Anda di halaman 1dari 19

Fatwa Tentang Wanita

Apa Hukum Shalat Wanita di Masjid


Pertanyaan : Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya: Apakah zaman sekarang wanita dibolehkan melakukan shalat di masjid? Jawaban : Ya, dibolehkan bagi seorang wanita untuk melakukan shalat di masjid di zaman ini, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: " Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk datang ke masjid-masjid Allah." Dalam hadits yang lain: "Sebaik-baik shaf shalat kaum pria adalah shaf pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir, dan sebaik-baiknya shaf shalat kaum wanita adalah shaf yang terakhir dan seburukburuknya adalah yang pertama.

Pertanyaan : Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya: Apa hukum shalat wanita di masjid? Jawaban : Dibolehkan bagi kaum wanita keluar dari rumahnya untuk melaksanakan shalat bersama kaum pria di masjid-masjid, akan tetapi shalat mereka di rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka, telah diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam , beliau bersabda: " Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk pergi ke masjid-masjid Allah", dan dalam hadits lain beliau bersabda: "Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk ke masjid-masjid walaupun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka." Maka tetap tinggalnya kaum wanita di rumah-rumah mereka dan shalat mereka di rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka untuk menjaga dan memelihara diri mereka. Jika kaum wanita hendak pergi ke masjid maka mereka harus memperhatikan adat dan etika yang telah ditetapkan syari'at. Menurut mereka barang siapa yang beramal

Berangkatnya Wanita Muslimah ke Masjid


Pertanyaan : Pria itu dilahirkan sebagai anak Kristiani kemudian ia masuk Islam dan diikuti oleh istrinya pula, suatu hari Jum'at ketika ia pergi ke masjid bersama istrinya, seseorang berkata: "Sesungguhnya seorang wanita muslimah dilarang masuk ke dalam masjid", maka pria itu mendatangi imam masjid dan bertanya: "Mengapa wanita muslimah tidak boleh masuk ke dalam masjid?" Imam masjid itu menjawab: "Karena tidak semua wanita muslimah dalam keadaan suci, bahkan seluruh wanita muslimah di Makkah Al-Mukarramah tidak masuk ke dalam masjid-masjid karena hal itu tidak diizinkan bagi mereka". Pria itu membacakan kepada sang imam surat Al-Jum'ah ayat 9 yang berarti : "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.", lalu pria itu bertanya: "Apakah hal ini benar?" dan ini termasuk, ia menyebutkan bahwa kaum wanita Kristiani melaksanakan ibadah di dalam gereja, tapi mengapa diharamkan bagi wanita muslimah untuk masuk ke dalam masjid? Ia mengharapkan jawaban tentang masalah ini agar dapat menerangkan kaum muslimin. Jawaban : Boleh bagi wanita Muslimah untuk melaksanakan shalat di dalam masjid-masjid, dan bagi suaminya tidak boleh melarang istrinya jika ia meminta izin untuk pergi ke masjid selama istrinya tetap menutup aurat dan tidak menampakkan bagian badannya yang diharamkan bagi orang asing untuk melihatnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam , bahwa beliau bersabda: "Jika para isteri kalian minta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid maka izinkanlah mereka." Dalam riwayat lain disebutkan: "Janganlah kalian melarang mereka untuk berada di dalam masjid jika mereka minta izin kepada kalian", maka berkata Bilal -salah seorang anak Abdullah bin Umar Radhiallaahu 'anhu : "Demi Allah kami pasti akan melarang (mereka ke masjid)", maka Abdullah berkata: "Aku katakan kepadamu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengatakan itu tapi (mengapa malah) engkau berkata: "Kami pasti akan melarang mereka." Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya. Jika wanita itu tidak menutup aurat hingga nampak bagian tubuhnya yang diharamkan bagi pria asing untuk melihatnya, atau wanita itu bersolek dan menggunakan wewangin, maka tidak boleh baginya untuk keluar rumah dalam kondisi seperti ini, apalagi untuk mendatangi masjid serta

melaksanakan shalat di dalamnya, karena hal itu akan menimbulkan fitnah, Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman: "Katakanlah kepada wanita yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka ..." (AnNur: 31) dan firman Allah: " Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Ahzab: 59) Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Zainab Ats-Tsaqafiah menceritakan dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam , bahwa beliau bersabda: " Jika seorang wanita di antara kalian mengikuti shalat Isya (di masjid) maka janganlah ia berdandan malam itu." Dalam riwayat lain disebutkan: " Jika seorang wanita di antara kalian datang ke masjid maka janganlah ia menyentuh (menggunakan) pewangi." Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya. Dan dalam hadits-hadits shahih juga telah disebutkan bahwa para isteri sahabat melaksanakan shalat Shubuh berjama'ah, mereka menutupi tubuhnya dengan kain-kain hingga tak seorangpun mengenali mereka. Dalam hadits lain pun telah disebutkan bahwa Amrah binti Abdurrahman berkata: Aku mendengar Aisyah ra berkata: "Seandainya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam melihat apa yang telah terjadi pada kaum wanita, tentulah beliau akan melarang mereka pergi ke masjid sebagaimana dilarangnya kaum wanita bani Isra'il". Ditanyakan kepada Amrah: "Kaum wanita bani Isra'il dilarang pergi ke masjid?" Amrah menjawab: "Ya". Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahih-nya. Nash-nash ini dengan jelas menunjukkan bahwa wanita muslim jika ia konsisten dengan norma Islam dalam berpakaian dan menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah, yang dapat memperdayakan orang-orang yang lemah imannya dengan berbagai hiasan yang menggoda, maka tidak ada larangan baginya untuk shalat di masjid. Sebaliknya, jika wanita itu dalam keadaan yang dapat menggoda orang-orang yang cenderung kepada keburukan atau menimbulkan fitnah terhadap

