Anda di halaman 1dari 29

REFERAT Dibacakan Tanggal : 02 April 2011

INDEKS BODE SEBAGAI PREDIKTOR KEMATIAN PADA PENDERITA PPOK

OLEH Dr. NOFRIYANDA

PEMBIMBING Dr.H.YUSRIZAL CHAN, SpP(K) Dr.H.IRVAN MEDISON, SpP

BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND / RS.DR.M.DJAMIL PADANG 2011

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan didunia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko, seperti semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta meningkatnya pencemaran udara(1). Penyakit ini ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflammasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya (2). Terjadi peningkatan angka kesakitan dan angka kematian pada penderita PPOK dari tahun ke tahun. Diperkirakan pada tahun 2020 PPOK akan menjadi penyebab kematian nomor 3 diseluruh dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker, sedangkan pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke 6 penyebab kematian terbanyak diseluruh dunia. Di Amerika Serikat angka kematian pada penderita PPOK menunjukkan peningkatan dimana pada tahun 1979 didapatkan angka kematian penderita PPOK sekitar 25,6 per 100.000 penduduk, sedangkan pada tahun 2005 didapatkan angka kematian meningkat menjadi 43,5 per 100.000 penduduk(dikutip dari 3). Sementara itu berdasarkan hasil survey penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia ( Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera Selatan ) pada tahun 2004 menunjukkan bahwa PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35 %), diikuti asma bronkial (33 %), kanker paru (30 %) dan lainnya (2 %)(1). Dalam menilai resiko kematian pada penderita PPOK selama ini sering ditentukan dengan hanya menggunakan variabel tunggal saja yaitu spirometri dengan mengukur nilai Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (FEV1) yang menggambarkan derajat obstruksi saluran nafas sehingga dapat menentukan progresifitas penyakit PPOK(3,4). Namun ternyata terdapat faktor faktor resiko lainnya yang berhubungan dengan resiko kematian pada penderita PPOK seperti hipoksemia, derajat sesak nafas, rendahnya indeks massa tubuh, comorbid, anemia, berkurangnya jarak berjalan dalam waktu tertentu(3). dan

Suatu sistem penderajatan yang bersifat multidimensional digunakan dalam menilai resiko kematian pada penderita PPOK yang dikembangkan oleh Celli dkk pada tahun 2004 dengan melakukan penelitian multicentre terhadap penderita PPOK di Amerika Serikat, Spanyol dan Venezuela. Sistem penderajatan yang dikenal dengan nama indeks BODE ini meliputi penilaian terhadap 4 komponen yaitu a. Body mass index ( Indekx massa tubuh ) b. Obstruction ( Obstruksi saluran nafas ) c. Dyspnea ( Derajat sesak nafas ) d. Exercise ( Kapasitas latihan ) Masing masing komponen pembentuk indeks BODE ini diberi nilai tertentu, selanjutnya penilaian terhadap indeks BODE didapatkan dengan menjumlahkan nilai nilai tersebut. Makin tinggi nilai indeks BODE seorang penderita PPOK maka makin tinggi pula resiko kematian dan sebaliknya makin rendah nilai indeks BODE makin rendah pula resiko kematiannya. Sistem penderajatan ini ternyata terbukti lebih baik dibanding hanya menggunakan FEV1 saja karena dengan sistem penderajatan multidimensional ini dapat merefleksikan manifestasi sistemik dari PPOK dimana tidak dapat ditentukan dengan pemeriksaan FEV1 saja(5).

1.2 Batasan Masalah Pada referat ini akan dibahas tentang variabel pembentuk indeks BODE dan penggunaan indeks BODE sebagai prediktor kematian pada penderita PPOK.

