Anda di halaman 1dari 11

BAHAN-BAHAN WORKSHOP ENERGI

Pengaturan listrik, migas & energi terbarukan secara syariah.

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar


Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial

1. Listrik, Mengapa Mahal?


Wacana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) telah menghantui rakyat Indonesia sejak awal tahun 2006. Setelah kenaikan harga BBM lebih dari 100% pada Oktober 2005, PLN pun kini meminta pemerintah untuk memilih: menaikkan subsidi ke PLN atau menaikkan Tarif Dasar Listrik. Alasan klasiknya adalah terjadinya krisis listrik. Bila pemerintah tidak bersedia memenuhi salah satu dari tuntutan itu, maka beban masyarakat tidak bertambah, namun PLN khawatir: (1) Kemampuan PLN dalam melayani kebutuhan listrik tidak tercukupi sepanjang tahun (akan terjadi pemadaman); (2) Jadwal Pemeliharaan Pembangkit, Transmisi & Distribusi tidak bisa dilaksanakan sehingga kualitas pasokan listrik menurun; (3) Tidak ada investasi di sektor kelistrikan sehingga: a) PLN tidak mampu melayani tambahan kebutuhan listrik (tambah daya, penyambungan baru); b) Industri-industri tidak akan tumbuh bahkan industri yang saat ini menggunakan listrik PLN terancam dihentikan; c) Peralatan listrik (pembangkit, jaringan, dll) tidak dapat diremajakan yang berakibat efisiensi pasokan menurun. Pada tulisan ini kita akan melihat lebih dekat bagaimana krisis listrik dan secara umum krisis energi terjadi, apa penyebabnya dan bagaimana seharusnya solusinya menurut Islam. atau jaringan yang terganggu, dipastikan akan ada pemadaman dalam skala yang luas. Tabel-1: Listrik di Indonesia kapasitas terpasang [MW] Luarjawa Jawa Indonesia 5973 15498 21470 daya mampu [MW] 4571 13473 18044 beban puncak [MW] 4494 14402 18896

Listrik adalah bentuk energi sekunder. Sebagai suatu bentuk energi, listrik memiliki sifat yang sangat fleksibel, yaitu mudah diubah ke bentuk energi lain (mekanik, panas, kimia, cahaya, ataupun elektronik). Listrik juga mudah dipindahkan (ditransmisi) dari tempat asal energi primernya ke pengguna yang membutuhkan. Sumber energi primer sendiri sebenarnya sangat beragam. Namun biasanya dibagi dalam dua jenis: energi fossil dan energi baru / terbarukan. Energi fossil adalah simpanan karbon yang terbentuk dari fotosintesis atau proses biotik tumbuhan dan hewan berjuta-juta tahun yang lalu dan tersimpan oleh proses geologis. Bentuknya adalah batu bara, minyak bumi dan gas. Yang dimaksud energi baru adalah energi non konvensional yang ditemukan manusia setengah abad terakhir, yaitu pembelahan inti atom (nuklir) Urainium. Sedang energi terbarukan adalah energi yang praktis di alam baru akan habis dalam jutaan tahun, seperti energi matahari beserta turunannya (energi air, angin, biomassa, gelombang laut), pasang surut dan panas bumi.

Krisis listrik di Indonesia.


Jauh sebelum wacana kenaikan TDL, posisi penyediaan listrik di Indonesia sebenarnya sudah rawan. Ini terlihat dari cadangan listrik (selisih kapasitas terpasang dengan daya mampu) yang sangat tipis, kurang dari 35% beban puncak. Akibatnya bila ada pusat listrik

Saat ini struktur penggunaan energi di Indonesia masih terlalu berat ke energi fossil, dan demikian pula hingga 20 tahun mendatang. Rupanya belum cukup ada kesungguhan dan keberanian dari elit politik untuk mempromosikan energi baru dan terbarukan yang potensinya di negeri ini sebenarnya cukup melimpah. Tabel-2a: Total Pasokan Energi Final di IndonesiaIi (dalam PetaJoule / tahun) 1 PJ = 175074 Setara Barrel Minyak (SBM) atau 277,78 GWh.
2005 Batubara Minyak Gas Terbarukan Nuklir 477 2458 1486 1870 0 6291 2010 541 2889 1937 1993 0 7360 2015 904 3616 1866 2088 36 8510 2020 1158 4480 2014 2164 270 10086 2025 1453 5841 2410 1995 530 12229

Biaya Pokok Penyediaan


Biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebenarnya bervariasi tergantung kondisi pembangkitnya dan jenis penggunanya. Pada pembangkit dengan energi primer minyakbumi, serta untuk keperluan industri, di mana supply listrik bisa dilakukan dengan Tegangan Menengah, BPP adalah sekitar Rp. 977 / KWh. Namun di sektor rumah tangga dengan tegangan yang lebih rendah, BPP ada pada Rp. 1199 / KWh. Berikut ini adalah komposisi BPP secara umum menurut PLN. Tabel 3: Prosentasi Unsur-Unsur Biaya Operasi terhadap BPP pada RKAP 2006 Uraian Pembelian Tenaga Listrik / Sewa diesel: Bahan baku dan Pelumas Pemakaian material Jasa borongan Kepegawaian Beban usaha lain-lain Biaya penyusutan Alokasi beban fungsi TU & lainnya Alokasi beban pinjaman Alokasi beban fungsi TUL Total BPP BPP per KWh 325 28.8% 480 42.5% 49 26 44 11 120 41 3.6% 4 0.3% 28 2.5% 1128 100% 4.3% 2.3% 3.9% 0.9% 10.6% % thd BPP

