Anda di halaman 1dari 7

Integrasi Rencana Penanggulangan Bencana pada Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai Upaya Penanggulangan Bencana

oleh: Muhammad Fauzi Ibrahim Hasan

Abstraksi
Bencana yang terjadi di Indonesia menuntut pemerintah melakukan upaya-upaya taktis, sistematis, terukur, terencana, dan komprehensif dalam penanggulangannya. Upaya itu harus dilakukan secara integratif dengan bertumpu pada rencana pembangunan daerah yang dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Makalah ini akan membicarakan masalah tersebut dengan tujuan menjelaskan hubungan antara RPB dan RTRW. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah kualitatif yang didukung oleh kajian pustaka. Dengan metode demikian, hasil yang diharapkan adalah terbentuknya zonasi kawasan layak huni dan tidak layak huni.

Kata kunci: Rencana Penanggulangan Bencana, Rencana Tata Ruang Wilayah, dan Integrasi RPB dan RTRW.

Pendahuluan Berbagai bencana alam yang terjadi di tanah air dalam beberapa tahun terakhir dan dampak yang ditimbulkannya pada beberapa kota telah menyadarkan bangsa Indonesia bahwa negara ini terletak di zona rawan bencana. Keberadaan tiga lempeng bumi yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara di dunia yang dilalui oleh ketiga lempeng bumi yang sangat rentan terhadap dampak pergerakan bumi. Menurut Mukaryanti (2005:125), seorang Planolog dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), sebagian besar wilayah pesisir Indonesia mulai dari pesisir barat Sumatera, pesisir selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara berada relatif dekat dengan subduction zone. Subduction zone dimaknai sebagai kawasan yang menjadi tempat pertemuan lempeng benua dan lempeng samudera yang bersifat menujam dan potensial menimbulkan tsunami besar setiap periode tertentu. Dengan demikian, kota-kota pantai di Indonesia merupakan kota yang rentan terhadap bencana alam tsunami. Tidak hanya bencana tsunami maupun gempa bumi, berbagai bencana lainnya seringkali dikaitkan dengan penataan ruang kota yang tidak baik sehingga menimbulkan kerugian materil bahkan korban jiwa. Terjadinya banjir di Jakarta pada tanggal 2 April 2012 berakibat ratusan rumah terendam banjir, sebagian masyarakat mengungsi, dan kemacetan parah di beberapa tempat1. Dalam buku Konstruksi Masyarakat Tangguh Bencana (2012) disebutkan bahwa terjadi perubahan
1

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/04/m1xgiq-banjir-mengepung-jakarta, diakses pada tanggal 2 Juli 2012

penggunaan lahan yang signifikan dari lahan pertanian utama dan budidaya menjadi daerah perkotaan baru dan kawasan industri. Kawasan di pinggiran Kota Jakarta juga mengalami dampak perubahan penggunaan lahan. Sementara itu di pusat kota telah terjadi konversi lahan hunian menjadi perkantoran dan kawasan bisnis, serta penurunan kawasan hijau dan lahan terbuka dari sekitar 28,8 persen dari total area pada tahun 1984 menjadi berkisar 6,2 persen pada tahun 2007 (seperti yang diungkapkan oleh Firman dan dikutip oleh Indiyanto dalam Konstruksi Masyarakat Tangguh Bencana, 2012). Selain itu, terjadi pula banjir bandang di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Selain mengakibatkan 2 korban jiwa, juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo, menyebutkan beberapa kerugian materi lainnya2. Kemudian kerugian materil yang lain adalah dua rumah hanyut, satu rumah rusak berat, daua rumah rusak sedang, satu jembatan putus. Selain itu juga puluhan hektar lahan pertanian sawah khususnya terendam banjir dan lumpur. Upaya telah dilakukan BPBD Kabupaten Bima dan instansi terkait masih melakukan pendataan dan penanganan darurat serta terus melakukan pencarian korban yang belum ditemukan dari kemarin, ujar Sutopo. Banjir bandang juga terjadi di Kabupaten Garu, Jawa Barat pada tanggal 7 Mei 2011 hingga menelan korban 12 orang meninggal dunia, 6 orang hilang, dan 1 orang luka berat3. Beberapa contoh kejadian tersebut diindikasikan disebabkan oleh penataan ruang wilayah dan kota yang tidak menghiraukan kaidah-kaidah lingkungan sebagai salah satu faktor pertimbangan dalam perencanaan tata ruang. Berbagai bencana yang terjadi semakin menuntut pemerintah untuk segera mengambil tindakan terukur dalam penanggulangannya. Membuat suatu kota dan wilayah terhindar dari bencana alam tentunya suatu hal yang tidak mungkin dilakukan karena bencana alam merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari. Namun hal yang dapat dilakukan adalah mengurangi potensi dampak merugikan yang timbul karena bencana tersebut. Salah satu upaya yang dapat ditempuh pemerintah adalah mengintegrasikan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Rencana Penanggulangan Bencana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Lebih lanjut UU tersebut juga menyebutkan tentang perencanaan
2

