Anda di halaman 1dari 17

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL dan DAERAH

Peran pertanian dalam pembangunan dapat dikelompokan menjadi 3 kegiatan pokok,antara lain : 1. Menyumbang produk domestik bruto nasional 2. Memberikan kesempatan kerja 3. Sebagai sumber penerimaan devisa hasil ekspor komoditi

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki daratan yang sangat luas sehingga mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah pada sektor pertanian. Pertanian dapat dilihat sebagai suatu yang sangat potensial dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional yaitu sebagai berikut: - ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di bidang pertanian, baik dari sisi permintaan maupun penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur dan perdagangan. - Pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi produk-produk dari sektor-sektor lainnya. - Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi lainnya. - Sebagai sumber penting bagi surplus perdagangan (sumber devisa). Kontibusi terhadap kesempatan kerja Di suatu Negara besar seperti Indonesia, di mana ekonomi dalam negerinya masih di dominasi oleh ekonomi pedesaan sebagian besar dari jumlah penduduknya atau jumlah tenaga kerjanya bekerja di pertanian. Di Indonesia daya serap sektor tersebut pada tahun 2000 mencapai 40,7 juta lebih. Jauh lebih besar dari sector manufaktur. Ini berarti sektor pertanian merupakan sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi.

Kalau dilihat pola perubahan kesempatan kerja di pertanian dan industri manufaktur, pangsa kesempatan kerja dari sektor pertama menunjukkan suatu pertumbuhan tren yang menurun, sedangkan di sektor kedua meningkat. Perubahan struktur kesempatan kerja ini sesuai dengan yang di prediksi oleh teori mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi dari suatu proses pembangunan ekonomi jangka panjang, yaitu bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin kecil peran dari sektor primer, yakni pertambangan dan pertanian, dan semakin besar peran dari sektor sekunder, seperti manufaktur dan sektor-sektor tersier di bidang ekonomi. Namun semakin besar peran tidak langsung dari sektor pertanian, yakni sebagai pemasok bahan baku bagi sektor industri manufaktur dan sektor-sektor ekonomi lainnya. Kontribusi devisa Pertanian juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap peningkatan devisa, yaitu lewat peningkatan ekspor dan atau pengurangan tingkat ketergantungan negara tersebut terhadap impor atas komoditi pertanian. Komoditas ekspor pertanian Indonesia cukup bervariasi mulai dari getah karet, kopi, udang, rempah-rempah, mutiara, hingga berbagai macam sayur dan buah. Peran pertanian dalam peningkatan devisa bisa kontradiksi dengan perannya dalam bentuk kontribusi produk. Kontribusi produk dari sector pertanian terhadap pasar dan industri domestic bisa tidak besar karena sebagian besar produk pertanian di ekspor atau sebagian besar kebutuhan pasar dan industri domestic disuplai oleh produk-produk impor. Artinya peningkatan ekspor pertanian bisa berakibat negative terhadap pasokan pasar dalam negeri, atau sebaliknya usaha memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu factor penghambat bagi pertumbuhan ekspor pertanian. Untuk mengatasinya ada dua hal yang perlu dilakukan yaitu menambah kapasitas produksi dan meningkatkan daya saing produknya. Namun bagi banyak Negara agraris, termasuk Indonesia melaksanakan dua pekerjaan ini tidak mudah terutama karena keterbatasan teknologi, SDM, dan modal.

