Anda di halaman 1dari 10

Fatwa Muslimah

JIKA SEORANG WANITA BERMIMPI DAN MENGELUARKAN CAIRAN YANG TIDAK MENGENAI PAKAIANNYA, APAKAH IA WAJIB MANDI Oleh Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta' ditanya : Saat saya bermimpi, saya segera sadar dan bangun untuk menahan keluarnya cairan pada pakaian saya, lalu saya keluarkan di kamar mandi, apakah wajib bagi saya untuk mandi atau cukup berwudhu saja untuk melakukan shalat dan membaca Al-Qur'an ? Jawaban Anda wajib mandi karena mimpi itu menyebabkan keluar cairan, baik mani itu Anda keluarkan di pakaian Anda ataupun di kamar mandi, karena wajib mandi pada mimpi berdasarkan pada keluarnya mani sesuai dengan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam : "Air (mandi) dikarenakan air (keluarnya mani) ", juga berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa salam pula, saat Ummu Salim bertanya kepada beliau : Sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran, apakah wajib mandi bagi wanita yang mengalami mimpi?" maka beliau bersabda' "Artinya : Ya, wajib baginya untuk mandi jika ia melihat air (mimpi itu keluarnya mani)". [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 5/307] WAJIB MANDIKAH BERSETUBUH BILA KELUARNYA MANI KARENA SYAHWAT TANPA

Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya: Wajib mandikah bagi wanita yang mengeluarkan mani karena adanya syahwat tanpa melakukan persetubuhan ? Jawaban Jika keluarnya mani dari seorang wanita baginya untuk mandi. [Al-Lajnah Ad-Da'imah, 5/311] dengan disertai rasa nikmat maka wajib

BOLEHKAH WANITA SHALAT DENGAN MENGGUNAKAN CELANA PANJANG Oleh Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : Apakah diwajibkan bagi seorang wanita unuk melaksanakan shalat dengan tidak menggunakan celana panjang, karena saya banyak melihat kaum wanita yang melakukan shalat dengan menggunakan celana panjang dan di antara mereka adalah istri saya sendiri ?

Jawaban Wanita yang melakukan shalat harus menggunakan pakaian yang dapat menutupi seluruh auratnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haidh (wanita baligh) kecuali dengan menggunakan khimar (penutup kepala).." Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salmah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Bolehkah seorang wanita melaksanakan shalat dengan menggunakan baju kurung serta khimar dan tanpa menggunakan kain sarung ?" maka beliau bersabda : "Boleh jika baju itu panjang yang dapat menutupi seluruh kedua kakinya", hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud serta dishahihkan oleh para imam. Seluruh tubuh wanita adalah aurat dalam melaksanakan shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, akan tetapi jika terdapat pria asing yang bukan mahramnya maka wanita itu harus menutup wajah dan kedua telapak tangannya itu, dan tidak ada dosa bagi wanita untuk melaksanakan shalat dengan menggunakan celana panjangnya jika selama itu suci". [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VI/175-176, fatwa nomor 4945] HUKUM MENANGGALKAN CELANA PANJANG UNTUK SHALAT Oleh Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Adakah hukum syar'i yang menunjukkan bahwa wanita harus melepaskan celana panjangnya untuk shalat bila ia menggunakan pakaian yang menutupi aurat sementara celana panjang yang dikenakannya itu suci ? Jika melepaskan celana panjang disyari'atkan, apa hikmah yang terkandung di balik ketetapan itu ? Jawaban Tidak ada dalil syar'i yang memerintahkan seorang wanita untuk melepaskan celana panjangnya ketika akan mengerjakan shalat jika celana panjang itu suci. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VI/175-176, fatwa nomor 12295]

PERBEDAAN ANTARA PANDANGAN

AURAT

DALAM

SHALAT

DENGAN

AURAT

DALAM

Oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Apakah bedanya aurat dalam shalat dengan aurat dalam pandangan .?

