Anda di halaman 1dari 4

Nama : Leonardo T manurung NPM : 110110090212 Kelas : D Dosen : Atip Latipulhayat, S.H., LL.M., Ph.D.

Miranda Risang Ayu, S.H., LL.M., Ph.D

HAM DALAM ASPEK HUKUM PIDANA INDONESIA

Perdebatan tentang hukuman mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di Indonesia. hukuman mati menjadi wacana pro dan kontra di Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Bagi yang kontra didasarkan pada alasan atau menyangkut HAM (Hak Asasi Manusia), salah satunya ialah hak manusia untuk hidup hal ini didasarkan pada Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan. ini terkait dengan pandangan Hukum Kodrat yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (nonderogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum atau dalam situasi darurat. Sebagai hak yang dianugerahkan Tuhan, hak hidup tidak bisa diambil oleh manusia manapun meski atasnama Tuhan sekalipun. berangkat dari alasan inilah maka hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Sebaliknya bagi yang pro berpendapat bahwa penjatuhan hukuman mati tidak ada hubungannya dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). sebab segala bentuk hukuman pada dasarnya melanggar hak asasi orang. Penjara seumur hidup itu juga merampas hak asasi, sebab pemidanaan dijatuhkan dengan melihat tindak pidana atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Hukuman mati dilakukan terhadap pelanggaran norma hukum yang mengancam suatu perbuatan sehingga harus dihukum demikian. Secara normatif hukuman mati diterapkan di negara-negara modern khususnya Indonesia atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan subversi, makar, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain. Dengan demikian

pantaslah orang yang melakukan demikian dijatuhi hukuman mati. 1. Hak Asasi Manusia (HAM) Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM). Di dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga dapat dipahami bahwa Indonesia sangat menekankan pentingnya perlindungan Hak Asasi Manusia. Di dalam Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua dijelaskan: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Di dalam Pasal 28 I ayat (4) UndangUndang Dasar 1945 amandemen kedua dijelaskan: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum yang berlaku surat adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28 A dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua merupakan pengaturan hak asasi manusia, perbedaanya pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua hanya mengatur tentang hak hidup seseorang tetapi Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Baik dalam keadaan normal (tidak dalam keadaan darurat, tidak dalam

keadaan perang atau tidak dalam keadaan sengketa bersenjata) maupun dalam keadaan tidak normal (keadaan darurat, dalam keadaan perang dan dalam keadaan sengketa bersenjata) hak hidup tidak dapat dikurangi oleh Negara, Pemerintah, maupun masyarakat. Hak hidup bersifat non deregoble human right artinya hak hidup seseorang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun. Hak hidup tidak bersifat deregoble human right artinya dapat disimpangi dalam keadaan daraurat atau ada alasan yang diatur di dalam peraturan perundang undangan, misalnya melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati. Dari pembahasan tentang Hak Asasi Manusia diatas dapat disimpulkan bahwa Negara menjamin hak hak asasi tiap tiap warga negaranya yang terdapat dalam Undang-Undang 1945. 2. Hukuman Mati Dilihat Dari Sistem Hukum Indonesia Dalam pasal 10 KUHP di cantumkan secara tegas jenis-jenis pidana yang akan dijatuhkan terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana. Salah satu jenis pidana dan merupakan pidana terberat yang dicantumkan dalam pasal 10 itu adalah pidana mati. Berdasarkan ketentuan pasal 10 tersebut, maka dapat dipahami bahwa pidana mati merupakan salah satu jenis pidana yang secara yuridis formal berlaku di Indonesia, kendatipun senantiasa menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli hukum. Bahkan, sebagaimana menurut Andi Hamzah, delik/tindak pidana yang dapat diancam pidana mati dalam hukum nasional yang berlaku di tanah air saat ini semakin banyak. Sebab di luar KUHP ternyata juga tercantum ancaman pidana mati tersebut. Penarapan pidana mati dalam sistem hukum nasional (KUHP) Indonesia, pada peraktiknya sangat diupayakan sebagai alternative terakhir. Karena itulah dalam KUHP ancaman pidana mati itu selalu diikuti dengan pidana yang lain sebagai alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup, atau penjara selama 20 tahun. Bahkan eksekusi mati itu harus melalui persetujuan (Fiat executie) presiden. Adanya penolakan garasi oleh presiden, barulah eksekusi itu boleh dijalankan

Ketentuan yang terkait dengan proses penjatuhan pidana mati seperti diatas merupakan filter yang agak ketat untuk terlaksananya eksekusi mati dalam hukum positif Indonesia, kendatipun pidana terberat itu pada dasarnya diatur secara tegas sebagaimana yang tercantum dalam pasal 10 KUHP tersebut. Adanya filter terhadap pelaksanaan eksekusi mati itu yidak terlepas dari hakikat pemidanaan itu sendiri yaitu bertujuan unyuk mengarahkan si terpidana kearah kebaikan. Dimana tujuan ini tidak akan terwujut apabila ia terlanjur dieksekusi mati. Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut menandatangani Deklarasi Universal HAM dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, keduanya secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya. Pentingngnya ratifikasi Kovenan Sipil Politik ini tidak diikuti pula dengan ratifikasi Protokal Tambahan Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik tentang Pengahapusan Hukuman Mati. Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama.

Anda mungkin juga menyukai