Kontribusi terhadap produktivitas Banyak orang memperkirakan bahwa dengan laju pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara lahan-lahan yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian semakin sempit, maka pada suatu saat dunia akan mengalami krisis pangan (kekurangan stok), seperti juga diprediksi oleh teori Malthus. Namun keterbatasan stok pangan bisa diakibatkan oleh dua hal: karena volume produksi yang rendah ( yang disebabkan oleh faktor cuaca atau lainnya), sementara permintaan besar karena jumlah penduduk dunia bertambah terus atau akibat distribusi yang tidak merata ke sluruh dunia. Mungkin sudah merupakan evolusi alamiah seiring dnegan proses industrialisasi dimana pangsa output agregat (PDB) dari pertanian relatif menurun, sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor skunder lainnya, dan sektor tersier meningkat. Perubahan struktur ekonomi seperti ini juga terjadi di Indonesia. Penurunan kontribusi output dari pertanian terhadap pembentukan PDB bukan berarti bahwa volume produksi berkurang (pertumbuhan negatif). Tetapi laju pertumbuhan outputnya lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan output di sektor-sektor lain. Bukan hanya dialami oleh Indonesia tetapi secara umum ketergantungan negara agraris terhadap impor pangan semakin besar, jika dibandingkan dengan 10 atau 20 tahun yang lalu, misalnya dalam hal beras. Setiap tahun Indonesia harus mengimpor beras lebih dari 2 juta ton. Argumen yang sering digunakan pemerintah untuk membenarkan kebijakan M-nya adalah bahwa M beras merupakan suatu kewajiban pemerintah yang tak bisa dihindari, karena ini bukan semata-mata hanya menyangkut pemberian makanan bagi penduduk, tapi juga menyangkut stabilitas nasional (ekonomi, politik, dan sosial). Kemampuan Indonesia meningkatkan produksi pertanian untuk swasembada dalam penyediaan pangan sangat ditentukan oleh banyak faktor eksternal maupun internal. Satusatunya faktor eksternal yang tidak bisa dipengaruhi oleh manusia adalah iklim, walaupun dengan kemajuan teknologi saat ini pengaruh negatif dari cuaca buruk terhadap produksi pertanian bisa diminimalisir. Dalam penelitian empiris, faktor iklim biasanya dilihat dalam bentuk banyaknya curah hujan (millimeter). Curah hujan mempengaruhi pola produksi, pola

panen, dan proses pertumbuhan tanaman. Sedangkan factor-faktor internal, dalam arti bisa dipengaruhi oleh manusia, di antaranya yang penting adalah lusa lahan, bibit, berbagai macam pupuk (seperti urea, TSP, dan KCL), pestisida, ketersediaan dan kualitas infrastruktur, termasuk irigasi, jumlah dan kualitas tenaga kerja (SDM), K, dan T. kombinasi dari faktor-faktor tersebut dalam tingkat keterkaitan yang optimal akan menentukan tingkat produktivitas lahan (jumlah produksi per hektar) maupun manusia (jumlah produk per L/petani). Saat ini Indonesia, terutama pada sektor pertanian (beras) belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Ini berarti Indonesia harus meningkatkan daya saing dan kapasitas produksi untuk menigkatkan produktivitas pertanian. Sejak menurunya peranan minyak bumi dan gas, perhatian dan harapan banyak diarahkan kepada agribisnis untuk melanjutkan kegiatan pembangunan nasional. Harapan yang diberikan kepada agribisnin ditentukan oleh kondisi yang ada itu sendiri (intern) dan kondisi luar (ekstern).Salah satu factor intern yang mempengaruhi perkembangan pertanian di Indonesia adalah kurangnya tenaga kerja yang mempunyai tingkat keahlian yang selanjutnya akan mempengaruhi produktivitas dan kualitas komoditas yang dihasilkan.

Faktor ekstern agribisnis yang sangat penting adalah kemampuan pasar untuk menampung hasil-hasil agribisins lewat sisi permintaan dan kebijaksanaan pemerintah yang dapat menunjang pengembangan agribisnis itu sendiri. Misalnya,penyederhanaan izin ekspor.penghapusan pungutan-pungutan ,kemudahan kredit,peningkatan ketrampilan ,dan kelancaran pengangkutan barang.

Sejauh mana kebijakan tersebut dapat benar-benar efektif,masih sangat tergantung pada pelaksanaanya di lapangan .Oleh karenai itu,diperlukan adanya penguasaan,dan penghayatan terhadap kebijaksanaan yang dirumuskan ,khusus untuk bidang pengawasan perlu mendapat perhatian.

