahirkan tanggung jawab hukum. Konsep

tanggung jawab hukum, baik perdata maupun pidana adalah suatu alat yang sangat penting untuk bekerjanya hukum secara efektif dalam masyarakat. 373 Dalam konteks penerapan kewajiban hukum terhadap CSR penulis sepakat dengan pendapat Iredell Jenkins yang mendasarkan pada rezim necessity dan possibility. Artinya kewajiban untuk CSR

menjadi perlu ketika korporasi cenderung menghalangi pembangunan manusia dan berpeluang memunculkan eksploitasi, korupsi,

kesewenang-wenangan dan ketidakpastian dalam masyarakat. Ketiga, adalah mengenai keterbatasan teks. Antony Allott memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang dapat mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat. Menurutnya Hukum dapat

Iredell Jenkins, Social Order and The Limit of Law: A Theoretical Essay, (New Jersey: Pricenton University Press, 1980), hal. 44-47 373 Ibid.,hal. 50

372

180

bekerja secara efektif salah satunya dipengaruhi oleh (1) instrument legal term dan (2) contextual interpretation . 374 Dalam konteks CSR, istilah Social Responsibility,

diterjemahkan oleh awam sebagai tanggung jawab sosial, dalam arti bukan tanggung jawab hukum (legal liabilty). Secara lebih mendalam John M. Conley dan Cynthia A. Williams mengatakan bahwa CSR diterjemahkan oleh masyarakat Amerika dan Eropa dengan

pendekatan bahasa dan budaya. CSR lebih tepat dikategorikan dalam budaya korporasi yang bersifat sosial. 375 Dari argumen ini, Penulis beranggapan, istilah CSR masih Namun ini di

menyisakan persoalan untuk dibawa ke ranah hukum. demikian bukan berarti tertutup kemungkinan istilah

interprestasikan sebagai tanggung jawab hukum oleh korporasi terhadap persoalan sosial. Karena pada kenyataannya, korporasi mempunyai pengaruh yang sangat melekat dengan persoalan sosial. Jika dilihat mengenai perkembangan teori kewajiban hukum, uraian berikut ini akan memberikan sedikit penjelasan. Kewajiban (obligation) menurut hukum Romawi berarti hubungan dari pihakpihak yang mempunyai kecakapan untuk menuntut atau menagih dan untuk memenuhi tagihan. Pertanggungjawaban dalam arti yang
Antony Allott, The Effectiveness of Law, Valaraiso University Law Review, Volume 15, Number 2 (Winter 1981) : 234 375 John M. Conley dan Cynthia A. Williams, Engage, Embed and Embellish: Theory Versus Practice in The CSR Movement,Journal of Corporation Law, 31 (Fall, 2005) :8-9
374

181

sederhana adalah situasi yang menurut hukum seseorang boleh menagih dan seseorang yang lain tunduk pada penagihan itu. 376 Dalam perkembangan ilmu hukum sebagaimana adanya sekarang, menurut Roscou Pound ada tiga macam

pertanggungjawaban 377: a). Pertanggungjawaban atas kerugian dengan sengaja b). Pertanggungjawaban atas kerugian karena kealpaan dan tidak disengaja c). Pertangungjawaban dalam perkara tertentu atas kerugian yang dilakukan tidak karena kelalaian serta tidak disengaja Untuk kepentingan analisis penerapan kewajiban hukum terhadap pelaksanaan
378

CSR, :

dari

kategori

ketiga

diatas

dapat

diuraikan lebih lanjut

a). Kewajiban atau pertanggungjawaban karena suatu hubungan hukum b). Kewajiban yang dipikulkan oleh hukum , untuk mencegah kaya secara tak adil c). Kewajiban pekerjaan. yang menyangkut didalam suatu jabatan atau

376 Roscoe Pound, Pengantar Filasafat Hukum, diterjemahkan oleh Muhammad Radjab (Jakarta : Bhatara Karya Aksara, 1982), hal. 80, 377 Ibid., hal. 92 378 Ibid., hal. 95

182

Point no. b) diatas dapat digunakan sebagai dalil perlunya penerapan kewajiban hukum bagi korporasi untuk melaksanakan CSR. Korporasi yang kaya raya diantara jutaan rakyat miskin dapat saja dibebani kewajiban oleh hukum agar mendistribusikan kekayaannya untuk menciptakan keadilan. b. Persoalan Penegakan hukum Penegakan hukum adalah salah satu dari bagian sistem hukum. Hukum selain memerlukan aturan (substansi), juga

memerlukan struktur untuk menerapkannya. Struktur dapat berupa lembaga-lembaga birokrasi dan lembaga penegak hukum. Struktur hukum adalah mesin pengerak dari aturan hukum. 379 Dalam sistem pasar bebas, bahkan pada sistem yang paling bebas sekalipun (laissez faire), tetap memerlukan hukum untuk menciptakan dan menjamin aturan main yang adil. 380 Pemberlakuan hukum untuk menciptakan keadilan disini diartikan oleh Hans Kelsen sebagai legalitas yaitu : bahwa suatu peraturan adalah adil jika diterapkan kepada semua kasus yang menurut isinya peraturan itu harus diterapkan. Suatu peraturan menjadi tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. 381

379 Lawrence Friedman, Hukum Amerika; Sebuah Pengantar, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 6-8 380 Ibid., hal. 14 381 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara..., op. cit., hal. 17

183

Penegakan hukum selain menerapkan aturan juga selalu dimaknai dengan pemberian sanksi bagi subyek hukum yang

melanggar. dilakukan

Pemberian sanksi ini menjadi suatu yang legal apabila oleh institusi Otoritas ini yang mempunyai hak mutlak otoritas dan untuk dominasi

melakukannya. negara. 382

menjadi

Berbicara negara, berarti berbicara mengenai suatu wilayah (teritorial) dan pemerintahan yang berdaulat. 383 Teritorial negara

merupakan ruang dimana tindakan paksa dari negara diizinkan untuk dijalankan, melalui organ organ negara yang diberi wewenang. 384 Kedaulatan pemerintah inilah yang memberikan hak untuk

menerapkan hukum yang dibuat berikut sanksinya, melalui lembaga lembaga yang dibentuk (legislatif,peradilan, kejaksaan dsb). 385 Kembali pada pembicaraan CSR, bahwa penegakan hukum dalam penerapan CSR akan menjadi efektif apabila telah diatur dalam sebuah peraturan dan diterapkan serta dikontrol oleh lembagalembaga negara yang berwenang. Tetapi karena isu CSR selalu dikaitkan dengan globalisasi ekonomi serta operasi korporasi yang lintas batas negara, berarti telah membawa CSR pada level

internasional. Point ini menunjukan adanya kelemahan fungsi negara


Ibid., hal. 261-287 RM Mac Iver, Negara Modern, diterjemahkan oleh Moertono (Jakarta : Aksara Baru, 1977), hal. 11-20 384 Hans Kelsen, op. cit., hal. 299 385 RM Mac Iver, op. cit., hal. 225-226
383 382

184

dalam penegakan hukum yang bersifat lintas batas kedaulatan 386. Seperti yang ditegaskan oleh PBB dalam U.N. Development

Programmes Human Development Report tahun 1999, dituliskan : There are no mechanisms for making ethical standards and human rights binding for corporations and individuals, not just government. Multinational corporations are too important and too dominant a part of the global economy for voluntary codes to be enough. They need to be brought within the framework of global governance not just the patchwork of national laws, rules and regulations. 387 Pada titik ini memunculkan beberapa persoalan. Pertama, Adanya perbedaan sistem hukum di berbagai Negara. Di dunia ini ada berbagai sistem hukum yang berlaku diseluruh dunia yaitu (1) Civil law system (2) common Law System; (3) Customary Law System;(4) Muslim Law System dan; (5) Mixed System Konsekuensi dari perbedaan sistem hukum ini menjadi salah satu hambatan untuk pemberlakukan CSR secara bersama dengan definisi yang tunggal. Karena masing-masing negara dengan sistem hukumnya akan

memiliki sistem politik dan ekonomi yang berbeda pula. Kedua , ketidakjelasan sistem hukum internasional. Adapun yang dimaksud disini adalah, mengenai lembaga yang mempunyai

Cynthia A. Williams, Corporate Social Responsibility In An Era Of Economic Globalization,op. cit., hal. 725-726 387 Dsire Abrahams, Regulations for Corporations: A historical account of TNC regulation, United Nations Research Institute for Social Development (UNRISD) Geneva, Switzerland (October 2005), hal.14-15 diunduh dari http://www.reports-andmaterials.org/Abrahams-Regulations-for-Corporations-Oct-2005.doc

386

185

otoritas untuk membuat

aturan dan berwenang untuk memberikan

sanksi dalam penegakan hukum. Kelsen juga mengingatkan bahwa dalam hukum internasional, biasanya diterapkan untuk negara yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum. 388 World Trade Organization (WTO) sebagai lembaga Bahkan ekonomi hanya

internasional yang diikuti hampir seluruh bangsa di dunia,

mengatur negara-negara anggotanya, bukan mengatur korporasi. 389 Artinya, dalam kontek penerapan kewajiban hukum CSR, apakah korporasi dapat diberikan sanksi oleh hukum internasional?. Secara teoritis, subyek hukum internasional menurut Burhan Tsani adalah : (1) negara ;(2) organisasi Internasional ;(3) non state entity (Palang Merah Internasional, Vatikan, NGO) dan ;(4)

individu. 390 Walaupun secara tradisional korporasi (badan hukum) adalah subyek hukum (recht persoon) seperti halnya individu (naturlij persoon), namun individu mempunyai kewarganegaraan tunggal, sedangkan MNC mempunyai multi kewarganegaraan. 391 Sehingga masih menyisakan pertanyaan , kepada hukum negara mana korporasi menundukkan diri?.
Hans Kelsen, op. cit., hal. 464 Joris Oldenzield dan Myriam Vender Stichele, Trade and The Need to Apply Corporate Social Responsibility Standard, SOMO Discussion Paper 2, (2005), hal. 1 - 2 390 Mohd.Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, (Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1990), hal. 12-14 391 Dalam Undang Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Undang Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal disebutkan bahwa investor atau perusahaan asing yang bekerja di Indonesia harus mendaftarkan diri sebagai perusahaan Indonesia.
389 388

186

Namun demikian ada catatan yang unik, ketika Negara Amerika Serikat menerapkan US Alien Tort Statute Tahun 1789, yaitu Undang-undang yang digunakan untuk menuntut korporasi-korporasi yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia hukum Amerika. 392 suatu negara di luar wilayah

Tentunya kisah Amerika ini dapat dilakukan jika kekuatan politik dan ekonomi yang

mempunyai

powerfull. Dan ini tidak semua negara dapat melakukannya. Sejak tahun 1990an ada trend baru yang mengemukakan untuk menjadikan MNC sebagai subyek yang dapat diatur oleh hukum Internasional. Gugatan ini muncul dari para stake holder di negaranegara selatan (southern coutries). Mereka bekerjasama dengan NGO di negara-negara utara (northern coutries) yang peduli pada hak hak sipil. Mereka menginisiasi legal proceedings untuk melawan MNC yang diduga keras melakukan tindakan melawan hukum nasional dengan lintas batas negara (crossborder national laws). Gugatan kepada Thor Plc, Rio Tinto and Cape Plc, yang semuanya adalah perusahaan pertambangan Inggris untuk memberi kompensasi bagi stakeholder di negara Afrika selatan dan Namibia . Tuntutan hukum juga dilakukan kepada perusahaan-perusahaan Canada dan Australia. Di tahun 1998, Recherches Internationales Quebec melakukan class action mewakili 23,000 orang Amerindians (orang Indian Amerika) di Guyana dengan
392

hal. 389

Claes Lundblad, Some Legal Dimension of Corporate Code of Conduct , op cit

187

menuntut Cambior Inc, atas kerusakan lingkungan di wilayah Omai. Sesudah itu di tahun 2000, perusahaan pertambangan Australia BHP Billiton, yang dianggap terlibat dalam konflik d Papua New Guinea, karena pelanggaran HAM dan Lingkungan hidup. Di tahun 1999, warga negara Indonesia dan Nigeria menuntut Freeport-McMoran dan

Chevron, dengan menggunakan The Alien Torts Claims Act. Setelah itu semua, masih ada dua puluh kasus serupa. 393 Dari usaha ini menunjukan adanya kemungkinan hukum untuk melakukan

penegakan hukum terhadap korporasi pada level hukum Internasional. Terlepas dari perdebatan dan problematika penerapan

kewajiban hukum terhadap CSR, penulis ingin menyampaikan catatan menarik Rhonda Copelon dari ucapan Eleanor Roosevelt, pada saat negosiasi di The Human Rights Commission di tahun 1946 yaitu: "You can't talk civil rights to people who are hungry". 394 Artinya , tidak perlu debat berkepanjangan untuk menentukan apakah masyarakat

mempunyai hak dan korporasi harus bertanggung jawab melalui CSR atau tidak. Dalam situasi dan kondisi banyaknya masyarakat yang memerlukan bantuan. Mereka lapar. Mereka tidak sehat. Mereka perlu pendidikan dan mereka perlu ditolong secara nyata dan cepat.

