Anda di halaman 1dari 10

Perjanjian Bisnis Internasional Perjanjian Bisnis merupakan suatu perjanjian dalam bentuk tertulis dimana klausula-klausula yang disetujui

oleh para pihak yang terikat didalamnya terdapat unsur bisnis yang berarti bernilai komersial. Dengan kata lain, Perjanjian bisnis adalah perjanjian tertulis antara dua pihak atau lebih yang mempunyai nilai komersial. Sedangkan Internasional berarti antar Negara, Jadi dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Bisnis Internasional adalah suatu perjanjian tertulis antara pribadi atau badan hukum mengikatkan diri dengan pribadi atau badan hukum lain yang berada di dua Negara berbeda yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda yang merupakan transaksi lintas Negara yang mana klausula-klausula disetujui antara pihak yang terkait yang di dalamnya terdapat unsur bisnis atau nilai komersial dalam perjanjian tersebut. Suatu perjanjian bisnis internasional apabila suatu perjanjian tersebut mengandung unsurunsur asing, baik ditinjau dari segi pihak-pihaknya maupun ditinjau dari segi substansi perjanjiannya. Contohnya apabila melibatkan disatu pihak pribadi atau badan hukum yang tunduk pada hukum Malaysia dengan pihak lain pribadi atau badan hukum yang tunduk pada hukum Indonesia maka bisa dikatakan perjanjian bisnis tersebut merupakan perjanjian bisnis internasional. Adapun jenis-jenis Internasional antara lain : 1. Perjanjian jual beli (sales contracts), 2. Perjanjian investasi (investment contracts), 3. Perjanjian pembiayaan (financing contracts) 4. Perjanjian di bidang jasa (services contracts). Jenis-jenis perjanjian Internasional tersebut biasanya saling melengkapi. Oleh karena itu masalah yang kemudian timbul bukan karena didasari dari jenis-jenis perjanjian tersebut melainkan dari segi hukumnya. Dalam hal ini mengenai hukum apa yang diterapkan dalam perjanjian tersebut. Dengan ini hal-hal yang perlu ditentukan lebih dahulu sebelum melakukan suatu perjanjian bisnis Internasional dibedakan dalam 3 bentuk yakni : Perjanjian Bisnis

1. Masalah Governing Law ( Hukum yang Berlaku) dan Choice Of Law (Pilihan Hukum). Perjanjian bisnis internasional ada apabila dalam suatu perjanjian bisnis terdapat unsur-unsur asing, baik disebabkan karena salah satu pihak dalam perjanjian itu tunduk pada hukum yang berbeda dengan pihak yang lain maupun karena substansi perjanjian itu tunduk pada hukum negara lain. Yang dimaksud dengan governing law ialah hukum yang menguasai perjanjian bisnis internasional yang bersangkutan. Jika para pihak tidak menentukan hukum apa yang akan dipilih, maka hukum yang akan menguasai perjanjian bisnis internasional yang bersangkutan ditentukan oleh Pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara itu. Pedoman yang digunakan untuk menentukan ialah kaidah hukum privat intenasional dari sistem hukum dari negara dimana pengadilan itu terletak. Akan tetapi jika pihak-pihak yang terikat dalam suatu perjanjian bisnis internasional sejak semula sudah menentukan hukum apa (Negara mana) yang mereka pilih, maka dengan batasan-batasan tertentu, hukum yang dipilih itulah yang digunakan oleh pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara itu. Mengenai pilihan hukum ini dinamakan choice of law. Pilihan hukum dapat diibaratkan suatu kaca mata. Jika kita menggunakan kaca mata yang lensanya berwarna merah, maka segala benda akan tampak sebagai merah. Demikian pula jika para pihak dalam suatu perjanjian bisnis internasional memilih hukum Negara tertentu, seperti umpamanya hukum Indonesia, maka perjanjian bisnis internasional itu akan dilihat dari segi kaca mata hukum serta dikuasai oleh hukum Indonesia. Masalah pilihan hukum dalam perjanjian bisnis internasional sangatlah. Sebab, hukum yang dipilih bersifat menentukan dalam hal kita menilai keabsahan suatu perjanjian bisnis internasional. Hukum yang dipilih juga menentukan syarat-sayarat dan kapan terjadinya wanprestasi serta sanksi apa yang bisa dijatuhkan pada salah satu pihak dalam hal terbukti melakukan wanprestasi.