Proses industrialisasi dilaksanakan dengan perbedaan yang amat prinsip, yaitu bahwa sektor industri manufaktur (modern) dijalankan dengan prinsip maksimisasi keuntungan biasa; sedangkan sektor pertanian (tradisional) dijalankan dengan norma-norma konvensional, bukan

prinsip-prinsip produksi marjinal. Jadi, apabila konsep kelebihan tenaga kerja memang diartikan sebagai tingkat produktivitas marjinal yang mendekati nol, maka tingkat alokasi produksi dalam sektor perrtanian hampir tidak mungkin untuk mengikuti prinsip-prinsip persaingan pasar sempurna.

Artinya, tingkat upah buruh di sektor pertanian terlalu kecil untuk sekadar bertahan hidup, sehingga suatu norma tertentu terkadang dijadikan basis pengambilan keputusan alokasi produksi. Proses industria1isasi yang dicirikan oleh karakter dualistik tersebut umumnya menghadapi kondisi asimetri produksi dan asimetri organisasi. Asimetri produksi maksudnya adalah bahwa penggunaan faktor produksi modal tidak digunakan sepenuhnya dalam sektor pertanian dan lahan tidak digunakan sepenuhnya dalam sektor industri. Sedang asimetri organisasi maksudnya tingkat penerimaan upah di kedua sektor tersebut tidak akan mencapai keseimbangan karena perbedaan produktivitas marjinal tenaga kerja.

Prinsip yang diperjuangkan para ekonom pertanian ini cukup sederhana, namun menyentuh sendi-sendi kehidupan perekonomian, misalnya bahwa laju penyediaan bahan pangan minimal harus sama atau lebih besar dari laju permintaan pangan, yang sangat ditentukan oleh tingkat pertumbuhan penduduk, pendapatan serta elastisitas atau persentase pendapatan untuk konsumsi pangan. John Mellor terus konsisten memperjuangkan fungsi strategis sektor pertanian sebagai pengganda pendapatan dan pengganda lapangan kerja, yang sekaligus sangat menentukan proses perubahan teknologi dan industrialisasi baik di negara berkembang, maupun di negara maju.

Ketika ekonomi pertanian semakin memperoleh tempat di tengah masyarakat, maka perubahan teknologi berikut ini menandai kehidupan dunia pertanian dan peradaban manusia umumnya. Di antaranya adalah penemuan varietas unggul baru dalam komoditas pangan bijibijian, penambahan zat hara tanah dalam bentuk pupuk buatan, penanggulangan hama dan penyakit tumbuhan dengan bahan kimia, pengaturan populasi tanaman, serta manajemen pengaturan air irigasi dan drainase, dan sebagainya. Era perubahan teknologi yang sangat pesat itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau, karena memang ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian terutama bahan pangan, sebagai jawaban para ilmuwan lain