The Alien Torts Claims Act adalah an old American law that allows federal district courts jurisdiction to hear claims by aliens for torts in violation of the law of nations or treaties of the United States.. Dsire Abrahams, Regulations for Corporations: A historical account of TNC regulation,op. cit., hal.18 394 Rhonda Copelon, The Indivisible Framework Of International Human Rights: A Source Of Social Justice In The U.S, New York City Law Review 3 (May, 1998) : 60

393

188

Seperti pemikiran Muhammad Hatta Pasal 33 UUD 1945 . Beliau mengatakan :

pada saat merumuskan

Orang Indonesia hidup tolong menolong. Indonesia merdeka akan berdasar kepada cita-cita tolong menolong dan usaha bersama. Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar yang menguasai hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang menggantungkan hidupnya, mestilah dibawah kekuasaan pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan sosial, apabila buruk baiknya perusahaan itu serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja di dalamnya diputuskan oleh beberapa orang partikulir saja, yang berpedoman dengan keuntungan semata-mata. Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur, dengan berpedoman kepada keselamatan rakyat. Semakin besar perusahaan semakin banyak jumlah orang yang menggantung dasar hidupnya di sana, semakin besar mestinya peran serta pemerintah. 395 Bertolak dari rumusan tersebut di atas, Abrar Saleng menarik beberapa pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, yaitu perekonomian Indonesia berdasarkan pada cita-cita tolong menolong dan usaha bersama dan perusahaan besar mesti dibawah kekuasaan pemerintah, yang dimaksud dengan perusahaan besar ialah yang menguasai hidup orang banyak dan dimana banyak orang menggantungkan hidupnya. Penulis menegaskan kembali , bahwa korporasi yang dilahirkan oleh hukum suatu Negara seharusnya mengabdi pada kepentingan masyarakat dimana hukum itu ada. Pembentukan hukum korporasi, harus memberikan ruang bagi terciptanya keadilan sosial. Asset yang
395

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan..., Op. Cit , hal.28-30

189

dimiliki korporasi tidak hanya menjadi milik pribadi, namun harus digunakan untuk memberikan kemanfaatan umum, khususnya bagi kaum yang paling tidak beruntung. Masyarakat mempunyai hak atas keuntungan yang didapat oleh korporasi, karena masyarakat

sesungguhnya pemegang saham bagi sebuah wilayah hukum yang dijadikan operasi korporasi. Dengan prespektif tersebut, CSR akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam hukum perusahaan. 3. Paradigma Baru Tujuan Korporasi : Mencari Keuntungan, Menciptakan Kesejahteraan Sosial dan Pelestarian Lingkungan. Peran sentral dalam pembangunan ekonomi selama ini

diletakkan pada proses investasi yang dilakukan oleh korporasi. Baik yang milik Negara maupun milik swasta. 396 Korporasi telah menjadi institusi sosial yang lebih dominan dari negara, khususnya dalam bidang ekonomi dan penciptaan kesejahteran masyarakat. Korporasi telah membuka lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi kepada bangsa bangsa yang tengah berkembang. Namun proses pembangunan yang dilakukan korporasi seringkali menimbulkan

berbagai kerugian, sehingga timbul pertanyaan: apa yang seharusnya dilakukan korporasi, untuk meminimalisir kerusakan yang ditimbulkan

396

Joseph Stiglitz, Making Globalization Work:, op. cit., hal. 275- 288

190

dan memaksimalkan kontribusi mereka kepada masyarakat dunia ?. 397 Kesalahan ini diakibatkan oleh paradigma lama dalam

investasi untuk pembangunan, yaitu menggunakan model ekonomi koboi. Kenneth Boulding menjelaskan ekonomi koboi (cowboy

economic) sebagai berikut : seorang koboi tinggal didaerah yang luas terbuka. Dia akan mengambil dari alam apa saja yang diperlukan dan dimana saja dia bisa menemukan. Wilayahnya luas dan dengan sumber daya yang tampaknya tak pernah habis . Dia akan membuang sampah dan barang barang yang tidak diperlukan disepanjang jalan yang dia lalui.Visi Ekonomi koboi adalah dunia yang bisa dilukiskan sebagai sebuah padang terbuka tanpa batas yang menyediakan segala sumber daya dan membuang limbah. 398 Pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan,

menempatkan pertumbuhan ekonomi diatas manusia dan ekologi yang menjadi tumpuan kesejahteraan manusia . Korporasi yang selama ini, bekerja keras hanya untuk meningkatkan keuntungan pribadi, tanpa mempedulikan persoalan lingkungan hidup dan kepentingan

masyarakat umum, adalah kategori korporasi yang menggunakan paradigma ekonomi koboi. Mereka membabi buta mengeruk segala

sumber kekayaan alam yang ada di negara mana saja, tanpa berpikir tentang nasib generasi selanjutnya yang ditinggali sampah dan
Ibid., hal. 277 Kenneth Boulding dalam David C Korten, Menuju Abad Ke 21 : Tindakan Sukarela dan Agenda Global, dierjemahkan oleh Lilian Teja Sudhana (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal. 60
398 397

191

limbah. Kekayaan bumi ditambang habis, hutan digunduli, air sungai dan laut dicemari. Semua hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth). Untuk itu diperlukan visi pembangunan yang mendahulukan kesejahteraan dimana masyarakat tinggal di planet ini. 399 Visi pembangunan berkelanjutan baru ini terkenal dengan sebutan yang

pembangunan

(sustainability

development),

dijelaskan oleh Korten secara sederhana sebagai berikut : Adalah proses pembangunan dimana anggota masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusionalnya untuk memobilisasi dan mengelola sumber daya dan menghasilkan perbaikan perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi mereka sendiri. 400 Untuk mengubah paradigma pembangunan ekonomi dari model koboi (economic growth ) ke arah sustainability development. Lebih lanjut Kenneth Boulding memberikan ilustrasi tentang kondisi ekonomi dunia hari ini dengan istilah yang disebut ekonomi pesawat luar angkasa (spaceship economic), sebagai paradigma baru dalam

pembangunan ekonomi sebagai berikut : Visi sebuah pesawat angkasa yang melayang diluar angkasa bersama awak manusia dengan sumberdaya yang berharga
Ibid., hal. 108-109 Ibid., hal. 110-111. Lihat Fanny Calder dan Malaika Culverwell, Final Report , Following Up The World Summit On Sustainable Development Commitments On Corporate Social Responsibility : Options For Action By Governments Chatham House Report: Following up the WSSD on Sustainable Development Commitments on CSR (February 2005), hal. 13 diunduh dari www.chathamhouse.org.uk/files/3327_csrwssdiso.pdf
400 399

192

dan terbatas jumlahnya. Sistem pendukung hidup mereka tergantung pada konservasi persediaan sumber daya yang ada di pesawat. Dengan logika tersebut , peningkatan kesejahteraan penghuni kapal dengan sendirinya tergantung pada efisiensi dan efektifitas mereka dalam pemakaian sumberdaya secara berkelanjutan dan pendaurulangan untuk memenuhi kebutuhan mereka bersama. Seandainya ada penumpang yang sembarangan menggunakan sumber daya tersebut maka akan menimbulkan persoalan pada penumpang lainnya. 401 Artinya, keserakahan korporasi dalam mencari keuntungan dalam kondisi sumber dunia yang mulai terbatas harus segera diakhiri. Korporasi harus diberi batasan terhadap penggunaan sumber alam, serta mewajibkan mereka untuk ikut melestarikan alam dan ikut mendistribusi kekayaan atau kenikmatan kepada masyarakat. Konsep ini yang menjadi paradigma baru pembangunan oleh korporasi, yaitu tidak saja mencari keuntungan (profit), tetapi juga memperhatikan lingkungan hidup (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). Paradigma ini sering disebut dengan istilah Corporation for Profit, People and Planet. Paradigma pembagunan berkelanjutan sustainability

development dijelaskan oleh ensiklopedia sebagai berikut. Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan". 402
David C Korten, op. cit., hal. 61 Menurut Brundtland Report dari PBB, 1987, salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan
402 401

193

Gagasan ini dengan cepat mendapat tanggapan dan dukungan oleh berbagai institusi, baik nasional, internasional, governmental maupun Non Governmental Organization. 403 Beberapa contoh kesepakatan internasional untuk

pembangunan berkelanjutan dapat disampaikan berikut ini 404: a. Rio Declaration On Environment And Development. 405 Dari tanggal 3 sampai 14 Juni 1992, The United Nations Conference on Environment and Development,mengadakan pertemuan di Rio De Janeiro Brazilia. Pertemua ini sesungguhnya meruakan kelanjutan dari Pertemuan Stockholm pada 16 Juni tahun 1972, dengan tujuan untuk membangun hubungan global partnership yang seimbang diantara Negara , korporasi (key society) dan masyarakat. Dalam bentuk perjanjian bersama untuk
keadilan sosial. Laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan sebagai terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat. Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian orang lain, konsep "pertumbuhan ekonomi" itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas . diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_berkelanjutan 403 Report Of The United Nations Conference On Environment and development , 12 January, 2000 by DESA/DSD, Paradigma sustainability development Rio de Janeiro, dibahas pertama kali pada Earth Summit di Rio de Janeiro Brazilia, 3-14 June 1992, Copyright 1999 United Nations .... selanjutnya Isu ini dibahas dalam World Summit on Sustainable Development in Johannesburg, South Africa, from 2 to 4 September 2002, diunduh dari http://www.un.org/esa/sustdev/documents/WSSD_POI_PD/English/POI_PD.htm 404 Fanny Calder dan Malaika Culverwell, Final Report , Following Up The World Summit On Sustainable Development, op. cit., hal. 13 405 Dalam pertemuan United Nations Conference on the Human environment, Stockholm, 5-16 June 1972 ini diproklamirkan 27 Prinsip dasar untuk pembangunan berkelanjutan., Report of the United Nations Conference on the Human environment, Stockholm, 5-16 June 1972 (United Nations publication, Sales No. E.73.II.A.14 and corrigendum), chap. I.and Report of the United Nations Conference on Environment and Development, Rio de Janeiro, 3-14 June 1992 (United Nations publication, Sales No. E.93.I.8 and corrigenda), volume. I-III. yang dikutip dalam Johannesburg Declaration on Sustainable Development : From our origins to the future, diunduh dari http://www.un.org/esa/sustdev/documents/ WSSD_POI_PD/English/POI_PD.htm.

194

menghormati, merawat serta melindungi lingkungan global dan sistem pembangunan. b. The United Nations Global Compact. 406 Di bulan January 1999 the Sekertaris Jendral PBB Kofi Annan, menantang pelaku bisnis dunia untuk memimpin dan mengajak semua pihak untuk secara bersama sama mendukung prinsip prinsip Hak Asasi Manusia, perburuhan dan keberlanjutan lingkungan dalam praktek maupun kebijakan bisnis c. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD). 407 Pada Januari tahun 2000 , WBCSD mempublikasikan Corporate Social Responsibility: Making Good Business Sense, yaitu sebuah laporan tentang pentingnya masalah corporate social responsibility sebagai poros dari kepedulian terhadap stakeholder groups dan lainnya d. The Johannesburg Declaration on Sustainable Development. 408

UN Global Compact adalah perkumpulan Perusahaan Multi Nasional yang di inisiasi oleh Perserikatan bangsa bangsa. Isu utama yang dibahas mengenai HAk asasi manusia seperti berikut ini : Business is encouraged to foster human rights by supporting and respecting the protection of international human rights within their sphere of influence and by making sure that their own corporations are not complicit in human rights abuses, tetapi pada pertemuan terakhir pada bulan Juli di Swiss mereka mulai membahas isu mengenai pemanasan Global , communit development dan CSR secara umum lihat Kompas, tanggal 22 Juli 2007 ., The United Nations Global Compact, diunduh dari http://www.unglobal compact.org/ 407 The World Business Council for Sustainable Development is a coalition of 130 international companies with a shared commitment to sustainable development. Its members are drawn from 30 countries and more than 20 major industrial sectors. In broad terms, the WBCSD aims to develop closer co-operation between business, government and all other organisations concerned with the environment and sustainable development as well as encouraging higher standards of corporate environmental management. The identified key corporate social responsibility issues are: values and governance, regulations and controls, business operations, accountability and disclosure, human rights, employee rights and working conditions, business context, product impact, social impact and investment and impact on other species and on the environment. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD). diunduh dari http://www.wbcsd.ch/ 408 Johannesburg Declaration on Sustainable Development, diunduh dari http://www.un.org/esa/sustdev/documents/WSSD_POI_PD/ English/POI_PD.htm,

406

195

Pada tanggal 2 sampai 4 September tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan, dideklarasikan komitment untuk pembangunan berkelanjutan. Beberapa yang perlu dicatat adalah komitmen ke 27 yaitu : We agree that in pursuit of its legitimate activities the private sector, including both large and small companies, has a duty to contribute to the evolution of equitable and sustainable communities and societies. e. Protokol Kyoto. 409 Protokol Kyoto (Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change ) adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global yang dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penandatanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan

berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: (1) pembangunan ekonomi, (2) pembangunan sosial dan (3) perlindungan lingkungan. Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan.

