Anda di halaman 1dari 8

Dua Catatan atas Undang-undang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) Nomor 19 Tahun 2008

Muhammad Hikam Masrun Mahasiswa Magister Ekonomi Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Abstrak Diterbitkannya Undang-undang Surat Berharga Syariah Negara (selanjutnya disingkat SBSN dan/atau Sukuk Negara) pada 9 April 2008 lalu nampaknya membawa angin segar bagi perkembangan ekonomi syariah, secara khusus bagi dunia investasi, pembiayaan, dan pendapatan Nasional. Namun di sisi lain, UU yang mulanya diusulkan oleh Pemerintah ini masih menyimpan problem intrinsik dan ekstrinsik. Problem intrinsik bisa berupa ketidakselarasan UU SBSN ini dengan UU atau perangkat peraturan lain yang setingkatnya atau yang lebih tinggi kedudukannya, atau berupa problem ketidaksesuaian isi dengan prinsip logika, validitas dan otoritas informasi, atau fakta empiris. Sementara problem ekstrinsik biasanya diukur dengan adanya ketidakselarasn UU ini dengan implementasi. Dalam makalah ini dikemukakan: (1) sebagian problem intrinsik dan ektrinsik UU SBSN yang diwakili oleh kritik isi dan konteks; dan (2) model strategi regulasi yang diadopsi pemerintah. Kata kunci: UU SBSN, problem intrinsik dan ekstrinsik, strategi regulasi, politik ekonomi. A. Pendahuluan Setelah melalui proses melelahkan, UU SBSN akhirnya disahkan oleh DPR dalam Sidang Paripurna pada tanggal 9 April 2008. Sebenarnya terbitnya UU SBSN ini terlambat hampir enam tahun dari tetangga sendiri, Malaysia. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa regulator finansial di Indonesia cenderung wait and see atau malah kurang inovatif. Padahal tak sedikit studi yang menguatkan bahwa perangkat hukum Sukuk sangat diperlukan sebagai instrumen pembangunan ekonomi (misalnya: Ketetapan Konferensi No. 10 the Islamic Jurispudence Council (IJC) bekerjasama dengan IRTI-IDB, 1988; Robert Gray, 2007; Simon Archer & Rifaat Ahmed Abdel Karim, 2007; Muhammad Arif, 2007; Muhammad Ayyub, 2006). Dalam perkembangannya, adanya studi dan fatwa-fatwa cendikia lalu mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian

Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan Global Corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional. Hal ini kemudian diikuti oleh negara-negara lainnya seperti Pakistan, UEA, dan yang lainnya. Sukuk, shikk atau ashukk sendiri adalah bentuk plural kata shakk ( 1)yang pada mulanya berarti lembar pernyataan/kesaksian yang digunakan orang Arab kuno untuk keperluan keamanan, jaminan imbalan dan perdagangan.2 Dalam konteks ekonomi, Sukuk lalu dikenal sebagai instrumen finansial abad pertengahan yang digunakan oleh pengusaha dan pedagang muslim sebagai obligasi finansial.3 Meningkatnya nilai penerbitan sukuk global yang mulanya hanya sebesar 250 juta dollar AS pada tahun 2001 lalu menjadi 110 milyar dollar US pada tahun 20084 mengindikasikan bahwa saat ini sukuk tidak hanya milik kalangan Arab dan muslim, ia adalah instrumen finansial yang cukup menggiurkan. Namun perkembangan ini belum sepenuhnya ikut dirasakan oleh Indonesia, terbukti bahwa jika mau, Indonesia harus ikut berbagi market share Sukuk global sebesar 2% dengan negara-negara lain selain Malaysia (35.69%), UAE (32.03%), Bahrain (14.49%), IDB (5.65%), Pakistan (4.15%), Qatar (3.96%), UK (1.78%), Jerman (1.36%) dan Kuwait (0.88%).5 Ini masih ditambah kenyataan bahwa baru pada bulan April 2008, UU SBSN lahir dan belum berekspansi pada sukuk global.6 Dalam praktiknya, sukuk juga tak lepas dari kontroversi. Di Negara-negara Teluk, misalnya, kontroversi mengenai sukuk kian mencuat ketika pada februari 2008 lalu, Syaikh Taqi Utsmani, ketua dewan pengawas syariah di Dubai menyatakan bahwa sekitar 85% sukuk yang diterbitkan di Negara-negara teluk tidak sepenuhnya sesuai dengan hukum syariah. Diketahui bahwa pokok permaslahan adalah adanya pasal yang mengatur adanya
1