terhadap ancaman kekurangan pangan dan kelaparan yang begitu mudah dijumpai di banyak tempat. Revolusi Hijau telah mampu menyelamatkan manusia dan jenis peradabannya dari kepunahan atau kematian karena kelaparan, yang sekaligus memupus keraguan aliran pemikiran pesimisme ala Thomas Malthus dan pengikutnya. Lonjakan produksi pangan dan biji-bijian yang dihasilkan oleh teknologi baru dalam hal benih dan varietas unggul baru serta bahan kimia yang menjadi pupuk dan pestisida tercatat sampai pangan 4-5 kali lipat dari sebelumnya, sesuatu yang tidak pemah terbayangkan sebelumnya. Para ekonom pertanian sering menyebutnya dengan teknologi biologis-kimiawi, yang sangat diandalkan pada lahan sempit dengan penduduk yang padat, sekaligus untuk membedakannya dengan teknologi mekanis yang mengandalkan mesin dan alat pertanian yang sangat memadai untuk areal luas dengan tenaga kerja yang terbatas. Dalam hal teknologi mekanis, ekonomi pertanian melihatnya sebagai suatu respons rasional karena kecilnya rasio lahan terhadap tenaga kerja, sebagaimana yang diadopsi di negaranegara dengan areal lahan sangat luas, seperti di Amerika Serikat, Eropa Barat, Rusia dan lainlain. Aplikasi teknologi mekanis sering juga dianggap sebagai varian dari Revolusi Industri, yang telah berlangsung sejak abad 19, walaupun para ekonom pertanian belum terlalu sepakat tentang keterkaitannya dengan Revolusi Hijau atau revolusi di dunia pertanian tersebut. Maksudnya, revolusi pertanian bukan sekadar penerapan atau adopsi metode-medote industrialisasi kepada proses produksi pertanian. Jika di industri proses mekanisasi merangsang terspesialisasinya tenaga kerja, di pertanian proses mekanisasi mengandung dimensi ruang dan waktu yang amat rumit. Keterpautan waktu antara pengolahan lahan, tanam, penanggulangan gulma, hama dan penyakit, panen dan sebagainya itu memang memerlukan mesin pertanian spesialis khusus. Pada sistem pertanian yang sangat mekanis, mobilitas dan spesialisasi seringkali mengakibatkan biaya investasi per tenaga kerja yang lebih tinggi dari pada di sektor industri. Hal itu berarti bahwa teradopsinya mekanisasi dalam bidang pertanian adalah untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian itu sendiri. Singkatnya, perkembangan proses mekanisasi pertanian memiliki tujuan untuk meningkatkan produksi per tenaga kerja atau dalam hal ini untuk memperluas lahan produktif melalui proses ekstensifikasi pertanian. Persoalan menjadi sedikit lebih rumit ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah proses perubahan teknologi itu merupakan faktor eksogen dalam suatu sistem ekonomi --di sini berarti

pengembangan kedua jenis teknologi merupakan produk atau hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi-- ataukah proses perubahan teknologi itu merupakan faktor endogen suatu sistem ekonomi. Dalam suatu sistem perekonomian yang dinamis, perubahan harga permintaan produk dan harga penawaran faktor produksi tidaklah dapat dipisahkan. Misalnya, ketika permintaan terhadap bahan makanan naik karena naiknya jumlah penduduk atau meningkatnya pendapatan per kapita, permintaan terhadap faktor produksi tersebut ikut naik secara proporsional. Artinya, kenaikan permintaan tersebut mengakibatkan berubahnya harga relatif faktorfaktor produksi. Akibat berikutnya adalah bahwa tingkat pendapatan --termasuk distribusinya di kalangan para pemilik faktor produksi-- berubah sehingga hal tersebut kembali mempengaruhi permintaan secara keseluruhan. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi cikal-bakal konsep keseimbangan umum dalam ekonomi, yang kelak berkembang sangat pesat sebagai salah satu analisis lebih komprehensif terhadap berbagai fenomena kehidupan manusia. Sektor pertanian merupakan sektor yang tetap memiliki peranan yang penting dalam struktur perekonomian nasional. Beberapa alasan yang mendasari pentingnya pertanian di Indonesia: (1) potensi sumberdayanya yang besar dan beragam, (2) pangsa terhadap pendapatan nasional cukup besar, (3) besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini, yaitu 50% jumlah penduduk (Nainggolan, 2005), dan (4) menjadi basis pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Selain itu, pertanian tropika yang merupakan sektor yang menjanjikan, melihat pontensi sumberdaya alam Indonesia yang begitu besar.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pembangunan pertanian merupakan hal mutlak yang perlu dipikirkan setiap pihak, baik kalangan masyarakat, swasta dan pemerintah. Namun, di satu sisi motivasi generasi muda untuk menggeluti bidang pertanian terlihat memprihantinkan. Sebagai contoh, berdasarkan informasi Departemen Pendidikan Nasional, selama kurun waktu 2005 sampai Juni 2006 saja, sebanyak 40 fakultas pertanian sudah ditutup. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengemukakan gagasan konsep strategis pengembangan karakter unggulan SDM pertanian dalam upaya meningkatkan peran pertanian

tropika masa depan. Adapun manfaat yang ingin diharapkan adalah dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya karakter unggulan kaitannya dengan upaya peningkatan peran pertanian tropika masa depan, serta dapat memberikan masukan kepada instansi terkait dan pemerintah sebagai acuan untuk merumuskan grand design kebijakan berkaitan dengan strategi pembentukan SDM pertanian yang unggul dalam mengembangkan pertanian tropika. Secara sistematis, metode yang digunakan dalam penulisan ini dilakunan melalui beberapa tahapan, antara lain: penggailian ide, pengumpulan data dan informasi, pengolahan data dan informasi, analisis dan sintesis, serta perumusan kesimpulan dan saran.