BAB II FAKTOR RESIKO KEMATIAN PADA PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) merupakan penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflammasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya atau beracun disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit (2) Pengenalan dan penilaian terhadap manifestasi penyakit harus bersifat komprehensif karena adanya pengaruh sistemik pada penderita PPOK, sehingga dapat ditentukan beratnya penyakit dan prognosis Terjadi peningkatan angka kesakitan dan angka kematian pada penderita PPOK dari tahun ke tahun. Diperkirakan pada tahun 2020 PPOK akan menjadi penyebab kematian nomor 3 diseluruh dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker, sedangkan pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke 6 penyebab kematian terbanyak diseluruh dunia(dikutip dari 3) Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan resiko kematian pada penderita PPOK yaitu Volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1), derajat sesak nafas, malnutrisi, hipoksemia, hiperkapnia, hiperinflasi, kapasitas latihan dan komorbid (3) 2.1 Volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) Spirometri merupakan pemeriksaan penting dalam menilai penyakit obstruksi paru. Dalam menentukan keterbatasan saluran nafas dan derajat penyakit pada penderita PPOK, dilakukan pemeriksaan spirometri dengan menilai volume ekspirasi paksa. Penelitian oleh Tojo (6) di Jepang mendapatkan bahwa pada penderita PPOK yang memiliki nilai FEV1 < 50 % memiliki angka survival yang lebih rendah dibanding penderita yang memiliki FEV1 > 50%. Hasil penelitian oleh Mannino(4) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara penurunan fungsi paru dengan kematian pada penderita PPOK. 2.2 Derajat sesak nafas Sesak nafas merupakan keluhan utama yang membuat seorang penderita PPOK mencari pengobatan. Sesak nafas sebagai suatu persepsi subjektif dari gangguan respirasi yang merupakan hasil dari mekanisme yang komplek dan melibatkan banyak faktor. Oleh karena melibatkan banyak faktor maka persepsi sesak nafas dapat bervariasi diantara penderita PPOK

yang memilki derajat obstruksi saluran nafas yang sama. Penelitian oleh Koichi Nishimura (7) di Jepang menyimpulkan bahwa derajat sesak nafas pada penderita PPOK merupakan predictor 5year survival rate yang lebih baik dibandingkan derajat obstruksi saluran nafas. 2.3 Malnutrisi Pada penderita PPOK dengan derajat penyakit lanjut telah terjadi gangguan nutrisi sehingga menyebabkan terjadinya penurunan indeks massa tubuh. Gangguan nutrisi yang terjadi pada PPOK karena adanya gangguan keseimbangan sintesis dan kerusakan protein, peningkatan angka metabolism istirahat, apoptosis otot rangka, hipoksia dan penggunaan kortikosteroid sistemik(8,9,10). Penelitian oleh Landbo (11) mengenai hubungan antara status nutrisi dengan resiko kematian pada penderita PPOK menyimpulkan bahwa indeks massa tubuh yang rendah memiliki resiko kematian yang lebih besar. 2.4 Kapasitas latihan Pada penderita PPOK terdapat keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari hari tergantung dari derajat penyakit yang diderita dimana makin berat derajat penyakit menyebabkan makin beratnya derajat keterbatasan aktivitas. Oleh karena itu penilaian terhadap kemampuan melakukan aktivitas sehari hari dapat digunakan dalam menilai progresi penyakit. Penelitian oleh Cote(12) yang meneliti hubungan antara aktivitas uji jalan 6 menit dengan resiko kematian pada penderita PPOK mendapatkan hasil dimana pada penderita PPOK yang meninggal dalam masa follow up memiliki hasil uji jalan 6 menit yang lebih rendah dibanding penderita yang tidak meninggal. Oleh karena itu disimpulkan bahwa penilaian kapasitas latihan yang dinilai dengan uji jalan 6 menit dapat menjadi prediktor kematian pada penderita PPOK. 2.5 Hipoksemia Terdapatnya hipoksemia pada penderita PPOK yang bernafas pada udara kamar telah diketahui sebagai prediktor kematian dan sebaliknya koreksi terhadap pertukaran gas memberikan angka survival yang lebih baik. Berdasarkan penelitian oleh Neff dan Petty T (dikutip
dari 3)

mendapatkan bahwa terdapat penurunan kematian 30% 40% pada kelompok penderita

PPOK yang mendapat terapi oksigen secara kontinu.