Al Fairuzzbd, Mukhtr As Shihh (Beirut: Maktabah Lubnan Nasyirun, 1995), vol. 1, h. 375. Muhammad Arif (Corporate Sukuk Issuance and Prospect, 2007) berpendapat, Sukuk certificates represent proportionate beneficial ownership and may be described as an Islamic bond for adefined period the risk and return on which is associated with cashflwos generated by a particular asset belonging to the investors ie sukuk holders. Sementara Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) mendefinisikan sukuk sebagai: Certificates of equal value representing after closing subscription, receipt of the value of the certificates and putting it to use as planned, common title to shares and rights in tangible assets, usufructs and services, or equity of a given project or equity of a special investment activity. 2 Lihat misalnya keterangan sejarawan Jawad Ali (w. 1987) dalam masterpiece-nya Al Mufashhal f Trkh Al Arab qabla Al Islm, vol. 1, h. 2842. 3 Muhammad Ayyub dalam Understanding Islamic Finance (London: John Wiley and Sons, 2007), h. 204; Imam Muslim dalam Shahih-nya ( 3/1162); Radd Al Muhtr (12/192); Hysiyah Al Jamal (23/364); 4 www.kompas.com, 25 Nopember 2008. Diakses pada 12 Desember 2008. 5 Aseanbankers, 2006. 6 Menurut keterangan Dirjen Pengelolaan Utang, Rahmat Waluyanto pemerintah masih menunggu waktu yang tepat untuk menerbitkan sukuk global (Kompas, 25/11/08).

perjanjian untuk pembelian ulang sukuk dengan par price/nominal price (al qmah al ismiyyah), di mana ini menjadi jaminan bila terdapat kerugian dalam proses pelunasan maka yang akan menanggungnya adalah penerbit Sukuk dan tidak secara intrinsik tercakup dalam surat-surat berharga dan underlying asset. Sehingga perjanjian ini dianggap sebagai membatalkan konsep risk-profit sharing (iqtism al mukhtharah wa al arbh) yang merupakan prinsip fundamental sukuk.7

B. Problem Intrinsik dan Ekstrinsik UU SBSN B.1. Kritik Isi Untuk konteks Indonesia, UU SBSN berpotensi untuk memiliki pelanggaran bagi prinsip syariah dari berbagai sisi, di antaranya bersumber dari isi UU itu sendiri. Terlepas bahwa akan dijelaskan dalam term and condition-nya, UU SBSN ini memiliki potensi multitafsir dan kadang kurang proporsional. Misalnya adalah mengenai akad yang mana yang tidak bisa diperjualbelikan, seperti pada pasal 2 ayat (2). Penjelasan UU SBSN juga tidak merinci akad mana yang karena sifatnya tidak bisa diperdagangkan. Pertanyaan ini cukup beralasan karena pada penjelasan tentang pasal 3 huruf f, dicontohkan beberapa bentuk kombinasi akad, sehingga kurang proporsional bila pasal yang lain yang lebih signifikan isi dan implikasinya tidak dijelaskan. Lalu pada Bab III tentang Tujuan Penerbitan SBSN, Pasal 4 dan Penjelasannya, tidak dicantumkan atribut pengawasan Syariah dan atau kesesuaian proyek dengan hukum Islam. Hal ini memungkinkan terjadinya pembiayaan pada proyek-proyek yang bertentangan dengan hukum Islam, seperti misalnya yang berkaitan dengan riba. Dalam konteks ini UU hanya menegaskan keharusan agar pemerintah berkordinasi dengan Bank Indonesia dan kementerian perencanaan pembangunan Nasional (Pasal 7 ayat [2]).