orang yang di dalam hatinya terdapat keraguan, maka wanita itu akan dilarang masuk ke dalam masjid, bahkan dilarang baginya untuk keluar dari rumahnya serta menghindari pertemuanpertemuan umum. Adapun mengenai kaum wanita di Mekkah, mereka tidak yang diper- kenankan untuk masuk ke dalam masjid-masjid, maka ini adalah tidak benar, yang benar adalah bahwa dibolehkan bagi mereka masuk ke dalam masjid-masjid bahkan dibolehkan bagi mereka masuk ke dalam Masjidil Haram serta melakukan shalat jama'ah di dalamnya; hanya saja mereka diberikan tempat khusus agar tidak bercampur dengan kaum pria dalam melaksanakan shalat.

Hukum Shalat Jenazah Terhadap Jenazah Wanita yang Haidh di Dalam Masjid
Pertanyaan : Syaikh Muhamad bin Ibrahim bin Abdullatif dan Syaikh Abdul Aziz Al-Anqari ditanya tentang wanita haidh dan wanita nifas jika meninggal, bolehkah jenazahnya dishalatkan di masjid? Jawaban : Ya, boleh menshalatkan jenazah itu di dalam masjid jika dapat dipastikan bahwa masjid akan terhindar dari noda yang mungkin keluar dari mayat wanita tersebut. Karena hukum-hukum haidh dan nifas tidak berlaku lagi karena kematian itu.

Manakah yang Lebih Utama Bagi Wanita Pada Bulan Ramadhan, Melaksanakan Shalat di Masjidil Haram atau di Rumah
Pertanyaan : Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Bagi kaum wanita khususnya yang melakukan umrah di bulan Ramadhan, dalam pelaksanaan shalat, baik itu shalat fardhu ataupun shalat tarawih, manakah yang lebih utama bagi mereka, melaksanakannya di rumah atau di Masjidil Haram? Jawaban : Sunnah Rasul Shallallaahu 'alaihi wa sallam menunjukkan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita adalah melaksanakan shalat di dalam rumahnya, di mana saja ia berada, baik di rumahnya, di Mekkah ataupun selain di Mekkah, karena itulah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

" Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah, walaupun sesungguhnya rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka." Beliau mengucapkan sabda ini saat beliau berada di Madinah, sedangkan saat itu beliau telah menyatakan bahwa shalat di Masjid Nabawi (Masjid di Madinah) terdapat tambahan kebaikan. Mengapa beliau melontarkan sabda yang seperti ini? Karena jika seorang wanita melakukan shalat di rumahnya maka hal ini adalah lebih bisa menutupi dirinya dari pandangan kaum pria asing kepadanya, dan dengan demikian ia lebih terhindar dari fitnah. Maka shalatnya seorang wanita di dalam rumahnya adalah lebih baik dan lebih utama.

Haruskah Wanita Melaksanakan Shalat Lima Waktu di Dalam Masjid


Pertanyaan : Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Seorang wanita muda yang menutup auratnya serta konsisten dengan pakaian Islam yang disyari'atkan yaitu menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, jika ia berkeinginan melaksanakan shalat lima waktu di masjid, apakah hal itu diperbolehkan baginya? Dan apakah setiap pergi ke masjid ia harus disertai oleh suaminya? Jawaban : Dibolehkan bagi seorang wanita untuk melaksanakan shalat di masjid jika ia menutup auratnya secara syar'i, yaitu menutup wajahnya serta kedua telapak tangannya serta menghindarkan dirinya dari penggunaan perhiasan dan wewangian, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : " Janganlah kamu melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah." Akan tetapi perlu diingat bahwa shalat di rumah adalah lebih baik baginya berdasarkan sabda Rasul Shallallaahu 'alaihi wa sallam pada akhir hadits yang telah disebutkan di atas: "Namun rumahrumah mereka adalah lebih baik bagi mereka."

Apakah Shalatnya Seorang Wanita di rumah Lebih Utama Ataukah di Masjidil Haram
Pertanyaan : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah shalatnya seorang wanita di rumah lebih utama ataukah di Masjidil Haram?