2.6 Hiperkapnia Hiperkapnia biasanya terdapat pada penderita PPOK lanjut dimana hiperkapnia ini merefleksikan gangguan dari ventilasi perfusi yang berat dan ketidakmampuan pasien meningkatkan ventilasi untuk menjaga pengeluaran CO2 yang adekuat. Terdapatnya hiperkapnia kronik dihubungkan dengan angka survival yang rendah pada penderita PPOK(3) 2.7 Hiperinflasi Hiperinflasi paru sering terjadi pada penderita PPOK dimana hal ini disebabkan karena kerusakan jaringan elastic recoil paru dan bertambahnya keterbatasan aliran udara ekspirasi. Terjadi peningkatan volume udara akhir ekspirasi dan menurunnya kapasitas inspirasi (IC). Penelitian Cassanova(13) yang menilai hubungan antara rasio IC / TLC dengan mortaliti pada penderita PPOK mendapatkan bahwa rendahnya rasio IC / TLC < 25 % berhubungan dengan meningkatnya resiko kematian. 2.8 Komorbid Komorbid merupakan penyakit tambahan selain penyakit primer yang diderita. Oleh karena PPOK memiliki efek sistemik sehingga sering ditemukannya penyakit komorbid seperti kelainan kardiovaskuler. Penelitian oleh Cassanova(13) selain menilai rasio IC / TLC, juga menilai perbedaan komorbid pada penderita PPOK yang meninggal dengan yang bertahan hidup sampai akhir penelitian. Pada penelitian ini mendapatkan bahwa terdapatnya komorbid berhubungan dengan resiko kematian pada penderita PPOK. Dalam menilai resiko kematian pada penderita PPOK biasanya menggunakan spirometri dengan mengukur nilai FEV1 . Namun nilai FEV1 hanya mencerminkan derajat obstruksi yang terjadi sedangkan konsekuensi sistemik yang terjadi pada penderita PPOK tidak dinilai seperti faktor faktor diatas(5). Indeks BODE merupakan suatu sistem penderajatan yang bersifat multidimensional digunakan dalam menilai resiko kematian pada penderita PPOK yang dikembangkan oleh Celli dkk. Pada indeks ini yang dinilai tidak saja gangguan fungsi paru tapi juga konsekuensi sistemik yang terjadi pada penderita PPOK seperti sesak nafas, indeks massa tubuh dan kapasitas latihan sehingga memberikan evaluasi yang bersifat lebih komprehensif(5)

BAB III KOMPONEN INDEKS BODE


Indeks BODE tidak saja mengukur derajat obstruksi tapi juga merefleksikan manifestasi sistemik yang terjadi pada penderita PPOK. Aspek yang dinilai pada indeks BODE mencakup(5) a. Aspek beratnya derajat gangguan fungsi paru dengan mengukur FEV1. b. Aspek persepsi yang dirasakan oleh pasien dengan menggunakan skala sesak Modified Medical Research Council ( MMRC ) c. Aspek sistemik akibat penyakit PPOK yang meliputi indeks massa tubuh dan kapasitas latihan yang dinilai dengan uji jalan 6 menit Indeks BODE dibentuk oleh 4 variabel yaitu Indeks massa tubuh ( Body mass index ), Derajat obstruksi saluran nafas ( Obstruction ), Derajat sesak nafas ( Dyspnea ) dan Kapasitas latihan ( Exercise ).

