Anda di halaman 1dari 4

Tor Kegagalan Panen Kedelai Di Amerika Seharusnya Menjadi Pertanian dan Ketahanan Pangan Di Indonesia.

Pelajaran Berharga Bagi Sistem

Respon kilat pemerintah membebaskan bea cukai impor kedelai untuk mengatasi melonjaknya harga kedelai setelah menuai protes dari kelompok pengrajin tahu tempe tiga minggu lalu tidaklah salah, akan tetapi metode ini tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan untuk mengantisipasi persoalan yang sama di masa akan datang. Tingginya ketergantungan pemerintah terhadap pasokan pangan impor erat kaitannya dengan lemahnya produksi pangan di negara kita. Amerika Srikat sebagai produsen gandum, kedelai dan jagung terbesar di dunia menjadikan indonesia sebagai salah satu Negara konsumennya. Negara kita membutuhkan 2,2 juta ton per tahun, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 800-859 ribu ton sisanya diimpor dari negeri lain, terutama Amerika.1) Kekeringan lahan di sentra produksi pertanian pangan Amerika Serikat sontak membuat Negara kita mengalami keris kedelai sehingga tempe dan tahu lenyap dipasaran. Seyogyanya krisis kedelai yang sempat menyulutkan emosi pengrajin dan pedagang tahu tempe tersebut mampu menjadi pembelajaran bagi sistem pertanian dan ketahanan pangan di Negara kita. Mari berpikir dan bertindak serius mengupayakan antisipasi krisis bahan pangan dimasa akan datang, atau harus menunggu emosi penduduk meledak karena kelaparan baru akan bertindak? a. Ketergantungan pangan impor dan mimpi jadi produsen CPO handal adalah ancaman krisis pangan Tentu tidak hanya ketersediaan kedelai yang mengandalkan pasokan Negara lain, akan tetapi juga kebutuhan pangan lainnya seperti beras, daging sapi, susu, gula, dan jagung yang selama ini kesediaannya sangat bergantung pada impor dari Negara lain. Padahal untuk mengimpor pangan setiap tahunnya, pemerintah menguras devisa Negara hingga lebih dari 5 miliar dollar AS (senilai Rp. 50 triliun).2. Sebaliknya Negara agraris yang konon katanya kaya akan SDA diskenario sedemikian rupa melalui kebijakan pembangunan nasional untuk memproduksi tanaman monokultur yang menghasilkan bahan baku bagi Negara-negara industry seperti Amerika Serikat, Eropa dll. Di Jambi misalnya luas lahan pertanian pangan/padi 155 Ha3, bandingkan dengan kelapa sawit yang luasnya 819,237 Ha4, belum termasuk kelapa sawit yang eksisting pada tahun 2010-sekarang. Sungguh rencana pembangunan di Negara ini memang lebih mengedepankan kepentingan Negara maju semata. Negara menjadikan industry hulu sebagai prioritas pembangunan nasional dengan dalih untuk mempecepat pertumbuhan ekomoni, meningkatkan devisa negara, pemerataan pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah terus mengkampanyekan mimpi untuk menjadi produsen minyak sawit terbesar mengalahkan Malaysia dan Singapura. Skenario pembangunan inilah yang dengan sengaja telah melupakan urusan pangan. Gegap gempita target pencapaian swasembada pangan 2014 yang meliputi beras, daging sapi dan kedelai tidak berbanding lurus dengan upaya-upaya kerja keras dilevel
1 2

www.metrotvnews.com 26 Juli 2012 Presiden Tuntut Komitmen Pengusaha Kedelai Harian umum Kompas, 24 Agustus 2009, RI Terjebak Impor Pangan. 3 Dinas Pertanian Prov. Jambi tahun 2010 Data Luas lahan pertanian. 4 Dinas Perkebunan Prov. Jambi 2010 Luas dan produksi lima komoditi unggulan.