Jawaban Seorang wanita merdeka yang telah baligh adalah aurat dalam shalat kecuali wajahnya, bahkan disyari'atkan bagi seorang wanita untuk melakukan shalat dengan wajah terbuka, seandainya wanita shalat dengan wajah tertutup maka shalatnya adalah sah, akan tetapi dengan menutup wajahnya itu ia telah meninggalkan sesuatu yang utama jika shalat ini dilakukan seorang diri dan tanpa keberadaan pria asing. Jadi perbedaan antara aurat wanita dalam shalat dengan auratnya dalam pandangan adalah, bahwa aurat wanita dalam shalat adalah selain wajah, sedangkan pada selain shalat maka wajah merupakan bagian daripada aurat. Karena membukakan wajah adalah haram, membukakan wajah diharamkan dalam thawaf, shalat dan lain-lain. Membukakan wajah diharamkan karena dapat menimbulkan fitnah (keburukan) dan termasuk bagian keindahan-keindahan yang menggerakkan syahwat, karena di antara penggerak timbulnya syahwat adalah wajah. Walaupun memandang ke bagian tempat bersetubuh merupakan penggerak timbulnya syahwat, akan tetapi perlu diingat bahwa wajah wanita memiliki daya tarik tersendiri dalam menimbulkan syahwat. Kesimpulannya adalah bahwa mereka yang membolehkan membuka wajah pada hakekatnya mereka telah tertipu dengan membuka pintu sebesar-besarnya untuk membukakan wajah, walaupun pendapat ini telah dikemukakan oleg para imam, tapi itu berupa ijtihad, semoga mereka mendapatkan pahal dari ijtihad yang mereka lakukan dan juga mereka dapat dimaafkan atas kesalahan mereka dalam ijtihad itu, akan tetapi yang benar adalah mengikuti kebenaran dari siapapun dan bagaimanapun. [Fatawa wa Rasa'il ASy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/153]

MENGUSAP KEPALA YANG MENGGUNAKAN MINYAK RAMBUT Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita memakai minyak rambut di kepalanya lalu ia mengusap rambutnya dalam wudhu, apakah wudhunya itu sah atau tidak ?. Jawaban. Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya. "Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakikmu sampai dengan kedua mata kaki" [Al-Maidah : 6] Di sini terkandung perintah untuk membasuh anggota wudhu dan mengusap bagian yang harus disapu serta mengharuskan untuk menghilangkan sesuatu yang menghalangi mengalirnya air pada anggota wudhu, karena jika terdapat sesuatu yang dapat menghalangi mengalirnya air pada anggota wudhu, berarti orang itu belum mebasuh atau mengusap bagian itu. Berdasarkan hal ini kami katakan : Jika seseorang menggunakan minyak pada anggota wudhunya, misalnnya minyak itu akan menjadi beku hingga menjadi suatu benda padat, maka pada saat itu wajib baginya untuk menghilangkan benda padat itu sebelum ia membersihkan anggota wudhunya, sebab jika minyak itu telah berubah menjadi benda padat maka hal itu akan menghalangi air untuk sampai pada kulit anggota wudhu, dan pada saat itulah wudhunya dianggap tidak sah. Sedangkan jika minyak itu tidak berubah menjadi benda padat, sementara bekasnya masih tetap ada pada anggota wudhu, maka hal ini tidak membatalkan wudhu, akan tetapi dalam keadaan seperti ini hendaknya seseorang mengencangkan

tekanan telapak tangannya saat membasuh atau mengusap anggota wudhu tersebut, karena umumnya minyak itu bisa mengalihkan aliran air, bahkan bisa jadi bagian anggota wudhu tidak terkena air jika tidak ditekankan saat membasuh atau mengusapnya. [Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/147]

MEMBACA AL-QUR'AN BAGI WANITA HAID Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami pernah mendengar fatwa Anda yang menyatakan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita haid adalah tidak membaca Al-Qur'an kecuali untuk suatu kebutuhan, mengapa tidak membaca Al-Qur'an yang lebih utama, sementara dalil-dalil yang ada menunjukkan hal yang bertentangan dengan yang Anda katakan ? Jawaban Saya tidak tahu yang dimaksud oleh penanya, apakah ia menginginkan dalil-dalil yang dijadikan alasan oleh yang melarangnya ataukah penanya ini mnginginkan dalil-dalil yang membolehkan wanita haidh membaca Al-Qur'an, tapi yang perlu saya sampaikan di sini adalah bahwa ada beberapa hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda. "Artinya : Wanita haidh tidak boleh membaca suatu apapun dari Al-Qur'an". Akan tetapi hadits-hadits seperti ini yang menyatakan larangan bagi wanita haidh untuk membaca Al-Qur'an bukan hadits-hadits shahih, jikahadits-hadits tersebut bukan hadits-hadits shahih, maka hadits-hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak boleh melarang wanita haidh membaca Al-Qur'an hanya berdasarkan hadits-hadits yang tidak shahih ini, tapi adanya hadits-hadits seperti ini menjadikan adanya syubhat, maka berdasarkan inilah kami katakan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita haidh adalah tidak membaca Al-Qur'an kecuali jika hal itu dibutuhkan, seperti seorang guru wanita atau seorang pelajar putri atau situasi-situasi lain yang serupa dengan guru dan pelajar itu. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 2/278]