Demikian juga pada Pasal 12 ayat (2) yang berbunyi: Dalam rangka pembelian Aset SBSN, pembatalan Akad sewa dan pengakhiran Akad penerbitan SBSN lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membayar nilai nominal SBSN atau kewajiban lain sesuai Akad penerbitan SBSN kepada pemegang SBSN.

dari alaswaq.net berita tanggal 2 februari 2008. Diakses pada 12 Desember 2008.

Pasal ini berpotensi atas pelanggaran ketentuan syariah mengingat bahwa pada penjelasannya disebutkan bahwa kewajiban pembayaran lain sesuai akad penerbitan SBSN antara lain berupa sisa Nilai Nominal SBSN8 yang pelunasannya dilakukan dengan cara amortisasi dan imbalan yang belum dibayarkan. Namun sayangnya tidak dijelaskan maksud amortisasi dan imbalan di sini. Apakah imbalan berarti rasio dividen per saham dibandingkan dengan harga pembelian (yield), atau ada maksud lainnya? Penulis kira perlu dijelaskan maksud amortisasi dan imbalan setidaknya pada Penjelasan UU SBSN tersebut. Kemudian pada Bab VII Pasal 19 mengenai pengelolaan SBSN, Menteri Keuangan membuka rekening yang merupakan bagian dari Rekening Kas Umum Negara. Menteri Keuangan sejatinya membuka rekening di Bank Syariah Umum ketimbang di Bank konvensional untuk menampung hasil penjualan SBSN maupun untuk menyediakan dana bagi pembayaran imbalan dan Nilai Nominal SBSN. Hal ini akan semakin menambah kepercayaan masyarakat dan investor akan komitmen pemerintah dengan prinsip-prinsip syariah. Pasal lain yang mewakili kesan bahwa UU SBSN kurang mengakomodasi dan mengapresiasi otoritas ulama atau MUI-DSN dalam memberikan fatwa adalah Pasal 25. Entah mengapa, UU ini tidak menekankan kewajiban meminta fatwa atau pernyataan kesesuaian SBSN terhadap prinsip-prinsip syariah. Redaksi UU tersebut hanya berdiksi informatif sebagaimana berikut. Dalam rangka penerbitan SBSN, Menteri meminta fatwa atau pernyataan kesesuaian SBSN terhadap prinsip-prinsip syariah dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.9 Sayangnya lagi penjelasan pasal ini hanya menjabarkan mengenai maksud dari lembaga di atas, yaitu MUI atau lembaga lain yang ditunjuk pemerintah. Di sisi akuntabilitas dan transparansi, pasal 28 seakan mengindikasikan kurangnya komitmen Pemerintah dan DPR dalam mendorong kekuatan reformasi birokrasi. Hal ini ditandai dengan tidak disebutkannya periodesasi secara lebih spesifik. Meski terkesan sangat teknis, hal ini berimplikasi besar terhadap implementasi dan realisasi good governance, juga kepercayaan pasar. Terakhir pada Bab IX tentang Ketentuan Pidana, Pasal 30 dinyatakan bahwa: (1) Setiap orang yang meniru, membuat palsu, atau memalsukan SBSN dengan maksud memperdagangkan SBSN tiruan, palsu, atau dipalsukan
8

Nilai nominal SBSN adalah nilai SBSN yang tercantum dalam sertifikat SBSN (lihat Bab I Ketentuan Umum UU SBSN ayat 15 ). 9 Kutipan Pasal 25 UU SBSN Nomor 19 Tahun 2008