http://www.kbr68h.com/galeri-foto/25953-korban-tewas-banjir-bandang-di-bima-belum-ditemukan, diakses pada tanggal 2 Juli 2012 3 http://www.technology-indonesia.com/bencana/bencana-kebumian/189-banjir-bandang-terjang-kabupaten-garut-korbanjiwa-dan-kerusakan-tak-terelakkan, diakses pada tanggal 2 Juli 2012

penanggulangan bencana yang diatur dalam pasal 36. Pasal 36 ayat (1) menyebutkan bahwa perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Kewenangan yang dimaksud adalah Pemerintah (Pemerintah Pusat) berwenang menetapkan perencanaan penanggulangan bencana dalam ruang lingkup nasional, sedangkan pemerintah daerah memiliki wewenang menetapkan perencanaan penanggulangan bencana dalam ruang lingkup wilayah otonom yang dimiliki. Ayat (2) menyebutkan penyusunan perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Badan. Badan yang dimaksud adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk tingkat nasional dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk tingkat provinsi dan kabupaten. Pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyusunan data tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan dokumen resmi yang berisi program kegiatan penanggulangan bencana. Selanjutnya dalam ayat (4) disebutkan bahwa perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (a) pengenalan dan pengkajian ancaman bencana; (b) pemahaman tentang kerentanan masyarakat; (c) analisis kemungkinan dampak bencana; (d) pilihan tindakan pengurangan risiko bencana; (e) penentuan mekanisme kesiapan dan penanggualgan bencana; dan (f) alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia. Sementara itu pasal 39 menyatakan bahwa pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 35 huruf d dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat dan daerah. Pasal-pasal yang disebutkan di atas menjadi dasar bagi pemerintah dalam menyusun dokumen RPB baik yang berskala nasional, provinsi, maupun kabupaten. Berdasarkan pengalaman penulis yang pernah terlibat dalam penyusunan dokumen RPB Provinsi Maluku Utara, pada tahun 2011, pemerintah pusat melalui BNPB telah melakukan penyusunan dokumen RPB di 33 provinsi. Selanjutnya pada tahun 2012, BNPB mulai melakukan penyusunan RPB untuk beberapa kabupaten. Rencana Tata Ruang Wilayah Terkait penataan ruang, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa perencanaan tata ruang merupakan suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Berdasarkan makna yang terkandung dalam definisi tersebut, maka (RTRW) dapat dikatakan sebagai hasil perencanaan tata ruang suatu wilayah. Tarigan (2005:58) menyebutkan bahwa perencanaan tata ruang wilayah adalah suatu proses yang melibatkan banyak pihak dengan tujuan agar penggunaan ruang memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan terjaminnya kehidupan yang berkesinambungan. Penataan 3

ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarkat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan tersebut. Penataan ruang wilayah dilakukan pada tingkat nasional (RTRW Nasional), tingkat provinsi (RTRW Provinsi), dan tingkat kabupaten (RTRW Kabupaten). Setiap rencana tata ruang harus mengemukakan kebijakan makro pemanfaatan ruang berupa tujuan pemanfaatan ruang, struktur dan pola ruang, serta pola pengendalian pemanfaatan ruang. Tujuan penataan ruang adalah menciptakan hubungan yang serasi antara berbagai kegiatan di berbagai subwilayah agar tercipta hubungan yang harmonis dan serasi. Hal ini akan mempercepat proses tercapainya kemakmuran dan terjaminnya kelestarian lingkungan hidup. Struktur ruang menggambarkan pola pemanfaatan ruang dan kaitan antara berbagai ruang berdasarkan pemanfaatannya. Pola pemanfaatan ruang adalah tergambarkannya pemanfaatan ruang secara menyeluruh. Pola pengendalian pemanfaatan ruang adalah kebijakan dan strategi yang perlu ditempuh agar rencana pemanfaatan ruang dapat dikendalikan menuju sasaran yang diinginkan. Dalam implementasi rencana tata ruang, Tarigan (2005:58-59) mengemukakan bahwa perencanaan ruang pada tingkat nasional hanya mencapai kedalaman penetapan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional. Sementara itu untuk perencanaan ruang pada tingkat provinsi merupakan penjabaran RTRW Nasional yang berupa arahan-arahan pengelolaan kawasan, arahan pengembangan kawasan, serta arahan kebijakan penataan lahan maupun sumber daya alam lainnya. Kedalaman perencanaan tata ruang di tingkat kabupaten menggambarkan rencana peruntukan lahan untuk masing-masing kawasan, langkah-langkah untuk mencapai rencana tersebut, strategi pengelolaan kawasan serta cara pengendalian dan pengawasannya. Esensi Integrasi RPB dan RTRW Indiyanto (2012:7-8) menyebutkan bahwa United Nations-International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) mengelompokkan bencana (bahaya) ke dalam lima aspek yaitu: 1). Bahaya beraspek geologi, yaitu gempa bumi, tsunami, gunung api, gerakan tanah (tanah longsor). Daerah rawan gempa bumi di Indonesia tersebar pada wilayah yang terletak pada atau dekat dengan zona penunjaman lempeng tektonik dan sesar aktif. Gempa yang berpengaruh pada atau memicu kejadian tsunami umumnya berupa gempa dangkal dengan kedalaman sekitar 50 kilometer. 2). Bahaya beraspek hidrometeorologi, antara lain banjir, kekeringan, angin topan, dan gelombang pasang. Banjir umumnya disebabkan oleh tingginya curah hujan di atas normal yang melebihi daya tampung sungai dan jaringannya. Selain itu, perilaku manusia sepanjang hulu sungai hingga ke hilir mengakibatkan peningkatan air permukaan. 3). Bahaya beraspek lingkungan, antara lain kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, dan pencemaran limbah. 4

4). Bahaya beraspek biologi, antara lain wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman dan hewan/ ternak. Beberapa indikasi awal terjadi endemik misalnya flu burung, antraks, serta beberapa penyaki hewan lainnya yang mengakibatkan kerugian bahkan kematian. 5). Bahaya beraspek teknologi antara lain kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, dan kegagalan teknologi. Seluruh jenis bahaya/ bencana di atas harus menjadi bagian dari perencanaan penanggulangan bencana. Maksud yang dikedepankan dalam integrasi RPB dan RTRW adalah pemetaan kawasan rawan bencana secara tepat menjadi salah satu kawasan prioritas pertimbangan dalam perencanaan pembangunan wilayah dan kota. Dalam aturan perundang-undangan, kawasan rawan bencana dikategorikan sebagai kawasan lindung. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa beberapa kejadian bencana, seperti banjir, gempa bumi, dan tsunami, tidak hanya terjadi di kawasan lindung, namun juga berdampak di kawasan budidaya, mulai dari kawasan pesisir hingga dikawasan budidaya seperti kawasan permukiman. Dalam perspektif pengurangan risiko bencana, perencanaan pembangunan perlu diarahkan untuk mengurangi risiko bencana. Penentuan fungsi ruang perlu dilakukan tahapan-tahapan identifikasi keruangan/ spasial yang meliputi (1) identifikasi zona-zona ancaman; (2) identifikasi kerentanan fisik, ekonomi, sosial, dan lingkungan; dan (3) identifikasi risiko bencana. Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek kerentanan terhadap bencana baik fisik, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Perencanaan tata ruang yang optimal dapat meningkatkan fungsinya sebagai manfaat dibanding risiko bencana, sehingga perlu adanya strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membatasi perkembangan kegiatan budi daya terbangun di kawasan rawan bencana untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana (PP No. 26 tahun 2008 Pasal 8 ayat (3a)). Dalam fungsinya, kawasan yang masuk ke dalam Kawasan Rawan Bencana Alam mendapat perhatian khusus untuk dikategorikan menjadi Kawasan Lindung (PP No. 26 Tahun 2008 Pasal 51 huruf (d)), sehingga pengembangan kawasan permukiman harus berada di luar Kawasan Rawan Bencana (PP No. 26 Tahun 2008 Pasal 71 ayat (1a)). Pembatasan zonasi untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya disusun dengan memperhatikan pembatasan pemanfaatan ruang di sekitar kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana alam (PP No. 26 Tahun 2008 Pasal 98 huruf (c)). Peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam geologi disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana seperti gempabumi, tsunami, gunung api, longsor dan bencana geologi lainnya (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 105 huruf (a)). Pemanfaatan ruang untuk kawasan rawan bencana tsunami ditentukan melalui 5

