A. Latar Belakang
Beberapa isu strategis masalah kesehatan masyarakat saat ini meliputi : (1) Kerjasama
lintas sektoral: Sebagian besar masalah kesehatan masyarakat terutama berkaitan dengan
lingkungan dan perilaku masyarakat yang berhubungan erat dengan berbagai kebijakan dan
pelaksanaan program pembangunan sektor lain, (2) Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDM)
dan Pemberdayaan Masyarakat : Kita mengalami kekurangan jumlah dan mutu SDM kesehatan.
Di era globalisasi dan pasar bebas akan sangat jadi masalah. Pemberdayaan Masyarakat dalam
pembangunan kesehatan belum seperti yang diharapkan bahkan ada kecenderungan menurun.
Demikian juga kemitraan yang setara, terbuka, dan saling menguntungkan belum berjalan
dengan baik, (3) Mutu dan Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan, (4) Prioritas dan Pembiayaan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang
Kebijakan Dasar Puskesmas, Pemerintah menetapkan kriteria personalia yang mengisi struktur
organisasi Puskesmas disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing unit
Puskesmas. Khusus untuk Kepala Puskesmas kriteria tersebut harus seorang sarjana dibidang
kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat. Namun dalam
pelaksanaannya belum direalisasikan sepenuhnya. Penentuan dan penempatan jabatan di era
otonomi daerah di beberapa wilayah kabupaten/kota lebih diwarnai oleh “selera dan kedekatan”
serta tidak lagi mempertimbangkan kompetensi, kapasitas, kapabilitas, dan Daftar Urutan
Kepangkatan. Sering ditemukan institusi kesehatan dipimpin oleh orang yang tidak kompeten,
kapabel, dan tidak mempunyai pengalaman di bidang kesehatan dan manajemen kesehatan,
sehingga kinerja pegawai dan kinerja institusi yang dipimpinnya kurang optimal. Manajemen
Puskesmas dibutuhkan untuk: (1) Mencapai tujuan (to reach objective) Puskesmas. Tujuan
pembangunan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan
pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas agar terwujud
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2010, (2)
Memelihara keseimbangan antara tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan yang bertentangan
(to maintain balance between conflicting goal) diantara stakeholder Puskesmas. Stakeholder
(pemangku kepentingan) adalah kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh pencapai tujuan Puskesmas. Stake holder Puskesmas saat ini antara lain
Pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, pimpinan dan
pegawai Puskesmas, “partai politik”, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi sosial
kemasyarakatan, organisasi sosial keagamaan, media massa, tokoh masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas dan pemasok terutama pemasok obat dan alat kesehatan dan “pemasok tenaga
kesehatan”, serta (3) Mencapai efisiensi dan efektivitas (to achieve efficiency and effectiveness)
Puskesmas.
Kinerja manajemen Puskesmas diukur oleh 2 (dua) konsepsi utama yaitu efisiensi dan
efektivitas. Menurut Drucker (1954), efisiensi adalah melakukan pekerjaan dengan benar (doing
the job right), sedangkan efektivitas adalah melakukan pekerjaan yang benar (doing the right
job). Efisiensi (daya guna) Puskesmas adalah proses pemanfaatan, penghematan, dan
pemberdayaan sumber daya Puskesmas dengan cara melakukan pekerjaan dengan benar,
sedangkan efektivitas (hasil guna) Puskesmas adalah tingkat keberhasilan pencapaian tujuan
Puskesmas dengan cara melakukan pekerjaan yang benar. Efektivitas Puskesmas juga berarti
mampu mencapai tujuan Puskesmas dengan baik. Jika efisiensi lebih memfokuskan diri pada
proses pemanfaatan, penghematan, dan pemberdayaan masukan (input) sumber daya , maka
efektivitas lebih memfokuskan pada output dan outcome atau hasil kinerja Puskesmas yang
diharapkan. Efisiensi terkait dengan hubungan antara output pelayanan kesehatan dengan sumber
daya yang digunakan untuk menghasilkan output dan outcome.
Tuntutan globalisasi, suatu fenomena yang muncul pada akhir abad ke 20 yang ditandai
dengan terjadinya interpenetrasi dan interdependensi dari semua sektor baik ekonomi, politik dan
sosial budaya, menyebabkan terjadinya transformasi masyarakat lokal menjadi masyarakat
global (dunia) sehingga batas negara menjadi tidak jelas. Dengan pertimbangan untuk
menghadapi berbagai tantangan yang terkait dengan era globalisasi, permasalahan Puskesmas
dan sejalan dengan penetapan desentralisasi serta tuntutan masyarakat tentang transparansi dan
akuntabilitas, maka konsep Puskesmas perlu ditinjau kembali dan disempurnakan. Secara umum
tujuan penyelenggaraan Puskesmas di era desentralisasi adalah untuk mewujudkan Puskesmas
yang mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif, merata, bermutu,
terjangkau dan memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah kerjanya.
