Anda di halaman 1dari 8

Shock anafilaktik Definisi Shock1: Perfusi inadekuat jaringan organ vital.

Hipotensi biasanya terjadi tapi tidak selalu terjadi. TD terlambat menurun pada anak-anak dan atlet, sehingga resusitasi tidak boleh menunggu TD menurun1. Jenis shock: Hipovolemi: perdarahan, kehilangan cairan (luka bakar, vomitus, diare, poliuri), 3rd space fluid loss, adrenal failure Kardiogenik: Infark miokard, disesksi aorta thoracica, cardiac dysrhytmia, acute valvular regurgitation/acute VSD, Drug overdose (mis, antidepresan), miokarditis Anafilaktik: riwayat penggunaan obat, alergi makanan, gigitan serangga Obstruktif: tamponade kardiak, emboli paru, tensin pneumothorax Vasodilatasi sistemik: sepsis, liver failure, overdose (mis, Ca Channel blocker, obat yang menyebabkan gagal multiorgan mis, paracetamol), adrenal failure1 Definisi shock anafilaktik: Shock yang disebabkan karena mediator yang dikeluarkan basofil dan sel mast, reaksi hipersensitifitas tipe 1. Terjadi mengenai multiorgan system. Gejala yang biasanya ditemui adalah urtikari, angioedema, bronkospasme, hipotensi2. Penyebab2:

Bahan latex seperti:

Patofisiologi: Pelepasan mediator granul sel mast dan basofil (histamin, tryptase, heparin, chymase, dan sitokin juga metabolit arakidonat seperti prostaglandin dan leukotrin). Histamin merupakan mediator utama shock anafilaktik, gejala yang disebabkan terikatnya histamin ke reseptor H1 -> pruritus, rhinorhea, takikardi, bronkospasme. Terikatnya histamin pada H1 dan H2 -> nyeri kepala, flushing, dan hipotensi. Selain histamin, metabolit asam arakidonat termasuk prostaglandin, terutama PGD2 dan leukotrin, terutama LTC4. PGD2 menyebabkan bronkospasme, dan dilatasi vaskular. LTC4 yang dikonversi menjadi LTD4 dan LTE4, memediasi hipotensi, bronkospasme, dan sekresi mukus dan sinyal kemotaktik eosinofil dan neutrofil. Jaur lain yang menyebabkan anafilaksis adalah sistem komplemen, sistem kalikrein kinin, clotting cascade dan sistem fibrinolitik3. Umumnya anafilaktik diakibatkan oleh terikatnya antigen pada IgE permukaan sel mast, tetapi bisa juga disebabkan oleh IgG, disebut non IgE mediated. Misal pada pemberian produk darah, IVIg, antiserum hewan, dapat mengaktifkan sistem komplemen. Produk yang terbentuk adalah plasma-activated complement 3 (C3a), plasma-activated complement 4 (C4a), dan plasma-activated complement 5 (C5a) yang bersifat anafilatoksin karena mampu menyebabkan degranulasi sel mast/basofil. C5a juga bersifat kemotaktik yang akan menarik eosinofil dan neutrofil2. Mekanisme lain melibatkan IgG, misal pada pemberian determinan immunoglobulin murin pada infliximab dan dextran dalam vaksin atau formulasi highmolecular-weight iron dextran. Anaflaksis juga dapat dipicu oleh sistem komplemen dan koagulasi misalnya pada pemberian oversulfated condroitin sulfate-cntaminated heparin dapat memicu pengaktifan komplemen C3a dan C5a, dan sistem koagulasi melalui faktor XII yang dapat menyebabkan pembentukan kalikrein dan bradikinin. Pemicu anafilaksis juga dapat dipicu oleh penyebab non imun misalnya kelelahan dan exposure terhadap air dingin6. Pada anaffilaksis IgE mediated proses dimulai dengan sensitasi alergen, kemudian sel B akan membentuk antibodi IgE yang terikat pada reseptor FcR1 di permukaan sel mast/basofil, jika pasien kembali terpapar oleh alergen tadi maka alergen akan terikat dengan IgE dan terjadi degranulasi sel mast/basofil disertai pelepasan mediator. Subtipe limfosit yang paling berperan dalam anafilaksis adalah (CD4+ Th2 T-cells) yang berperan sentral terhadap pembentukan IgE. Sel T CD4+ memiliki 2 tipe yaitu T-helper 1 (Th1) atau Th2, yang