"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia", diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto

409

196

Pembangunan Berkelanjutan sesungguhnya merupakan titik temu antara pembangunan ekonomi,lingkungan dan kesejahteraan sosial, seperti yang ditunjukkan bagan berikut ini 410:

Bagan 1 : Triple Bottom Lines Model pembangunan seperti ini sering juga disebut dengan istilah Triple Bottom Lines, karena mencoba meramu berbagai hal pokok yang dihadapi sebagai persoalan dunia dewasa ini. UNESCO lebih jauh menggali konsep
411

pembangunan

berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa: "...keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam". Oleh karena itu "pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai

Noke Kiroyan, CSR for Better Life a Learning Forum SeriesIntegrating CSR as a Business Strategy, Indonesia Business Links Resource Centre for Corporate Citizenship, 28 Maret 2007, hal. 3 diunduh dari http://www.ibl.or.id/en/ibl/html/ data/File/Notulensi_CSR_LF_28_Maret_2007.pdf 411 Ibid.

410

197

kepuasan

intelektual,

emosional,

moral,

dan

spiritual".

dalam

pandangan ini, keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan berkelanjutan. 412 Triple Bottom Lines yang sekarang dijadikan paradigma baru tujuan utama korporasi (corporation goals). Dan untuk mencapai

tujuan tersebut, korporasi tidak mungkin bekerja secara sendirian. Harus ada keterlibatan pihak pemerintah dan masyarakat secara langsung dalam tujuan pembangunan (goals of development).

kerjasama antara pihak pemerintah , masyarakat dan korporasi sering pula disebut dengan The agents of Development.

Government

Goals of Development

Society

Corporations

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) merupakan badan khusus PBB yang didirikan pada 1945. Tujuan organisasi adalah mendukung perdamaian dan keamanan dengan mempromosikan kerja sama antar negara melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya dalam rangka meningkatkan rasa saling menghormati yang berlandaskan kepada keadilan, peraturan hukum, HAM dan kebebasan hakiki. UNESCO memiliki anggota 191 negara. Diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/UNESCO

412

198

Bagan 2 : Agents of Development Sebagai Agents of Development, korporasi menjadi bagian

dari warga Negara. Istilah corporate citizenship dimunculkan oleh Peter Utting dalam Papernya yang dibacakan pada Januari tahun 2000 di dalam sidang The United Nations Reseach Institute for social Development (UNRISD) di Geneva. Ia menyampaikan: Development agencies and actor concerned with promoting sustainable development have been joined in recents years by another player- big business. Increasing adherence on the part of senior managers to concept like corporate citizenship or corporate social responsibility suggest that this sector of business is beginning to recast it relationship with what environment and it multiple stakeholder. This evolving situation stand in sharp contrast to the scenario of the past when big business was seen to be insensitive to the need of certain steakholders and responsible for much of the environmental degradation of the planet. 413 Korporasi sebagai bagian dari warganegara suatu bangsa (corporate citizenship), mempunyai kewajiban dalam pembangunan. Menurut World Economic Forum (WEF), korporasi harus memberikan sumbangsihnya kepada masyarakat, yaitu : Corporate citizenship is the contribution a company makes to society and the environment through its core business

Peter Utting, Business Responsibility For Sustainable Development, Occasional Paper No 2, The United Nations Reseach Institute for social Development (Geneva, 2000)

413

199

activities, its social investment and philanthropy programmes, and its engagement in public policy. 414 Andaikan dikaitkan dengan CSR , sustainable development adalah sebagai tujuan akhir dari padanya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari bagan dibawah ini. 415

Bagan 3 : CSR and Sustainbility Development

World Economic Forum, Global Corporate Citizenship Initiative diunduh dari http://www.weforum.org/corporatecitizenship 415 Peter Franz dan Stefanie Pfahl, Corporate Social Responsibility An Introduction From The Environmental Perspective, Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation and Nuclear Safety, Public Relations Division, Republic of Germany (March 2006), hal. 6

414

200

Saat ini, tujuan korporasi yang sekedar mencari keuntungan sudah tidak sesuai lagi. Paradigma tersebut hanya ada pada era second wave. Menurut Herman Bryant Maynard Jr dan Susan E Mehrtens, paradigma tersebut telah berubah pada gelombang ketiga (third wave) dan ke empat (fourth Wave). Tujuan korporasi harus memperhatikan kepentingan pihak lain dan persoalan lingkungan hidup. 416 Peran Korporasi dalam penciptaan kesejahteraan umum menjadi sangat penting. Penjelasan detilnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini. 417
Bagan 4 : Dimension of the corporate role.

Human Bryant Maynard Jr dan Susan E Mehrtens , The Fourth Wave : Business in the 21 st Century,( San Fancisco : Barret Koehler Publisher, 1993) hlm. 10 417 Ibid , 52-66

416

201

Goals Motivation

Second Wave Maximize profits Make money

Third Wave Create value Make money and help solve societal problems Creating value, trust, learning Stockholders, employees, families, suppliers, customers, communities, government Coorpertion: business as a way for people to grow and serve Internasional; share responsibility for the welfare of local, national and global communities; decades in future

Fourth Wave Serve as global steward Leave valuable legacy for the future Responsibility for the whole, service, personal fulfillment Stockholders, employees,families, suppliers, customers, communities, government, ecosystems, Gaia Unity; business as a means to actively promote economis and social justice Global; share leadership in local, national, and global affairs; generations or centuries in future

Value Stakeholders

Profit, growth, control Owners of business, stockholders

Outlook

Selfpreservation; businss as a way to make a living National and local; 5-10 years in future

Domain

202

Bagan 5 : Aspects Of Corporate Wealth

Definition of Wealth Ownership Assets Performance Measures

Second Wave Financial reward from tangible assets Stockholders Physical plant, inventory Financial accounting

Third Wave Financial reward and improved quality of life Direct and idirect worker ownership Plant, inventory, intellectual capital, diversity Financial accounting with increasing use of social accounting

Fourth Wave Quality of life and alignment with the natural order Communitarian Ideas, information, creativity, vision Social and resource accounting

Dalam gelombang

keempat, korporasi harus

menyadari

bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat. Korporasi bukan lagi institusi privat yang menganggap masyarakat adalah pihak luar (something external) seperti pada paradigma gelombang kedua. Karena Korporasi adalah bagian dari masyarakat, maka korporasi harus memperhatikan keinginan dan kepentingan masyarakat. 418 Dengan kata lain korporasi harus mempunyai tujuan untuk

menciptakan kesejahteraan

sosial. Korporasi dalam paradigma

gelombang keempat mempunyai fungsi sosial (corporate will be social). Untuk itu korporasi harus memberikan laporan sosial kepada

418

Ibid , hlm. 13-14

203

masyarakat tentang apa yang dilakukan, tidak hanya kepada pihak internal perusahaan. 419 Hal ini sesuai dengan reflexive law theory yang menghendaki setiap korporasi untuk memberikan social

reporting. Untuk itu perlu kiranya dilakukan perubahan paradigma tujuan korporasi. Mencari keuntungan (profit) tetap menjadi tujuan yang utama, tetapi memperhatikan kepentingan masyarakat

(people), serta ikut melestarikan lingkungan hidup (planet), adalah bagian yang tidak terpisahkan. Khususnya di Indonesia, pandangan ini sangat sesuai dengan asas kebersamaan dan gotong royong sebagai dasar pembangunan ekonomi seperti yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945. Juga sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang ada dalam Sila kemanusiaan dan keadilan sosial dalam Pancasila. Artinya, korporasi yang menjalankan CSR adalah perusahaan yang Pancasilais. Lebih dari itu, paradigma baru tujuan korporasi tersebut berorientasi pada sustainable development. Hal ini sesungguhnya

korporasi telah menjaga keberlanjutan bisnisnya sendiri (corporate sustainable). Korporasi yang tidak mempertimbangkan sustainable development sama saja menggali kuburnya sendiri.

419

Ibid, hlm. 77

204

C. Dilema Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia

mengalami dilema. Hal ini dapat dilihat dari pembahasan mengenai sikap pemerintah untuk mengatur CSR dalam peraturan perundang-undangan, adanya gugatan dari pelaku usaha terhadap pengaturan tersebut serta

keinginan masyarakat untuk mendapatkan manfaat dari penerapan CSR, baik diatur secara wajib maupun sukarela. 1. Sikap Pemerintah tentang Perlunya Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia Terdorong oleh motivasi bahwa pembangunan berkelanjutan, yang hanya dapat dicapai atau dipertahankan manakala tercipta

keseimbangan antara aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, telah melahirkan kesadaran baru di kalangan komunitas bisnis di Indonesia untuk melakukan CSR. 420 Oleh sebab itu dan karena banyaknya persoalan kesenjangan sosial pemerintah mengambil keputusan untuk mengatur CSR dalam peraturan perundang-undangan. 421
Sebelum diaturnya kewajiban CSR , sudah banyak aktivitas korporasi yang bentuknya memberikan bantuan dan pemberdayaan masyarakat dengan prinsip sukarela, yang sering disebut community development atau social empowering. Pengusaha Bicara Tanggung Jawab Sosial, KOMPAS, Jumat, 18 April 2008 421 Menanggulangi Kemiskinan dengan CSR, KOMPAS, Kamis, 24 Mei 2007. Badaruddin menjelaskan hal ini paling tidak dapat dilihat dari indikator makro, di mana jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami peningkatan dari 16,66% pada tahun 2004 meningkat menjadi 17,75% pada tahun 2006; Sedangkan untuk Sumatera Utara meningkat dari 14,93% tahun 2004 menjadi 15,66% tahun 2006 (BPS, 2006). Padahal
420

205

Secara konstitusional pemerintah mempunyai kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan sosial sebagai perwujudan tujuan

pembentukan negara. Pasal 33 UUD 1945 mengatur tentang dasardasar sistem perekonomian atau tata susunan perekonomian dan kegiatan-kegiatan perekonomian yang dikehendaki dalam negara Republik Indonesia. Dasar-dasar perekonomian dan kegiatan

perekonomian sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial, maka pembuat/penyusun UUD 1945 menempatkan Pasal 33 sebagai salah satu Pasal dalam Bab XIV di bawah judul kesejahteraan sosial. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 33 didasari oleh pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945, sehingga Pasal 33 merupakan normatifikasi nilai-nilai yang terkandung dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 antara lain berbunyi: kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
bila pemanfaatan dana CSR dapat dioptimalkan dan dilakukan dengan model (pola) yang baik, niscaya akan berkontribusi sangat besar bagi pemberdayaan ekonomi (pengurangan angka kemiskinan) dalam masyarakat. Contoh lain yang cukup ironi adalah masyarakat Papua, di mana eksplorasi sumberdaya alam yang dilakukan oleh PT. FREEPORT selama bertahun-tahun dan telah memberi keuntungan triliunan rupiah, namun masyarakat di sekitar pertambangan masih hidup dalam kemiskinan bahkan di daerah-daerah tertentu di wilayah tersebut masih ditemui kasus penduduk yang meninggal karena kelaparan. PT. FREEPORT sesungguhnya sudah melakukan CSR, namun patut dipertanyakan sejauhmana CSR tersebut telah dipraktekkan secara holistic, sehingga benar-benar dapat membuat masyarakat menjadi berdaya secara ekonomi, sosial, dan budaya . Badaruddin, Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Terhadap Masyarakat Melalui Pemanfaatan Potensi Modal Sosial: Alternatif Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Indonesia, Pidato Pengukuhan, Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Sosiologi Perkotaan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 12 April 2008, hal. 7-8

206

melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial

kemerdekaan,

Kalimat terakhir alinea ke IV yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, selanjutnya dikenal sebagai salah satu contoh bagaimana komitmen universal atas keadilan sosial ini juga menjadi komitmen para pendiri bangsa (founding father). Keadilan sosial seharusnya menjadi moral dalam pengelolaan ekonomi-politik negara. 422 Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar hak penguasaan negara

mengatur tentang dasar-dasar sistem perekonomian yang dikehendaki dalam negara Indonesia. Berdasarkan pemikiran yang demikian, maka upaya memahami Pasal 33 tidak terlepas dari dasar pemikiran tentang kesejahteraan sosial. 423 Keterkaitan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, menurut Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut
424

1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. 2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam
422 423 424

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan..., op cit , hal 25-26 Ibid ., hlm.16 Bagir manan dalam Abrar Saleng, Ibid ., hal.117

207

tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat. 3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan. Dalam konteks pembicaraan tentang penerapan nilai-nilai

Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 dalam pembangunan, pemerintah berwenang menerapkan norma. Pengertian norma di sini dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu: (1) norma hukum, (2) norma moral, (3) norma pembangunan. Norma hukum sebagai perwujudan nilai-nilai Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 dituangkan dalam berbagai

peraturan perundang-undangan. 425 Menurut Sunaryati Hartono, pengaturan seperti tersebut diatas menempatkan hukum sebagai bagian dari sarana pembangunan, untuk meningkatkan taraf hidup setiap warga negara, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum, dengan tetap memelihara dan menegakkan keadilan bagi setiap warga negara. 426 Maka menjadi tugas hukum untuk mempersiapkan norma-norma baru yang sesuai dengan tujuan pembangunan secara bertahap untuk meningkatkan
425 426

taraf

hidup

dan

kesejahteraan

masyarakat. 427

Ibid. 220-221 CFG Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional , Depertemen Kehakiman, Binacipta, 1982), hal. 18 427 Ibid ,hal. 23