kebijakan daerah, terlebih impelementasi di lapangan nyaris tidak menunjukkan upaya kongkrit perbaikan sistem pertanian pangan; baik produksi maupun distribusi. Lahirnya UU No. 14 tahun 2012 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang diturunkan melalui PP. No. 1 tahun 2011 untuk mengatur penetapan lahannya belum mengisyarakatkan perlindungan pertanian pangan atas kedaulatan bagi petani, akan tetapi lebih sarat dengan muatan politik ekonomi borjuasi. Penetapan lahan pertanian yang katanya untuk mendongkrak capaian produksi dengan mengefektifkan bantuan-bantuan infrastruktur dan tekhnologi sama artinya akan menghilangkan bantuan-bantuan bagi petani-petani local. Dan penetapan lahan oleh SKPD Pertanian dan Tataruang yang diajukan kepada Bupati untuk lahan pertanian berkelanjutan kabupaten dan Gubernur untuk lahan pertanian berkelanjutan propinsi akan menjadi model baru perampasan lahan masyarakat, dimana lahan-lahan petani yang berbentuk hamparan dan dinilai memenuhi standar sesuai PP. No. 1 akan diambil alih oleh pemerintah untuk ditetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan petani hanya mendapatkan ganti rugi, singkatnya lahan kelolah masyarakat akan semakin hilang. Jika selama ini lahan perkebunan sebagian besar sudah menjadi milik swasta dan Negara, maka sebentar lagi lahan-lahan pertanian semisal sawah hamparan milik masyarakat yang dikelolah sendiri sebentar lagi akan bepindah tangan, karena lahan pertanian pangan perkelanjutan didesign untuk menyerap banyak tekhnologi maka kemungkinan besar pengusahaannya akan diserahkan kepada pihak swasta/perusahaan. Petani dan msyarakat sekitar akan terintegrasi di dalam skema ini, jadi ini persis serupa dengan skema pembangunan perkebunan kelapa sawit, dimana petani hanya akan menjadi bagian kecil yang akan dilibatkan pada peran-peran tertentu bukan sebagai subjek/actor perting dalam sebuah rencana dan pelaksanaan pembangunan di desanya bahkan di atas lahan miliknya. Berkaca pada MIFEE (Merauke Integrated Food and Energi State) yang merupakan pusat pertanian pangan terbesar di Asia, dimana pemerintah menyediakan 1,62 juta Ha lahan untuk jangka panjang dengan nilai investasi 60 triluin, saat ini telah terealiasai tanaman pangan 100.000 Ha, dan tanaman yang dikembangkan tidak terbatas jenisnya mulai dari padi hingga kelapa sawit 5. MIFEE diprediksi lebih dominan untuk kepentingan pengembangan agrofiul, dan perusahaanperusahaan yang berinvestasi berhak untuk menentukan peruntukan hasil pertaniannya sebagai komodity untuk energy atau untuk pangan, dan tidak ada aturan yang menegaskan bahwa hasil produksi pertanian tersebut diperuntukkan sebagai penyediaan pangan untuk Indonesia. Artinya bukan hanya petani sekitar project MIFEE yang tidak mendapatkan manfaat atas project ini akan tetapi secara global ketahanan pangan nasional sebagai tujuan awal program ini tidak lebih dari sekedar lip servis, salah satu faktanya Saudi Binladin Group milik Saudi Arabia perusahaan swasta Arab Saudi yang menginvestasikan 43 miliar dollar AS di Papua menargetkan lahan pertanian seluas 500.000 lahan pertanian di Merauke untuk mengembangkan beras Basmati (benih Arab Saudi) dan hasil pertaniannya akan diekspor ke Arab Saudi untuk memenuhi kebutuhan pasar Arab Saudi.6 Semangatnya adalah ketahanan pangan dan kecukupan sumber energi nasional tapi
5

Baca tulisan Erfan Paryadi Anggota Dewan Pakar KPA, Januari 2012 Memperjuangkan Hak-hak Rakyat Indonesia Dalam Konteks Baru Perampasan Tanah Untuk Kepentingan Energi dan Pangan. 6 Warta Papua Barat 31 Maret 2011 Bin Laden Group Investasi Agribisnis di Merauke.