Jawaban : Shalat sunah di rumah adalah lebih utama baik bagi kaum pria ataupun bagi kaum wanita, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : " Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat-shalat fardhu." Karena itulah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat-shalat sunah di rumahnya, padahal beliau sendiri bersabda: "Shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di tempat-tempat lainnya kecuali Masjidil Haram." Berdasarkan sabda ini maka kami katakan: Jika telah dikumandangkan adzan Zhuhur, sementara saat itu Anda sedang berada di rumah Anda, yang mana Anda berdomisili di Mekkah, dan Anda hendak melakukan shalat Zhuhur di Masjidil Haram, maka yang paling utama Anda lakukan adalah hendaknya Anda melaksanakan shalat Rawatib Zhuhur di rumah Anda kemudian Anda datang ke Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat Zhuhur dan sebelumnya Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid. Sebagian ulama berpendapat bahwa berlipat gandanya pahala shalat di ketiga masjid ini adalah khusus pada shalat-shalat fardhu, karena shalat-shalat fardhu inilah yang hendaknya dilaksanakan di masjidmasjid itu, adapun shalat-shalat Sunah maka pahalanya tidak dilipat gandakan. Namun pendapat yang benar adalah bahwa berlipat gandanya pahala adalah bersifat umum, yaitu untuk semua shalat baik shalat fardhu maupun shalat sunat, hanya saja shalat sunat di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi atau Masjid Al-Aqsha tidak berarti lebih baik jika dibanding dengan di rumah, bahkan shalat sunat yang dilakukan di rumah adalah lebih utama. Akan tetapi jika seseorang masuk ke dalam Masjidil Haram lalu ia melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid di Masjidil Haram, maka itu lebih baik seratus ribu kali kebaikan dari pada shalat Tahiyatul Masjid di masjid-masjid lainnya, dan shalat tahiyyatul masjid di Masjid Nabawi lebih baik dari seribu shalat tahiyatul masjid di masjid-masjid lainnya. Begitu juga jika Anda datang dan masuk ke dalam Masjidil Haram lalu Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid, kemudian untuk menanti tiba waktunya shalat fardhu Anda melaksanakan shalat sunah, maka sesungguhnya shalat sunah ini lebih baik dari seratus ribu shalat sunah serupa dari pada di masjid-masjid lainnya. Masih ada pertanyaan lain sehubungan dengan hal tadi, yaitu tentang shalat malam (shalat tarawih pada bulan Ramadhan), apakah bagi wanita lebih utama melaksanakannya di Masjidil Haram atau di rumah? Jawabannya adalah; Untuk shalat-shalat fardhu, maka lebih utama dilaksanakan di rumah, sebab sehubungan dengan shalat fardhu bagi kaum wanita, maka Masjidil Haram seperti masjid-masjid lainnya. Adapun shalat malam Ramadhan, sebagian ahlul ilmi mengatakan: Bahwa yang lebih

utama bagi kaum wanita adalah melaksanakan shalat malam di masjid-masjid, berdasarkan dalil bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan keluarga serta mengimami mereka dalam melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan, dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar Radhiallaahu 'anhu dan Ali bin Abu Thalib Radhiallaahu 'anhu, bahwa kedua sahabat Rasulullah ini memerintahkan seorang pria untuk mengimami shalat kaum wanita di masjid dan dalam masalah ini saya belum bisa memastikan karena dua atsar yang diriwayatkan dari Umar dan Utsman itu lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, begitu juga yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan keluarganya tidak menjelaskan bahw beliau mengumpulkan mereka di masjid untuk shalat berjamaah. Dan saya belum bisa memastikan, manakah yang lebih utama bagi seorang wanita, melaksanakan shalat tarawih di rumahnya atau di Masjidil Haram? Dan yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya, kecuali jika ada nash yang menyebutkan dengan jelas bahwa shalatnya di Masjidil Haram adalah lebih utama. Akan tetapi jika ia datang ke Masjidil Haram maka diharapkan mendapatkan pahala sebagaimana yang disabdakan Rasulullah: " Shalat di Masjidil Haram sama dengan seratus ribu shalat (di masjid-masjid lain)." Namun jika kehadirannya dapat menimbukan fitnah, maka tidak diragukan lagi bahwa shalat di rumahnya adalah lebih utama.

Apakah Shalat Seseorang di Masjidil Haram Bisa Batal Ketika Ia Ikut Berjama'ah Dengan Imam atau Shalat Sendirian Karena Ada Wanita yang Melintas di Hadapannya?
Pertanyaan : Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Apakah shalat seseorang di Masjidil Haram bisa batal ketika ia ikut berjama'ah dengan imam atau shalat sendirian karena ada wanita yang melintas di hadapannya? Jawaban : Tentang wanita yang dapat membatalkan shalat seseorang, hal ini telah ditetapkan dalam kitab shahih Muslim dari hadits Abu Dzar, ia mengatakan: Telah bersabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Perempuan, keledai dan anjing hitam dapat memutuskan (membatalkan) shalat seorang Muslim jika di hadapannya tidak ada pembatas (penghalang), seperti jok bagian belakang kendaraan."