Dalam Melakukan perjanjian bisnis Internasional, para pihak akan dihadapkan dengan pilihan hukum. Dalam penentuan pilihan hukum, dikenal beberapa prinsip dan batas pilihan hukum antara lain sebagai berikut : Partijautonomie yakni menurut prinsip ini, para pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar transaksi, termasuk sebagai dasar penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari perjanjian transaksi yang dibuat. Bonafide yakni menurut prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik (bonafide), yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi (isi perjanjian). Real Connection yakni beberapa sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih. Larangan Penyelundupan Hukum artinya kebebasan untuk melakukan pilihan pihak-pihak yang diberi hendaknya tidak

hukum,

menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi keuntungan sendiri. Ketertiban Umum maksudnya suatu pilihan hukum tidak boleh

bertentangan dengan ketertiban umum, yaitu bahwa hukum yang dipilih oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum (orde public) merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan hukum. Pada asasnya terdapat kebebasan dalam hal memilih hukum yang akan diperlakukan bagi suatu perjanjian bisnis internasional, asal saja hukum yang dipilih itu memiliki keterkaitan dengan perjanjian bisnis internasional itu tadi. Dengan demikian, umpamanya, tidak dapat dipilih hukum negara ketiga yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan perjanjian bisnis internasional tadi, baik dengan pihak-pihaknya maupun dengan substansi perjanjiannya. Demikian

pula pilihan hukum tidak dapat dilakukan untuk menyelundupi suatu larangan dalam sistem hukum tertentu yang berlaku bagi salah satu pihak yang terkait dalam perjanjian itu ataupun yang berlaku bagi subsatnsi perjanjian itu. Pilihan hukum tidak boleh dilakukan dengan melanggar asas ketertiban umum (orde public). Pilihan hukum harus dilakukan dengan itikad baik. 2. Masalah Choice of Jurisdiction (Pilihan Yurisdiksi). Suatu perjanjian yang baik, demikian pula suatu perjanjian bisnis internasional yang baik , selalu dibuat dengan antisipasi untuk menghindari sejauh mungkin suatu sengketa. Akan tetapi jika sengketa itu tidak dapat dihindari, maka perjanjian itu harus memuat klausula penyelesaiannya. Klausula penyelesaian sengketa (resolution of disputes), disatu pihak berkaitan dengan klausula pilihan hukum (choice of law) dan dilain pihak berkaitan dengan klausula pilihan yurisdiksi (choice of jurisdiction). Berlakunya hukum disuatu negara tertentu dibatasi oleh wilayah negara tertentu itu tadi. Demikian pula kewenangan sistem pengadilan suatu negara tertentu yang dapat diakui dan dilaksanakan di negara lain, karena hal itu akan bertentangan dengan asas kedaulatan negara. Kecuali tentunya apabila antara negara-negara yang bersangkutan itu tadi ada perjanjian tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan hakim asing. Memperhatikan fakta-fakta di atas, maka klausula tentang penyelesaian sengketa khususnya klausula tentang pilihan yurisdiksi selalu merupakan klausula penting dalam suatu perjanjian bisnis internasional. Karena adanya klausula itu menentukan sengketa (jika ada) akan diselesaikan dimana dan apakah putusan dari badan-badan yang menyelesaikan sengketa itu dapat dilaksanakan atau tidak.

3. Masalah pelaksanaan putusan Pengadilan atau putusan arbitrase asing. Sekalipun sudah ada pilihan yurisdiksi tidaklah berarti bahwa masalah hukum diseputar transaksi bisnis internasional sudah selesai. Pada asasnya suatu putusan hakim asing tidak dapat dieksekusi di negara kita, karena hal itu akan bertentangan dengan asas kedaulatan Negara. Sejauh mengenai pengakuan (recognition) terhadap putusan hakim asing, hingga saat ini masih diikuti pendirian dalam arrest lama dari negeri Belanda yang terkenal dengan nama Bontmantel Arrest dari tahun 1924. Luasnya pengakuan terhadap suatu putusan hakim asing sepenuhnya diserahkan pada pertimbangan hakim dalam kasus demi kasus. Sedangkan eksekusi putusan hakim asing tidak diperkenankan. Oleh karenanya dalam melakukan pilihan yurisdiksi hendaknya pihak-pihak yang terikat dalam suatu perjanjian bisnis internasional benar-benar waspada, yakni apakah putusan dari hakim dari negara yang yurisdiksinya dipilih itu tadi dapat dilaksanakan di negara pihak yang lain atau tidak. . Dalam melakukan penyusunan suatu perjanjian bisnis Internasional hal yang perlu diperhatikan adalah sistem hukum Negara yang saling mengikatkan diri untuk melakukan perjanjian. Secara umum diketahui bahwa ada beberapa sistem hukum di dunia ini antara lain yakni Civil Law, Common Law, Socialis law, Islamic Law, dan Sistem Hukum Adat. Tetapi yang dominan di pakai dalam dunia Internasional hanya sistem hukum Civil Law dan Common Law. Oleh karena itu harus jelas diperjanjikan sistem hukum apa yang dianut dalam perjanjian tersebut untuk menjadi pedoman apabila suatu ketika terjadi persengketaan antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Adapun perjanjian bisnis Internasional yang menganut sistem Common Law dalam pembuatan perjanjian di para pihak memiliki kebebasan untuk menyepakati persyaratan yang diinginkan, sepanjang persyaratan tersebut tidak melanggar kebijakan publik ataupun melakukan tindakan yang melanggar hukum. Jika ada persyaratan tertentu yang tidak tercakup, hak dan kewajiban yang wajar akan