dibentuk berdasarkan rangsang sitokin yang ada. Th1 berperan dalam imunitas seluler dan produksi interferon gamma (IFN ) dan Th2 berperan dalam imunitas humoral dan berperan dalam respon alergik. Sitokin yang menyebabkan pembentukan Th2 adalah IL-4, IL-5, IL-9, dan Il-13. Terutama IL-4 yang merupakan isotipe switch factor untuk sel B menghasilkan IgE. Th-1 bekerja menghambat Th2, sitokin IL-12 merangsang pembentukan Th1 dan menghambat pembentukan IgE. IFN yang dihasilkan Th1dan IL-18 yang dihasilkan makrofag menghambat produksi IgE3. Gejala klasik: Dapat dibagi menjadi 4 gejala yaitu mukokutaneus, respirasi, kardiovaskuler, dan GIT. Reaksi pada mukokutaneus biasanya urtikari, angioedema, pruritus, dan flushing. Gejala respirasi umumnya dispneu, throat thightness, stridor, wheezing, rinorrhea, hoarseness, dan batuk. Kardiovaskuler termasuk hipotensi, takikardi, dan sinkop. Manifestasi GIT seperti nausea, vomitus, abdominal cramps,dan diare3. Kematian karena shock anaphylactic disebabkan oleh obstruksi jalann napas dan kolaps kardiovaskuler, semakin cepat onset semakain parah gejalanya. Faktor lain seperti asthma juga memperparah prognosis4. Anaphylaxsis dapat timbul daam hitungan menit, biasanya terjadi setelah 1 jam pasien terpapar antigen. gejala biasanya uniphasic (pasien mengalami 1 kali serangan kemudian hilang dan tidak pernah ada serangan ulang setelah pemberian pengobatan pertama), tetapi 20% pasien akan mengalami serangan biphasic dengan masa asimptomatik selama 1-8 jam (dapat sampai 36 jam atau 72 jam , tetapi rata-rata 10 jam), 1/3 serangan kedua lebih parah daripada serangan pertama4,5. Untuk alasan tadi maka pasien harus diobservasi minimal 4-8 jam, pada pasien dengan gejala yang lebih parah atau gejala refrakter maka pengawasan lebih lama5. Diagnosis: biasanya jarang diperlukan pemeriksaan penunjang, riwayat dan gejala klinis sudah mampu menegakan diagnosis2. Beberapa keadaan yang dapat menyerupai shock anafilaktik adalah refleks vasovagal, feokromositoma, cardiac arrhytmias, panic attacks, dan seizure. Pemeriksaan laboratorium yang mampu memperkuat anafilaksis adalah serum tryptase dan urin N-methylhistamin; skin testing dan IgE in vitro test 2,3. Sebuah kriteria diagnosis coba dimunculkan, walaupun semua kriteria diagnosis tidak akan tepat 100%, dapat dilihat pada tabel di bawah ini5:

Manajemen: obat utama adalah epinerfin, sedangkan obat lain seperti kortikosteroid, antihistamin tidak dapat menggantikan epinerfin1 Jaga jalan napas: intubasi jika perlu1. Berikan 100% oksigen, jika hipoksemia refrakter, lakukan intubasi dan ventilasi1 Baringkan pasien dengan kepala lebih rendah, jika hipotensi1 Injeksi 0,3-0,5 mg 1:1000 epinerfin IM di m.vastus lateralis, kalau tidak bisa lakukan di m.deltoid, berikan ulangan tiap 5-15 menit berdasarkan tekanan darah dan heart rate1,3,5. Pemberian SC absorpsinya tidak tentu1. Jika terdapat jalur intra vena bisa diberikan 0,01 mg IV (0,2 mikrogram/kgBB), efek epinerfin lebih besar. Jika cardiac arrest berikan 1 mg epinerfin IV1,3,5. SC diberikan jika tekanan sistol masih >100 mmHg (MAP 65> mmHg) dimana sirkulasi di kulit masih baik. Jika sistol <100 mmHg berikan IM, jika tekanan darah tidak teraba maka berikan IV7. Berikan aminophyline dengan dosis 5 mg/kgBB perlahan selama 20 menit. Berikan maintenance 0,4-0,9 mg/kgBB/jam. Efek aminophyline adalah bronkodilator, sinergisme dengan epinerfin, meningkatkan cAMP untuk stabilisasi sel mast7. Berikan agonis untuk melawan efek bronkokonstriksi yang refrakter terhadap epinerfin, misal albuterol5. Berikan nebulizer jika perlu7. Berikan cairan kristaloid atau koloid IV, diberikan pada kasus hipotensi berat refrakter. Dosis disesuaikan dengan kondisi pasien. Boleh memberikan bolus 20 ml/KgBB pada kasus hipotensi berat. Pada 5-10 menit awal 35% cairan dalam intravaskular keluar ke interstitil. Awasi pasien, jika terdapat gejala pernapasan maka berikan terapi cairan yang kurang agresif5. Pemberian antihistamin kurang efektif. Diberikan sebagai terapi lini kedua. Onset antihistamin lambat. Pemberian difenhidramin 25-50 mg oral atau IV. Jika AH-1 dikombinasi dengan AH-2 maka efeknya akan lebih besar. Obat AH-2 biasanya adalah ranitidin. Antihistamin diberikan untuk mengatasi keluhan mukokutaneus5. Pemberian kortikosteroid ditujukan untuk mencegah timbulnya reaksi bifasik meskipun tidak selalu berhasil. Pemberian metilprednisolon 1-2 mg/kgBB setiap 6 jam atau prednison 1 mg/kgBB untuk serangan yang lebih ringan5.