Tabel 2b. Prosentase Pasokan Energi Final di Indonesia


2005 Batubara Minyak Gas Terbarukan Nuklir 7.6 39.1 23.6 29.7 0.0 100 2010 7.4 39.3 26.3 27.1 0.0 100 2015 10.6 42.5 21.9 24.5 0.4 100 2020 11.5 44.4 20.0 21.5 2.7 100 2025 11.9 47.8 19.7 16.3 4.3 100

Harus dipahami bahwa total pasokan energi final di atas adalah untuk segala bentuk aktivitas, baik transportasi, industri maupun rumah tangga. Adapun bentuk energi listrik di Indonesia lebih banyak dipakai di sektor rumah tangga dan industri. Berikut ini adalah komposisi sumber energi primer dalam pembangkitan listrik di Indonesia.

Struktur BPP ini tergantung dari jenis energi primer yang dipakai (PLTA adalah yang termurah), jenis pembangkit pada energi fossil (PLTGU lebih efisien daripada PLTG atau PLTD) dan lokasinya ke pengguna (makin jauh saluran transmisi, makin mahal)ii. Berikut ini adalah BPP di beberapa Pusat Listrik di PLN wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara iii

Tabel 4: BPP beberapa pembangkit PLN BPP (Rp/Kwh) PLTA Bakaru PLTA Bili-Bili PLTGU Sengkang PLTD Mitsubishi PLTD Sewatama PLTG GE PLTG Wescan 38.9 78.9 190.5 761.3 1306.0 2014.0 2972.7 Naiknya Biaya Bahan baku Pada tahun 2005 PLN masih membukukan keuntungan. Namun dengan kenaikan harga BBM seiring harga di pasar dunia, sedang TDL tetap, maka BPP jadi jauh di atas TDL. Karena itu penyebab utama listrik mahal yang pertama adalah mekanisme harga BBM sebagai sumber energi primer. Ketika pemerintah menaikkan harga BBM, salah satu argumentasinya adalah menghemat dana untuk subsidi. Namun kenaikan BBM ini tak urung memicu inflasi. Inflasi ini dijawab Bank Indonesia dengan menaikan Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Namun realitasnya, setiap kenaikan bunga 1% menyebabkan kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi naik 3 Triliun. Dengan inflasi 17% akibat kenaikan BBM, maka bunga akan naik sekitar 10% (tahun 2005 di bawah 9%). Maka tambahan beban bunga obligasi akan jadi 30 Triliun sehingga penghematan subsidi BBM dapat dianggap lenyap. Di sisi lain, konversi dari BBM ke gas juga dihadapkan pada harga gas di pasar spot (pasar untuk kebutuhan jangka pendek) yang tinggi yaitu USD 7-8 per mmbtu. Padahal gas dari lapangan Tangguh Papua yang dijual ke Cina dalam kontrak jangka panjang hanya dihargai USD 2.8 $ per mmbtu. Gara-gara harga gas yang mahal ini pula pabrik pupuk Aceh Asean Fertilizer (AAF) harus tutup. Mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, pernah mengatakan bahwa harga BBM dari Pertamina ke PLN yang tinggi ini dampak akibat pencatatan di APBN yang ganjil. Bila pada sektor lainnya yang dicatat adalah berbasih cash efektif, maka untuk sektor migas berbasis potensial seperti seakan dihargai di pasar dunia. Andaikata logika ini konsisten, maka mestinya pengeluaran untuk gaji PNS juga dengan tarif internasional. Dengan logika ini akan tampak jutaan PNS kita telah mensubsidi APBN, karena mereka hanya digaji kurang dari seperduapuluh rekannya yang bertugas di luar negeri.

Yang membuat listrik mahal


Dengan komposisi seperti pada Tabel-3 dan Tabel-4 dapat dipahami bila harga listrik amat tergantung pada tiga hal: bahan baku (BBM, batubara, gas), efisiensi produksi dan distribusi dan investasi.

BPP vs Pendapatan rata-rata masyarakat juga sangat bervariasi. Di wilayah Jawa-Madura dan Bali, BPP hampir berimbang dengan Pendapatan masyarakat, dan di sinilah jumlah terbesar pelanggan listrik. Namun di luar Jawa, BPP selalu jauh di atas Pendapatan.

Melihat variasi di atas agaknya audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengetahui BPP nyata di PLN yang memiliki ratusan pusat listrik di seluruh Indonesia dengan beragam outputnya menjadi tidak mudah. Di sisi lain diperlukan suatu strategi agar keberadaan beragam Pusat Listrik itu dapat sinergi sehingga menghasilkan pasokan listrik yang optimal. Pada umumnya Pusat Listrik yang reaksinya lambat (untuk menyalakan hingga siap pakai perlu waktu beberapa jam) seperti PLTU dengan batubara atau PLTN dipakai sebagai pemikul beban dasar. Sedang Pusat Listrik yang reaksinya lebih cepat seperti PLTD, PLTGU atau PLTA dipakai sebagai pemikul beban puncak. Namun PLTA yang besar sering juga dipakai untuk memikul beban dasar.