Dengan demikian jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan pembatas shalatnya, jika pelaku shalat itu memiliki pembatas shalat, atau jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan tempat sujudnya, jika orang yang shalat itu tidak memiliki pembatas, maka shalat orang itu menjadi batal, dan wajib baginya untuk mengulangi shalat walaupun ia telah mencapai di rakaat terakhir. Hal ini pun berlaku jika shalat itu dilakukan di masjid-masjid lainnya menurut pendapat yang paling kuat, karena dalil yang menyebutkan hal ini bersifat umum dan tidak ada pengkhususan pada suatu tempat. Berdasarkan ini Imam Al-Bukhari mengkategorikan hadits ini dalam "Bab Pembatas Shalat di Mekkah dan Tempat Lainnya", dengan demikian hadits ini bersifat umum, sehingga jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan tempat sujudnya, atau jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan pembatasnya, maka wajib bagi orang yang melakukan shalat itu untuk mengulangi shalat tersebut, kecuali jika yang sedang shalat ini adalah seorang makmum yang shalat di belakang imam, karena pembatas pada imam adalah juga merupakan pembatas bagi orang yang shalat di belakangnya. Dengan demikian dibolehkan bagi seseorang untuk berjalan di hadapan orang yang shalat di belakang imam dan ia tidak berdosa. Namun jika orang itu berjalan di hadapan orang yang sedang shalat sendirian (tidak berjama'ah mengikuti imam) maka itu hukumnya haram, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : " Seandainya orang yang berjalan di hadapan orang yang sedang melaksanakan shalat itu tahu akan dosa perbuatan itu yang akan ditimpakan kepadanya, maka berdiri selama empat puluh lebih baik baginya dari pada ia berjalan dihadapannya itu." Al-Bazzar meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan empat puluh di sini adalah empat puluh tahun.

Bila Terdapat Pembatas (Tabir) Antara Kaum Pria dan Kaum Wanita, Maka Masih Berlakukah Hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam (sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan seburuk-buruknya adalah yang paling depan)

Pertanyaan : Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya: Jika terdapat pembatas (tabir) di suatu masjid yang memisahkan tempat shalat kaum pria dengan tempat shalat kaum wanita, apakah masih berlaku sabda Rasul Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi:

"Sebaik-baiknya shaf pria adalah shaf terdepan dan seburuk-buruknya adalah shaf yang terakhir, dan sebaik-baiknya shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan seburuk-buruknya adalah shaf yang terdepan." Ataukah tidak berlaku lagi jika demikian keadaannya, sehingga sebaik-baik shaf wanita adalah yang terdepan? Berilah kami jawaban, semoga Allah menunjuki Anda Jawaban : Alasan bahwa sebaik-baiknya shaf wanita adalah shaf yang paling belakang ialah karena shaf yang paling belakang itu adalah shaf yang paling jauh dari kaum pria, semakin jauh seorang wanita dari kaum pria maka semakin terjaga dan terpelihara kehormatannya, dan semakin jauh dari kecenderungan terhadap kemaksiatan. Akan tetapi jika tempat shalat kaum wanita jauh dan terpisah dengan dinding atau pembatas sejenis lainnya, sehingga kaum wanita itu hanya mengandalkan pengeras suara dalam mengikuti imam, maka pendapat yang kuat dalam hal ini adalah, bahwa shaf yang pertama ada yang lebih utama dari pada shaf yang dibelakangnya dan seterusnya, karena shaf terdepan ini lebih dekat kepada kiblat.

Apakah Kaum Wanita Harus Meluruskan Shafnya Dalam Shalat


Pertanyaan : Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya: Apakah shaf-shaf wanita dalam shalat harus diluruskan dan ditertibkan? Apakah hukum shaf pertama sama dengan shaf-shaf lainnya, khususnya bila tempat shalat kaum wanita benar-benar terpisah dari tempat shalat kaum pria? Jawaban : Hukum-hukum yang ditetapkan dalam shaf-shaf wanita sama dengan hukum-hukum yang ditetapkan dalam shaf-shaf pria dalam hal meluruskan, menertibkan dan mengisi shaf yang kosong. Kemudian jika di antara kaum pria dan kaum wanita tidak ada tabir, maka sebaik-baiknya shaf wanita adalah yang paling belakang, karena shaf yang paling belakang itu adalah yang paling jauh dari kaum pria, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, akan tetapi jika di antara kaum pria dan kaum wanita terdapat tabir pemisah, maka sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling depan, karena dengan adanya tabir berarti sesuatu keburukan yang dikhawatirkan terjadi antara pria dan wanita telah hilang, di samping itu, shaf yang terdepan lebih dekat kepada imam. Wallahu A'lam.

Benarkah Shaf yang Paling Utama Bagi Wanita Dalam Shalat Adalah Shaf yang Paling Belakang

Pertanyaan : Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya: Kaum wanita di bulan Ramadhan berlomba-lomba untuk mendapatkan shaf paling belakang dalam shalat berjama'ah di Masjid, mereka enggan duduk di shaf pertama sehingga hal itu menyebabkan shaf-shaf pertama di tempat shalat kaum wanita menjadi kosong, dan sebaliknya shaf terakhir penuh membludak hingga menutup jalan bagi kaum wanita yang ingin menuju ke shaf depan, hal ini mereka lakukan berdasarkan Sunnah Rasul Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang berarti: "Sebaik-baiknya shaf wanita (dalam shalat) adalah shaf paling belakang", mohon penjelasan Anda tentang ini. Jawaban : Mengenai hal ini detailnya sebagai berikut: Jika kaum wanita itu shalat dengan adanya tabir pembatas antara mereka dengan kaum pria, maka shaf yang terbaik adalah shaf yang terdepan karena hilangnya hal yang dikhawatirkan terjadi antara pria dan wanita. Dengan demikian sebaikbaik shaf wanita adalah shaf pertama sebagaimana shaf-shaf pada kaum pria, karena keberadaan tabir pembatas itu dapat menghilangkan kekhawatiran terjadinya fitnah. Hal ini berlaku jika ada tabir pembatas antara pria dan wanita. Dan bagi kaum wanita pun harus meluruskan, menertibkan dan mengisi shaf depan yang kosong, kemudian shaf berikutnya, sebagaimana ketetapan ini berlaku pada shaf kaum pria. Jadi, ketetapan-ketetapan ini berlaku bila ada tabir pembatas.