Masalah-masalah dalam usahatani di Indonesia 1. Masalah-masalah dalam usahatani menurut Fadholi (1991) a) Kurang rangsangan Masalah kurang rangsangan karena sikap puas diri para petani yang umumnya petani kecil. Ada semacam kejenuhan dan putus asa karena sulitnya meningkatkan taraf hidup dan pemenuhan kebutuhan keluarganya. Akibat berikutnya akan berpengaruh terhadap kemampuan untuk meningkatkan pendidikan dan tersedianya dana yang cukup untuk biaya operasional usahataninya. Rendahnya tingkat pendidikan akan berpulang kepada rendahnya adopsi teknologi, apalagi kurangnya dana tadi akan sulit untuk membeli teknologi. b) Lemah tingkat teknologinya Dalam hal ini, kami menyebutnya dalam kelompok Late Majority. Yaitu kelompok yang lambat dalam hal menerima informasi ataupun teknologi terbaru. Sehingga mereka tetap berada di situ saja. Tidak berjalan ke depan. Tetapi kelompok ini lebih skeptik dan lambat dalam hal mengadoptir sesuatu hal baru yang asing bagi mereka, meskipun mereka punya kemauan untuk mengadopsi atau menerapkan suatu teknologi tersebut. Mereka hanya mengikuti teknologi yang baru jika telah disetujui oleh pendapat umum dan telah diterapkan oleh kebanyakan orang. c) Langkanya permodalan untuk pembiayaan usahatani Dengan terbatasnya modal, maka penyediaan fasilitas kerja berupa alat-alat usahatani semakin sulit dipenuhi. Akibatnya intensitas penggunaan kerja menjadi semakin menurun. Ketergantungan keluarga akan modal menyebabkan petani terjerat sistem yang dapat merugikan diri sendiri dan keluarganya , seperti adanya sistem ijon dsb. Sebagai akibat langkanya modal usahatani, kredit menjadi penting. Dalam hal ini pemerintah perlu menyediakan fasilitas kredit kepada petani dengan syarat mudah dicapai. Keadaan yang demikian belum sepenuhnya ada. Demikian pula dengan prosedur mudah dan suku bunga yang relatif rendah. Dengan demikian terbuka pemilik modal swasta mengulurkan tangan, sambil membunuh secara perlahan kepada petani, melalui sistem yang dikenal dengan sistem ijon. Alasan petani untuk tidak menggunakan fasilitas kredit yang disediakan pemerintah adalah belum tahu caranya, tidak ada jaminan, serta bunganya dianggap terlalu besar.