208

Selanjutnya melalui peraturan perundang-undanganlah pemerintah berusaha untuk mengupayakan terciptanya masyarakat adil dan makmur tersebut. 428 Selain itu pendapat dari pemerintah banyak disampaikan oleh para pejabat. Ketua Panitia Khusus UU PT Akil Mochtar mencoba menjelaskan, kewajiban CSR terpaksa dilakukan lantaran banyak perusahaan mutinasional yang beroperasi di Indonesia, lepas dari tanggung jawabnya dalam mengelola lingkungan. Akil Mochtar

mengatakan bahwa pengalaman menunjukan, bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya melakukan kegiatan operasional tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap kepentingan sosial seperti itu. Akil Mochtar mencontohkan beberapa kasus, seperti lumpur Lapindo di Porong, lalu konflik masyarakat Papua dengan PT Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran lingkungan oleh Newmont di Teluk Buyat, dan sebagainya. 429 Alasan lainnya adalah kewajiban CSR juga sudah diterapkan pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perusahaanperusahaan pelat merah itu, wajib memberikan bantuan kepada pihak ketiga, seperti disebutkan dalam Pasal 88 ayat (1) Undang- undang no
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, ,1995)., hal., 215-221 429 CSR, Kegiatan Sukarela yang Wajib Diatur 01 Maret 2008 .Diunduh dari http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18664&cl=Berita
428

209

19

tahun

2003

tentang

Badan

Usaha

Milik

Negara

yang

menyebutkan: BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/ koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Ketentuan lain yang menjadi petunjuk pelaksanaan anjuran tersebut adalah Keputusan Menteri BUMN Nomor : Kep-

236/MBU/2003, yang telah diperbaharui dengan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan, mengharuskan seluruh BUMN untuk

menyisihkan sebagian labanya untuk pemberdayaan masyarakat yang dikenal dengan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL). 430 Akil Mukhtar melanjutkan : Oleh karena itu, kami berpikir bahwa perusahaan yang ada di Indonesia sudah waktunya turut serta memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan dimana perusahaan itu berada. Disamping itu, tren perkembangan globalisasi menunjukan halhal yang berkaitan dengan kegiatan lingkungan sudah menjadi hal yang mendesak bagi kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Di Inggris dan Belanda misalnya, CSR menjadi sebuah penilaian hukum oleh otoritas pasar modal, disamping penilaian dari publik sendiri. Kalau perusahaan itu tidak pernah melakukan CSR justru kinerja saham dia di bursa saham kurang bagus. Di Indonesia, kami mencoba mengatur dalam suatu regulasi yang menjadi kewajiban bersama, tetapi itu bukan
Implementasinya ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri BUMN, SE No. 433/MBU/2003 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Keputusan Menteri BUMN Kep-236/MBU/2003
430

210

merupakan suatu pemberatan toh. Kewajiban itu (CSR) haruslah ada. Di Indonesia ini kan sesuatu yang diatur saja masih ditabrak, apalagi kalau tidak diatur. 431 Anggota Komisi VI DPR, Aria Bima menilai CSR tak hanya sekadar kedermawanan sebuah perusahaan. Dia katakan: memang benar-benar bangun kewajiban. jalan, CSR tak atau sekadar rumah CSR ini

community sakit. Aria

development,

sekolah,

mengingatkan, dalam kondisi ekonomi yang makin mengglobal, pemangku kepentingan (stakeholder) sebuah perusahaan bukan hanya pemegang saham (shareholder). Tetapi, lebih luas lagi, stakeholder

adalah masyarakat dan lingkungan. Ia mengaku geram karena masih banyak perusahaan yang mengaku telah bertanggung jawab kepada masyarakat, namun merusak lingkungan juga. Yudo Paripurno anggota Pansus dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), mengatakan CSR itu hukumnya bukan sunnah lagi, melainkan sudah fardhu. 432 Gayus Lumbun, Anggota Komisi III DPR memberikan argumen bahwa CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti pengrusakan

lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, ngemplang pajak, dan

431 CSR, Kegiatan Sukarela yang Perlu Diatur, 01 Maret 2008. diunduh dari http://www.hukumonline.com 432 CSR Tidak Perlu Diatur dalam UU PT, Kompas, Senin, 23 Juli 2007, diunduh dari http://www2.kompas.com/ver1/Nasional/0707/23/142823.htm.

211

menindas

buruh.

Lalu,

kebanyakan

perusahaan

juga

cenderung

membuat jarak dengan masyarakat sekitar,untuk itu mesti diatur. 433 Gayus atas nama DPR setuju jika hal itu diwajibkan bagi setiap Perseroan, Dia mengatakan : Tanggung jawab perusahaan yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility) akan berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi perundang-undangan dapat diberi sanksi. Dengan demikian, keberadaan perusahaan akan menjadi sangat bermanfaat, sehingga dapat menjalankan misinya untuk meraih optimalisasi profit, sekaligus dapat menjalankan misi sosialnya untuk kepentingan masyarakat. 434 Suryadarma Ali termasuk pihak yang mendukung pengaturan CSR khususnya dalam membantu para pengusaha UMKM dan

Koperasi. Dia memberikan pendapat : Corporate Social Responsibility atau CSR merupakan panggilan terhadap perusahaan untuk memperhatikan kondisi sosial masyarakat sekitarnya serta dalam lingkup lingkungan yang lebih luas. Dengan demikian diharapkan muncul tanggung jawab untuk memberdayakan masyarakat. Perusahaan yang tidak bisa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya, maka perusahaan itu menciptakan kesenjangan dilingkungannya. Perusahaan itu tidak memiliki makna yang berarti apabila kemajuan yang diraihnya tidak melibatkan masyarakat sekitarnya. Jangan sampai habis manis sepah dibuang, setelah dikeruk kekayaannya ditinggalkan begitu saja. 435

433

434
435

Suryadarma Ali, Kembangkan Lembaga Keuangan Mikro dari Dana CSR, Majalah BISNIS dan CSR, Vol 1 No 2 November 2007, hal. 10-12

Ibid

CSR , Kegiatan Sukarela Yang Perlu Diatur... loc. cit.

212

Suryadarma Ali menambahkan, salah satu cara CSR adalah menyisihkan 1% hingga 3% dari keuntungannya untuk pembinaan koperasi, juga ada dana untuk program pembinaan UMKM. 436 Tetapi tidak semua pejabat memberikan dukungan atas

pengaturan CSR tersebut. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie termasuk pihak yang kurang sepakat dengan

kewajiban CSR. Aburizal menegaskan saat membuka pameran dan konferensi "CSR Indonesia 2007", di Jakarta Convention Centre (JCC), Kamis 26 April 2007 : Bahwa tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR) bukanlah kewajiban perusahaan, akan tetapi tambahan perhatian kepada masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan adalah membayar pajak secara benar. Adapun CSR itu sendiri berguna bagi mereka sendiri, karena masyarakat di sekitar akan mendukung kemajuan perusahaan itu ke depan". 437 Partomuan Pohan, salah seorang Konseptor Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, membantah pendapat diatas. Dia mengatakan: CSR harus dimaknai sebagai

instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis. Ia juga membantah pendapat Ketua Umum Kadin Indonesia yang menyatakan CSR identik dengan kegiatan sukarela. Menurut dia, CSR merupakan
Tetapi Menteri juga mengingatkan bahwa soal dana hasil keuntungan yang 1% hingga 3% disisihkan untuk koperasi, memang terkadang ada yang nakal, dengan mendirikan koperasi sendiri sehingga dananya masuk ke koperasi yang mereka bentuk Ibid, hal. 15-16 437 Aburizal: CSR Bukan Kewajiban Perusahaan, KOMPAS, Kamis, 26 April 2007 diunduh dari http://www2.kompas.com/ver1/Nasional/0704/26/122114.htm.
436

213

sarana untuk meminimalisir dampak negatif dari proses produksi bisnis terhadap publik, khususnya dengan para stakeholder nya. Maka dari itu, sangat tepat apabila CSR diberlakukan sebagai kewajiban yang

sifatnya mandatory dan harus dijalankan oleh pihak Perseroan selama masih beroperasi. Demikian pula pemerintah sebagai agen yang mewakili kepentingan publik. Sudah sepatutnya pemerintah memiliki otoritas untuk melakukan penataan atau meregulasi CSR. 438 Namun secara resmi sikap pemerintah dapat dilihat dari pengesahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal, dan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas. Pengundangan tersebut dapat dimaknai sebagai sikap politik yang formal dari pemerintah untuk secara tegas melakukan intervensi politik dalam mengatur CSR. Untuk mengetahui sikap dan latar belakang pentingnya

pengaturan CSR dalam pembahasan berikut ini akan mengkaji proses perdebatan dibalik pembentukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Setidaknya ada 5 kali sidang dalam Rapat Panitia Khusus / Panitia Kerja Rancangan Undang Undang tentang Persoroan (PANSUS RUU PT) Terbatas yang didalamnya membahas mengenai isu CSR.

438

CSR , Kegiatan Sukarela yang perlu diatur..., loc. cit.

214

PANSUS RUU PT tersebut terdiri dari 1 Ketua dan 26 Anggota yang mewakili 10 Fraksi di DPR. Untuk memudahkan dalam memahami perbagai perdebatan yang terjadi dalam sidang-sidang tersebut, penulis akan

menyajikannya berdasarkan poin-poin penting yang dibahas dalam tiap kali sidang sebagai berikut. a. Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas Masa Sidang I pada hari Jumat tanggal 1 Desember 2006. 1). CSR Pertama kali disebut dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) 328. Pada pembahasan mengenai laporan mengenai

kegiatan perseroan ditambah yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang meliputi pengeluaran limbah, pemberdayaan masyarakat sekitar dan penyelundupan

terhadap konsumen atas dihasilkan. CSR termasuk

produk atau bagian dari

jasa barang yang Laporan kegiatan

Perseroan yang wajib dibuat Laporan Keuangan. 439

oleh Perseroan, selain dari

439 Laporan sebagaimana dimaksud harus memuat sekurang-kurangnya: (a) Laporan Keuangan dan (b) Laporan mengenai kegiatan perseroan. Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas Masa Sidang I, Jumat, 1 Desember 2006

215

2). Anggota F-KB DRS. H. Amin Said Husni mulai menyampaikan ide mengenai alokasi dana bagi kegiatan CSR. Tetapi ide ini baru dibahas lebih lanjut pada sidang-sidang berikutnya b. Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas Masa Sidang I pada hari Sabtu tanggal 2 Desember 2006. 1). Ketua Sidang M. Akil Mochtar, SH. MH mengatakan: tanggung jawab sosial perusahaan berdasarkan usulan Fraksi Kebangkitan Bangsa telah disepakati secara bersama untuk dimasukkan dalam RUU PT tersebut. Namun rumusannya masih perlu dibahas dengan pihak pemerintah (eksekutif) dengan

memberikan konsep tanggung jawab sosial perusahaan 440. 2). Anggota F-PG Prof. Drs . H. Rustam E. Tamburaka, MA menolak usulan Fraksi PKB yang mensyaratkan setiap

perseroan wajib mengalokasikan sedikitnya 5 persen dari laba bersih tahunan perseroan untuk kegiatan-kegiatan yang

berkaitan dengan tanggungjawab sosial korporasi. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah bagi para investor
Dikatakan oleh Ketua Rapat bahwa tanggungjawab sosial korporasi telah disepakati harus masuk di dalam rancangan undang-undang ini. Dari kemarin sampai dengan tadi malam kita sudah mengelaborasi itu di beberapa pasal kemudian kita pending dengan sebuah asumsi bahwa tanggungjawab sosial ini masuk dari bab tersendiri dengan memperhatikan usulan fraksi-fraksi yang berkenaan dengan tanggungjawab sosial ini. Kesepakatan kita adalah untuk itu perlu sebuah rumusan awal dulu yang disiapkan oleh Pemerintah, nanti kita lihat dari sisi legal draftingnya cocoknya masuk dimana, mungkin sebelum Bab Penutup. Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas Ke I, Sabtu, 2 Desember 2006
440

216

yang merasa jadi sapi perahan. Karena dalam kontrak kerja mereka itu sudah ada apa yang disebut dengan royalty,

kemudian community development dan biaya sosial lainnya . 3). Fraksi PDIP, PAN,PKB dan PKS mengusulkan guidence CSR diatur dalam Peraturan Pemerintah. Tetapi pihak pemerintah yang diwakili Dirjen Administrasi Hukum Umum merasa

keberatan, sebab isu dalam CSR sudah banyak diatur dalam rejim undang-undang lainnya. 4). Karena CSR sudah disepakati sebagai kewajiban maka perlu dibahas mengenai sanksi hukumnya. Anggota FKB Ahmad

Syafrin Romas, Arch mengusulkan jangan menggunakan sanksi pidana karena CSR adalah masalah sosial. 5). Staf Ahli Pemerintah Ratnawati Prasodjo menyampaikan

pertanyaan apakah semua perseroan, baik besar maupun kecil dikenai kewajiban CSR yang sama? Bagaimana dengan

perseroan yang rugi ?. Hal ini dijawab oleh Ketua Rapat bahwa sumber dana diambil dari sebagian prosentase keuntungan saja. 6). Rumusan Pasal CSR secara redaksional dibacakan untuk

pertama kali sebagai berikut : Pasal titik-titik ayat (1) Perseroan wajib mengalokasikan sebagian dari laba bersih tahunan perseroan untuk melaksanakan tanggungjawab perseroan; (2) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud

217

pada ayat (1) dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial perseroan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. c. Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, Masa Sidang III pada hari Kamis, 22 Februari 2007. 1). Pemerintah memberikan usulan mengenai bunyi Pasal CSR yang berbeda dengan usulan DPR , yaitu (1) Perseroan wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perseroan. (2) Tanggung jawab sosial perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh perseroan dengan cara menyisihkan dana dari saldo laba bersih tahunan jika perseroan mempunyai saldo laba yang positif. (3) Besarnya kewajiban penyisihan dana sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan oleh RUPS.