Benarkah Kaum Wanita Tidak Boleh Masuk Masjid Karena Mereka Adalah Najis
Pertanyaan : Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya: Ada syaikh di negara Muslim mengeluarkan fatwa bahwa kaum wanita tidak boleh melaksanakan shalat di masjid-masjid atau bahwa kaum wanita adalah najis maka tidak boleh masuk ke dalam masjid. Pendapat semacam ini telah menimbulkan perselisihan di antara kaum Muslimin, bagaimana menurut Anda? Jawaban : Manusia bukanlah najis, baik pria maupun wanita, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, karena itu wanita dibolehkan untuk masuk ke dalam masjid kecuali jika ia dalam keadaan junub

atau haidh, maka tidak boleh baginya untuk masuk ke masjid kecuali hanya sekadar lewat, dengan syarat ia harus berhati-hati agar darah haidhnya itu tidak menodai masjid, berdasarkan firman Allah: "(jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja" (An-Nisa': 43) Pernah istri-istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengunjungi beliau saat beliau sedang i'tikaf di masjid, pernah juga di masjid Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam ada seorang budak perempuan yang mengumpulkan sampah-sampah masjid dan membersihkannya, bahkan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah melarang kaum pria untuk mencegah kaum wanita melaksanakan shalat di masjid dengan sabdanya: "Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah." Dan telah disebutkan dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: "Sebaik-baiknya shaf kaum pria adalah shaf yang terdepan sedang shaf yang terburuk adalah shaf yang paling belakang, dan sebaik-baiknya shaf kaum wanita adalah shaf yang paling akhir sedang shaf yang terburuk adalah shaf yang paling depan." (Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, AnNasa'i, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Hadits ini merupakan keterangan tentang kedudukan wanita terhadap shaf-shaf kaum pria dalam melaksanakan shalat berjama'ah. Telah disebutkan dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam pula bahwa beliau bersabda: " Jika istri-istri kalian minta izin kepada kalian di malam hari untuk pergi ke masjid, maka berilah mereka izin." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasa'i dan At-Tirmidzi). Al-Lajnah Ad-Da'imah telah mengeluarkan fatwa tentang shalat wanita bersama jama'ah di masjid, fatwa itu berbunyi sebagai berikut: Diberi keringanan bagi wanita yang datang ke masjid untuk melaksanakan shalat Jum'at dan untuk melaksanakan shalat-shalat lainnya dengan berjama'ah, dan bagi suaminya tidak boleh melarangnya melakukan hal itu, namun shalatnya seorang wanita di rumahnya adalah lebih baik baginya. Dan jika seorang wanita akan pergi ke masjid maka ia harus memperhatikan etika Islam dengan menggunakan pakaian yang dapat menutupi auratnya, jangan menggunakan pakaian yang tipis (transparan) atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya, tidak menggunakan minyak wangi dan tidak menyatu dalam shaf kaum pria, akan tetapi membuat shaf tersendiri di belakang shaf kaum pria. Kaum wanita di zaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam pergi ke masjid dengan menutupi seluruh bagian tubuhnya dengan kain tebal, lalu mereka melakukan shalat di belakang kaum pria.

Telah shahih dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: "Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah". Beliau juga bersabda: "Sebaik-baik shaf kaum pria adalah shaf yang paling depan sedang seburukburuknya adalah shaf yang paling akhir, dan sebaik-baik shaf kaum wanita adalah shaf yang paling akhir sedang seburuk-buruknya adalah shaf yang paling depan."

Benarkah Shalat Jum'at Sebagai Pengganti Shalat Zhuhur


Pertanyaan : Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya: Jika seorang wanita telah melaksanakan shalat Jum'at, apakah ia tidak berkewajiban lagi untuk melaksanakan shalat Zhuhur? Jawaban : Jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam Jum'at, maka telah cukup shalat Jum'at itu untuk menggantikan pelaksanaan shalat Zhuhur, dan tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat Zhuhur pada hari itu. Adapun jika melaksanakannya seorang diri, maka tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat kecuali shalat Zhuhur dan tidak boleh baginya melaksanakan shalat Jum'at.

Hukum Shalat Jum'at Bagi Wanita


Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya: Apa hukumnya pelaksanaan shalat Jum'at bagi wanita, apakah shalat itu dilakukan sebelum atau sesudah shalat kaum pria atau bersama-sama mereka? Jawaban : Shalat Jum'at tidak diwajibkan bagi kaum wanita, akan tetapi jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam shalat Jum'at maka shalatnya sah, tapi jika ia melakukan shalat seorang diri di rumah maka ia harus melaksanakan shalat Zhuhur sampai empat rakaat, shalat Zhuhur itu dilaksanakan setelah masuknya waktu shalat atau setelah matahari condong ke barat, dan tidak boleh bagi seorang wanita untuk melaksanakan shalat Jum'at seorang diri.