faktanya hanya mengekspploitasi SDA dan SDM Papua untuk kepentingan korporasi asing. Demikian halnya dengan pengadaan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang semangatnya adalah kecukupan pangan dikwatirkan akan bernasib sama, yakni perlindungan dan peruntukan lahan untuk kepentingan bisnis berkelanjutan. Kedaualatan petani dan kemandirian pangan akan semakin jauh dari kenyataan, sepanjang pemerintah membuka lebar kran impor pangan maka selama itu juga petani akan terus terpuruk. Selama pemerintah tak mampu membatasi laju ekspansi perkebunan kelapa sawit dan tanaman momokultur lainnya maka krisis pangan dan kelaparan akan sulit terelakkan. b. Belajar pada pertanian di Negara maju dan berhenti menjadi pecundang Tak terbayang apa jadinya nasib petani pangan kita jika mengalami bencana kekeringan dan gagal panen secara masal seperti yang terjadi di Amerika Serikat saat ini? Bisa dipastikan petani akan mengalami kerugian besar bahkan berpotensi menimbulkan trauma yang mengakibatkan tidak menggarap lahan pertaniannya sebagaimana yang telah terjadi dibanyak daerah di Indonesia. Sementara di Amerika, kegagalan panen akibat kekeringan tidak terlalu mempengaruhi pendapatan petani, karena semua tanaman petani telah diasuransikan kepada Negara. Pada kekeringan tahun 2011 negara melakukan pembayaran asuransi tanaman petani hingga mencapai 10,8 miliar dollar AS7. Demikian halnya dengan sistem produksi dan distribusi hasil pertanian, Amerika maupun Negara produsen pangan lainnya seperti Thailand dan Australia menerapkan kebijakan dan sistem yang melindungi perekonomian petani, memberikan pelayanan dalam peningkatan kualitas dan kuantitas produksi dan mengatur distiribusinya, akses pembiayaan, menjamin kesediaan pasar dengan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, dan memberikan harga subsidi atas kelebihan produksi petani yang kemudian dipasarkan ke Negara lainnya, termasuk Indonesia. Itulah sebabnya mengapa harga pangan impor lebih rendah dibanding harga pangan dalam negeri. Sedemikian besarnya perhatian Negara maju terhadap urusan pertanian pangannya sehingga mampu menyulap lahan yang terbatas menjadi sentra pertanian pangan dan menjadikannya sebagai produsen pangan bagi Negara-negara lain di dunia. Sebaliknya kita sebagai Negara agraris yang mempunyai lahan luas terbentang justru mengurus pertanian pangan dengan sekedarnya saja, adanya struktur pemerintah mulai dari departemen pertanian, ketahanan pangan, penyuluhan, hingga bidang perdagangan dan koperasi tidak serta merta menciptakan sistem yang baik bagi pertanian dan ketahanan pangan di Indonesia. Sebagai pelajaran, seharusnya Negara ini menjadikan kekeringan di Amerika sebagai cambuk untuk segera memperbaiki sistem pertanian pangan. Secara sigap harus segera merekontruksi kebijakan yang selama ini dengan sengaja mengecilkan peran petani lokal, sampai kapan kita harus tega melihat petani kedelai terpaksa menahan sabar ketika produksinya dinilai jauh lebih murah dibanding kedelai impor dengan alasan kualitas. Tidakkah bisa Negara ini bekerja sedikit lebih keras untuk membantu petani dalam meningkatkan kualitas produksinya?

Harian umum Kompas 30 Juli 2012 Kekeringan AS dan Ekonomi Pangan Indonesia.

Kesediaan pangan yang cukup dalam konsep ketahanan pangan telah menjebak pemerintah dalam ketergantungan impor pangan. Definisi Ketahanan pangan dan Kesediaan Pangan pada BAB I ketentuan umum PP. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan secara sistematis telah menyerahkan persoalan pangan kepada mekanisme pasar. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau dan Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan/atau sumber lain.8 Jika menyimak definisi ini tentu apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini dengan mengimpor pangan sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi warga Negara tidaklah salah, karena kebijakan yang melandasinya memang tidak menggariskan ketentuan untuk mengandalkan produksi dalam negeri. Jika kemudian muncul ide untuk merevisi UU pangan harus terlebih dahulu menyamakan frame berfikir bahwa SDA yang kita miliki harus diprioritaskan untuk kepentingan warga Negara Indonesia karena itu merupakan dasar dari kedaulatan pangan, kedaulatan bagi Negara dan bangsa secara yang secara mandiri dapat menentukan kebijakan pangannya, dengan tegas menolak campur tangan kekuatan lain dalam sistem pengelolaanya, sehingga mampu menjamin ketersediaan pangan bagi warganegara dari pengembagan sumber daya local.

Ditulis oleh : Nurbaya Zulhakim (Div. Pendidikan Publik Yayasan SETARA)

PP. No.68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan.

Anda mungkin juga menyukai