(4) Pelaksanaan tanggung jawab sosial perseroan dilaporkan pada RUPS tahunan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Laporan Tahunan Perseroan. Jadi pemerintah tidak sepakat dengan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Keberatan pemerintah yang lain disebabkan alasan bahwa RUU Perseroan diberlakukan secara umum. Tidak ada pembedaan Perseroan besar atau kecil. 2). Mengenai sanksi, Pemerintah bersama dengan Pakar

mengatakan bahwa sanksi itu sesungguhnya berupa sanksi

218

ekonomi dibidang bisnis, atau katakanlah sanksi sosial dibidang bisnis. Dalam implementasinya misalnya, kalau satu perseroan publik yang listing di Stock Exchange atau Bursa Efek, dia tidak melakukan corporate social responsibility, maka sahamnya itu akan turun. Artinya efek sosial dari suatu perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab perseroan ini. Jadi sanksi dalam bidang peraturan perundang-undangan yang jelas memang tidak ada. Di negara-negara lainpun yang kami sudah minta opini, bahwa pelaksanaan sanksi dalam artian norma terhadap suatu perseroan yang tidak melakukan tangung jawab sosial ini tidak ada. Menurut Pemerintah, sanksi itu digantungkan kepada aturan-aturan yang berlaku. Misalnya di Pertambangan sudah di aturan-aturan mengenai pertambangan, lingkungan hidup dan sebagainya 3). Anggota F-PDIP Aria Bima mengusulkan porsentase keuntungan untuk CSR 1-3% seperti yang terjadi di BUMN sekarang ini. 4). Anggota F-PDS Constant M. Ponggawa, mengingatkan, bahwa pada saat yang sama sedang dibahas mengenai RUU

Penanaman Modal (RUU PM). Jangan sampai RUU PM yang memberikan berbagai fasilitas dan kemudahan bagi investor bertentangan dengan RUU PT yang memberikan banyak

kewajiban tambahan yang menjadi beban.

219

5). Sikap pemerintah (eksekutif) mulai bertentangan dengan DPR. Pemerintah beragumentasi bahwa perseroan adalah badan usaha yang mencari profit. Tetapi pendapat tersebut disanggah oleh Anggota F-PKS, Zulkieflimansyah yang mengatakan

justru perusahaan sekarang itu trend barunya CSR. Ada kebanggaan perusahaan untuk melakukan investasi kalau

aturan dari Corporate Social Responsibilitynya itu clear. Jadi mereka mempunyai surgeontist dalam melakukan investment

design dan sebagainya. Ditambahi oleh pendapat Anggota F-PG Ade Komarudin yang berpendapat CSR ini untuk kepentingan mereka sendiri supaya mereka mendapat untung, tetapi negara juga diuntungkan, jadi dua-duanya dapat. Melalui UndangUndang ini kita akan menjadikan kebutuhan bagi mereka. Bukan dipaksakan kepada mereka. Untuk supaya menjadi kebutuhan mereka, kita atur itu melalui Peraturan Pemerintah. d. Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, Masa Sidang IV pada hari Senin, Pagi, 9 Juli 2007 1). Pemerintah menanyakan mengenai istilah yang digunakan dalam RUU PT adalah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) apakah sama dengan istilah Tanggung Jawab Sosial

220

Perusahaan (TJSP) dalam UU Penanaman Modal ?. Karena dalam Legal Drafting istilah harus sama untuk arti yang sama. Dijawab oleh Idham dari Fraksi PDIP bahwa pada maknanya

sama, hanya RUU PT ingin lebih menegaskan ke persoalan lingkungan karena pada kenyataannya banyak lingkungan kita yang rusak oleh ulah korporasi. Jadi sebaiknya jangan berteori lagi tetapi kita gunakan hati nurani. Hal ini di tekankan oleh H Rustam Tamburaka hasil dari studi Fraksi banding GK. di Dia mengatakan: Thailand,

berdasarkan

negara

penggunaaan istilah TJSL

juga digunakan oleh berbagai

perusahaan. Artinya tidak ada masalah dengan istilah tersebut. 2). Menurut Pemerintah istilah CSR sudah melingkupi lingkungan termasuk juga HAM dan sebagainya. Ini hanya dimaksudkan agar tidak terjadi pergesaran makna dengan menggunakan istilah yang berbeda. Tetapi menurut Ketua Rapat karena dalam pembahasan sebelumnya telah disepakati dengan istilah

tersebut dengan dicantumkan dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 74, serta melihat keinginan yang kuat dari semua fraksi untuk menekankan CSR dengan istilah TJSL maka disepakati hal tersebut. 3). Sidang menyepakati pelaksanaan TJSL wajib dimasukan dalam laporan tahunan perseroan yang diatur dalam Pasal 66 huruf c

221

4). Pembiayaan

TJSL

menggunakan

sebagian

laba

bersih

perseroan. Hal ini disangah Pemerintah , bahwa laba bersih adalah hak pemegang saham bukan lagi milik perseroan. Menurut perseroan perseroan. Penanaman pemerintah maka Seperti Modal kalau TJSL adalah tanggung dalam jawab

sebaiknya halnya bahwa

dibebankan yang

anggaran dalam UU

diamanatkan Jawab

Tanggung

Sosial

adalah

tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan, jadi memang tidak diambil dari laba bersih jadi memang harus dianggarkan oleh perusahaan itu dan tentu saja nanti akan diformasikan seperti yang disampaikan di ayat sebelumnya bahwa itu memperhatikan kewajaran dan kepentingan dari perusahaan. 5). Pada akhir sidang ini Pimpinan Sidang mengambil keputusan : Pertama, bahwa soal lingkungan hidup itu masuk penjelasan, kita sepakati itu dulu pak supaya dicatat, judulnya tetap seperti itu tapi yang berkaitan dengan lingkungan ada penjelasan, tolong juga pemerintah mempersiapkan penjelasannya supaya kita lebih mudah dalam melakukan pembahasan. Kedua, bahwa CSR tidak masuk dalam komponen laba bersih tahunan karena sudah jelas tadi Pasal di atas kita sudah keluarkan itu dan dia menjadi komponen biaya perusahaan. itu kaitannya dengan Pasal yang kita sudah bahas diatas supaya nanti tidak bolak-balik lagi

222

e. Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, Masa Sidang IV pada hari Senin, Sore, 9 Juli 2007 1). Pada saat sidang dibuka Pimpinan membacakan hasil sidang sebelumnya yaitu : Judul tetap bab 5, judulnya tanggungjawab sosial dan lingkungan, tetap. Pasal 74, yang lama, maksudnya draft yang lama, saya baca dulu, perseroan wajib mengalokasikan sebagian laba bersih tahunan perseroan untuk melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Pasal 74 baru, perseroan wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan, penjelasannya ayat (1) yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam undangundang tentang pengelolaan tentang lingkungan hidup. Pada ayat (2) tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melekat pada setiap perseroan, untuk tetap melaksanakan hubungan yang serasi seimbang serta sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Penjelasan ayat (2) berdasarkan ketentuan ini maka tanggungjawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat (3) perseroan yang tidak melaksanakan kewajiaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (4) ketentuan lebih lanjut mengenai tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Ayat (3) dan (4) baru sama dengan ayat yang lama. jadi yang betul-betul baru itu ayat (1) dan (2) nah pejelasan ayat (3) nya yang dimaksud dengan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah segala bantuk sanksi dalam perundang-undangan seperti undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup dan lain sebagainya. Jadi ayat (3) dan (4) itu sama dengan yang lama, saya kira tidak perlu dikomentari, yang baru itu ayat (1) dan (2). 2). Putusan tersebut mendapat sanggahan dari berbagai pihak.

223

H. Idham, Fraksi PDIP menyampaikan : ...beberapa catatan yang perlu kami sampaikan, kami mulai kalau ayat (1) sudah sekarang langsung di ayat (2). Kami menelisik sebenarnya ayat (2) ini merefer atau mengutip mentah-mentah konstruksi dari undang-undang penanaman modal. Itu bagus-bagus saja, tapi terkait juga ini nanti akan dijelaskan didalam penjelasan ayat ini. Kami mengusulkan jangan seluruhnya substansi PMA itu diangkat kemari, cukup tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagaimana yang dimaksud melekat pada setiap perseroan titik. Kalaupun artinya frase berikut ini akan kita kutip, ini nanti kita konstruksikan di penjelasan, begitu. nanti kita runding lagi, itu yang pertama. itu dicabut dulu saja pak. nah yang ayat (3), kalau kita konsisten, bahwa perseroan wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan, kami melihat konstruksi ayat (3) ini terjadi pelenturan yang luar biasa, dengan munculnya kata dapat. untuk itu kata dapatnya harus dihapus, supaya ada kepastian, jadi konkritnya itu perseroan yang tidak malaksanakan kewajiban sebagaimana ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, titik. Jadi kata dapat itu dihapus. ayat (4) yang dikonstruksi lama itu dihapus, saya pikir kami sudah sependapat dengan pemerintah, karena ini substansinya sudah termuat dikonstruksi di ayat (3) tadi. H.Azzam Azman Natawijana dari Partai Demokrat mengatakan : saya ada comment pada penjelasan ayat (3). Yang dimaksud dengan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup. Jadi artinya sanksinya bisa banyak. Yang mana yang akan dikenakan, sanksi yang terberat atau yang teringan? Ini bisa jadi debatable suatu saat. Penjelasan dari ayat (3) sebenarnya ini perlu penyempurnaan. Yang dimaksud dengan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait, (titik). Jadi tidak ada kita membandingkan atau memberikan contoh, karena itu sangat kondisional. Jadi dalam peraturan perundang-undangan terkait, titik. Jadi tidak multi tafsir lagi.

224

Namun setelah dikembalikan kepada PANJA RUU PT untuk di sesuaikan dengan masukkan dan sanggahan ada ketidaksamaan dengan undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas yang disahkan. Khususnya Pasal 74 ayat 1 yang berubah menjadi (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Frasa perseroan wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan mendapatkan kekhususan hanya bagi Perseroan yang

menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Tetapi apapun yang terjadi dibalik perdebatan pembahasan RUU PT tersebut dan kemudian disahkan, hukum di Indonesia secara

formal telah memberikan kewajiban hukum terhadap korporasi untuk melaksanakan CSR. 2. Gugatan Dari Pelaku Bisnis Terhadap Kewajiban CSR di Indonesia Pemberlakuan kewajiban CSR dalam Undang Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan Undang Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, menimbulkan banyak perdebatan. sejak kelahiranya telah

225

Gugatan datang dari

Kadin Indonesia, Asosiasi Pengusaha

Indonesia, Indonesia Business Link, Asosiasi Emiten Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia dan 10 asosiasi pelaku usaha dari beragam sektor . Mereka membuat pernyataan bersama di Jakarta pada Senin 16 Juli 2007. Maksud pernyataan tersebut adalah menuntut pembatalan pengaturan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) dalam Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas (RUU PT) yang sudah berada pada tahap final pembahasan di DPR. 441 Ketua Apindo Sofjan Wanandi usai penandatanganan

pernyataan bersama itu, mengatakan: "Kalau CSR diwajibkan itu namanya pajak, akan menjadi tambahan biaya bagi perusahaan, sekaligus akan berdampak pada iklim investasi". 442 Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), Mas Ahmad Daniri juga merasa janggal dengan isu tersebut. Menurut Daniri munculnya kewajiban CSR dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dianggap kurang

transparan, sehingga mengejutkan bagi kalangan pelaku bisnis. Daniri mengatakan : Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan muncul pada saat pembahasan ditingkat Panja dan Pansus DPR.
Pelaku Usaha Tolak Pengaturan Kewajiban CSR, KOMPAS, Senin 16 Juli 2007, diunduh dari http://www2.kompas.com/ver1/Ekonomi/0707/16/153006.htm, 442 Ibid.
441

226

Pada konsep awal yang diajukan pemerintah, tidak ada pengaturan seperti itu. Saat dengar pendapat dengan KADIN dan para pemangku kepentingan lain, materi Pasal 74 ini pun belum ada. Lalu sekitar 28 asosiasi pengusaha termasuk KADIN dan Apindo, keberatan terhadap RUU PT. Mereka meminta pemerintah dan DPR membatalkan pengaturan tentang kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam RUU PT. 443 Dalam sebuah wawancara Daniri juga menyampaikan,

kegelisahannya. 444 Menurutnya ada beberapa persoalan mendasar yang kurang dipahami oleh regulator mengenai isu CSR. Diantaranya yaitu : Pertama, secara nature CSR adalah aktivitas korporasi yang

bersifat sukarela (voluntary) . Kalau dibuat mandatory maka sudah tidak sesuai dengan konsep CSR itu sendiri. Kedua, pada prakteknya CSR adalah bentuk komitmen korporasi untuk menjaga

keberlanjutannya (corporate sustainability) dengan memperhatikan dan perduli pada kepentingan masyarakat secara luas. Pemenuhan kepentingan pada masyarakat tersebut sangat luas, tergantung

kondisi dan situasi yang terjadi dari interaksi korporasi dengan masyarakat. Jadi CSR adalah suatu yang beyond regulation atau beyong compliance. Daniri mengatakan : Kalau diatur oleh hukum

justru akan mempersempit dan menghambat pelaksanaan CSR yang

443

cit., hal. 27
444

Mas Achmad Daniri, Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan...,op Wawancara dengan Mas Ahmad Daniri pada 27 Agustus 2008.