d) Masalah transformasi dan komunikasi Upaya pembangunan termasuk membuka isolasi yang menutup terbukanya komunikasi dan langkanya transportasi. Hal itu menyulitkan petani untuk menyerap inovasi baru dan bahkan untuk memasarkan hasil usahataninya. Isolasi ini akan menutup setiap informasi harga yang sebetulnya sangat diperlukan oleh petani. e) Kurangnya informasi harga Aspek-aspek pemasaran merupakan masalah diluar usahatani yang perlu diperhatikan. Seperti kita ketahui petani yang serba terbatas ini berada pada posisi yang lemah dalam penawaran persaingan, terutama yang menyangkut penjualan hasil dan pembelian bahan-bahan pertanian. Penentu harga produk tidak pada petani. Petani harus terpaksa menerima apa yang menrjadi kehendak dari pembeli dan penjual. Makin ia maju, ketergantungan akan dunia luar akan semakin besar. Tengkulak memegang peranan yang besar pada aspek penjualan hasil usahatani. f) Adanya gap penelitian terpakai untuk petani Bahan penelitian yang mampu menggerakkan teknologi terkadang lambat diubah dalam bahan penyuluhan oleh penghantar teknologi. Terjadi kesenjangan antara peneliti dan petani. Terjadi kelambatan dan adanya proses adaptasi hasil penelitian,memerlukan penanganan yang lebih mantap terhadap sistem maupun pelayanan pengukuran. g) Luasan usaha yang tidak menguntungkan Dengan lahan usahatani yang sempit, akan membatasi petani berbuat pada rencana yang lebih lapang. Keadaan yang demikian akan membuat petani serba salah, bahkan menjurus kepada keputusasaan. Tanah yang sempit dengan kualitas tanah yang kurang baik akan menjadi beban bagi petani pengelola usaha tani. Akibat lanjutan dari sempitnya luasan lahan usahatani adalah rendahnya tingkat pendapatan petani. Besarnya jumlah anggota yang akan menggunakan pendapatan yang sedikit tadi, akan berakibat rendahnya tingkat konsumsi. Dan ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja dan kecerdasan anak, menurunnya kemampuan berinvestasi, dan upaya pemupukan modal.

h) Belum mantapnya sistem dan pelayanan penyuluhan Memang penyuluh telah ditambah, tetapi jumlah petani cukup banyak sehingga imbangan petani-penyuluh menjadi besar. Belum lagi lokasi dan tingkat pengetahuan petani yang beragam membuat sulit dalam mekanisme penghantaran teknologi. i) Aspek social, politik, ekonomi yang berkaitan dengan kebijakan bagi petani Petani dituntut mengadakan pangan, bahan baku industri, dan melestarikan sumberdaya alam. Ada pembebanan yang tinggi terhadap sector ini. Semua semua merupakan kebijakankebijakan politik. Kondisi sosial menempatkan petani pada posisi sulit, meskipun berperan besar. Ini adalah fakta sosial petani, termasuk nelayan, bagian yang terbesar jumlah petani pada posisi lemah. Posisi kuat dimiliki sektor lain, kebanyakan di luar petani. Ini aspek ekonomi, di pihak lain petani memberikan konstruksi tinggi terhadap pendapatan nasional. Pemasaran hasil usahataninya di luar kekuasaannya. Meraka belum dan bahkan tidak dilibatkan dalam penetapan kebijakan pasar, mereka lemah posisi bersaingnya. 2. Masalah-masalah dalam usahatani menurut Soekartawi a) Aspek teknologi Para petani kecil pada umumnya sulit menerima setiap teknik atau metode baru (innovation). Selain itu, setiap penerapan teknologi membutuhkan modal yang lebih besar untuk pengadan dan penguasaan teknologi tersebut. b) Perubahan harga Pada suatu masa tertentu harga-harga komoditas usahatani mengalami perubahan. Misalnya apabila harga komoditas kubis di pasaran tinggi, petani akan beramai-ramai menanam kubis sehingga apabila musim panen tiba, harga kubis menjadi turun jauh yang mengakibatkan kerugian pada petani itu sendiri.