JIKA TERPAKSA TIDAK SEMPURNA MENUTUP AURAT DALAM SHALAT Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Jika keadaan memaksa seorang wanita tidak sempurna menutup aurat dalam shalatnya atau ia menutup aurat tapi tidak sesuai dengan syari'at Islam, misalnya sebagian rambutnya terlihat atau bagian betisnya nampak karena satu atau lain hal, bagaimana hukumnya .? Jawaban Yang pertama kali harus diketahui adalah bahwa menutup aurat adalah wajib bagi kaum wanita dan tidak boleh baginya untuk tidak menutup aurat atau mengabaikannya. Jika

telah datang waktu shalat dan seorang wanita muslimah tidak menutup aurat secara sempurna maka mengenai hal ini ada beberapa penjelasan : 1. Jika tidak menutup aurat itu karena kondisi yang memaksanya demikian maka pada saat itu hendaklah ia melaksanakann shalat sesuai dengan keadaan ia saat itu, shalatnya itu sah dan ia pun tidak berdosa karena itu, berdasarkan firman Allah : "Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesangupannya" (Al-Baqarah : 286). Juga firman Allah : "Artinya : Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesangupanmu". (At-Taghabun : 16) 2. Jika tidak menutup aurat itu dikarenaklan kondisi yang masih memungkinkan baginya untuk memilih, seperti karena mengikuti adat dan tradisi serta lainnya, maka jika tidak menutup auratnya itu hanya pada wajah dan kedua telapak tangan maka shalatnya sah tapi akan mendapatkan dosa jika shalat itu dengan keberadaan pria asing. Akan tetapi jika bagian tubuh yang terbuka itu adalah betis atau lengan atau rambut kepala atau lainnya maka tidak boleh baginya melaksanakan shalat dalam keadaan seperti itu, dan jika ia melakukan shalat seperti itu maka shalatnya itu adalah batal dan ia berdosa dari dua sisi : Sisi pertama adalah karena ia membuka aurat saat adanya pria yang bukan mahramnya, dan sisi kedua adalah ia melaksanakan shalat dalam keadaan seperti itu [Kitab Fatawa Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/94