diterapkan diambil dari ketetapan hukum yang ada atau praktek bisnis yang biasa dijalankan oleh para pihak atau industri. Biasanya kerugian di ukur dengan lost benefit of the bargain (manfaat/keuntungan yang harus di dapat yang hilang). Peraturan ini memberi kesempatan kepada satu pihak untuk menggugat kerugian sejumlah manfaat yang bisa dibuktikan yang akan diperoleh pihak tersebut jika pihak lain tidak melanggar perjanjian. Di kebanyakan jurisdiksi, salah satu pihak diminta untuk membayar ganti rugi akibat pelanggaran, yang dikenal sebagai konsekuensi kerugian. Perjanjian Bisnis Internasional menurut sistem hukum common law, memiliki unsur sebagai berikut: a. Bargain Unsur bargain dalam perjanjian common law dapat memiliki sifat memaksa. Dalam hubungannya dengan konsep penawaran dianggap sebagai ujung tombak dari sebuah perjanjian dan merupakan sumber dari hak yang timbul dari suatu perjanjian. Penawaran dalam konteks ini tidak lebih adalah sebuah transaksi di mana para pihak setuju untuk melakukan pertukaran barangbarang, tindakan-tindakan, atau janji-janji antara satu pihak dengan pihak yang lain. Karena itu, maka ukuran dari pengadilan terhadap perjanjian tersebut dilakukan berdasarkan penyatuan pemikiran dari para pihak, ditambah dengan sumber dari kewajiban mereka, dan kemudian memandang ke arah manifestasi eksternal dari pelaksanaan perjanjian tersebut. b. Agreement (Perjanjian) Penawaran dan penerimaan merupakan unsur dari suatu proses transaksi, yang ketika diterima oleh pihak lainnya akan memberikan akibat hukum dalam perjanjian. Dalam perjanjian sering ditemukan, di mana satu pihak tidak dapat menyusun fakta-fakta ke dalam suatu penawaran yang dibuat oleh pihak lainnya yang telah diterima sebagai penerimaan oleh pihak tersebut. Karena penawaran dan penerimaan adalah hal yang fundamental, maka dalam sistem common law, sangat diragukan apakah suatu pertukaran penawaran

(cross-offer) itu dapat dianggap sebagai perjanjian.Berdasarkan sistem common law, pada saat suatu perjanjian dibuat, saat itulah hak dan kewajiban para pihak muncul, hal yang demikian itu diatur dalam statute. Karena bisa saja terjadi suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan keinginan dari para pihak dan pada saat yang sama juga perjanjian tersebut tidak ada. c. Consideration Dasar hukum yang terdapat dalam suatu perjanjian adalah adanya unsur penawaran yang kalau sudah diterima, menjadi bersifat memaksa, bukan karena adanya janji-janji yang dibuat oleh para pihak. Aturan dalam sistem common law tidak akan memaksakan berlakunya suatu janji demi kepentingan salah satu pihak kecuali ia telah memberikan sesuatu yang mempunyai nilai hukum sebagai imbalan untuk perbuatan janji tersebut. Hukum tidak membuat persyaratan dalam hal adanya suatu kesamaan nilai yang adil. Prasyarat atas kemampuan memaksa ini dikenal dengan istilah consideration . Consideration adalah isyarat, tanda dan merupakan simbol dari suatu penawaran. d. Capacity Kemampuan termasuk sebagai syarat tentang, apakah para pihak yang masuk dalam perjanjian memiliki kekuasaan. Suatu perjanjian yang dibuat tanpa adanya kekuasaan untuk melakukan hal tersebut dianggap tidak berlaku. Salah satu contoh kasus dapat diuraikan putusan pengadilan dalam Quality Motors, Inc. V. Hays di mana memutuskan bahwa perjanjian tidak sah karena dilakukan oleh individu yang belum dewasa, walaupun transaksi dilakukan oleh melalui orang lain yang telah dewasa, dan surat jual belinya di sahkan oleh notaris. Dalam kasus ini terlihat bahwa pengadilan menerapkan secara tegas dan kaku ketentuan umur untuk seseorang dapat melakukan perbuatan hukum. Walaupun jual beli akhirnya dilakukan oleh orang dewasa, namun fakta menunjukkan ternyata hal tersebut dilakukan dengan sengaja untuk melanggar ketentuan perjanjian, akhirnya pengadilan membatalkan ketentuan perjanjian tersebut.