Inefisiensi pengelolaan (mismanajemen) Inefisiensi pengelolaan listrik menyebabkan susut teknis maupun susut non teknis dari energi yang dihasilkan. PLN sendiri mengakui bahwa selama ini inefisiensi masih tinggi. Ini ada banyak macamnya. Di sisi pembangkitan, Kapasitas Daya Mampu cenderung turun akibat tidak adanya penambahan pembangkit baru dan ada beberapa unit pembangkit yang mengalami derating capacity (penurunan kapasitas) akibat mesin-mesin yang sudah tua boros BBM, sering terganggu. Hal ini mengakibatkan kontinuitas pasokan listrik ke konsumen menjadi lebih rendah. Pada beberapa PLTA, kondisi hidrologi menurun drastis akibat tidak ada antisipasi penggundulan hutan di daerah tangkapan air (catchment area). Kemudian selama ini ada sedikitnya 18 pembangkit besar yang sebenarnya punya kemampuan dual fuel (BBM dan gas) namun hanya memakai BBM dengan biaya produksi Rp 1426 / KWh padahal dengan gas cuma Rp. 220/KWh. Orang baru memikirkan untuk pindah ke gas setelah ada kuota pembatasan BBM. Di sisi transmisi banyak jaringan yang sudah tua karena tiadanya biaya investasi. Akibatnya susut energi yang tinggi dan efisiensi sistem yang menurun. Padahal sebagian pembangkit besar PLTA ada di daerah terpencil, jauh dari pusat beban. Di tingkat distribusi pencatolan listrik liar masih banyak terjadi, antara lain juga dengan keterlibatan petugas PLN. Semua ini menyebabkan efisiensi yang rendah, sehingga ikut memicu mahalnya listrik. Mis-Investasi Teknologi listrik termasuk teknologi tinggi. Banyak alat-alat yang masih harus diimpor. Menurunnya nilai tukar Rupiah berakibat harga yang harus dibayar untuk investasi di bidang listrik semakin tinggi. Padahal APBN terbatas. Dengan alasan itu pemerintah mengundang swasta ikut membangun fasilitas pembangkit dan transmisi. Swasta menjawab undangan ini dengan meminta kontrak karya (keharusan membeli listrik mereka oleh PLN). Faktanya listrik swasta ini selalu dihargai jauh lebih mahal daripada listrik yang dihasilkan PLN dengan type pembangkit yang sama. Memang ada kalanya, untuk pertimbangan

jangka pendek (memeuni kebutuhan akut di suatu tempat) PLN mau tak mau membeli listrik swasta. Namun pada jangka panjang dan untuk jumlah daya yang besar, hal ini akan sangat memberatkan. Sementara BPP swasta berada di atas 15 cent-Dollar, TDL ditetapkan pemerintah hingga awal 2006 sebesar 6,1 cent-US-Dollar per KWh. Perkembangan selanjutnya hampir-hampir membuat PLN tidak lagi sebagai pemain tunggal dalam kelistrikan. Untung saja UU Tenaga Listrik ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kalau tidak, berubahnya status PLN dari Perum menjadi PT Persero yang berorientasi profit akan memberatkan masyarakat. Dengan status itu maka tarif listrik akan tergantung nilai ekonomisnya. Di tempat dengan jumlah pelanggan yang besar seperti Jakarta, bisnis listrik pasti untung besar dibandingkan misalnya di daerah terpencil di luar Jawa. Walhasil masyarakat terpencil seperti itu akan sulit terpenuhi kebutuhannyanya akan listrik. Namun sejak lama Bank Dunia dan IMF selalu mempromosikan liberalisasi sektor listrik (bersama sektor migas, sumber daya air, pertambangan, kehutanan, kelautan, dsb). Rencana kenaikan TDL selalu disebut sebagai obat mujarab untuk mengundang investor di bidang listrik. Tanpa itu mustahil ada peremajaan dan pembangunan sistem listrik di negeri ini. Tak boleh kita abaikan pula peran para economic hit man. Mereka datang ke negara-negara berkembang, melakukan analisis ekonomi misalnya bahwa kalau dibangun (infrastruktur baru, pembangkit listrik baru, dsb), akan terjadi pertumbuhan ekonomi yang besar. Untuk itu mereka tawarkan utang, yang konon pasti terbayar dengan outcome dari proyek-proyek itu. Yang tidak dinyatakan: semua angka pertumbuhan ini digelembungkan, dan harga proyek dimarkup, untuk keuntungan calon kontraktor dari kroni mereka, dan segelintir pejabat yang bisa disuap. Dampak kenaikan listrik Kenaikan TDL dipastikan akan memukul banyak sekali industri yang sebelumnya sudah setengah pingsan oleh kenaikan BBM. Bila industri itu gulung tikar akibat biaya produksinya tidak kompetitif lagi, akan berakibat jutaan buruh terkena PHK. Para

penganggur baru ini pasti akan memperpanjang daftar masalah sosial di negeri ini, yang pada akhirnya akan rawan terhadap situasi politik dan keamanan.

upaya dari negara berkembang dalam energi alternatif ini sering justru dibatasi oleh korporasi dari negara-negara maju yang ingin terus mempertahankan hegemoninya. Dalam jangka panjang, kesatuan dunia Islam adalah sangat penting agar seluruh negeri Islam memiliki ketahanan energi. Bagaimanapun minyak di Saudi Arabia atau Iran yang berlimpah itu adalah minyak seluruh kaum muslimin. Karena itu upaya mempersatukan negeri Islam dalam satu Negara Khilafah adalah persoalan hidup dan mati negeri-negeri muslim yang cadangan minyaknya semakin menipis atau bahkan tidak punya cadangan minyak. Penggunaan Dari sisi penggunaan, setiap muslim harus berupaya agar energi bisa digunakan sehemat mungkin. Tata ruang kota perlu didesain sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya dan melakukan tugasnya dengan energi minimal, misalnya dengan menghindarkan transportasi yang tidak perlu lewat distribusi fasilitas umum yang baik. Kemudian perlu promosi transportasi umum yang nyaman atau penggunaan kendaraan hemat energi seperti sepeda. Distribusi energi perlu didesain sedemikian rupa sehingga semua warga tercukupi kebutuhannya, dan bukan hanya yang memiliki kendaraan bermotor atau perkakas elektronik.