pengkajian karateristik ancaman dan pembatasan zonasi kawasan rawan bencana meliputi kawasan rawan bencana tsunami tinggi, sedang dan rendah. Ruang yang dapat dimanfaatkan di kawasan rawan bencana tsunami sebagai kawasan lindung bencana geologi meliputi ruang untuk pariwisata pantai, infrastruktur mitigasi tsunami, alat komunikasi dan informasi tsunami, alat peringatan dini, penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk dan pembatasan pendirian bangunan dan permukiman, kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum (PP No. 26 Tahun 2008 Pasal 105 huruf (b dan c)). Kesimpulan Delineasi zona rawan bencana harus jelas tampak pada peta rencana tata ruang wilayah. Dengan demikian, dapat diketahui lahan yang layak huni maupun tidak layak huni. Selain itu, dapat ditentukan jenis aktivitas yang sesuai dengan perbedaan kategori zona rawan bencana. Peruntukan dan pemanfaatan lahan pada zona tersebut harus dikendalikan, mulai dari zona dengan kerentanan bencana paling tinggi, rendah, dan sedang. Kawasan pesisir dikembangkan dengan konsep mengembalikan fungsi lindungnya seoptimal mungkin, melalui alokasi ruang-ruang untuk melindungi daratan dari hantaman gelombang tsunami, baik yang bersifat soft, protection (hutan mangrove dan perkebunan kelapa), dan hard protection (bangunan pemecah gelombang/ breakwater). Bagi kawasan pusat kota, fasilitas-fasilitas pelayanan yang vital, seperti rumah sakit, pusat logistik, pusat data, pusat pembangkit listrik, serta industri yang berpotensial terbakar dan menghasilkan polutan berbahaya harus berada di luar zona rawan bencana. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa integrasi RPB pada RTRW menjadi salah satu upaya dalam penanggulangan bencana, terlebih lagi dalam mengurangi risiko bencana yang muncul di suatu wilayah. Integrasi ini dapat mengurangi korban materil dan imateril yang dapat timbul dari berbagai bencana.

Daftar Pustaka Peraturan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Buku Cahanar, P. Bencana Gempa dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam & Sumatera Utara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas PT. Kompas Media Nusantara, 2005. Indiyanto, Agus dan Arqom Kuswanjono. Konstruksi Masyarakat Tangguh Bencana. Kajian

Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Yogyakarta: Penerbit PT Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, 2012. Tarigan, Robinson. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Ed. Revisi. Jakarta: Penerbit PT. Bumi Aksara, 2005. Website http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/04/m1xgiq-banjir-mengepung-jakarta, diakses pada tanggal 2 Juli 2012. http://www.kbr68h.com/galeri-foto/25953-korban-tewas-banjir-bandang-di-bima-belum-ditemukan, diakses pada tanggal 2 Juli 2012. http://www.technology-indonesia.com/bencana/bencana-kebumian/189-banjir-bandang-terjangkabupaten-garut-korban-jiwa-dan-kerusakan-tak-terelakkan, diakses pada tanggal 2 Juli 2012.

Anda mungkin juga menyukai