Kebanyakan dari negara yang tidak menerapkan common law memiliki sistem civil law. Civil law ditandai oleh kumpulan perundang-undangan yang menyeluruh dan sistematis, yang dikenal sebagai hukum yang mengatur hampir semua aspek kehidupan. Teori mengatakan bahwa civil law berpusat pada undang-undang dan peraturan. Undang-Undang menjadi pusat utama dari civil law, atau dianggap sebagai jantung civil law . Namun dalam perkembangannya civil law juga telah menjadikan putusan pengadilan sebagai sumber hukum. Di banyak hukum dalam sistem civil law tidak tersedia peraturan untuk menghitung kerugian karena

pelanggaran perjanjian. Standar mengenai penghitungan kerugian ini masih tetap belum jelas di banyak negara dengan civil law. Meskipun demikian pengadilan di negara-negara ini cenderung memutuskan untuk menghukum pihak yang salah tidak dengan uang, tetapi dengan pelaksanaan tindakan perjanjian tertentu. Keputusan pengadilan ini mengisyaratkan salah satu pihak untuk menjalankan tindakan tertentu yang dimandatkan oleh pengadilan, seperti mengembalikan hak milik atau mengembalikan pembayaran. Banyak sistem dari civil law memiliki mekanisme penegakan dan pamantauan agar penegakan bisa dijalankan secara efektif. Perjanjian Bisnis Internasional menurut sistem hukum civil law, memiliki unsur sebagai berikut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kebebasan kehendak yang menjadi dasar suatu kesepakatan, agar dianggap berlaku efektif harus tidak dipengaruhi oleh paksaan, kesalahan dan penipuan. Kesepakatan di antara para pihak menjadi dasar terjadinya perjanjian. Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menetukan bahwa perjanjian atau perjanjian tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh asas konsensualisme. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya.

b. Cakap untuk membuat perikatan Kebebasan kehendak sangat dipengaruhi oleh kapasitas atau

kemampuan seseorang yang terlibat dalam perjanjian. Kemampuan ini sangat menentukan untuk melakukan perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Kapasitas yang dimaksudkan dalam civil law antara lain ditentukan individu menurut umur seseorang. Di Indonesia, Philipina, dan Jepang yang dianggap telah mempunyai kapasitas untuk melakukan suatu perjanjian harus telah berumur 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi perempuan. Contohnya dalam perusahaan di Indonesia terdiri dari anggota direksi dan komisaris. Dalam melakukan kegiatannya, maka anggota direksi harus memenuhi ketentuan anggaran dasar perusahaan dan peraturan perundangundangan, yang memberikan kepadanya kapasitas dalam melakukan

penandatanganan perjanjian dan tindakan hukum lainnya. Dalam hal ini perusahaan sebagai subjek hukum dapat melakukan perjanjian melalui pengurus perusahaan. c. Suatu hal tertentu Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. . d. Suatu sebab yang halal Perjanjian tidak boleh melanggar ketentuan hukum. Suatu sebab yang halal adalah syarat terakhir untuk berlakunya suatu perjanjian. Pasal 1320 ayat 4 jo 1337 KUHPerdata menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau

bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan undang-undang adalah tidak sah. Berdasarkan uraian di atas maka mengenai suatu perjanjian bisnis Internasional dalam pelaksanaannya harus jelas pilihan hukum mana yang digunakan sebagai dasar perikatan yang dilakukan agar tidak terjadi dualisme pemahaman antara pihak-pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian bisnis Internasional dan tentunya juga untuk untuk mengantisipasi jika dikemudian hari ada pesengketaan mengenai bisnis tersebut , maka hukum yang dipilih yang akan menjadi dasar untuk penyelesaian sengketa. Terlebih jika subjek hukum yang melakukan perjanjian Internasional menganut sistem hukum yang berbeda antara Negara yang melakukan perjanjian yakni ada yang menganut sistem hukum comman law dan yang satunya menganut sistem civil law. Oleh karena itu harus diuraikan secara tegas dalam klausula-klausula perjanjian mengenai pilihan hukum yang digunakan sebagai dasar melakukan perikatan.

Anda mungkin juga menyukai