Hukum Bercampurnya kaum Wanita Dengan Kaum Laki-Laki ( Ikhtilath )


Pertanyaan : apakah hukum bercampurnya kaum laki-laki dan kaum wanita, dalam diskusi dan tukar pikiran dalam masalah agama ? Jawab : Sesungguhnya bercampurnya kaum laki-laki dengan kaum perempuan adalah sebagian dari hal-hal yang sangat berbahaya, dan dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Ibrahim telah mengeluarkan suatu fatwa yang bunyinya sebagai berikut : Pertama : bercampurnya kaum perempuan dengan muhrimnya dari kaum laki-laki ( orang-orang yang tidak boleh ia nikahkan selama-lamanya, seperti ayah, saudara seibu, atau seibu-sebapak dll. pent ) adalah hal yang tidak ada perselisihan dalam kebolehannya. Kedua : bercampurnya kaum perempuan dengan kaum laki-laki asing ( kaum laki-laki yang boleh dia menikah dengannya. Pent. ) untuk maksud yang diharamkan syari'at adalah tidak ada perbedaan dalam keharamannya. Ketiga : bercampurnya kaum wanita dengan kaum laki-laki di tempat-tempat menuntut ilmu, tooktoko, kantor-kantor, rumah sakit, tempat-tempat pesta dan lain sebagainya, maka penanya menyangka pertama kali bahwa hal yang sedemikian itu tidak akan menimbulkan fitnah dari dua jenis manusia itu, oleh karena itu untuk menjelaskan hakekat permasalahan ini, kami akan menjawab pertanyaan di atas secara global dan terperinci : Adapun secara global, maka Allah telah menciptakan kaum lelaki atas kekuatan dan kecondongannya kepada kaum wanita, dan menciptakan kaum wanita berdasarkan kecondongannya kepada kaum laki-laki bersamaan dengan kelemahan dan kelembutannya, maka jika terjadi ikhthilath ( bercampur antara kaum laki-laki dan kaum wanita ) maka akan timbul sesuatu yang akan mengarahkan kepada akibat yang buruk, karena diri manusia selalu memerintahkan kepada hal yang buruk dan hawa nafsu dapat membuat orang buta dan tidak mau mendengar, sedang setan selalu memerintahkan kepada hal yang keji dan mungkar.

Adapun jawaban secara rinci adalah sebagai berikut : Syari'at Islam menghukumi sesuatu pekerjaan berdasarkan tujuan dan sarananya, dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu, sama hukumnya dengan hukum tujuan tersebut. Kaum wanita adalah tempat pemenuhan kebutuhan kaum laki-laki, dan Syari' telah menutup segala pintu yang mencapaikan kepada ketergantungan setiap kaum laki-laki dan kaum wanita dengan lainnya, hal yang sedemikian itu dapat dilihat dengan jelas dari dalil-dalil yang kami sebutkan dibawah ini : 1. Allah berfirman : ( Dan wanita ( Zulaikha ) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata : " marilah ke sini." Yusuf berkata : " aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung. Q.S.12 : 23. Dalil dari ayat ini adalah : bahwa ketika terjadi percampuran antara istri pembesar Mesir dan Nabi Yusuf shallallahu 'alaihi wasallam tampak dari wanita itu apa yang terpendam dalam hatinya dan meminta kepada Yusuf shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengikuti hasratnya itu, namun rahmat Allah mendahuluinya lalu Allah memeliharanya dari ajakan wanita tersebut, sebagaimana Allah berfirman : ( Maka Tuhannya memperkenankan do'a Yusuf, dan Dia mengindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.) Q.S.12 : 34. Dan demikian juga, jika terjadi percampuran antara kaum laki-laki dan kaum wanita, maka setiap dari dua jenis manusia ini akan memilih pasangan yang dimauinya dan mengeluarkan segala upaya untuk mencapai hal itu.

2. Allah memerintahkan kaum laki-laki dan kaum wanita untuk menahan pandangannya, sebagaimana Allah firmankan : ( katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanitawanita yang beriman agar menahan pandangan mereka ) Q.S.24: 30-31. Pengertian ayat di atas bahwa Allah memerintahkan kaum mu'minin dan mu'minat untuk menahan pandangan mereka dan perintah wajib dilaksanakan, kemudian Allah menerangkan bahwa hal yang sedemikian itu lebih suci dan bersih untuk hamba-hambanya, dan Syari' tidak memaafkan kecuali pandangan yang tiba-tiba, Hakim meriwayatkan dalam Mustadraknya dari Ali radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya : hai Ali, jangan kamu ikuti penglihatan dengan penglihatan, bagi kamu penglihatan yang pertama dan penglihatan yang kedua

bukan bagi kamu. ( maksudnya, penglihatan yang pertama yang tiba-tiba, tidak disengaja, maka yang sedemikian itu tidak dosa, dan penglihatan yang selanjutnya adalah berdosa. Pent. )Hakim berkata : hadits ini shahih sesuai dengan syarat-syarat hadits muslim tapi dia tidak meriwayatkannya, dan hal ini disepakati oleh Dzahabi dalam kitab Talkhishnya, dan ada beberapa hadits yang semakna dengan hadits ini. Dan Allah memerintahkan menahan penglihatan karena melihat hal yang diharamkan adalah zina, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : kedua mata zinanya adalah penglihatan, perbuatan zina kedua telinga adalah mendengarkan, zina lisan adalah perkataan, zina tangan adalah tidakan dan zina kaki adalah melangkah. HR.Muttafaq 'alaih dan lafadz ini dikeluarkan oleh Muslim. Penglihatan termasuk zina karena dengan penglihatan itu seseorang dapat menikmati kecantikan wanita dan meninggalkan bekas di hati yang melihatnya, setelah itu dia berusaha untuk melakukan perbuatan keji dengannya, oleh karena itu jika Syari' melarang melihat karena penglihatan itu dapat menyeret kepada kerusakan, dan penglihatan itu pasti terjadi pada saat bercampur ( ikhthilath ), maka bercampur itu ( ikhthilath ) dilarang karena dia merupakan sarana yang menjerumuskan kepada hal-hal yang tidak terpuji, yaitu menikmati wanita dengan penglihatan dan berusaha untuk berbuat yang lebih jelek dari penglihatan itu sendiri.