Kebijakan Energi Syariah


Kebijakan energi memiliki filosofi bahwa kebijakan ini untuk melayani urusan umat, bukan berorientasi profit bagi siapapun. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam membuat kebijakan ini adalah: (1) meningkatnya populasi (Indonesia tahun 2000: 204 jt, 2025: 250 jt) (2) meningkatnya pertumbuhan (Indonesia 2000: 396 T, 2025: 1600 T) ekonomi

(3) naiknya standar hidup: akan makin banyak orang memiliki televisi, motor, (4) Isu lingkungan akan makin intensif: pemanasan global, polusi,a hujan asam Karena itu pemilihan jenis energi secara optimal harus mempertimbangkan banyak faktor sekaligus: lingkungan, antar generasi, kebutuhan, sosialpolitik, geopolitik, ekonomi sehingga menghasilkan ketahanan energi sejak penyediaan hingga penggunaan. Penyediaan Teknologi energi harus secepatnya dikuasai sepenuhnya (hingga ke konstruksi mesinmesinnya), mulai dari eksplorasi/eksploitasi energi primer (ingat kasus Cepu!), pembangkitan listrik hingga transmisi dan distribusinya, agar tidak didikte oleh asing dengan kontrak-kontrak yang tidak fair. Pada saat yang sama, seluruh BUMN dan birokrasi khususnya yang mengurusi energi harus disehatkan, agar tidak ada inefisiensi, mismanajemen dan misinvestasi. Energi alternatif terbarukan sudah harus ditangani lebih serius dalam skala ekonomi (bukan lagi skala riset). Ketergantungan pada alam bisa diatasi dengan sistem cerdas pada pembangkit tersebut. Inovasi teknologi dalam bidang ini wajib didukung oleh negara. Kurangnya aplikasi energi ini saat ini bukan karena tiadanya teknologi, namun lebih karena kurangnya keberanian politis dan semangat enterpreneur dari investor. Selama ini baru PLTP yang sudah berjalan, itupun dilakukan oleh investor kelas dunia. Upaya-

Kesimpulan:
Mahalnya harga listrik disebabkan oleh krisis listrik, naiknya bahan baku (terutama BBM akibat pola transaksi yang tidak syarii), mismanajemen (pengelolaan yang tidak profesional) dan misinvestasi, (termasuk kewajiban pembelian listrik swasta dan liberalisasi sektor listrik). Dari semua itu, bukan PLN atau Pertamina yang salah, tapi neoliberalisme dan kapitalisme global !!! Kita semua, termasuk PLN dan Pertamina, adalah korban kapitalisme global, yang hanya mungkin dilawan dengan bersama-sama berjuang menegakkan Khilafah untuk menerapkan syariah.

2. MINYAK, KENAPA MAHAL?


Pertanyaan : 1. Setiap kali terjadi kenaikan harga minyak dunia, kita selalu diributkan dengan masalah harga BBM, kenapa? Karena sebagian dari BBM yang kita pakai itu ada yang harus diimpor. Tahun 1990, seluruh sumur minyak di negeri ini mampu menghasilkan 1,46 juta barrel minyak mentah perhari, sedang konsumsi dalam negeri cuma 0,61 juta barrel. Ingat penduduk kita saat itu baru sekitar 160 juta orang. Kita pernah kecipratan boom minyak dari tahun 1970an. Makanya kita jadi anggota OPEC, Organisasi negara-negara pengekspor minyak. Lalu, banyak sumur-sumur minyak kita yang makin tua, kering, atau mesin-mesinnya tidak efisien lagi, sehingga sekarang minyak yang dihasilkan cuma sekitar 920 ribu barrel/hari, sedang konsumsi dalam negeri kini sudah lebih dari 1,2 juta barrel/hari. Ini wajar akibat pertumbuhan penduduk dan naiknya tingkat industrialisasi, tetapi juga akibat kelalaian pemerintah karena tata ruang yang tidak efisien dari sisi energi serta politik transportasi umum yang praktis gagal. Tahun 2007 kita memang masih mengexpor minyak mentah sekitar 390 ribu barrel/hari, tetapi ini hanya taktik dagang karena kualitas minyak mentah kita lebih baik, karena yang kia impor lebih besar, yakni 665 ribu barrel/hari. Sejak tahun 2004 kita sudah jadi netto importir. Grafik di bawah ini menunjukkan statistik dan outlook perminyakan di Indonesia hasil pengkajian energi di UI. Dari situ terlihat bahwa sebenarnya memang sudah tidak layak kita ada di dalam OPEC. 2. Menurut sistem yang dipakai sekarang, sebenarnya SDA khususnya minyak itu milik siapa? Kepada siapa sebenarnya rakyat itu membeli minyak? Dalam UU yang ada di negeri ini, minyak itu secara filosofis-juridis tetap milik rakyat, secara teknis dikonsesikan ke para pemegang PSC, dan secara ekonomis dibagihasilkan: PSC sekian negara sekian. Bagihasil ini bisa 12:88 atau 8:92, artinya 8% milik PSC dan 92% milik negara, tergantung penilaian oleh BP-Migas sebagai wakil pemerintah/negara, dan tergantung hasil negosiasi sebelum kontrak. Bagian negara ini yang lalu didistribusikan oleh Pertamina yang mendapat hak melakukan PSO (Public Service Obligation). Rakyat membeli minyak kepada negara yang sebenarnya mewakili rakyat, agar ada dana untuk mengolah minyak itu hingga bisa dan dipakai dan ada keuntungan untuk membayar gaji guru, membangun infrastruktur, dan mengentaskan kemiskinan. Setidaknya ini dalam teorinya begitu. 3. Produksi minyak negeri ini dikelola oleh swasta kebanyakan swasta asing dengan skema PSC (Production Sharing Contrac) atau Kontrak Bagi Hasil, bisa dijelaskan seperti apa prakteknya? PSC ini diberikan untuk mencari (explorasi) cadangan hidrokarbon di area tertentu sebelum berproduksi secara komersial. PSC berlaku untuk beberapa tahun tergantung pada syarat kontrak, tergantung penemuan minyak dan gas dalam jumlah komersial dalam suatu periode tertentu, meskipun pada umumnya periode ini dapat diperpanjang melalui perjanjian antara kontraktor dan BP Migas. Kontraktor pada umumnya diwajibkan untuk menyerahkan kembali persentase tertentu dari area kontrak pada tanggal tertentu, kecuali jika area tersebut terkait dengan permukaan lapangan dimana telah ditemukan minyak dan gas. Mengapa ada sistem ini? Pada awal Republik ini kemampuan modal dan teknologi Pertamina masih rendah, padahal minyak dibutuhkan, dan boom minyak di dunia harus dimanfaatkan. Maka pemerintah mengundang perusahaan minyak