Fungsi manajemen aktuasi merupakan fungsi penggerak semua kegiatan program
(ditetapkan pada fungsi pengorganisasian) untuk mencapai tujuan program (dirumuskan dalam
fungsi perencanaan). Oleh karena itu, fungsi manajemen ini lebih menekankan bagaimana
manajer mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya (manusia dan yang bukan
manusia) untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Untuk menggerakkan dan mengarahkan
sumber daya manusia dalam organisasi, peranan kepemimpinan (leadership), motivasi staf, kerja
sama dan komunikasi antar staf merupakan hal pokok yang perlu mendapat perhatian para
manajer organisasi.
Dalam makalah ini akan coba dibahas mengenai aktuasi (penggerakan/pelaksanaan)sistem
manajemen di tingkat Puskesmas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Yang dimaksud dengan fungsi manajemen adalah langkah-langkah penting yang wajib
dilaksanakan oleh manajer untuk mencapai tujuan organisasi. Fungsi manajemen yang
digunakan oleh DepKes RI diambil dari fungsi manajemen yang dikemukakan oleh George
Terry (terdiri dari Planning, Organizing, Actuating dan Controlling POAC).
Meskipun keempat fungsi manajemen tersebut terpisah satu sama lain, tetapi sebagai
sebuah proses, keempatnya merupakan suatu rangkaian kegiatan yang berhubungan satu
sama lain. Pada kesempatan tertentu, salah satu atau beberapa fungsi manajemen akan lebih
menonjol dari fungsi manajemen lainnya. Tetapi dalam proses pencapaian tujuan organisasi,
semua fungsi manajemen mempunyai peranan yang sama pentingnya. Jika tujuan organisasi
belum tercapai, pimpinan organisasi harus menganalisis kelemahan pelaksanaan salah satu
hal atau beberapa fungsi manajemen tersebut.
Organizing
Actuatin
Planning
g
Controlling
Penentuan masalah Penetapan tujuan penetapan tugas dan sumber daya penunjang
4. Mengusahakan suasana lingkungan kerja yang meningkatkan motivasi dan prestasi kerja
staf.
Aktuasi lebih memusatkan perhatian pada pengelolaan sumber daya manusia. Atas dasar itu
fungsi actuating sangat erat hubungannya dengan ilmu-ilmu tentang perilaku manusia. Seorang
manajer yang ingin berhasil menggerakkan karyawannya agar bekerja lebih produktif, harus
memahami dan menerapkan ilmu psikologi, ilmu komunikasi, kepemimpinan dan sosiologi.
Fungsi aktuasi haruslah dimulai pada diri manajer selaku pimpinan organisasi. Manajer harus
menunjukkan kepada stafnya bahwa ia mempunyai tekad untuk mencapai kemajuan dan peka
terhadap lingkungannya. Ia harus mempunyai kemampuan bekerja sama dengan orang lain
secara harmonis. Manajer harus bersikap objektif yaitu objektif dalam menghadapi berbagai
persoalan organisasi melalui pengamatan; ia juga harus objektif menghadapi perbedaan dan
persamaan karakter stafnya baik sebagai individu maupun kelompok manusia. Dengan kata lain,
seorang manajer harus peka dengan kodrat manusia (mempunyai kekuatan dan kelemahan), tidak
mungkin akan mampu bekerja sendiri dan pasti akan memerlukan bantuan orang lain. Manusia
mempunyai kebutuhan yang bersifat individu (pribadi), dan sosial. Pada diri manusia kadang-
kadang muncul juga sifat-sifat emosional.
4. Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan bagian dari proses pengembangan sumber daya manusia (SDM).
SDM adalah aset yang dimiliki oleh sebuah organisasi yang perlu dikelola secara efektif agar
dapat memberikan nilai tambah pada organisasi. Untuk mengelola SDM menjadi aset organisasi,
diperlukan kepemimpinan yang efektif. Untuk memahami aspek kepemimpinan yang lebih luas,
perlu dikaji teori dan style (gaya ) kepemimpinan.
Beberapa definisi kepemimpinan yang dianggap cukup mewakili selama seperempat abad
dikumpulkan Yukl (1987) dalam Usman (2006) sebagai berikut:
Mayoritas responden memilih 4 (empat) sifat kepemimpinan teratas yaitu: jujur (honest),
berwawasan ke depan (forward looking), membangkitkan semangat (inspiring), dan cakap
(competent).
b) Teori Perilaku/Gaya Kepemimpinan
Adapun teori gaya kepemimpinan berasumsi bahwa kemampuan untuk memimpin dan
kemauan untuk mengikuti didasarkan atas perilaku pemimpin atau gaya kepemimpinan. Menurut
Silalahi (2002), gaya kepemimpinan adalah pola perilaku spesifik yang ditampilkan oleh
pemimpin dalam upaya mempengaruhi orang lain guna mencapai tujuan organisasi atau
kelompoknya. Sedangkan Hersey dan Blanchard (1995), mendefinisikan gaya kepemimpinan
adalah pola perilaku konsisten yang diperlihatkan pemimpin itu pada saat mempengaruhi
aktivitas orang lain seperti yang dipersepsikan orang-orang tersebut.