HUKUM MENGUSAP KAIN PENUTUP KEPALA SAAT MANDI JUNUB Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apa hukumnya seorang wanita yang mengusap kain penutup kepalanya saat mandi junub ? Jawaban Merupakan suatu hal yang sudah diketahui dari pendapat para ulama, bahwa dalam syariat Islam yang suci ini telah ada ketetapan mengenai mengusap khuf dan mengusap kain penutup kepala bagi rambut wanita dan pria ( seperti telekung, jilbab ataupun sorban bagi laki-laki, pent), bahwa hal ini tidak dibolehkan dalam mandi junub menurut ijma para ulama, dan hanya dibolehkan dalam berwudhu berdasarkan hadits Shafwan bin Assal Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Rasulullah memerintahkan kami, jika kami dalam safar hendaknya kami tidak melepaskan khuf (sepatu yang melebihi mata kaki) kami selama tiga hari dan tiga malam kecuali jika kami junub, akan tetapi mengusap khuf itu dibolehkan setelah buang air besar, buang air kecil, atau bangun dari tidur". Tidak diragukan lagi bahwa syari'at Islam adalah syari'at yang amat mudah serta bertoleransi, tapi membasuh kepala dalam mandi janabat itu bukan suatu yang sulit sekali, karena saat Rasulullah ditanya Ummu Salamah tentang mandi junub dan mandi haid dengan berkata : "Wahai Rasulullah, sesunguhnya aku mengikat rambut kepalaku, apakah aku harus melepaskan ikatan rambut itu saat mandi junub dan saat mandi haidh?" maka Rasulullah bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya cukup bagi kamu menuangkan air sebanyak tiga tuangan di atas kepalamu kemudian kamu membasuh seluruh tubuhmu dengan air, maka(dengan demikian) kamu telah bersuci" [Dikeluarkan oleh Muslim dalam shahihnya]. Hadits ini menunjukkan bahwa beliau menganjurkan kepada kaum wanita yang mendapatkan kesulitan untuk membasuh rambut mereka dalam mandi junub untuk menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga kali, sehingga air tersebut mengenai setiap rambut tanpa harus melepaskan ikatan rambut atau mengubah susunan rambut yang menyulitkannya dalam mandi junub, juga disertai keterangan tentang apa yang didapati mereka dari sisi Allah berupa pahala yang besar, kehidupan yang baik dan mulia serta kekal di alam Surga jika mereka bersabar serta konsisten dalam menjalankan hukum-hukum syari'at Allah. Akan tetapi dalam kondisi-kondisi darurat yang mana saat itu seseorang berhalangan untuk bisa membasahi seluruh bagian kepalanya karena terdapat suatu luka, penyakit ataupun lainnya, maka saat itu ia dibolehkan untuk mengusap kepalanya saat bersuci, baik dari hadast besar maupun kecil. Demikian ini jika kondisinya mengharuskan semacam itu dan tidak terbatas waktunya, yakni dibolehkan demikian selama dibutuhkan, demikian berdasarkan hadits Jabir tentang seorang pria yang dikepalanya terdapat luka, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya. "Artinya : Hendaknya ia membalut lukanya dengan sepotong kain kemudian hendaknya ia mengusapkan di atas kain itu lalu membasuh seluruh anggouta tubuhnya" [Dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya] Dan di antara hal yang sebaiknya diingatkan ketika menghadapi masalah atau bingung menenai hukum, terutama terhadap orang-orang yang cenderung terhadap Islam, hendaknya dikatakan kepada mereka bahwa Surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci dan pengekangan syahwat, dan bahwa sesungguhnya ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan para hamba-Nya itu adalah untuk menguji mereka serta untuk mengetahui siapa yang terbaik amalnya di antara mereka, sebab untuk mendapatkan ridha Allah dan untuk mendapatkan Surga-Nya bukanlah sesuatu yang mudah dan tanpa kesulitan, akan tetapi hal itu akan bisa didapati dengan kesabaran dan perjuangan melawan hawa nafsu, bersusah payah dalam mendapatkan ridha Allah adalah salah satu jalan untuk menghindari murka Allah dan siksa-Nya, sebagai mana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan bagimu, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya". [Al-Kahfi : ] Juga firman-Nya. "Artinya : Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun". [Al-Mulk :" 2] dan firman-Nya pula. "Artinya : Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu ; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu". [Muhammad : 31] Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang bermakna dengan ayat-ayat tersebut, kita memohon kepada Allah untuk menjadikan kita semua sebagai penyeru kepada petunjuk. Semoga Allah senantiasa memperbaiki keadaan kaum Muslimin, menganugrahkan kepada semuanya berupa pemahaman tentang penciptaan mereka dan memperbanyak pula penyeru-penyeru kebenaran, sesunguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [Majmu' Fatawa wa Maqalat Asy-Syaikh Ibnu Baaz, 6/237]

HUKUM DUDUK DALAM MASJID BAGI WANITA HAIDH KARENA CUACA YANG PANAS Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita haidh tidak mendapatkan tempat berteduh untuk melindungi dirinya dari sinar matahari yang amat panas kecuali masjid, apakah boleh bagi wanita itu masuk masjid untuk berteduh dalam keadaan seperti ini .? Jawaban Tidak boleh bagi wanita haidh masuk ke dalam masjid, dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana saat itu disebutkan bahwa Shafiah binti Huyyay Radhiyallahu 'anha, Ummul Mukminin sedang dalam keadaan haidh, maka beliau bersabda. "Artinya : Apakah ia mengurung kita" Hal itu beliau ucapkan karena Shafiah tidak akan Thawaf, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarangnya untuk meninggalkan Mekkah kecuali setelah Thawaf Wada'. Ibnu Abbas berkata : Akan tetapi Rasulullah memberi keringanan kepada wanita haidh yaitu diakarenakan wanita haidh tidak boleh berdiam di dalam masjid maka dibolehkan baginya untuk melewati masjid. Dan dalam kondisi seperti yang disebutkan oleh penanya maka dibolehkan baginya untuk masuk masjid dan duduk didalamnya karena dalam keadaan darurat. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/137]

BOLEHKAH WANITA HAIDH MASUK KE DALAM MASJID Oleh Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta' Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Bolehkah seorang wanita yang sedang haidh masuk kedalam masjid dan apa dalilnya .? Jawaban Tidak boleh seorang wanita yang sedang haidh masuk kedalam masjid kecuali hanya untuk berjalan melewati masjid jika hal itu diperlukan, sebagaimana halnya orang yang sedang junub berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi". [An-Nisaa : 43] [Fatawa Al-Lajnah Ad-Dai'mah Lil Ifta, 5/398]