Sumber: Indonesia Energy Outlook & Statistics 2006, Pengkajian Energy Universitas Indonesia, hlm 22.

asing untuk terjun berinvestasi di Indonesia dengan modal dan resiko mereka sendiri. Rewardnya adalah mereka diberi konsesi bagi hasil. 4. Apa konsekuensinya terhadap penyediaan dan harga minyak (BBM) untuk rakyat? Konsekuensinya ada 3: (1) Jika tim pemerintah yang melakukan negosiasi tidak benar-benar dapat menaksir potensi kandungan minyak itu dengan akurat, sehingga dari awal tidak mampu menghitung porsi bagi hasil yang fair. Walhasil proporsi bagi hasil dalam kontrak sudah tidak adil dari awal. (2) Sebelum bagi hasil dilaksanakan, PSC mengurangi dulu dengan apa yang disebut biaya pemulihan (cost recovery). Konsepnya, ini adalah biaya real yang dikeluarkan PSC sejak dari explorasi hingga produksi. Namun bisa saja PSC sangat royal dalam meminta cost-recovery ini. Kita tahu lah standar gaya hidup di dunia perminyakan. Jadi kesannya, cost recovery ini biasa di dimark-up. Maka porsi yang dibagihasil otomatis lebih kecil. (3) Berapa angka real produksi hanya diketahui PSC. Negara tidak punya akses langsung, walaupun secara teoretis dapat menyewa auditor independen, tapi ini jarang dilakukan. Jadi angka real produksi ini sebenarnya rawan dimanipulasi. Bisa PSC itu menipu (walau ini terlalu vulgar), atau bisa pula dia sengaja produksi di bawah kapasitas untuk menaikkan harga. 5. Apa hubungannya hal itu dengan harga minyak (BBM) yang dibeli oleh rakyat? Jika minyak untuk konsumsi dalam negeri lebih banyak diimpor, maka harganya secara langsung ditentukan oleh pasar dunia. Sekarang ini hampir 275 ribu barrel/hari yang kita impor. Kalikan saja dengan harga sekitar 100 USDollar/barrel. 1 barrel itu sekitar 150 liter. Jadi harga minyak mentah itu seliternya sudah 66 sen Dollar atau Rp. 6000,- Kalau sudah diolah menjadi BBM, tentu harganya akan lebih tinggi. Lebih parah lagi kalau impor ini tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui broker, yang tentu saja mencari untung besar.

Di luar minyak mentah ini, kita juga mengimpor BBM, karena kapasitas kilang kita tidak cukup. Kita mengexpor minyak mentah untuk diolah di Singapura, lalu hasilnya diimpor lagi. Sebenarnya kalau yang dihitung dengan harga dunia ini cuma yang diimpor, kenaikan harga untuk total BBM dalam negeri tidak terlalu besar. Kalau kita hitung biaya mencari, mengambil, mengolah dan mendistribusikan menjadi BBM itu hanya US$ 34/barrel (seperti tahun 2004), itu artinya hanya Rp. 2040/liter, maka dengan sekitar 1/4 BBM impor berharga pasar dunia, itu harga BBM mestinya hanya sekitar Rp. 3400/liter. Sekarang kan jauh lebih dari itu, karena semua BBM dihargai sesuai pasar dunia dulu, baru kemudian yang dijual ke masyarakat disebut mendapat subsidi. 6. Bagaimana strategi pricing (penetapan harga) BBM yang dipakai pemerintah saat ini dan bagaimana konsekuensinya terhadap harga BBM untuk rakyat? Pemerintah menetapkan harga BBM dengan berbagai pertimbangan. Pertama, acuan harga pasar dunia. Harga ini diterapkan pada kapal-kapal atau pesawat asing yang mengisi BBM di sini. Namun bila harga di dalam negeri jauh lebih rendah dari pasar dunia, maka itu akan memicu penyelundupan. Ini terjadi di masa lalu ketika ketika masih surplus minyak. Sekeras apapun pengawasan, tetap saja keuntungan dari penyelundupan yang begitu besar memacu kongkalikong dari para penyelundup dan aparat. Kedua, acuan kemampuan masyarakat. Pertamina sebagai operator PSO berkewajiban menyediakan BBM dengan harga sama di seluruh SPBU di seluruh Indonesia. Jadi sejak dulu, konsumen di Jakarta misalnya membeli BBM lebih mahal dari biaya produksinya, karena mesti mensubsidi dari konsumen di Jayapura misalnya. Ketiga, pertimbangan ekonomi. Sejak kenaikan harga minyak dunia, pemerintah memberlakukan dua jenis harga: satu harga untuk industri yang mengikuti harga minyak dunia, dan satu harga untuk rakyat, yang disubsidi. Adanya dua jenis harga di dalam negeri ini juga menimbulkan penyimpangan: BBM untuk rakyat dijual untuk industri.