227

tepat dan dapat mengurangi manfaat bagi masyarakat maupun korporasi. Ketiga, pengaturan CSR sepertinya tidak diperlukan karena sudah banyak Peraturan perundang-undangan yang terkait.

Seharusnya pemerintah tinggal melakukan enforcemet bagi aturan yang ada, dan tidak perlu membuat peraturan yang baru, kata Daniri Menurut Corporate Communication PT Pertamina, Anang Rizkani Noor, situasi yang berbeda-beda dapat saja disebabkan oleh bidang usaha korporasi, kondisi masyarakat yang dihadapi, besar kecilnya ketersediaan anggaran korporasi dan faktor eksternal lainnya. Oleh karena itu, CSR sebaiknya tetap dalam ranah sukarela (voluntary) dan pemerintah dapat mendorong dengan melakukan kampanye atau memberikan penghargaan bagi korporasi yang melakukan CSR dengan baik (CSR Award). Itu akan lebih efektif dari pada diatur secara hukum. 445 Direktur CSR PT Riau Andalan Pulp And Paper (Riaupulp) Amru Mahalli dan Franciscus Welirang Direktur PT Indofood Sukses Makmur, Tbk. berpendapat : CSR adalah praktek, tak hanya sekadar teori. Agar implementasi CSR bisa maksimal, harus ada komitmen kuat dari top manajemen. Komitmen itulah yang harus kita dukung dengan konsep, lalu tataran aplikasi berupa organisasi dan SDM, dan baru terakhir dana. 446
Wawancara dengan Anang Rizkani Noor, 20 Agustus 2008 Pemerintah Harus Dukung CSR, Laporan Wartawan Kompas Primus, KOMPAS, Rabu 4 Juli 2007, diunduh dari http://www2.kompas.com/ver1/ Ekonomi/0707/ 04/161044.htm,.
446 445

228

Ketua

Yayasan

Bina

Swadaya CSR

Bambang

Ismawan

juga Social

mengkhawatirkan

pengaturan

tersebut.

Pemenang

Entrepreneurship Ernest Young Award 2006 tersebut mengatakan : Tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility atau CSR dari suatu perusahaan, tidak perlu diatur dalam UndangUndang Perseroan Terbatas. Bila dilegalformalkan, dikhawatirkan pelaksanaan CSR malah sebatas formalitas belaka. 447 Menurut Bambang, perusahaan-perusahaan di Indonesia baru mencoba mengembangkan CSR, jadi jangan dibebani dahulu dengan aturan-aturan yang memberatkan. "Bila perlu, CSR yang telah mereka lakukan, diperhitungkan sebagai pengurangan pajak", kata Bambang. Dia menambahkan untuk perusahaan-perusahaan di bidang tambang, telah ada aturan-aturan lingkungan hidup, yang mewajibkan mereka berinteraksi dengan baik terhadap alam dan penduduk setempat. "Aturan sudah lengkap, tidak perlu ditambah lagi", kata Bambang. 448 Pada akhirnya secara resmi Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Dewan Pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan pengurus Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) (selanjutnya disebut PARA PEMOHON), mengajukan surat permohonan Judicial Review Ke Mahkamah Konstitusi untuk

pengujian Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang


CSR Tidak Perlu Diatur dalam UU PT, KOMPAS, Senin, 23 Juli 2007, diunduh dari http://www2.kompas.com/ver1/Nasional /0707/23/142823.htm, 448 Ibid.
447

229

Perseroan Terbatas, yang diajukan pada tanggal 28 November 2008 dengan No Regristasi 53/PUU-VI/2008.(Selanjutnya ditulis Surat

Permohonan Judicial Review). Di dalam Surat Permohonan Judicial Review tersebut, PARA

PEMOHON, mengatakan Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

bertentangan dengan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu 449: 1) Pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 (tidak adanya kepastian hukum), yang bunyinya : setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 2) Pasal 28 I ayat (2) Undang-undang diskriminatif), yang bunyinya: dasar 1945 (bersifat

setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. 3) Pasal 33 ayat (4) Undang-undang Dasar 1945 (prinsip efisiensi berkeadilan), yang berbunyi: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Surat Permohonan Judicial Review Ke Mahkamah Konstitusi untuk pengujian Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang diajukan pada tanggal 28 November 2008 dengan No Regrestasi 53/PUU-VI/2008 hal. 1-2

449

230

Selain itu PARA PEMOHON juga mengatakan bahwa eksistensi Pasal 74 dan Penjelasan Undang-undang No. 40 Tahun 2007

bertentangan dengan Pasal 22A UUD Negara Republik Idonesia Tahun 1945 juncto Pasal 5 huruf c dan e Undang-undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu antara lain 450: 1) Perumusan Pasal 74 UU No. 40 tahun 2007 dan Penjelasannya tidak didukung oleh Naskah Akademik; 2) Perumusan Pasal 74 dan Penjelasannya mengenai TJSL yang bersifat materiil dimasukkan tanpa landasan yang jelas pada UU No. 40 Tahun 2007 yang notabene mengatur tentang mekanisme pembentukan Perseroan Terbatas (hukum formiil), sehingga tidak ada kesesuaian antara jenis dan materi muatan dalam UU a quo (melanggar asas kesesuaian antara jenis dan materi); 3) Pasal 74 UU No. 40 Tahun 207 mengenai TJSL, dalam proses pembentukannya telah mengesampingkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yaitu asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Inti dari surat permohonan judicial review tersebut

dikarenakan PARA PEMOHON merasa dirugikan hak konstitusionalnya. Yaitu : Kesatu, CSR/TJSL merupakan suatu prinsip yang bersifat etis dan moral yang di normakan oleh Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 UU a quo sehingga menjadi bersifat kewajiban dan memiliki sanksi bagi yang tidak menjalankan Pasal dimaksud. Tindakan tersebut

450

Ibid., hal. 2

231

menyebabkan Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang memberi norma pada sifat etis dan moral pada CSR/TJSL sehingga menjadi bersifat wajib dan harus dianggarkan serta diperhitungkan sebagai biaya operasional korporasi dengan pemberian sanksi; Kedua, tindakan tersebut di atas juga menimbulkan

ketidakpastian dan contradictio in terminis karena menyebabkan terjadinya ketidakjelasan antara Tanggung Jawab yang didasarkan atas karakter sosial (social responsibility) yang bersifat voluntairly dengan kewajiban yang bersifat hukum (legal obligation) yang mempunyai daya memaksa; Ketiga, pemberian norma pada prinsip CSR/TJSL dengan sifat wajib juga telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di muka hukum dan juga mempunyai tendensi sebagai tindakan yang dapat dikualifikasi bersifat diskriminatif karena perusahaan yang bergerak dibidang sumber daya alam sudah menjalankan kewajibannya

berdasarkan Undang-undang sektoral, tetapi masih diwajibkan untuk menganggarkan TJSL, sedangkan terhadap perusahaan-perusahaan lain tidak diwajibkan untuk melakukan TJSL. Demikian juga terhadap perusahan-perusahaan lain yang tidak tunduk pada UU Perseroan Terbatas tidak diwajibkan. Keempat, Pasal 1 angka 3 UU a quo menyatakan bahwa tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan,

232

untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan Tetapi kualitas Pasal 74 kehidupan ayat (1) dan dan lingkungan (2) UU a yang quo

bermanfaat.

merumuskannya menjadi suatu kewajiban bagi perseroan untuk menjalankan TJSL serta sebagai wajib biaya menganggarkan Perseroan dan

memperhitungkannya menganggarkan

Kewajiban

biaya TJSL justru juga menimbulkan kerancuan

pengertian TJSL, karena TJSL didefinisikan seolah-olah hanya kegiatan yang harus mengeluarkan biaya saja. Ada begitu banyak kegiatan TJSL yang tidak menimbulkan konsekwensi biaya bahkan dapat menghemat biaya, seperti upaya penghematan energi dan air, pemberdayaan keuangan manusiawi. Kelima, CSR/TJSL yang di normakan menjadi kewajiban menciptakan atau setidaknya potensial menciptakan penyelewengan (sikap dan perilaku koruptif), tidak hanya pada birokrasi lebih jauh meluas di kalangan masyarakat umum, karena TJSL hanya ditafsirkan secara sempit saja, yaitu: sebagai ganti kerugian, bukan sebagai biaya untuk membangun hubungan harmonis jangka panjang antara masyarakat dan dengan pelibatan dalam lembaga lebih

mikro,

memperlakukan

karyawan

dengan

perusahaan dengan stakeholder.

233

Keenam, CSR/TJSL sebagai kewajiban merupakan tindakan penyeragaman dan potensial bersifat artifisial karena hanya dilihat dari perspektif pemenuhan prasyarat legal formal. Hal tersebut

bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi terutama frasa efisiensi berkeadilan, karena TJSL tiap perusahaan berbeda-beda tidak bisa disamaratakan, dan secara relatif yang paling memahami, apakah suatu program TJSL bermanfaat bagi stakeholder adalah pelaku usaha sendiri, sehingga pemerintah tidak pada posisi

melakukan tindakan penyeragaman kebijakan TJSL dan bahkan menjadikannya sebagai suatu kewajiban. TJSL tidak hanya sekedar dan berarti pemberian ganti kerugian, tetapi membangun hubungan harmonis perusahaan dengan lingkungannya itu bisa berujud beragam program, seperti: membangun sekolah, rumah sakit, tempat

pendidikan atau upaya lain mensejahterakan lingkungannya. Itu sebabnya, besar kecilnya dan peruntukan TJSL tidak dapat dibuat serupa dan ditentukan keseragamannya. Dengan demikian, TJSL sebagai kewajiban yang legal normative bertentangan dengan esensi efisiensi berkeadilan. Ketujuh, Perseroan Undang-undang termasuk No. ranah 40 tahun 2007 tentang tentang

Terbatas

yang

mengatur

mekanisme pendirian sebuah perseroan terbatas yang dimaksudkan untuk menjamin terselengaranya iklim dunia usaha yang kondusif,

234

tetapi

secara

sembarangan

dan

tidak

jelas

landasan

kajian

akademisnya telah mengatur tentang

kewajiban Tangung Jawab justru potensial

Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas yang

akan menciptakan iklim usaha yang tidak kondusif melalui adanya kewajiban penganggaran yang memberatkan pengusaha. Keadaan faktual ini semakin relevan dengan adanya krisis keuangan yang kini tengah melanda dunia termasuk di dalamnya Indonesia sehingga kian memberatkan PARA PEMOHON. Kedelapan, negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan serta juga bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dengan demikian, pemajuan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, secara substantif sesungguhnya merupakan kewajiban serta bagian dari fungsi negara. Tindakan dan/atau pengaturan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal-Pasal a quo dapat dikualifikasi sebagai penormaan TJSL menjadi kewajiban dunia usaha. Tindakan sedemikan dapat dimaknai sebagai privatisasi fungsi negara pada dunia usaha. Kesembilan, penjelasan yang tersebut dalam Pasal 74 yang mengatur masalah TJSL/CSR juga dapat dikualifikasi sebagai

235

pembuatan norma baru dari Pasal 74 ayat (1) dan (2) UU a quo. Penjelasan dimaksud memperluas Pasal a quo karena perseroan tersebut tidak hanya perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, tetapi juga perseroan yang kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Pada hakekatnya CSR telah banyak diterapkan oleh korporasi secara voluntary. CSR dilakukan berdasarkan kesadaran korporasi untuk keberlanjutan usahanya . Sehingga CSR harus menjadi bagian dari strategi perusahaan. Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha merespon dan mengembangkan tanggung jawab sosial sejalan dengan operasionalisasi usahanya 451:

1). Perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya


wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat;

2). Hubungan masyarakat dan kalangan bisnis seharusnya merupakan


hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme;

3). Kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk
meredam atau bahkan menghindari konflik sosial. Dari alasanalasan tersebut diatas corporate social

resonsibility / tanggung jawab sosial dan lingkungan ditulis

(selanjutnya

CSR/TJSL) sudah seharusnya menjadi strategi bisnis yang

451

Ibid., hal. 5

236

inheren dalam perusahaan untuk menjaga atau meningkatkan daya saing melalui reputasi dan kesetiaan merek produk (loyalitas) atau citra perusahaan, bahkan akan menjadi keunggulan kompetitif

perusahaan yang sulit untuk ditiru oleh para pesaingnya. Disisi lain, dari pihak konsumen adanya pertumbuhan keinginan untuk membeli produk berdasarkan kriteria-kriteria berbasis nilai-nilai dan etika akan merubah perilaku konsumen di masa mendatang. Jika implementasi kebijakan CSR adalah maka suatu akan proses tercipta yang terus menerus dan yang

berkelanjutan,

suatu

ekosistem

menguntungkan semua pihak (true win win situation), yaitu konsumen mendapatkan produk unggul yang ramah lingkungan, produsen pun mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya akan

dikembalikan ke tangan masyarakat secara langsung. 452 Itu sebabnya, sifat CSR/TJSL yang voluntairly perlu terus menerus di tingkatkan dengan tidak mengubahnya menjadi kewajiban hukum (legal obligation). Ada beberapa problema dan kelemahan dasar bilamana merumuskan CSR menjadi tanggung jawab hukum, antara lain 453: Pertama, memaknai CSR sebagai kewajiban hukum dapat membuktikan, pemahaman yang dimiliki Pemerintah terhadap

CSR/TJSL semata-mata hanya karena peluang sumber daya finansial


452 453

Ibid. Ibid., hal. 5-6

237

yang dapat segera diberikan perusahaan untuk memenuhi kewajiban atas regulasi yang berlaku. Pemahaman CSR hanya sebatas sumber daya finansial akan mereduksi makna hakiki dan fundamental dari CSR itu sendiri. Akibatnya aktivitas CSR/TJSL akan menjadi kewajiban legal yang bersifat normatif dan formal yang mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR, yaitu sebagai pilihan dasar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak. Kedua, mengubah prinsip dasar voluntairly CSR menjadi bersifat mandatory. Tindakan sedemikan, apapun alasannya, akan meniadakan atau setidaknya meminimalisasi ruang dan medium pilihan yang ada berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam praktek. Konsekwensi selanjutnya adalah CSR akan bermakna sebatas upaya pencegahan dari dampak negatif atas keberadaan perusahaan di lingkungan sekitarnya. Perkembangan aktivitas CSR di Indonesia semakin memperlihatkan adanya

sinergisnya program CSR dengan beberapa tujuan Pemerintah. Ketiga, adanya perubahan CSR sebagai tindakan yang

berlandaskan tanggung jawab etik menjadi kewajiban hukum akan potensial mengarahkan program CSR hanya pada formalitas untuk pemenuhan suatu kewajiban saja.