Gaya kepemimpinan pada hakekatnya memperlihatkan 2 (dua) perilaku atau gaya
kepemimpinan yaitu berorientasi pada tugas (task oriented) dan berorientasi pada manusia
(human oriented). Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas disebut juga autocratic,
initiating structure, job centeredness, dan concern for task. Sedangkan gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada manusia disebut juga democratic, considerasion, employee centeredness,
relationship orientation, concern for people (Handoko, 2003;
Hersey dan Blanchard, 1995; Silalahi, 2002).
Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas lebih memperhatikan pada
penyelesaian tugas dengan pengawasan yang sangat ketat agar tugas selesai sesuai yang
diinginkan, hubungan baik dengan staf diabaikan, yang penting staf harus bekerja keras,
produktif, dan bekerja tepat waktu. Sebaliknya gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
manusia cenderung lebih memperhatikan hubungan yang baik dengan staf, lebih memotivasi staf
daripada mengawasi dengan ketat. Kelemahan pemimpin berorientasi pada tugas ialah kurang
disenangi stafnya karena staf dipaksa bekerja keras agar tugas selesai dengan cepat dan baik.
Kelebihannya adalah pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu. Sebaliknya kelemahan pemimpin
berorientasi pada manusia adalah pekerjaan tidak selesai pada waktunya.
Untuk menjadi pemimpin yang efektif digunakan keseimbangan gaya kepemimpinan
yang berorientasi pada tugas dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Gaya
ini disebut gaya kepemimpinan transaksional (Usman, 2006). Gaya kepemimpinan, dimana
pemimpin memperlihatkan perhatian yang rendah pada tugas dan pegawai disebut pemimpin
abdicative (laissez-fair,delegatif), perhatian yang tinggi pada tugas dan rendah perhatian pada
pegawai disebut pemimpin directive (autocratic), rendah perhatian pada tugas dan tinggi
perhatian pada pegawai disebut pemimpin supportive, dan tinggi perhatian baik untuk tugas
maupun untuk pegawai disebut pemimpin participative (democratic).
Pemimpin harus mempertimbangkan 3 (tiga) kumpulan “kekuatan” sebelum melakukan
pemilihan gaya kepemimpinan, yaitu:
a. Kekuatan-kekuatan dalam diri pemimpin yang mencakup:
(1) sistem nilai
(2) kepercayaan terhadap staf
(3) kecenderungan kepemimpinannya sendiri
(4) perasaan aman dan tidak aman;
K = f (P,p,s),
K = kepemimpinan
P = pemimpin
p = pengikut/pegawaian
s = situasi.
Kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard (1982) didasarkan atas hubungan antara :
(a) kadar bimbingan dan arahan (perilaku tugas) yang diberikan pemimpin
(b) kadar dukungan sosioemosional (perilaku hubungan) yang disediakan pemimpin, dan (c)
tingkat kesiapan (kematangan) yang diperlihatkan pegawai dalam pelaksanaan tugas, fungsi, atau
tujuan tertentu. Gaya kepemimpinan yang dihasilkan dari perbedaan tinggi rendahnya kombinasi
perilaku tugas dan perilaku hubungan sesama adalah :
a. Telling/memerintahkan/memberitahukan/G1 (perilaku tugas tinggi dan perilaku
hubungan sesama rendah)-Pemimpin mendefinisikan peran/tugas dan memerintahkan
kepada pegawainya, apa, bagaimana, kapan, dan di mana melakukan suatu tugas dan
secara ketat melakukan supervisi pekerjaan/tugas. Perilakunya adalah direktif;
b. Selling/menawarkan/menjajakan/G2 (perilaku tugas dan perilaku hubungan sesama
tinggi) - Pemimpin selain mendefinisikan peran/tugas juga memberikan dukungan
dengan cara persuasif dan komunikasi dua arah. Pemimpin berperilaku direktif dan
suportif;
c. Participating/meminta peran serta/partisipasi/G3 (perilaku tugas rendah dan perilaku
hubungan sesama tinggi) - Pemimpin dan staf bersama-sama mengambil tanggung
jawab dan keputusan tugas dan peran pemimpin adalah memfasilitasi, mempermudah
dan melakukan komunikasi;
d. Delegating/mendelegasikan/G4 (perilaku tugas dan perilaku hubungan sesama
rendah)Pemimpin memberikan kewenangan kepada pegawai untuk membuat dan
mengambil tanggung jawab dalam keputusan tugas, pegawai diperkenankan
memutuskan dan melakukan sendiri tugasnya.