c) Meningkatnya jumlah produsen Semakin banyak petani yang mengusahakan komoditas yang sama, maka akan semakin ketat kompetisi untuk mendapatkan konsumen. Sehingga bagi petani yang belum siap menghadapi persaingan akan mengalami kerugian. d) Menurunnya harga Turunnya harga suatu komoditas menyebabkan petani jarang mengusahakan komoditi tersebut sehingga keberadaannya di pasar terbatas padahal permintaan dari suatu konsumen tetap ada. Hal ini akan mengakibatkan kelangkaan dan harga akan naike) Menurunnya lahan pertanian Dari tahun ke tahun luasan lahan pertanian semakin menurun, hal ini disebabkan karena banyak lahan yang sekarang dimanfaatkan untuk pemukiman ataupun pertokoan. Hal ini akan berpengaruh pada komoditas pertanian. Komoditas pertanian akan semakin langka sedangkan permintaannya semakin meningkat. f) Meningkatnya kesadaran kesehatan Pada umumnya petani kecil mengusahakan pertaniannya secara konvensional, yang menggunakan pupuk, dan pestisida kimia, sementara itu masyarakat sekarang mulai memperhatikan makanan yang akan mereka konsumsi apakah tercemar residu kimia atau tidak sehingga mereka lebih memilih produk organik dari pada produk yang dihasilkan oleh petani kecil. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan kerugian pada diri petani karena produknya tidak diminati konsumen. g) Perubahan iklim Perubahan iklim yang tidak menentu pada saat ini mengakibatkan petani kesulitan untuk memprediksi musim tanam, selain itu petani akan kesulitan mendapatkan air untuk pertanian. h) Pembiayaan usahatani Dalam kegiatan proses produksi pertanian organik, maka modal dibedakan menjadi dua macam yaitu modal tetap dan tidak tetap. Perbedaan tersebut disebabkan karena ciri yang dimiliki oleh model tersebut. Faktor produksi seperti tanah, bangunan, dan mesin-mesin sering

dimasukkan dalam kategori modal tetap. Dengan demikian modal tetap didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang tidak habis dalam sekali proses produksi tersebut. Peristiwa ini terjadi dalam waktu yang relative pendek dan tidak berlaku untuk jangka panjang (Soekartawi, 2003). Besar kecilnya modal dalam usaha pertanian tergantung dari : Skala usaha, besar kecilnya skala usaha sangat menentukan besar-kecilnya modal yang dipakai makin besar skala usaha makin besar pula modal yang dipakai. Macam komoditas, komoditas tertentu dalam proses produksi pertanian juga menentukan besar-kecilnya modal yang dipakai. Tersedianya kredit sangat menentukan keberhasilan suatu usahatani (Soekartawi,2003). i) Perubahan pola hidup Perubahan pola hidup petani berpengaruh pada pengusahaan suatu komoditas. Apabila petaninya masih menganut pola pertanian tradisional maka pola budidayanyapun masih menggunakan cara tradisional sehingga hasilnya hanya cukup digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga petani. Sedangkan petani yang sudah modern maka budidayanya lebih bersifat komersil untuk mendukung hal tersebut maka peralatan pertaniannyapun lebih modern. 3. Masalah-masalah dalam usahatani menurut Syukuriwantoro (2009) a. Meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global Perubahan iklim global telah menjadi perhatian dunia dan diyakini akan berpengaruh terhadap produksi pangan. Frekuensi anomali iklim antar musim dan antar tahun meningkat, menyebabkan penentuan waktu tanam sulit dilakukan dan resiko kegagalan panen semakin besar. b. Terbatasnya ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana lahan dan air Infrastruktur pedesaan pendukung usahatani yang belum memadai, merupakan salah satu masalah utama usahatani. Salah satu infrastruktur yang sangat diperlukan oleh petani adalah jalan usahatani. Pada saat ini tidak tersedia jalan usahatani untuk menuju ke lahan sawah yang letaknya agak jauh dari pemukiman. Untuk menuju ke sawahnya petani harus melewati galangan