238

Keempat, Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia mengatur CSR sebagai kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh suatu korporasi yang prinsip dasarnya bersifat voluntair. Kelima, menempatkan CSR sebagai kewajiban hukum

menimbulkan kerancuan dan kebingungan, karena CSR itu sendiri sudah merupakan tindakan yang melebihi apa yang dipersyaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku (beyond legal compliance). Pelaksanaan CSR yang melebihi pemenuhan hukum dan peraturan, berarti memiliki batas yang tak terhingga yang tidak dapat dijangkau oleh hukum dan peraturan yang dinormatifkan menjadi kewajiban. Korporasi itu sendiri yang dapat menentukan batas atas yang ingin dicapainya dan pelaksanaannya dilakukan secara sukarela. Dari uraian diatas, menunjukan sikap para pelaku usaha untuk tetap menempatkan CSR berdasarkan voluntary. Seperti yang

dikatakan Ketua Kadin Hidayat, bahwa memasukan

CSR ke dalam

undang-undang akan menimbulkan distorsi serius. Dia menguraikan sebagai berikut


454

Pertama, sebagai sebuah tanggung jawab sosial, Pasal 74 telah mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR, yakni sebagai pilihan atas kesadaran, adanya

Robert Endi Jaweng, Kritik Pengaturan CSR Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Suara Pembaruan, 31 Juli 2007 . Lihat dalam Mas Achmad Daniri, Standarisasi Tanggung Jawab..., op cit., hal. 27

454

239

kebebasan, dan kemauan bertindak. Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas memberangus sekaligus ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat

pemaknaannya dalam praktek, kata Hidayat. Kedua, dengan kewajiban itu, konsekuensinya CSR akan

bermakna parsial sebatas upaya pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan dari kehadiran sebuah perusahaan. Dengan demikian, bentuk program CSR hanya terkait langsung dengan bisnis utama perusahaan dan sebatas jangkauan masyarakat

sekitarnya. Ketiga, makna tanggung jawab sesungguhnya adalah tanggung jawab setiap subjek hukum termasuk perusahaan. Jika terjadi

kerusakan lingkungan akibat aktivitas usahanya, hal itu jelas masuk dalam ranah hukum. Dengan menempatkan kewajiban proteksi dan rehabilitasi lingkungan dalam domain tanggung jawab sosial, maka akan cenderung mereduksi makna keselamatan lingkungan sebagai kewajiban legal menjadi sekedar pilihan tanggung jawab sosial. Atau bahkan lebih jauh lagi, justru bisa terjadi penggandaan tanggung jawab suatu perusahaan secara sosial (UU Perseroan Terbatas) dan secara hukum (UU Lingkungan Hidup). Keempat, dari sisi keterkaitan peran, kewajiban yang digariskan Undang-Undang no. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

240

menempatkan perusahaan sebagai pelaku dan penanggung jawab tunggal program CSR. Hidayat mengatakan: menjadi objek semata, sehingga hanya Masyarakat seakan menyisakan budaya

ketergantungan selepas program, sementara negara menjadi mandor pengawas yang siap memberikan sanksi atas pelanggaran yang terjadi. Pada akhirnya Surat Permohonan Judicial Review tersebut dilakukan persidangan oleh Mahkamah Konstitusi. Hasil Sidang

tersebut telah diputuskan pada tanggal 15 Apri 2009 dengan Putusan Nomer 53/PUU-IV/2008 adalah yang isinya sebagai berikut 455 : 1. Menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan

Pemohon III tidak dapat diterima; 2. Menyatakan permohonan pengujian formil Pemohon IV,

Pemohon V, dan Pemohon VI ayat 2007 (2), dan ayat (3)

terhadap Pasal 74 ayat (1), Nomor 40 Tahun

Undang-Undang Terbatas

tentang

Perseroan

beserta Penjelasannya

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) ditolak; 3. Menyatakan menolak permohonan pengujian materiil Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk seluruhnya;
455

100

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 53/PUU-VI/2008, hal

241

4. Menyatakan Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UndangUndang Nomor 40 beserta Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Indonesia Republik

Penjelasannya (Lembaran Negara Republik Negara

Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran

Indonesia Nomor 4756) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Masyarakat Menghendaki CSR Memberikan Manfaat Untuk Mengatasi Persoalan Sosial Tidak seperti yang diduga, bahwa tidak semua masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat menuntut CSR untuk diwajibkan. Pada kenyataannya, dari prespekif masyarakat, persoalan dalam bentuk voluntary maupun CSR tidak pada namun

mandatory,

mengharapkan ada manfaat nyata bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Yanti Koestoer, Direktur Eksekutif Indonesia Business Links, memberikan pendapat, bahwa sesuai definisinya, CSR terkait dengan

strategi bisnis yang tidak semata mengedepankan profit, namun menyeimbangkannya dengan kesejahteraan masyarakat maupun

pelestarian lingkungannya. Dengan demikian, CSR adalah sukarela (voluntary) karena perusahaan mendapatkan manfaat juga dari

prakarsa-prakarsa tersebut. Yanti Koestoer mengatakan:

242

Apa yg tercantum dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal bukanlah CSR yg mengikuti definisi tsb di atas. Pemerintah telah menyadari bahwa pembahasaan istilah tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam kedua undang2 tersebut adalah semua tindakan yang sudah diatur oleh Undang Undang lain yang terkait, misalnya Undang Undang Lingkungan, Undang Undang Ketenaga Kerjaan dan sebagainya. Jadi semua perusahaan intinya harus mematuhi Undang Undang apapun yg berlaku di Indonesia. Jika perusahaan sudah mematuhi semua peraturan, lantas berprakarsa melakukan kegiatan kemasyarakatan atau lingkungan hidup, maka sifatnya bonus bukan kewajiban misalnya menanam pohon, pemberdayaan UKM, kampanye tentang HIV Aids dan sebagainya. 456 Disisi lain, Yanti Koestoer tidak sependapat bahwa pengaturan CSR adalah tindakan mengalihkan tanggung jawab pemerintah kepada korporasi adalah untuk mensejahterakan atau masyarakat. pemerintah Menurutnya, untuk CSR

pelengkap

pendukung

mengisi

kekosongan fasilitas sosial yang belum atau tidak dapat disediakan oleh pemerintah. Bagaimanapun perusahaan tetap harus berkarya dan focus agar bisa mendapatkan laba yg baik, sehingga bisa lebih banyak memberikan manfaat sosial dan lingkungan. Nanang Pengurus WALHI Yogyakarta memberikan pendapat bahwa CSR sudah saatnya diatur dalam Undang-undang melihat dampak negatif lingkungan hidup dan sosial dari operasional

korporasi. Tetapi sebaiknya diberi batasan untuk korporasi yang besar saja, baik lokal, nasional, multinasional. Tetapi diberi pengecualian
456

Wawancara dengan Yanti Koestoer pada tanggal 12 November 2008.

243

bagi perusahaan skala kecil dan menengah. Sebab mereka kesulitan untuk melaksanakannya.

akan

Untuk bertahan dalam persaingan saja UKM harus berjuang mati-matian, apalagi diberi kewajiban menyisihkan dana untuk CSR. Oleh karena itu CSR diwajibkan saja bagi perusahaan besar saja. 457 Selanjutnya Nanang menyatakan optimis bahwa pengaturan CSR dalam Undang Undang akan memberikan dampak positif bagi dunia usaha dan masyarakat. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana Undang Undang tersebut dapat diterapkan dan dipatuhi atau dijalankan secara konsisten dan konsekuen. Sebaiknya jangan sanksi pidana, tetapi ganti rugi atau kerja sosial. 458
Menurut Nanang penerapan CSR yang ideal adalah dalam bentuk community development atau community empowerment, dengan

melibatkan dan partisipasi langsung dari masyarakat. Begitu pula dalam pengawasan pelaksanaan CSR, sebaiknya, melalui pemetaan kebutuhan yang partisipatif dan monitoring evaluasi masyarakat.

Chairil N. Siregar mengingatkan bahwa pembangunan

suatu

negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga industri dan setiap insan anggota masyarakat berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat. Industri dan korporasi berperan untuk mendorong pertumbuhan

Wawancara dengan Nanang Pengurus WALHI Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2008.
458

457

Ibid

244

ekonomi

yang

sehat

dengan

mempertimbangkan

pula

faktor

lingkungan hidup. Jadi jangan dilihat bahwa kewajiban menjalankan CSR dianggap sebagai beban. Masih banyak perusahaan tidak mau menjalankan CSR karena melihat hal tersebut hanya sebagai

pengeluaran biaya (cost). Hal tersebut harus dipahami bahwa CSR tidak menghasilkan keuntungan baik yang jangka langsung diperoleh pendek. maupun bukan CSR tidak akan bagi

memberikan korporasi. 459

keuntungan Keuntungan

sekedar bentuk

finansial melainkan rasa kepercayaan dari masyarakat sekitar dan stakeholders lainnya terhadap perusahaan. Kepercayaan inilah yang sebenarnya menjadi investasi agar perusahaan dapat terus

melakukan aktivitasnya. 460 Dari perspektif bisnis, CSR sudah seharusnya menjadi

kewajiban dalam strategi bisnis. Kisah dari The Body Shop di Inggris dan Matsushita Electric di Jepang adalah contoh sukses pelaksanaan CSR. Penerapan CSR yang berupa kegiatan filantropi dan

pengembangan komunitas, umumnya dikemas untuk mengupayakan citra positif alias promosi. Secara praktis hal tersebut menunjukkan, bagaimana perusahaan memaksimalkan tingkat pengembalian

Chairil N. Siregar, Analisis Sosiologis Terhadap Implementasi Corporate Social Responsibility Pada Masyarakat Indonesia, Jurnal Sosioteknologi Edisi 12 Tahun 6, (Desember 2007), hal. 285-286 460 Memahami Corporate Social Responsibility Sebagai Wujud Investasi Perusahaan diunduh dari http://www.keepandshare.com/doc/view.php?id=764997 &da=y

459

245

investasi

melalui

sejumlah

kegiatan

dan

inisiatif

sosial

yang

berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungannya. 461 Menurut Muhamad Zainal Arifin, kalau yang dipersoalkan hanya mengenai besarnya dana, maka seharusnya Undang Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas harus jelas menyebutkan. Selanjutnya dia mengatakan : Seharusnya, ketentuan besaran dana CSR yang mengambang harus dihindari. Hal ini untuk mencegah pelaksanaan CSR yang asal-asalan. Jika dibiarkan mengambang, maka kewajiban CSR yang diatur dalam Undang Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas hanya menjadi macan kertas yang susah diimplemantasikan. Untuk mencegah hal tersebut, maka peraturan pelaksanaan Undang Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas harus memperinci berapa prosentase besaran dana CSR dari total biaya operasionalisasi perusahaan dan sejak kapan dilaksanakan. Dengan adanya kepastian kisaran dana, maka pemerintah dapat menerapkan sanksi administrasi tatkala ada perusahaan yang 462 membandel. Muhamad Zainal Arifin tidak menutup mata , bahwa CSR akan memberikan tambahan beban bagi korporasi, khususnya yang

bergerak dibidang dan atau terkait dengan sumber daya alam. Bahkan dia mengutip pendapat Peter F Drucker dalam bukunya The

Corporation, yang menyatakan bahwa : Jika Anda menemui seorang

CSR bukan sekedar Promosi, 14 April 2008 diunduh dari http://www.forplid.net, 462 Muhamad Zainal Arifin, Kewajiban CSR, Mau Dibawa Kemana?, Lembaga Ekonomi Lingkungan dan Sumber Daya Alam (ELSDA Institute) hal. 1 diunduh dari http://zainalarifin.wordpress.com/2007/08/10/kewajiban-csr-mau-dibawakemana/,

461

246

eksekutif di perusahaan Anda yang ingin menjalankan tanggung jawab sosial, pecat dia segera !!. Tetapi jika melihat realita begitu rusaknya wajah bumi