7. UU Migas sudah ada, lalu bagaimana peran UU itu dalam hal BBM dan harga jualnya kepada rakyat, Ustadz? UU no 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi itu dikeluhkan banyak pihak sehingga diadukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam risalah keputusan MK no 002/PUU-I/2003 dapat dibaca bahwa yang diadukan para pemohon mencakup aspek legalitas formil hingga materiil. Pada sisi materil, UU itu dinilai sangat liberal, karena PSC-PSC irtu hanya wajib menjual untuk domestik sebesar 25% produksinya. Ini mengancam pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, mengancam daya saing industri nasional, hingga memunculkan potensi disintegrasi. MK menolak uji formil tetapi mengabulkan sebagian uji materiil, sehingga sebagian pasal-pasal UU itu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 8. Ustadz, apakah syariah menyelesaikan problem Bagaimana? Islam BBM bisa itu?

kebutuhan. Sementara itu pada sisi lain syariah diterapkan agar efisiensi energi dapat dinaikkan, tidak ada pemborosan, sehingga kebutuhan energi dapat ditekan. Dan terakhir syariah untuk mempersatukan seluruh dunia Islam dalam satu kekhilafahan harus diterapkan. Jika negeri-negeri Islam penghasil minyak bersatu, maka di dalam negeri tidak akan ada kelangkaan BBM. Produksi minyak mentah dunia Islam tahun 2004 total sekitar 9,2 Milyar Barrel / tahun atau 25 juta Barrel / hari. . Kalau ini dibagi populasi, didapat angka 3,2 liter per orang per hari. Sekedar pembanding, di Indonesia saat ini yang penggunaan energinya belum efisien, konsumsi BBM masih sekitar 0,82 liter per orang per hari. 9. Ketika syariah diterapkan, bagaimana dengan perusahaan-perusahaan minyak swasta khususnya asing? Perusahaan-perusahaan itu akan tetap beroperasi, namun kontrak bagi hasilnya diganti hanya dengan sistem at-cost. Mereka hanya dibayar sesuai biaya real yang mereka keluarkan. Dan untuk menentukan perusahaan mana yang akan ditunjuk dengan harga berapa, dilakukan lelang, yang ownerestimate-nya sudah dihitung oleh para pakar muslim. 10. Menurut Islam minyak adalah milik rakyat, lalu bagaimana peran pemerintah? Pemerintah mewakili rakyat, agar tidak ada rakyat yang terdhalimi. Mereka yang lemah, yang tidak memiliki alat-alat yang membutuhkan BBM, tetap mendapatkan bagiannya, dan mereka yang kuat, yang hidup mewah, tidak rakus menghabiskan lebih banyak. 11. Seandainya nanti dalam sistem islam, rakyat harus membayar harga BBM, seperti apa strategi pricing yang sebaiknya digunakan? Saya membayangkan beberapa varian uslub. Varian-1, rakyat dapat membeli BBM dengan harga murah (yang bila perlu disubsidi) itu hanya untuk kebutuhan dasar. Jadi harus dihitung kebutuhan dasar suatu rumah tangga

Tentu saja bisa. Memang masih banyak pendetilan yang harus dilakukan. Syariah terlibat sejak mencari pihak yang akan dibayar secara at cost dalam explorasi minyak. Tidak ada sistem PSC bagi hasil, negara yang menanggung resiko. Tetapi harus ada mekanisme agar tidak terjadi explorasi yang asal-asalan, yang hanya terusterusan membebani negara. Kemudian juga harus ada mekanisme agar tidak terjadi pemborosan. Kalau BBM memang kurang, dan harus dibeli dari pasar dunia, kemudian dijual lebih murah dengan subsidi, maka harus ada mekanisme agar adil. Saat ini, pemilik mobil mewah dengan cc besar akan menikmati subsidi jauh lebih banyak dari pemilik motor, apalagi dari petani di pelosok yang tidak pernah pakai BBM. Syariah tentang pengembangan iptek juga harus diterapkan, agar umat Islam makin menguasai semua teknologi yang dibutuhkannya, sehingga tidak tergantung pada teknologi yang ditawarkan korporasi asing. Di abad-21 ini makin tampak bahwa pemilik teknologi akan dapat mendikte pasar dan pada akhirnya mendikte politik. Dengan teknologi yang tepat maka suplly berbagai jenis energi (baik dari migas, energi terbarui seperti energi surya, hingga energi baru seperti nuklir) dapat dinaikkan seiring dengan

dengan sekian anggota di suatu daerah dengan kesulitan medan tertentu itu berapa. Nah itu jatah BBM untuk dia. Selebihnya adalah kebutuhan pelengkap, dan itu harus dibayar dengan harga pasar. Kontrol ini bisa dilakukan dengan suatu smart-card. Contohnya sudah ada di Iran. Laba dari penjualan dengan harga pasar ini dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk fasilitas umum atau subsidi silang. Mungkin implementasi dan pengawasan varian 1 agak rumit. Orang yang konsumsi BBM-nya rendah akan menjual jatah kuotanya pada orang yang konsumsinya tinggi. Untuk energi dalam bentuk listrik lebih mudah daripada untukBBM. Maka ada varian 2.