Pemimpin hanya memberikan sedikit arahan dan dukungan. Untuk menentukan
kombinasi mana dari gaya kepemimpinan tersebut digunakan untuk situasi tertentu, berdasarkan
teori kepemimpinan situasional seorang pemimpin harus mampu menilai tingkat kesiapan staf
yang disebut tingkat kematangan (maturity) yaitu kemampuan (ability) dan kemauan
(willingnees) pegawai untuk memikul tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas.
Teori kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard (1982) menyatakan bahwa
kepemimpinan yang efektif diwujudkan dengan menyesuaikan gaya kepemimpinan dengan
tingkat kematangan pegawai sebagai berikut:
(M1). Gaya kepemimpinan telling yang direktif, efektif untuk tingkat kematangan pegawai
rendah, dimana pegawai tidak mampu dan tidak mau memikul tugas dan tanggung jawab
untuk melakukan tugas/pekerjaan, tidak kompeten atau tidak yakin dalam pelaksanaan
tugas.
(M2). Gaya kepemimpinan selling, efektif untuk tingkat kematangan pegawai rendah ke sedang
dimana pegawai tidak mampu tetapi mau memikul tugas dan tanggung jawab Gaya
kepemimpinan selling, melakukan gaya direktif karena pegawai kurang mampu, tetapi
juga melakukan gaya suportif untuk memperkuat kemauan dan antusiasme pegawai. Gaya
ini disebut selling (menawarkan/menjajakan) karena pemimpin masih melakukan hampir
seluruh arahan, namun melalui komunikasi dua arah dan penjelasan. Pemimpin berusaha
agar secara psikologis pegawai turut andil dalam kegiatan yang diinginkan.
(M3). Gaya kepemimpinan participating, efektif untuk tingkat kematangan pegawai sedang ke
tinggi, dimana pegawai mampu tetapi tidak mau memikul tugas dan tanggung jawab
Ketidakmauan pegawai sering kali karena kurang yakin atau tidak merasa aman, untuk itu
perlu membuka saluran komunikasi dua arah untuk mendorong upaya bawahan dalam
menggunakan kemampuannya yang telah mereka miliki.
(M4). Gaya kepemimpinan delegating, efektif untuk tingkat kematangan pegawai tinggi, dimana
pegawai mampu/kompeten dan mau atau yakin untuk memikul tugas dan tanggung jawab
Teori kepemimpinan ada tiga tingkat, sesuai dengan hakikat kepemimpinan yang dikaji:
3. Teori yang dikaitkan dengan tujuan organisasi dan langkah-langkah untuk mencapainya
(Goal setting dan attainment)
Seperti telah disinggung di atas, seorang manajer yang ingin kepemimpinannya lebih efektif,
ia harus mampu:
2. Memiliki kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan organisasi dan komitmen tinggi
untuk memecahkannya. Ia harus selalu merasa ditantang untuk mengatasi hambatan yang
menjadi penghalang tercapainya tujuan organisasi yang ia pimpin.
3. Menggerakkan atau memotivasi staf agar mereka mau dan sadar melaksanakan tugas-
tugas pokok organisasi sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab yang melekat
pada setiap tugas tersebut.
Seorang manajer yang mempunyai sifat-sifat sebagai pemimpin dapat dibedakan dengan mereka
yang tidak memiliki sifat pemimpin. Table dibawah ini akan membedakan kedua sifat tersebut.
1. Kurangi kesimpangsiuran arus informasi dalam organisasi. Kesatuan komando dan kesatuan
arah serta peningkatan koordinasi antar pimpinan unit adalah upaya penting yang dapat
dikembangkan oleh manajer untuk mengurangi hambatan komunikasi di dalam organisasi.
Selain itu, mengomunikasikan tujuan organisasi kepada staf juga merupakan pesan khusus
yang harus dikomunikasikan oleh pimpinan kepada stafnya.
2. Sesuaikan isi pesan dengan pengalaman si penerima informasi. Pesan yang jelas harus
dikemas oleh sumber informasi. Mekanisme komunikasi yang mudah diterima oleh staf harus
disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan pengalaman staf.
3. Kembangkan sistem umpan balik. Laporan yang dibuat oleg staf harus diberikan umpan balik
oleh si penerima laporan atau didiskusikan materi laporan tersebut dengan mereka sehingga
timbul kesamaan persepsi antara staf dengan pimpinan tentang suatu permasalahan dan cara
pemecahannya.
4. Penggunaan media seperti poster, radio, TV dan sebagainya akan lebih menunjang
komunikasi dengan kelompok pendengar yang lebih luas. Media harus digunakan secara
efektif.
5. Komunikasii langsung (tatap muka) antara pemimpin dan staf perlu dikembangkan untuk
menjalin hubungan antar manusia dan mengurangi hambatan akibat perbedaan posisi.