HUKUM ADZANNYA WANITA Oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Apa hukumnya adzannya wanita ? Jawaban Adzan sama sekali bukan hak wanita, tidak boleh bagi wanita untuk mengumandangkan adzan, karena adzan termasuk perkara-perkara yang zhahir dan ditampakkan, yang mana perkara-perkara macam ini adalah urusan pria, sebagaimana wanita tidak diberi tugas untuk melakukan jihad dan hal-hal serupa lainnya. Adapun bagi umat nashrani, mereka beranggapan bahwa wanita memiliki derajat yang tinggi, bahkan mereka menyematkan pada kaum wanita hal-hal yang bertolak belakang dengan fitrah yang sesungguhnya, juga memberlakukan persamaan antara dua jenis manusia yang sesungguhnya berbeda. [Fatawa wa Rasaiil Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/113] ADZANNYA WANITA Oleh Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta' ditanya : Bolehkah wanita mengumandangkan adzan, apakah suara wanita dianggap aurat atau tidak ? Jawaban Pertama : Pendapat yang benar dari para ulama menyatakan, bahwa wanita tidak boleh mengumandangkan adzan, karena hal semacam ini belum pernah terjadi pada jaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga tidak pernah terjadi di zaman Khulafa'ur Rasyidin Radhiyallahu 'anhum. Kedua : Dengan tegas kami katakan bahwa suara wanita bukanlah aurat, karena sesungguhnya para wanita di zaman Nabi selalu bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang urusan-urusan agama Islam, dan mereka juga selalu melakukan hal yang sama pada zaman Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin setelah mereka. Di zaman itu juga mereka biasa mengucapkan salam kepada kaum laki-laki asing (non mahram) serta membalas salam, semua hal ini telah diakui serta tidak ada seorangpun di antara para imam yang mengingkari hal ini, akan tetapi walaupun demikian tidak boleh bagi kaum wanita untuk mengangkat suaranya tinggi-tinggi dalam berbicara, juga tidak boleh bagi mereka untuk berbicara dengan suara lemah gemulai, berdasarkanm firman Allah. "Artinya : Hai itri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita-wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik". [Al-Ahzab : 32]

Karena jika seorang wanita berbicara lemah gemulai maka hal itu dapat memperdaya kaum pria hingga menimbulkan fitnah di antara mereka sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil ifta', VI/82, Fatwa No. 9522]

HARUSKAH MERESAPKAN AIR KE DALAM KULIT KEPALA DALAM MANDI JUNUB ? Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita yang junub lalu mandi wajib, apakah ia harus mencuci rambutnya hingga air masuk dan menyentuh kulit kepalanya ? Jawaban Mandi junub atau mandi wajib lainnya memiliki beberapa kewajiban yang diantaranya adalah sampainya air ke bagian tumbuhnya rambut, kewajiban ini berlaku bagi kaum pria maupun wanita, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Dan jika kamu junub maka mandilah". [Al-Maidah : 6] Maka tidak boleh bagi wanita hanya sekedar mencuci rambutnya saja, akan tetapi wajib baginya untuk mengalirkan air itu hingga ke tempat tumbuhnya rambut termasuk kulit kepala, akan tetapi bila rambutnya itu berlilit, maka tidak wajib membukanya, hanya saja ia wajib mengalirkan air pada setiap lilitan rambut, yang dengan meletakkan lilitan itu dibawah tuangan air, kemudian rambut itu diperas hingga air masuk ke seluruh rambutnya. [Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/226]

BERTAHUN-TAHUN MELAKSANAKAN SHALAT TANPA MENUTUP AURAT Oleh Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : Sejak beberapa tahun yang lalu saya selalu melaksanakan shalat tanpa menutup aurat, karena saya tidak tahu tentang wajibnya menutup aurat dalam shalat, apakah saya harus mengulangi shalat itu sedangkan shalat dengan tidak menutup aurat telah saya lakukan dalam waktu yang cukup lama yaitu lebih dari enam tahun .? Jawaban Jika kenyataannya seperti yang anda sebutkan yaitu tentang ketidaktahuan Anda dalam hal menutup aurat dalam shalat, maka Anda tidak perlu mengulang shalat Anda tersebut yang telah anda lakukan di masa lalu itu, dan hendaknya Anda bertaubat kepada Allah karena perbuatan Anda yang telah Anda lakukan itu, dan disyaratkan bagi Anda untuk memperbanyak amal-amal shalih berdasarkan firman Allah. "Artinya : Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar". [Thaha : 82]

Dan ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat ini. Kemudian perlu diketahui bahwa membuka wajah dalam shalat adalah disyari'atkan jika disekelilingnya tidak ada pria asing yang bukan mahramnya. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' VI/175-176, Fatwa No. 8708] Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan Terbitan Darul Haq hal 26-27 Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin

Anda mungkin juga menyukai