Pada varian 2 ini, BBM semua dijual dengan harga pasar. Tetapi dengan hasil penjualan itu pemerintah wajib memberikan fasilitas pelayanan umum secara murah. Pendidikan, kesehatan, transportasi umum, sembako dan listrik untuk kebutuhan dasar semua harus dijamin murah. Saya kira, kalau ini ada, masyarakat tidak akan terdhalimi. Saat ini, sedikit saja ada kenaikan BBM, masyarakat menjerit, karena pendidikan, kesehatan, transportasi umum, sembako dan listrik dipastikan ikut mahal. Dengan varian-2 ini, setiap warga negara mendapatkan akses atas kebutuhan dasarnya, walaupun mungkin terbatas sesuai kemampuan negara. Namun bagi mereka yang mampu, tidak dihalangi membeli BBM dengan harga dunia yang tinggi untuk mengisi tanki mobil mewahnya yang 5000 cc, tanpa menikmati subsidi lebih banyak dari yang miskin.

3. Energi Terbarukan
Bahwa BBM kini mahal, tidak ada orang yang membantah. Tahun 1997, seorang PNS gol IIIA berpenghasilan 350.000 Rupiah. Kecil memang, tapi ini cukup untuk membeli 500 liter premium yang seliter hanya Rp. 700. Kini, ketika premium yang sama seliter Rp 4500,-, meski gaji PNS III-A sekitar Rp. 1 juta, yang didapat hanya 222 liter premium. Mahalnya BBM terjadi karena energi ini memang terbatas, sedangkan konsumsi dunia terus naik. Ini juga fakta yang tidak bisa dibantah. Negara kaya minyak seperti Iran pun paham, bahwa suatu ketika minyak mereka akan habis. Untuk itulah mereka merasa perlu mengembangkan nuklir. Nuklir memang efisien, dan tidak menimbulkan gas rumah kaca (CO2) yang berdampak pemanasan global. Problema nuklir adalah skalanya yang besar, perlu teknologi tinggi dan peran negara yang kuat, yang sanggup menahan tekanan asing yang ketakutan nuklir itu akan digunakan untuk senjata. Selain itu limbahnya juga masih bermasalah, di samping risiko kecelakaan yang dapat fatal, seperti kasus Chernobyl 1986. Untuk Indonesia yang masyarakatnya terkenal ceroboh dan birokratnya tidak transparan, wajar jika bermain-main dengan PLTN agak mengkhawatirkan. Sebenarnya bahan bakar nuklir (Uranium) juga terbatas. Cadangan di dalam negeri amat kecil, sehingga kalau kita punya PLTN, bahan bakarnya harus impor. Ketergantungan pada asing tentu saja tidak kita inginkan. Maka yang layak dikembangkan di negeri ini adalah energi terbarukan. Berbeda dengan energi baru yang bermakna non konvensional (seperti nuklir), energi terbarukan adalah energi yang di alam praktis tidak akan habis atau selalu diperbarui. Sumber asal energi ini ada tiga: (1) matahari / surya, (2) magma / panas bumi, (3) efek pasang surut. Energi surya adalah energi yang terluas aplikasinya, baik langsung maupun tak langsung. Yang langsung adalah berupa panas (misalnya untuk menjemur pakaian atau hasil pertanian) atau dikonversi ke listrik melalui sel-surya (solar-cell) dan kebun-surya (solar-farm). Sel-surya menggunakan silikon yang langsung mengubah cahaya menjadi listrik. Bahan ini relatif mahal karena memproduksinya perlu teknologi tinggi yang dipatenkan. Efisiensinya juga masih rendah. Adapun ladang-surya biasanya menggunakan satu lapangan cermin untuk memantulkan sinar matahari ke suatu fokus, yang di situ air dipanaskan sampai menguap, dan uap ini dipakai memutar turbin generator listrik.