Untuk mengembangkan komunikasi yang efektif di dalam organisasi, terutama hubungan
antar pribadi, kelima usaha di atas perlu dikembangkan terus karena komunikasi dalam
organisasi adalah proses yang dinamis. Pimpinan harus mewaspadai dan menghindari situasi
“We speak but never communicate” di antara staf dan antara staf dengan pimpinan. Seorang
pimpinan harus bertanggung jawab untuk mengembangkan komunikasi dinamis dan efektif di
dalam organisasinya. Komunikasi yang berkembang dalam organisasi harus mengandung unsure
4C yaitu singkat dan padat (concise), lengkap tentang jenis informasi yang akan disampaikan
(complete), jelas tentang hal-hal yang perlu dikerjakan oleh staf (clear), dan juga mengandung
tujuan yang jelas (concrete).
6. Advokasi
Menurut Foss & Foss et all. (1980), Toulmin (1981), advokasi adalah upaya persuasif
yang mencakup kegiatan penyadaran, rasionalisasi, argumentasi, dan rekomendasi tindak lanjut
mengenai sesuatu. Advokasi adalah usaha mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacam-
macam bentuk komunikasi persuasive. WHO (1989) seperti dikutip UNFPA dan BKKBN
(2002), mengungkapkan bahwa , “ advocacy is a combination on individual and social action
design to gain political commitment, policy support, social acceptance and system support for
particular health goal or programmne”.
Dapat disimpulkan bahwa advokasi adalah kombinasi kegiatan individu dan sosial yang
dirancang untuk memperoleh komitmen politis, dukungn kebijakan, penerimaan sosial dan
sistem yang mendukung tujuan atau program kesehatan tertentu. Advokasi dapat diartikan
sebagai upaya atau proses untuk memperoleh komitmen, yang dilakukan secara persuasif untuk
mempengaruhi kebijakan publik dengan menggunakan informasi yang akurat dan tepat.
Advokasi kesehatan adalah advokasi yang dilakukan untuk memperoleh komitmen atau
dukungan dalam bidang kesehatan, atau yng mendukung pengembangan lingkungan dan perilaku
sehat.
Tujuan Advokasi
Tujuan Umum
Diperolehnya komitmen dan dukungan dalam upaya kesehatan, baik berupa kebijakan, tenaga,
dana, sarana, kemudahan, keikutsertaan dalam kegiatan, maupun berbagai bentuk lainnya sesuai
keadaan dan usaha.
Tujuan Khusus
1. Adanya pemahaman atau pengenalan atau kesadaran
3. Adanya kemauan atau kepedulian atau kesanggupan untuk membantu dan menerima
perubahan.
Adanya pengertian, kepedulian, dan dukungan terhadap upaya, program, dan kegiatan di bidang
kesehatan.
Sasaran advokasi kesehatan adalah berbagai pihak yang diharapkan dapat memberikan dukungan
terhadap upaya kesehatan khususnya para pengambil keputusan dan penentu kebijakan di
pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat, mitra di kalangan pengusaha/swasta, badan
penyandang dana, media massa, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, lembaga
swadaya masyarakat, tokoh-tokoh berpengaruh dan tenar, dan kelompok potensial lainnya di
masyarakat. Semuanya bukan hanya berpotensi mendukung, tetapi juga menentang atau
berlawanan atau merugikan kesehatan (misalnya industry rokok).
Pelaku advokasi adalah siapa saja yang peduli terhadap upaya kesehatan, dan
memandang perlu adanya mitra untuk mendukung upaya tersebut. Pelaku advokasi dapat berasal
dari kalangan pemerintah, swasta, LSM. Mereka harus mempunyai kemampuan advokasi
khususnya melakukan pendekatan persuasif dan dapat dipercaya.
1. Sifat pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada konsumen penerima jasa pelayanan
(customer services). Hasil perawatan pasien sebagai customer RS ada tiga kemungkinan
yaitu sembuh sempurna, cacat (sequalae), atau mati. Apapun kemungkinan hasilnya,
kualitas pelayanan harus diarahkan untuk kepuasan pasien (customer satisfaction) dan
keluarganya.
2. Pelaksanaan fungsi actuating cukup kompleks karena tenaga yang bekerja di RS terdiri
dari berbagai jenis profesi.
Kompleksitas ketenagaan dan jenis profesi yang dimiliki oleh RS, menuntut
dikembangkannya kepemimpinan partisipatif. Model kepemimpinan manajerial seperti ini akan
menjadi salah satu faktor yang ikut menentukan mutu pelayanan RS (quality of services) karena
pelayanan kesehtan di RS hampir semuanya saling terkait satu sama lain. Atas dasar ini,
pelayanan di RS harus mengembangkan system jaringan kerja internal (networking) yang solid
dan saling menunjang satu sama lain.
Semua staf RS harus memahami visi dan misi pengembangan RS serta kebijakan operasional
pimpinan. Untuk menjaga otonomi profesi dari masing-masing SMF, kualitas pelayanan di RS
harus disesuaikan dengan standar profesi yang harus ditetapkan oleh setiap perkumpulan dokter
ahli (ikatan profesi). Standar profesi dikenal dengan medical of conduct dan medical ethic juga
harus selalu diperhatikan oleh staf SMF dalam rangka menjaga mutu pelayanan RS (quality of
care).