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Pasal ini setidaknya adalah representasi belum maksimalnya komitmen dalam pencegahan pelanggaran hukum. Akan lebih strategis bila dibuat satu pasal tambahan yang mengatur secara khusus hukuman bagi orang yang meniru, membuat palsu, atau memalsukan SBSN. Sementara orang yang melakukan hal yang sama dengan motif sebagaimana yang tertulis di atas dibuat pada pasal yang lain. Jadi ada pemisahan antara orang yang murni hanya meniru, memalsukan dan orang yang bermotif memperdagangkannya. B.2. Kritik Konteks Selain memiliki kelemahan di segi isi (weaknesses of the content), UU SBSN juga menyimpan kelemahan konteks baik itu konteks sosial, ekonomi atau politik. Dalam konteks sosial, UU SBSN sangat inklusif terhadap segmen pasar. Investor yang membeli Sukuk Negara perdana10 lebih didominasi oleh lembaga konvensional atau nonsyariah. Tercatat dari total sukuk yang dijual pemerintah Rp 4,699 triliun, 90,44 persen dari investor berasal dari lembaga keuangan konvesnional atau nonsyariah.11 Di samping sebagai indikator konsepsi Islam dapat diterima oleh semua kalangan karena faktor profitabilitas dan diversifikasi yang dominan, hal ini menegaskan kurangnya partisipasi dan kontribusi lembaga-lembaga syariah di sektor moneter. Terkadang hal ini disebabkan adanya prudentalitas, kurangnya likuiditas juga kreatifitas. UU SBSN juga tidak memiliki akar yang kuat dalam sejarah perekonomian Indonesia. Sukuk, apalagi sukuk Negara, merupakan instrumen baru (new comer) yang kurang populer di masyarakat grass root dan selanjutnya turut mempertajam pragmentasi posisi sosial kemasyarakatan mereka. Di tingkat ini kurangnya likuiditas, informasi-sosialiasi juga pendidikan turut menyebabkan minimnya partisipasi mereka. Hal ini sebenarnya juga disumbang oleh peran pemerintah yang tidak maksimal dalam dan untuk membangun SDM. Di sisi lain, kesiapan infrastruktur untuk menstimulan investasi di Indonesia secara garis besar masih relatif buruk. Tak kurang dari 100.000 km jalan di tingkat provinsi di Indonesia yang masih rusak. Tahun 2005 kita pernah dinobatkan sebagai Negara dengan infrastruktur terburuk se-ASEAN.12 Hal ini ditambah dengan buruknya birokrasi dan relatif
10

Dua seri SBSN perdana yaitu IFR (Ijarah Fixed Rate) 001 maupun IFR002 diterbitkan pada Selasa, 26 Agustus 2008. 11 Kompas.com/26 Agustus 2008. Diakses pada 12 Desember 2008 12 Data Bank Dunia, 2005.

kurang meratanya penegakan hukum (law enforcement). Indonesia merupakan termasuk 20 Negara dengan birokrasi terburuk di dunia dan 10 terkorup di Asia. Jadi bila reformasi hukum dan birokrasi ini tidak berjalan dan dipercepat, maka bisa dipastikan bahwa multiplier effects tidak akan terjadi. Dengan kata lain, tujuan mendasar konstitusi dan UU SBSN adalah mitos belaka. UU SBSN hanya dinikmati oleh kalangan tertentu dengan modal dan aksesibilitas yang kuat. Pemerintah juga terlihat terburu-buru mencari sumber pembiayaan pembangunan nasional. Mungkin mengejar target politis, pemerintah jadi sangat atraktif untuk menerbitkan Sukuk Negara pertama pada bulan Agustus, 2008 padahal UU SBSN baru disahkan sekitar tiga bulan sebelumnya. Ataukah pemerintah terkesan cenderung ikut-ikutan karena melihat sudah selalu dan terlalu ketinggalan dengan tetangga-tetangganya seperti Malaysia dan Singapura. Apakah ini indikasi bahwa kita kurang inovatif, kekurangan SDM dan agak pragmatis (?). C. Strategi Regulasi UU SBSN sebenarnya bisa dibaca melalui strategi regulasi. Regulasi biasanya dipersepsikan sebagai komando dan strategi untuk mengontrol di mana regulator/pemerintah memaksa adanya aturan yang detail dengan disertai pengawasan pelaksanaannya. Salah satu model strategi regulasi yang cukup terkenal adalah meta-risk regulation yang berfungsi menarik perusahaan menuju proses regulasi dan mencoba untuk mempengaruhi juga mendayagunakan manajemen dan kontrol internal perusahaan.13 Ada pula Model Enforced-Self Regulation yang memimpikan lebih banyak kemujaraban regulasi internal perusahaan dalam hal fungsi legislasi, ekseskusi maupun yudislasi, atau sebaliknya, berupa model state-regulation. Bila diartikan sebuah korporasi, maka dalam hal tertentu strategi regulasi belum diterapkan dengan optimal di Indonesia. Secara lebih khusus model regulasi antara pemerintah, Penerbit Sukuk dan perusahaan/lembaga investor belum begitu jelas, meski tampaknya ada kecenderungan mengambil bentuk perpaduan (hybrid model) antara regulasi Negara (state-regulation) dan self regulation. Ojo Marianne (2008) berpendapat bahwa strategi regulasi sejatinya mengambil pertimbangan pada pentingnya tanggungjawab manajerial, baik itu yang berupa individu atau korporasi.14 Namun sebagaimana Ayres dan Braithwaite (1992) katakan bahwa tidak ada strategi regulasi yang optimal, namun ada strategi yang berbeda dan punya ramuan kekuatan dan kelemahan15 Bagi mereka, kepatutan dari suatu strategi tertentu tergantung
13