Glukagon diberikan jika pasien refrakter terhadap epinerfin atau pada pasien yang meminum blocker. Glukagon memiliki efek agonis tanpa melewati reseptor Pemberian 1-5 mg (10-20 mikrogram/kgBB; dosis maksimal 1 mg pada anak). Diteruskan infusan 4-15 mikrogram/menit4,5. Lakukan pengawasan untuk mengatasi serangan ulangan, minimal awasi selama 4 jam7. Sumber lain mengatakan 4-8 jam6.

1.Acute medicine; Shock; harvard. 2004 2.Anaphylactic shock; e medicine. 2012 3. Johnson RF, Peebles S (2004). Anaphylactic Shock: Pathophysiology, Recognition, and Treatment. Semin Respir Crit Care Med. 6: 695-703 4. Ellis AK, Day JH (2003). Diagnosis and management of anaphylaxis. CMAJ. 169 (4): 30712 5. Sampson et al. (2006).Second symposium on the definition and management of anaphylaxis: Summary reportSecond National Institute of Allergy and Infectious disease/Food Allergy and Anaphylaxis Network symposium. J Allergy Clin Immunol .117:391-7 6. Simons (2009). Anaphylaxis: Recent advances in assessment and treatment. J Allergy Clin Immunol.124:625-36 7. kuliah shock anafilaktik dr.Purwoko SpAn. 2012

Tes untuk Alergi

Skin prick test: digunakan untuk melihat adanya reaksi alergi cepat 15-20 menit. Merupakan cara teraman dan tercepat. Alergen di jatuhkan ke kulit, kemudian alergen ditusukan dan digoreskan dengan jarum agar alergen masuk ke dalam kulit. Jika negatif, dapat dilakukan intradermal skin test. Intradermal skin test: injeksi 0,02-0,05 ml alergen intrakutan. Cara penghitungan: hitung 15-20 menit untuk reaksi cepat, dan 24-72 jamuntuk late reaction. Reaksi positif jika dalam 15-20 menit adalah adanya wheal dengan d>3mm disertai kemerahan. Untuk late reaction dinilai diameter eritema, papulasi, eritema, bengkak, infiltrat eritematous, eritema saja, eczema dengan papulasi atau vesikel. Adanya infiltrasi eritema merupakan petunjuk reaksi positif. Skin patch test: menempelkan alergen dengan fine chamber selama 1 hari, hasil dilihat pada hari ke 1 atau 2,3,dst. Untuk pasien yang diketahui memiliki alergi berat misal TENS, SJS maka dosis yang digunakan harus didilusi 1/10-1/100000. Jangan gunakan dosis tertinggi.

Photopatch test: modifikasi dari patch test, digunakan bila dicurigai adanya reaksi fototoksik atau fotoalergik. Setelah satu hari patsh test dibuga kemudian kulit diradiasi dengan 5-10 J/cm2 UVA. Tes dilihat setelah 2-4 hari. Tidak digunakan pada pasien yang pulang berlibur berjemur.

Brockow k, romano A, Blanca M, Ring J, Pichler W, Demoly P (2002). General considerations for skin test procedures in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy: 57: 4551

Anda mungkin juga menyukai