Sehubungan dengan kompleksitas sistem ketenagaan dan misi yang harus diemban oleh RS,
penerapan fungsi actuating di RS akan sangat tergantung dari empat faktor. Faktor pertama
adalah kepemimpinan direktur RS; kedua adalah koordinasi yang dikembangkan oleh masing-
masing Wakil Direktur dengan kepala SMF dan kepala instalasinya; ketiga adalah komitmen dan
profesionalisme tenaga medis dan nonmedis di RS (dokter, perawat dan tenaga penunjang
lainnya), dan keempat adalah pemahaman pengguna jasa pelayanan RS (pasien dan keluarganya)
akan jenis pelayanan kesehatan yang tersedia di RS.
Peranan dokter spesialis sangat besar pengaruhnya di dalam penerapan fungsi actuating ini.
Sifat otonomi profesi di tiap-tiap SMF harus diatur agar tidak menjadi penghambat penerapan
fungsi actuating di RS. Untuk itu, mereka harus memahami benar visi dan misi RS yang ingin
dikembangkan oleh pihak manajemen (direktur) RS. Oleh karena itu, fungsi RS harus dilihat
dalam konteks persatuan kerja dari sebuah tatanan sistem yang terpadu. Pelayanan kesehatan di
masing-masing SMF adalah subsistemnya. Di pihak lain, intensitas dan frekuensi komunikasi
antara pihak pimpinan RS dan semua staf professional harus berlangsung dinamis.
Kepemimpinan, komunikasi, koordinasi merupakan faktor penting di dalam pengembangan
fungsi actuating. Ketiganya akan memudahkan penjabaran visi dan misi serta strategi pimpinan
RS mengembangkan mutu pelayanan kesehatan di masing-masing SMF. Disisi lain, dibutuhkan
juga peningkatan keterampilan manajerial di pihak pimpinan RS sehingga lebih mampu
mengintegrasikan masing-masing tugas SMF ke dalam satu kesatuan gerak (networking) yang
harmonis dan saling menunjang`peningkatan mutu pelayanan RS demi kepuasan pelanggannya.
Jika pendekatan ini kurang dipahami oleh pihak manajemen RS dan pimpinan SMF, budaya
kerja yang berorientasi kepada peningkatan mutu pelayanan RS tidak akan berkembang. Mereka
cenderung akan bertindak sendiri , arogansi profesi dan dukungan sarana dan prasarana (input)
pelayanan RS (teknologi dan peralatan kedokteran, logistik, keuangan dan sebagainya) kurang
mendapat perhatian. Untuk itu pengembangan budaya kerja staf di SMF harus diarahkan untuk
mendukung tercapainya visi dan misi RS. Mereka harus menyadari akan peranannya sebagai staf
RS yang diberikan tugas istimewa memberikan asuhan pelayanan medik dan kesehatan kepada
masyarakat (customer) yang menggunakan jasa pelayanan RS.
Fungsi aktuasi Puskesmas tidak sekedar pekerjaan mekanis, karena yang digerakan adalah
manusia/pegawai. Oleh karena itu untuk suksesnya fungsi aktuasi Puskesmas diperlukan
berbagai faktor, yaitu:
1). Faktor organisasi Puskesmas
Yang menentukan suksesnya fungsi aktuasi dari faktor organisasi Puskesmas meliputi:
a. Terdapat peraturan-peraturan
Peraturan adalah segala ketentuan yang mengatur terselengganya kegiatan pegawai dan
program Puskesmas serta adanya kepastian perkembangan Puskesmas baik ke dalam
maupun ke luar organisasi. Seperti Undang-undang RI Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pegawai,
Peraturan Pemerintah RI tentang Disiplin Pegawai, Peraturan Pemerintah RI No.10/1979
tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, dan lain-lain.
b. Terdapat sumber daya
Sumber daya adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk kegiatan dan program Puskesmas
yang didasarkan pada suatu pengkajian yang dapat dipertanggungjawabkan, yang meliputi
aspek kuantitas, kualitas dan aktualitasnya. Sumberdaya manajemen Puskesmas meliputi man,
money, materials, machines, methods, minute/times, market dan information dengan akronim
7 M + 1 I (telah diuaraikan pada Bab II butir 3.1. Pemikiran Manajemen Sistem Terbuka).
c. Terdapat sarana komunikasi
Sarana komunikasi adalah segala sarana yang dapat digunakan untuk menerima dan
menyampaikan informasi, seperti telepon, surat, forum rapat dinas, buletin, dan sebagainya
(akan dijelaskan pada Bab V. butir D. Komunikasi).
d. Terdapat kepemimpinan
Yaitu suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatankegiatan pegawai agar
bekerja mencapai tujuan organisasi (akan dijelaskan pada Bab V. butir B. Kepemimpinan).