3. Dalil-dalil yang telah disebut terdahulu tentang bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, dan wajib menutupinya dari pandangan orang lain, karena membuka aurat itu atau sebagiannya akan menarik penglihatan kaum laki-laki, dan melihat kepadanya membuat hati tergantung dengannya, kemudian dia akan melakukan usaha-usaha untuk mencapai hasratnya itu, begitu juga dengan ikhthilath. ( ikhthilath akan menimbulkan hal yang sama. Pent. )

4. Allah berfirman : ( dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. )Q.S.24 : 31. Pengertian ayat ini bahwa Allah melarang kaum wanita memukulkan kaki mereka supaya tidak menjadi sebab didengarnya suara perhiasan itu oleh kaum laki-laki yang dapat membangkitkan syahwat kaum laki-laki kepada mereka, begitu juga ikhthilath dilarang karena dapat menimbulkan kerusakan. ( perbuatan zina. Pent. )

5. Allah berfirman : ( Dia mengetahui pandangan mata yang berkhianat, dan apa yang disembunyikan oleh hati ) Q.S. 40 : 19.

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu menafsirkan ayat ini yaitu laki-laki yang masuk ke suatu rumah dan diantara mereka ada wanita yang cantik dan wanita itu lewat di hadapannya, jika penghuni rumah itu sedang lalai ( tidak memperhatikan laki-laki itu ) maka laki-laki itu melirik atau memandang wanita itu, dan jika mereka mengetahuinya ia buru-buru menahan pandangannya, dan jika penghuni rumah itu sedang lalai ( tidak memperhatikan laki-laki itu ) maka laki-laki itu melirik atau memandang wanita itu, dan jika mereka mengetahuinya ia buru-buru menahan pandangannya, dan Allah mengetahui apa yang ada di hati laki-laki tersebut, dan sungguh dia itu ingin jika dapat melihat kemaluan wanita itu dan mampu untuk mengusainya niscaya dia akan berzina dengannya. Ayat di atas mengandung pengertian bahwa mata yang suka mencuri pandang kepada hal yang tidak boleh dipandang oleh mata tersebut dari badan wanita, Allah menyipati mata tersebut dengan menyatakan bahwa mata itu adalah berkhianat, dan tentunya ikhthilath itu akan menyebabkan lebih besar dari pandangan itu sendiri.

6. Bahwa Allah memerintahkan kaum wanita agar menetap di rumah mereka, Allah berfirman: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orangorang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Q.S.33 : 33. Pengertian ayat di atas bahwa Allah memerintahkan para istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang suci, disucikan dan baik untuk selalu tetap di rumah-rumah mereka, dan perintah ini umum ( untuk seluruh umat. Pent.) kecuali ada dalil yang menunjukkan akan kekhususannya ( khusus untuk para istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan tidak ada dalil kekhususan itu. Pent ), oleh karena itu jika mereka diperintahkan untuk selalu berada di rumah kecuali ada kebutuhan yang memaksa mereka keluar rumah, maka bagaimana bisa dibenarkan pendapat yang membolehkan ikhthilath sebagaimana pertanyaan di atas ? padahal pada zaman sekarang ini banyak perempuan yang melampaui batas, menanggalkan pakaian kemaluan, terang-terangan menampakkan perhiasan dan muka mereka di hadapan kaum laki-laki asing ( bukan muhrimnya. Pent ) dan membuka aurat , dan sedikit sekali kesadaran beragama dari mereka yang bertanggungjawab mendidik kaum wanita ( suami, orangtua dll pent. ). Adapun dalil dari hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka kami hanya akan menyebutkan sepuluh saja(*) : a. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ummu Humaid Istri Abu Humaid As-Sa'idi radhiyallahu 'anha, bahwa dia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata : Wahai

Rasulullah ! sungguh aku suka shalat berjama'ah bersamamu, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata : sungguh aku mengetahui bahwa kamu suka shalat bersamaku, ( ketahuilah ) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalat di masjid dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalatmu di masjidku ( masjid nabawi ), lalu perawi itu berkata : maka dia ( wanita itu ) memerintahkan maka dibangunlah sebuah tempat shalat di yang paling ujung dari rumahnya dan paling gelap. Dan dia shalat di tempat itu sampai meninggal. Dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : sungguh shalat wanita yang paling dicintai Allah adalah shalatnya di tempat yang paling gelap dari bagian rumahnya. Dan banyak hadits hadits lain yang semakna dengan dua hadits di atas yang menunjukkan bahwa shalat kaum wanita di rumahnya lebih utama dari shalat di masjid. Pengertian hadits di atas : bahwa jika disyari'atkan bagi wanita shalat di rumah dan itu adalah yang lebih utama bahkan dari shalat di masjid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka bercampur di zaman sekarang harus dilarang dan hal itu lebih pantas lagi.

b. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : sebaik-baik barisan kaum laki-laki adalah yang pertama, dan seburuk-buruknya adalah yang paling akhir, dan sebaik-baik barisan kaum wanita adalah yang paling akhir dan seburuk-buruknya adalah yang pertama. Tirmidzi berkata : hadits shahih. Pengertian hadits di atas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kaum wanita jika datang ke masjid agar mereka terpisah dari kaum laki-laki kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menerangkan bahwa barisan pertama dari barisan kaum wanita adalah seburuk-buruk barisan dan barisan terakhir adalah sebaik baik barisan, yang sedemikian itu semata-mata karena jauhnya barisan terakhir dari kaum laki-laki, sehingga terhindar dari bercampur dengan mereka, melihat mereka dan keterkaitan hati ketika melihat gerak-gerik mereka dan mendengar perkataan mereka dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mencaci barisan yang pertama dari kaum wanita karena hal-hal di atas akan terjadi, dan menerangkan bahwa barisan terakhir dari kaum laki-laki jika shalat bersama kaum wanita adalah barisan yang paling buruk, karena mereka tidak mendapatkan keutamaan barisan pertama, dan karena dekatnya mereka dengan barisan kaum wanita yang mengganggu konsetrasi dan mungkin dapat merusak ibadah mereka, dan mengganggu niat dan kekhusyu'an mereka, oleh karena itu jika

Syari' mengingatkan akan terjadinya hal-hal yang sedemikian pada tempat-tempat ibadah, padalah tidak terjadi ikhthilath hanya saling berdekatan saja, maka bagaimana dengan ikhthilath itu sendiri.?

c. Muslim meriwayatkan dari Zainab istri Abdillah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada kami : jika seseorang di antara kalian menghadiri masjid, maka janganlah ia memakai wangi-wangian. Dan Abu Daud dan Ahmad dan Syafi'I meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : janganlah kalian menghalangi kaum wanita dari masjid-masjid Allah, tapi mereka hendaknya kelauar tanpa memakai sedikitpun wangi-wangian. Ibnu Daqiqil 'Iid berkata : dalam hadits ini ada larangan memakai wangi-wangian bagi wanita yang hendak keluar pergi ke Masjid karena memakai wangi-wangian akan menggerakkan nafsu syahwat kaum laki-laki dan mungkin juga syahwat kaum wanita itu sendiri, dan Daqiqil 'Iid berkata : semakna dengan wangi-wangian adalah pakaian yang indah, perhiasan dan penampilan yang menawan. Ibnu Hajar berkata : demikian juga dengan ikhthilath dengan kaum laki-laki.

d. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : tidaklah aku meninggalkan setelahku suatu fitnah yang lebih bahaya bagi kaum laki-laki dari fitnah kaum wanita. HR. Bukhari dan Muslim. Pengertian hadits di atas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menerangkan bahwa kaum wanita adalah fitnah yang paling bahaya bagi kaum laki-laki, bagaimana jika berkumpul kaum wanita yang menimbulkan fitnah dengan kaum laki-laki yang bisa difitnah ? oleh karena itu, ikhthilath tidak boleh.

e. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Dunia manis dan indah, dan Allah telah menjadikan kamu penguasa di dalamnya dan Dia akan melihat bagaimana kamu bekerja, maka takutlah akan fitnah dunia dan fitnah wanita, karena fitnah yang pertama terjadi di bani Isra'il adalah pada kaum wanita. HR.Muslim. Pengertian hadits di atas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk hatihati dengan fitnah kaum wanita dan perintah itu wajib dilaksanakan, bagaimana kita dapat melaksanakan perintah itu jika terjadi ikhthilath ? hal ini tidak mungkin oleh karena itu haram hukumnya ikhthilath. Bagi mereka yang merenungkan dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa pendapat yang mengatakan

bahwa bercampur ( ikhthilath ) tidak akan menimbulkan fitnah itu hanyalah dengan pemahaman beberapa orang, kalau tidak demikian ( hanya pemahaman beberapa orang ), sungguh ikhthilath itu memang benar-benar dapat menimbulkan fitnah, oleh karena itu Syari' melarangnya untuk mengubur kerusakan dari akarnya. Tidak termasuk yang dilarang, sesuatu ( ikhthilath ) yang sangat terpaksa, yang terjadi pada urusan ibadah seperti yang terjadi di sekitar Ka'bah dan Masjid Madinah, dan kami memohon kepada Allah agar membimbing orang-orang yang sesat dari kaum muslimin, dan menambah hidayat bagi mereka yang telah mendapatkan petunjuk, dan memberikan taufiq kepada pemimpin-pemimpin mereka untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran, sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Dekat lagi Maha mengabulkan. Yang dimaksud dengan Syari' adalah pembuat syari'at yaitu Allah Ta'ala atau Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. (*) Penerjemah hanya menerjemahkan 5 hadits yang ada dalam fatwa. Lajnah Daimah, buku Fatawa Jami'ah,Jld. III. Hlm. 1089.

Anda mungkin juga menyukai