Cara lain pemanfaatan surya adalah melalui turunannya berupa energi air, angin, ombak, perbedaan panas laut dan bahan nabati. Energi air diambil langsung misalnya untuk menghanyutkan kayu atau dengan kincir air penumbuk padi, atau untuk pembangkit listrik dengan PLTA, atau dalam ukuran kecil disebut PLTM Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro. Ibu Tri Mumpuni berhasil menerangi 60 desa dengan PLTM yang dibuat bersama masyarakat (Kompas 15/7/2007). Energi angin (atau disebut juga energi bayu) diambil secara langsung misalnya dengan kapal layar atau kincir angin, baik yang langsung untuk menggiling gandum seperti di Belanda, atau untuk menghasilkan listrik. Beberapa negara maju punya kebun-angin (wind-farm), yakni lahan luas tempat ratusan kincir angin penghasil listrik (PLTB). Lahan ini biasanya ditaruh di tepi pantai, tempat angin bertiup kencang secara konstan. Indonesia yang bergaris pantai terpanjang di dunia jelas memiliki potensi yang luar biasa. Demikian juga dengan ombak yang terjadi antara lain oleh angin. Dengan alat yang tepat, ombak dapat dikonversi menjadi energi. Hanya saja lokasinya tergantung topografi pantai. Pertimbangan serupa juga untuk pasang surut, yang muncul dari interaksi bumi-bulan. Perbedaan panas laut di permukaan dan kedalaman juga dapat untuk membangkitkan listrik dengan apa yang disebut Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), yakni dengan zat yang dapat diuapkan dengan beda suhu seperti itu. Yang termenarik saat ini adalah energi nabati (bioenergy). Hal ini karena energi nabati adalah energi kimia, yang dapat disimpan dan praktis untuk keperluan transportasi. Energi lain, termasuk nuklir, tidak memiliki sifat seperti ini. Energi nabati dihasilkan dari fotosintesis yang kemudian melalui rantai makanan dibawa ke energi akhir. Secara filosofis, energi hewan atau manusia adalah nabati. Bahan bakar fossil (minyak dan batubara) pun adalah energi nabati yang terpendam jutaan tahun. Namun kalau orang bicara bioenergy, umumnya yang dimaksud adalah kayu bakar, bahan nabati yang dibuat bahan bakar cair (biofuel) atau gas methan hasil pembusukan limbah organik (biogas). Biofuel yang didesain untuk mesin diesel disebut biodiesel, bila

dicampur solar olahan minyak bumi disebut biosolar. Saat ini pemerintah menggalakkan tanaman jarak pagar (Jatropa) untuk biofuel. Kandungan minyak dalam jatropa adalah sekitar 1400 liter/hektar/tahun. Kandungan ini cuma seperempat kelapa sawit (6000 liter/hektar). Pantas ada dugaan bahwa langkanya minyak goreng akhir-akhir ini karena sebagian dijual sebagai bahan biodiesel. Jika energi nabati diharapkan memenuhi kebutuhan sehari-hari menggantikan minyak bumi (sekitar 1,2 juta barrel/hari atau 69 Milyar liter/tahun), maka diperlukan lahan 49 juta hektar. Sayangnya dari 107 juta ha lahan pertanian Indonesia, lahan kritisnya cuma 21,9 juta ha (BPS 2003)! Tak heran, sebagian orang keberatan untuk menanam jarak pagar dan memilih menanam palawija atau hortikultura. Kalaupun lahan kritis dianggap berpeluang, maka ada masalah teknis di lapangan ketika seorang petani ingin mengolah lahan yang luas dan sulit diakses. Di samping itu terkadang masih ada persoalan hukum tentang kepemilikan tanah tersebut, sekalipun terkategori lahan kritis. Kalaupun akhirnya jadi menanam, proses pasca panen dan penjualan minyak jarak juga masih tanda tanya. Sebenarnya ada bahan nabati yang lebih efisien yaitu mikroalga. Tanaman mikroorganik ini sangat efisien hidup di kawasan tropis, baik pada air tawar maupun air laut. Dari satu hektar tanaman mikroalga dengan teknik raceway ponds atau photobioreactor dapat dihasilkan sekitar 58.000 liter minyak dengan asumsi hanya 30% dari biomassanya yang mengandung minyak! (Chisti, 2007). Selain itu masa panennya juga jauh lebih singkat. Karena itu mikroalga sebagai alternatif menjadi sangat menarik untuk dikembangkan. Sayangnya saat ini baru Puslit Bioteknologi LIPI di Cibinong yang mulai merintis untuk mengembangkannya. Semestinya, demi kemandirian energi kita di masa depan, umat Islam bekerja keras menghemat energi sekaligus mengembangkan sumber energi terbarukan. Masalah umat Islam tidak hanya sekedar kemaksiatan atau pemurtadan. Persoalan produksi dan distribusi energi hakekatnya adalah masalah umat Islam juga.

10

potensi energi fossil di Indonesia. Cadangan 9091.9 juta barrel (6883.2 jt barrel di darat, Minyak bumi 2208.7 jt barrel di laut) Gas bumi Batu bara 137793.6 BSCF 36 miliar ton Cadangan terbukti 4867.2 juta barrel 5 miliar ton Cadangan potensial 4224.7 juta barrel 31 miliar ton Perbandingan dengan dunia

1% 2%

76171.8 BSCF 61621.8 BSCF

Potensi dan Kapasitas Terpasang Energi Baru & Terbarukan di Indonesia Potensi 1000 SBM MW 19,658.00 458.75 9,286.61 49,807.43 684.83 240,000.00 509.52 0.000042% Kapasitas terpasang MW 309.5 20.85 0.88 0.38 177.85 0.06 Prosentase 1.57% 4.54% 0.00000007% 0.0041% 0.36% 0.0088%

Minyak bumi Mikrohidro Surya Angin Biomassa Biogas Gambut Panas laut

105,610.68 2,465.59 16,630,500.00 267,585.54 127.47 16,880,000.00 1,289,376.49

2,155,600,000,000.00 1,203,750,000.00

2,155,635,175,665.77 1,204,069,895.62

Sumber: Studi Rencana Induk Deptamben dalam Agus Rusyana Hoetman(1999): Pengembangan Sumber Daya Energi dan Strategi Pengkajian Teknologinya.

www.batan.go.id, www.infonuklir.com

Djiteng Marsudi (2005): Pembangkitan Energi Listrik. Penerbit Erlangga. iii M. Ikhsan Asaad: Pengelolaan Listrik, Antara Profit & Pelayanan Publik. Seminar Nasional Ketahanan Energi, Unhas, 18 Februari 2006
ii

11

Anda mungkin juga menyukai