Aktuasi Puskesmas memusatkan perhatian pada pengelolaan sumber daya manusia. Atas
dasar itu fungsi aktuasi Puskesmas sangat erat kaitannya dengan ilmu-ilmu perilaku manusia.
Seorang pimpinan yang ingin berhasil menggerakan dan mengarahkan pegawainya agar bekerja
lebih produktif, perlu menguasai pengetahuan dan keterampilan dalam 4 (empat) hal, yaitu:
1. Pengetahuan dan Keterampilan Kepemimpinan (Leadership);
2. Pengetahuan dan Keterampilan Motivasi (Motivating);
3. Pengetahuan dan Keterampilan Komunikasi (Communication);
4. Pengetahuan dan Keterampilan Pengarahan (Directing).
c. Fungsi Partisipasi.
Dalam menjalankan fungsi ini pimpinan Puskesmas berusaha mengaktifkan dan
mengikutsertakan staf Puskesmas dalam mengambil keputusan tugas dan program Puskesmas
serta dalam pelaksanaannya. Partisipasi tidak berarti bebas tanpa kendali, namun berupa
kerjasama dan kemitraan antara pimpinan dan staf Puskesmas dan dengan tidak mencampuri
atau mengambil tugas pegawai. Keikutsertaan pimpinan Puskesmas harus tetap dalam fungsi
sebagai pimpinan dan bukan pelaksana.
d. Fungsi Delegasi.
Fungsi ini dilaksanakan dengan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab kepada staf
Puskesmas dalam pengambilan dan penetapan keputusan tugas dan program Puskesmas, baik
melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pimpinan Puskesmas. Fungsi delegasi
pada dasarnya dilandasi kepercayaan. Pegawai yang menerima delegasi harus diyakini
merupakan staf yang memiliki kesamaan prinsip dan persepsi serta mempunyai kemampuan
serta kemauan melaksanakan tugas Puskesmas.
e. Fungsi Pengendalian
Fungsi pengendalian bertujuan agar pimpinan Puskesmas mampu mengatur aktivitas pegawai
Puskesmas secara terarah dan terkoordinasi, sehingga memungkinkan pelaksanaan tugas dan
program Puskesmas terselenggara secara efektif dan efesien. Fungsi pengendalian dapat
diwujudkan melalui kegiatan pembimbingan, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan,
dan penilaian. Seluruh fungsi kepemimpinan Puskesmas tersebut diselenggarakan dalam
aktivitas kepemimpinan secara terpadu.
Motivasi
Motivasi dapat digunakan sebagai strategi untuk meningkatkan kinerja pegawai
Puskesmas, sebab efektivitas kinerja pegawai antara lain tergantung pada motivasinya. Kinerja
aktual pegawai Puskesmas adalah fungsi dari kemampuan (ability), motivasi (motivation), dan
kondisi kerja (working condition) atau dinotasikan sebagai Kinerja kemampuan x motivasi x
kondisi kerja. Motivasi berasal dari perkataan motif (motive) yang artinya rangsangan, dorongan
atau pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang sehingga orang tersebut memperlihatkan
perilaku tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan motivasi ialah upaya untuk menimbulkan
rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga pada seseorang dan/atau sekelompok masyarakat
sehingga mau berbuat dan bekerjasama secara optimal melaksanakan sesuatu yang telah
direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Batasan tersebut mengandung arti
bahwa motivasi pegawai Puskesmas hanya akan berhasil dengan baik jika dapat:
1. Diusahakan agar tujuan Puskesmas yang telah ditetapkan adalah juga sejalan dengan tujuan
pegawai, tim kerja Puskesmas dan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas yang akan
melaksanakan kegiatan dan program Puskesmas. Sebab, jika tujuan Puskesmas tersebut tidak
merasa dimiliki atau tidak sejalan, maka akan sulit diharapkan seseorang atau sekelompok
masyarakat mau berbuat sebagaimana yang diharapkan. Untuk menselaraskan tujuan
Puskesmas dengan tujuan pegawai Puskesmas dilakukan melalui management by objectivies
(MBO) atau Manajemen Berdasarkan Sasaran/Tujuan.
2. Diusahakan agar perbuatan yang diharapkan untuk dilaksanakan tersebut adalah sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki pegawai Puskesmas dan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas.
Seandainya kemampuan yang dimiliki terbatas, tetapi tetap dipaksakan untuk melaksanakan
kegiatan, niscaya akan menimbulkan kegagalan. Motivasi juga didefinisikan sebagai dorongan
dari dalam diri individu dimana ia berusaha dan berperilaku dengan cara tertentu untuk
memenuhi keinginan atau kebutuhannya.