atau lahan sawah petani lainnya. Sering kali mereka tidak diizinkan untuk melintasi galangan atau lahan sawah petani lainnya karena dapat merusak galangan atau tanaman yang telah ada. Hal ini kadang menjadi pemicu perselisihan diantara mereka. Ketiadaan jalan usahatani ini membuat petani mengalami kesulitan dalam mengangkut saprodi dan hasil usahatani sehingga menambah biaya produksi. Masalah lain yang berhubungan dengan infrastruktur pedesaan ini adalah rusaknya jaringan pengairan yang tersedia. Pada beberapa lokasi lain juga terdapat jaringan yang dianggap masyarakat rancangannya (desain) tidak sesuai dengan kondisi lahan setempat. Keadaan ini membuat ketersediaan air tidak dapat diatur, sebagian lokasi ada yang kekeringan dan pada bagian lain ada yang lahannya tergenang lebih lama; akibatnya terjadi keterlambatan waktu tanam dan kegagalan panen. c. Status dan luas kepemilikan lahan (9,55 juta KK, luas lahannya <0,5 ha) Indonesia dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia mempunyai lahan pertanian yang terbatas. Kondisi tersebut diperparah oleh tingginya laju peningkatan penduduk, alih fungsi lahan sawah untuk keperluan industri dan infra struktur, konversi lahan pertanaman padi menjadi lahan pertanaman komoditas lain yang bernilai jual lebih tinggi, serta menurunnya investasi pemerintah dalam pencetakan sawah baru, pembangunan sarana irigasi, dan menurunnya dana yang tersedia untuk memelihara jaringan irigasi yang sudah dibangun. d. Lemahnya sistem perbenihan perbibitan nasional kuantitas dan konsistensi produksi benih/bibit belum terjaga, laju adopsi benih/bibit varietas unggul masih lambat, mutu benih/bibit belum memenuhi standar, pengendalian mutu belum berjalan efektif, dan juga sejumlah kebijakan Pemerintah yang mengait bidang perbenihan/perbibitan yang tidak selalu menguntungkan bagi dunia usaha khususnya dalam hal perlindungan hak cipta atas varietas tanaman. e. Ketebatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani Permodalan merupakan salah satu faktor produksi penting dalam usaha pertanian. Namun, dalam operasional usahanya tidak semua petani memiliki modal yang cukup. Aksesibilitas petani terhadap sumber-sumber permodalan masih sangat terbatas, terutama bagi

petani-petani yang menguasai lahan sempit yang merupakan komunitas terbesar dari masyarakat pedesaan. Dengan demikian, tidak jarang ditemui bahwa kekurangan biaya merupakan kendala yang menjadi penghambat bagi petani dalam mengelola dan mengembangkan usaha tani. f. Lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh Masih lemahnya kelembagaan usaha dan kelembagaan petani. Usaha agribisnis skala rumahtangga, skala kecil dan agribisnis skala besar belum terikat dalam kerjasama yang saling membutuhkan , saling memperkuat dan saling menguntungkan. Yang terjadi adalah penguasaan pasar oleh kelompok usaha yang kuat sehingga terjadi distribusi margin keuntungan yang timpang (skewed) yang merugikan petani. g. Masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energy Semakin rawannya ketahanan pangan di Indonesia merupakan akibat semakin menurunnya luas lahan pertanian dan produktivitas lahan yang tidak mungkin ditingkatkan. Artinya beberapa upaya untuk meningkatkan hasil produksi pertanian sudah tidak ekonomis lagi. h. Belum berjalannya difersifikasi pangan dengan baik Kebanyakan petani menanam suatu komoditas dengan pola monokultur, dan dilakukan secara terus-menerus, sehingga apabila panen raya tiba harga komoditas tersebut jatuh sehingga menyebabkan petani rugi. i. Rendahnya nilai tukar petani hasil panen komoditas palawija (kedele, kacang tanah dan jagung langsung dijual pada tengkulak atau penebas dengan alasan tidak tahan disimpan lama) j. Belum padunya antar sector dalam menunjang pembangunan pertanian penanganan panen dan pasca panen belum didukung oleh penggunaan alsintan; belum semua petani melaksanakan rekomendasi pemupukan(baru 60 %); hasil panen komoditas palawija (kedele, kacang tanah dan jagung langsung dijual pada tengkulak atau penebas dengan alasan tidak tahan disimpan lama). k. Kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian

Para pekerja birokrasi pertanian umumnya jarang untuk terjun langsung ke lapang untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi oleh petani. Sehingga para petani menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri yang terkadang justru merugikan.

Daftar Pustaka http://www.scribd.com/doc/54524590/Peran-Sektor-Pertanian-Dalam-PerekonomianIndonesia http://anggi-arga.blogspot.com/2010/03/masalah-usahatani-dan-faktor-yang.html

Anda mungkin juga menyukai