Indonesia akibat terus-terusan dikuras sumber daya alamnya, sudah sepatutnya pemerintah mewajibkan CSR. Zainal Arifin juga merujuk dari hasil Program Penilaian Peringkat Perusahaan (PROPER) 20042005 Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat rapor hitam , 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas. Dengan begitu banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa mereka tidak menerapkan tanggung jawab sosial dan lingkungan . 463 Diakhir tulisannya Muhamad Zainal Arifin menegaskan: Sudah saatnya perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam untuk merubah paradigma dari yang awalnya 5 P, (Product, Price, Promotion, Place dan Profit) menjadi 3 P, yaitu Planet, People dan Profit. Perusahaan tidak hanya sekedar mencari laba (profit), tetapi lebih dari itu mereka juga berikhtiar dalam menyejahterakan orang (people), dan menjamin keberlanjutan hidup planet ini (planet). 464 Menurut Teguh Sri Pambudi, Redaktur Kompartemen Majalah SWA Sembada, saat ini, penerapan konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) bagi masyarakat

463 464

Ibid., hal. 2-4 Ibid., hal. 5

247

kian mutlak dilakukan. CSR terbukti bukan hanya kegiatan perusahaan yang membengkakkan pengeluaran, melainkan justru meningkatkan pendapatan dan membuat keberadaan perusahaan diterima

masyarakat. Teguh mengakui, konsep CSR adalah aset strategis dan kompetitif bagi perusahaan di tengah iklim bisnis dan multi

stakeholders, yang makin menuntut praktek etis dan bertanggung jawab. Dia mengatakan: "Praktek tanggung jawab sosial tersebut dipercaya menjadi landasan fundamental bagi pertumbuhan berkelanjutan, bukan hanya buat perusahaan, tetapi juga stakeholder keseluruhan . CSR melahirkan sejumlah keuntungan, yaitu profitabilitas dan kinerja finansial yang lebih kokoh, misalnya lewat efisiensi lingkungan, menurunkan kerentanan gejolak dengan komunitas sekitar, sekaligus mempertinggi reputasi perusahaan. 465 Oky Syeiful mencoba mencari jalan tengah. Dia mengharapkan pengaturan CSR harus sesuai dengan kepentingan pemerintah,

korporasi dan masyarakat. Dia mengatakan : Kita berharap adanya peraturan yang baik serta dijalankannya law enforcement. Peraturan yang baik berarti peraturan yang memenuhi nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat (living law). Bukan saja masyarakat sekitar lokasi perusahaan, melainkan juga masyarakat dunia usaha itu sendiri. Beberapa korporasi mulai sadar akan pentingnya menjalankan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, tapi lebih banyak lagi korporasi yang mangkir dari kewajibannya itu. Karena itu perlu suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur konsep dan jenis tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam rangka law enforcement dan peningkatan ekonomi lokal dan nasional. Berbagai penelitian menunjukkan korelasi positif antara CSR dan
Mutlak, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, KOMPAS, Senin, 13 Maret 2006. dinduh dari http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0603/13/jateng/32810.htm.
465

248

finansial perusahaan. Perusahaan yang menerapkan CSR justru memiliki kondisi keuangan yang baik. Penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai cost, melainkan investasi perusahaan. 466 Begiu pula dengan Erna Witoelar. Duta besar Millennium Development Goals (MDGs) ini meminta pemerintah harus mendukung praktek CSR yang telah dilakukan dunia usaha. Hal ini ditegaskan Erna Witoelar dalam seminar bertajuk The New Way of CSR: Becoming The Blessing Company. Dia mengatakan :

Dukungan itu diperlukan agar praktek CSR yang sudah dilakukan dengan baik untuk memberdayakan masyarakat bisa terus berlangsung. Program CSR sejalan dengan program MDGS, yang dideklarasikan pada September 2000 lalu. Ini merupakan komitmen negara-negara anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Masing-masing dari kita harus berperan aktif dalam pencapaian delapan tujuan itu. Di antaranya, menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. 467 Pentingnya CSR menurut Edi Suharto, bukan saja karena telah diatur dalam peraturan Perundang-undangan, dipengaruhi oleh fenomena DEAF, yaitu 468: a. Dehumanisasi industri. Efisiensi dan mekanisme yang semakin menguat di dunia industri telah menciptakan persoalan-persoalan kemanusiaan bagi buruh dan masyarakat disekitar perusahaan.
Oky Syeiful R. Harahap, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, http://www.sarwono.net/artikel.php?id=134, 11 April 2006. 467 Erna Witoelar, CSR Bisa percepat Pencapaian MDGs, Majalah BISNIS & CSR, Vol 1 No 2 (November 2007), hal. 108-122. LihatPemerintah Harus Dukung CSR, KOMPAS, Rabu 4 Juli 2007 diunduh dari http://www2.kompas.com/ver1/Ekonomi /0707/04/161044.htm,. 468 Edi Suharto, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan : Apa itu dan Apa Manfaatnya Bagi Perusahaan, Makalah dalam Seminar Corporate Social Responsibility : Strategy, Management and Leadership, Hotel Aryaduta, Jakarta 13-14 Februari 2008
466

tetapi juga

249

Ekspansi dan eksploitasi industri telah melahirkan ketimpangan sosial, polisi dan kerusakan lingkungan. b. Emansipasi hak hak publik. Kesadaran masyarakat akan haknya

untuk menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas berbagai masalah sosial yang ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini menuntut kepedulian perusahaan memperhatikan berbagai dampak sosial yang ditimbulkan. c. Aquariumisasi dunia industri. Bisnis semakin terbuka dan

transparan laksana aquarium. Perusahaan yang hanya menari keuntungan dan mengabaikan hukum, etika dan filatropis tidak akan mendapat dukungan publik. d. Feminisme dunia kerja. Semakin banyaknya wanita bekerja yang menuntut penyesuaian dari perusahaan bukan saja pada persoalan internal seperti cuti hamil ,melahirkan dan keselamatan kerja . Tetapi terhadap timbulnya biaya biaya sosial seperti penelantaran anak, kenakalan remaja akibat kurangnya kehadiran ibu-ibu di rumah . Pendirian fasilitas pendidikan, kesehatan dan perawatan anak atau pendirian pusat rekreasi dan olahraga adalah wujud respon terhadap isu ini. Melihat pentingnya CSR dan untuk menjembatani berbagai perdebatan diaturnya dan CSR, kesenjangan para pemahaman. Jauh hari seperti sebelum seperti

pemangku

kepentingan

250

pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi dan perusahaan swasta mendeklarasikan Konsorsium CSR di Batam pada 6 Mei 2006. Menurut Ketua Konsorsium CSR Noke Kiroyan,

konsorsium CSR akan mencari pemahaman bersama tentang CSR di antara pemangku kepentingan. Konsorsium juga akan mencari masukan dan kajian bagaimana praktek terbaik CSR di Indonesia. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah yang menjadi salah satu inisiator deklarasi tersebut menyatakan : Selama ini banyak perusahaan telah melakukan CSR seperti membangun sekolah, membangun klinik, membangun jembatan. Tapi pemerintah daerah meminta agar dana CSR itu masuk ke dalam APBD. Nah, apa jaminannya kalau dana CSR dari sebuah perusahaan akan dipakai untuk membangun wilayah di sekitar perusahaan tersebut?. Iya kalau dipakai bikin sekolah, kalau digunakan untuk membangun jalan yang justru letaknya jauh dari perusahaan tersebut bagaimana? Karena itu, Konsorsium CSR ini akan menginventarisir persoalan yang ada dan akan membuat aturan main sehingga pihak-pihak terkait dapat memahaminya. 469 Tetapi, terlepas Peraturan dari diatur atau tidaknya CSR lembaga dalam

Perundang-undangan

banyak

Swadaya

Masyarakat, Assosisasi profesi maupun lembaga perguruan tinggi yang melakukan kampanye untuk mendorong korporasi menjalankan CSR . Model ini mengacu pada kontes CSR diluar negeri seperti yang

Konsorsium CSR Dideklarasikan, Kompas, Selasa, 26 Februari 2008 , diunduh dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/02/26/21265951/ konsorsium.csr. dideklarasikan.

469

251

dilakukan oleh KLD Research & Analytics of Boston yang memberikan penilaian kepada Korporasi yang menjalankan etika bisnis. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk kampaye untuk menumbuhkan citra

perusahaan dan kepercayaan publik. 470 Di Indonesia, pada 2005 lalu, CFCD (Corporate Forum for

Community Development) bersama SURINDO, LDFE UI, FEMA IPB, LPKM Universitas Trisakti, Majalah SWA, Markplus & Co dan

Departemen Sosial menyelenggarakan CSR AWARDS 2005, dan Sebagai kelanjutannya, pada tahun 2008 ini kembali dilaksanakan penganugerahan INDONESIAN CSR AWARDS 2008 kepada

perusahaan-perusahaan yang telah menjalankan program CSR yang baik dan ideal. 471 National Center for Sustainability Reporting (NCSR) , adalah organisasi yang didirikan oleh 5 organisasi terkemuka di Indonesia yaitu Institut Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI), IndonesianNetherlands Association (INA), Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) mengadakan Indonesia Sustainability Reporting Awards (ISRA ) setiap tahunnya, yang telah berjalan sejak 2004. ISRA Award ini diikuti oleh Perusahaan Publik (Emiten BEI),

470 Marjorie Kelly, Business Ethics, KLD Research & Analytics of Boston (Spring 2006), hal. 2-3 471 CFCD (Corporate Forum for Community Development) diunduh dari http://cfcdcenter.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=25&Itemid=1

252

Perusahaan Negara (BUMN) dan Perusahaan Swasta baik nasional maupun International (Non Emiten BEI). 472 Model kampanye CSR dengan kontes-kontes tersebut diatas, cukup efektif memberikan dukungan dan mendorong perusahaan lainnya, untuk segera melaksanakan CSR. Sesuai dengan Reflexive Law Theory, apabila korporasi memberikan social reporting dengan transparan, maka akan memberikan pencitraan yang baik pula (corporate image). Pada akhirnya CSR akan pada pasar, baik konsumen maupun keberlanjutan korporasi itu sendiri. Kesimpulan Pembahasan diatas melahirkan beberapa kesimpulan: Pertama, bahwa CSR yang mempunyai sifat dasar sukarela sangat berpengaruh

masyarakat umum serta

(voluntary) dapat saja dialihkan menjadi kewajiban (mandatory). Hal ini didasarkan filosofi Pancasila, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 serta
472

nilai moral sebagai dasar perilaku bisnis yang etis. Tujuan

Pemenang ISRA Award tahun 2006 yang lalu adalah: (1) Best Sustainability Report 2006 adalah PT. Kaltim Prima Coal (2) Best Social and Environmental Reporting 2006 adalah PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) (3) Best Environment Reporting 2006 adalah PT. Aneka Tambang, Tbk (persero) (4) Best Social Reporting 2006 adalah PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) (5) Best Sustainability Report 2006 Runner-Up adalah PT. Astra International, Tbk (6) Best Social and Environmental Reporting 2006 Runner-Up adalah PT. Tambang Batu Bara Bukit Asam, Tbk (7) Best Environmental Reporting 2006 Runner Up adalah PT. Pembangunan Jaya Ancol, Tbk (8) Best Social Reporting 2006 Runner Up adalah PT. Indosat,Tbk (9) Commendation for Sustainability Reporting; First Time Sustainability Reporting adalah PT. Timah, Tbk , PT. International Nickel Indonesia, Tbk (INCO) dan PT. Indah Kiat Pulp & PaperNational Center for Sustainability Reporting (NCSR) diuduh dari http://www.ina.or.id/inaweb/download/ ISRA2008.pdf.

253

mencari keuntungan harus dilakukan sesuai dengan prinsip moral yang memperhatikan kepentingan masyarakat luas. Kedua, kewajiban melaksanakan CSR tidak dapat diartikan secara sempit hanya sebagai bentuk penyaluran kekayaan

perusahaan kepada masyarakat. CSR harus diterjemahkan ikut sertanya korporasi untuk mengatasi berbagai persoalan sosial dimana mereka beroperasi, seperti : merekrut karyawan dari masyarakat setempat, menjalin kemitraan dengan petani atau pengusaha lokal. Ketiga, pemerintah tidak perlu mengatur kewajiban

pelaksanaan CSR dalam bentuk yang baku. Biarkan korporasi diberi ruang untuk menerjemahkan kewajiban tersebut sesuai dengan situasi kondisi perusahaan dan masyarakat yang dihadapi. Keempat, CSR sesungguhnya adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan aktifitas bisnis (inherent) demi keberlanjutan perusahaan itu sendiri (corporate sustainability). Menurut reflexive
law theory, yang harus diatur pemerintah mengenai CSR justru pada

kewajiban pelaporan secara berkala kepada masyarakat (social reporting) oleh korporasi . Selanjutnya biarlah masyarakat yang akan memberikan penilaian maupun sanksi (markets reward punisment).

Pemerintah hanya boleh memberikan sanksi apabila korporasi tidak menyampaikan social reporting pada masyarakat, tetapi bukan

memberi sanksi jika korporasi tidak melaksanakan CSR atau tidak.

254

Sebab tidak semua korporasi selalu bahkan seringkali menanggung

mendapatkan keuntungan, Begitu pula dengan

kerugian.

perusahaan kecil yang masih berjuang untuk tetap eksis.

Anda mungkin juga menyukai