Lihat misalnya J Gray dan Hamilton, Implementing Financial Regulation: Theory and Practice (2006), h. 36. 14 Ojo Marianne dalam Regulatory Strategies (Munich, MPRA, 2008), h. 10. 15 I Ayres dan J Braithwaite, Responsive Regulation: Transcending the Deregulation Debate (Oxford Union Press, 1992), h. 3.

pada konteks legal-konstitusional juga konteks sejarah dan kultur perintisannya. Sebagaimana disebutkan di atas, konteks legal, sejarah dan kultur UU SBSN cenderung kurang mengakar, sehingga strategi regulasi ini tampak masih lemah. Dalam persfektif global, pelaksanaan dan insturumen UU SBSN perlu mendapat standarisasi internasional dari lembaga sejenis IDB atau AAOIFI untuk menstimulan kepercayaan investor timur tengah terhadap Indonesia.16 D. Penutup UU SBSN adalah salah satu fenomena produk hukum Indonesia tahun 2008. Terlepas beberapa kritik dan saran di atas, UU SBSN cukup memberikan harapan baru bagi perkembangan dan masa depan ekonomi syariah di Indonesia. Namun bila kelemahankelemahan tersebut tidak diantisipasi juga strategi regulasi antara tripartit; pemerintah, investor/pengusaha, dan pihak ketiga tidak berjalan baik maka bisa dipastikan UU ini tidak bernilai strategis dan tidak berpengaruh besar terhadap pembangunan ekonomi nasional. Wallahu alam.

Referensi Al Fairuzzbd, Mukhtr As Shihh (Beirut, Maktabah Lubnan Nasyirun, 1995) Ida Musdafia Ibrahim, Analisis Obligasi Syariah bagi Perkembangan Investasi di Indonesia (Jakarta, the Annual Graduate Student Research and Creatifity Symposiom YAI, 2008) I Ayres dan J Braithwaite, Responsive Regulation: Transcending the Deregulation Debate (Oxford, Oxford Union Press, 1992) Jawad Ali, Al Mufashhal f Trkh Al Arab qabla Al Islm, (Kairo, Dar As Sqi, 2001) Muhammad Ayyub, Understanding Islamic Finance (London, John Wiley and Sons, 2007) Ojo Marianne, Regulatory Strategies (Munich, MPRA, 2008) www.kompas.com
16

Hal senada misalnya ditawarkan oleh Ida Musdafia Ibrahim dalam Analisis Obligasi Syariah bagi Perkembangan Investasi di Indonesia (the Annual Graduate Student Research and Creatifity Symposiom, 2008), h. 32.

www.alaswaq.net

Anda mungkin juga menyukai