Tahap Pelaksanaan:
a. Lokarya Mini Bulanan Pertama
1) Masukan:
P enggalangan tim dalam bentuk dinamika kelompok tentang peran tanggung jawab staf dan
kewenangan Puskesmas;
Informasi tentang kebijakan, program, dan konsep baru;
Informasi tentang tatacara penyusunan POA (Plan of Action) Puskesmas.
2) Proses:
Inventarisasi kegiatan Puskesmas termasuk kegiatan lapangan/daerah binaan.
Analisis beban kerja tiap petugas;
Pembagian tugas baru termasuk pembagian tanggung jawab daerah binaan.
Penyusunan POA Puskesmas tahunan.
3) Keluaran:
POA Puskesmas tahunan;
Kesepakan bersama (untuk hal-hal yang dipandang perlu).
Tahap Pelaksanaan
a. Lokakarya Mini Tribulanan Pertama
1) Masukan:
Penggalangan tim yang dilakukan melalui dinamika kelompok;
Informasi tentang program lintas sektoral;
Informasi tentang program kesehatan;
Informasi tentang kebijakan, program, dan konsep baru.
2) Proses:
Inventarisasi peran bantu masing-masing sektor;
Analisis masalah peran bantu dari masing-masing sektor;
Pembagian peran masing-masing sektor.
3) Keluaran:
Kesepakan tertulis sektor terkait dalam mendukung program kesehatan
termasuk program pemberdayaan masyarakat.
2. Lokakarya Mini Bulanan, diselenggarakan setiap akhir bulan, yang dihadiri oleh seluruh staf
Puskesmas dan jaringannya, yang bertujuan untuk :
(a) menginformasikan hasil rapat dinas tingkat kabupaten/kota dan tingkat kecamatan serta
informasi tentang kebijakan, program dan konsep-konsep baru.
(b) evaluasi bulanan terhadap pelaksanaan program puskesmas serta analisis hambatan dan
masalah dengan mempergunakan PWS.
(c) penyusunan POA bulanan secara partisipatif dengan menghimpun usulan kegiatan dan
program dari para penanggung jawab program puskesmas, (d) penggalangan tim melalui
penegasan peran dan tanggung jawab staf.
(e) pemberdayaan pegawai Puskesmas untuk meningkatkan kinerja profesional,
kompetensi/kemampuan pegawai, sikap dan motivasi kerja serta kecerdasan emosi.
3. Lokakarya Mini Tribulanan, diselenggarakan setiap 3 (tiga) bulan sekali yang dihadiri oleh
instansi lintas sektor tingkat kecamatan, Tim Penggerak PKK kecamatan dan desa, kepala desa,
staf Puskesmas dan jaringannya, serta dipimpin oleh camat. Dengan tujuan : (a) informasi
tentang program lintas sektor, program kesehatan, serta informasi tentang kebijakan, program
dan konsep-konsep baru.
(b) menginventarisasi peran bantu masing-masing sektor serta masalah dan hambatan dari
masing-masing sektor.
(c) penggalangan tim lintas sektor tingkat kecamatan.
4. Rapat koordinasi (Rakor) tingkat kecamatan, diselengarakan setiap bulan yang dihadiri oleh
unsur Muspika kecamatan, lintas sektor tingkat kecamatan, tim penggerak PKK kecamatan dan
desa dan kepala desa, dengan agenda acara sesuai dengan agenda pemerintahan kecamatan.
Peran Puskesmas adalah menyampaikan hasil Lokakarya Mini Bulanan.
5. Rapat koordinasi (Rakor) Posyandu-Desa Siaga tingkat desa, diselenggarakan setiap bulan
pada 2 (dua) hari sebelum pelaksanaan Posyandu, yang dihadiri oleh kepala desa dan pamong
desa, unsur Badan Perwakilan Desa (BPD), unsur Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa
(LPMD), pengurus PKK desa, pengurus Posyandu dan Forum Kesehatan Desa-Desa Siaga, kader
Posyandu/Desa Siaga dari setiap RT, tokoh masyarakat, Bidan desa, perawat kesehatan desa,
pembina kesehatan desa, PLKB, dan unsur lintas sektor
tingkat kecamatan. Adapun tujuannya adalah :
(a) evaluasi pelaksanaan posyandu dan program desa siaga bulan lalu serta merencanakan
posyandu dan desa siaga bulan yang akan datang.
(b) pemutakhiran data sasaran posyandu dan program desa siaga.
(c) pengisian kartu panggilan sasaran posyandu untuk kemudian dibagikan ke setiap dusun/rw
(d) pembahasan masalah dan hambatan posyandu dan program desa siaga.
(e) pendalamam materi posyandu dan program desa Siaga.
6. Konsultasi para penanggung jawab program dengan pimpinan Puskesmas. Konsultasi ini
diselenggarakan bila diperlukan, dengan cara mengundang para penanggung jawab program
Puskesmas atau mereka menghadap/ melapor kepada pimpinan Puskesmas.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
2. Notoatmodjo S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Cetakan Pertama. Jakarta:
PT Rineka Cipta.