3.1 Indeks Massa Tubuh Massa tubuh ditentukan oleh 2 komponen yaitu massa lemak dan massa bebas lemak. Massa lemak berfungsi sebagai penyimpan energi yang inaktif sedangkan massa bebas lemak berperan dalam metabolisme aktif pada organ terutama pembentuk massa otot rangka. Penurunan berat badan terutama karena pengurangan massa otot memberikan kontribusi yang signifikan terhadap morbiditi dan disabiliti pada penderita PPOK. Terjadinya penurunan berat badan dan berkurangnya massa lemak merupakan hasil adanya imbalance antara intake dan pengeluaran energi. Sementara itu adanya muscle wasting merupakan konsekuensi dari adanya gangguan keseimbangan antara sintesis protein dan kerusakan protein. Pada penderita PPOK stadium lanjut telah terjadi gangguan keseimbangan energi dan protein(8,9,10,14). Pada penderita yang memiliki berat badan rendah dapat memiliki massa bebas lemak yang normal tapi massa lemak berkurang. Pada penderita yang kelaparan yang terjadi pertama dalah kehilangan massa lemak kemudian diikuti kehilangan massa otot. Pada penderita penyakit berat seperti PPOK dapat terjadi cachexia dimana terjadi pengurangan massa lemak dan massa bebas lemak walaupun intake kalori adekuat (8,9,10,14).

Mekanisme terjadinya cachexia yang menyebabkan penurunan indeks massa tubuh pada penderita PPOK meliputi(14): a. Ketidakseimbangan energi Terjadinya gangguan berupa ketidakseimbangan energi disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran energi istirahat, meningkatnya kerja pernafasan dan adanya anoreksia b. Atrofi otot Pada penderita PPOK dengan derajat penyakit berat biasanya kurang aktif karena terjadinya keterbatasan aktivitas yang disebabkan oleh sesak. Hal ini menyebabkan terjadinya atrofi otot karena otot anggota gerak kurang digunakan. c. Hipoksemia Kondisi hipoksemia akan menyebabkan peningkatan Reactive Oxygen Spesies (ROS) dan TNF yang meningkatkan proses inflammasi d. Inflammasi sistemik Pada proses inflammasi sistemik melibatkan mediator inflammasi seperti TNF , interleukin, C-reactive protein dan ROS yang menyebabkan terjadinya kerusakan protein. e. Insuffisiensi hormon Terdapatnya insuffisiensi satu atau lebih dari hormon testosteron, growth hormone adan insulin berkontribusi untuk terjadinya cachexia pada penderita PPOK. Indeks massa tubuh dihitung berdasarkan kepada berat badan dan tinggi badan penderita dimana rumusnya : Berat Badan(kg) Tinggi Badan(m)2 Indeks massa tubuh dibagi menjadi kelompok(15) a. Underweight b. Normoweight c. Overweight d. Obese : Indeks massa tubuh <21 kg/m2 : Indeks massa tubuh 21-24,9 kg/m2 : Indeks massa tubuh 25-30 kg/m2 : Indeks massa tubuh 30 kg/m2

Indeks massa tubuh merupakan salah satu indikator penting yang dapat merefleksikan dengan baik status gizi penderita. Pada penderita PPOK, indeks massa tubuh dapat digunakan sebagai prediktor independen resiko kematian dimana penurunan angka indeks massa tubuh merupakan pertanda beratnya penyakit yang diderita(11,16,17,18)

3.2 Obstruksi Saluran Nafas Pada penderita PPOK yang terjadi adalah terdapatnya keterbatasan aliran udara yang bersifat tidak sepenuhnya reversibel. Pada saluran nafas terjadi proses inflammasi kronis yang menyebabkan hipersekresi mukus, disfungsi mukosiliar, kerusakan dinding alveolar hingga perobahan struktur yang menimbulkan penyempitan saluran nafas. Selain itu kerusakan parenkim paru menimbulkan hilangnya alveolar attachments dan penurunan elastic recoil paru. Perobahan yang terjadi diatas menyebabkan timbulnya obstruksi aliran udara yang dapat diukur dengan alat spirometri. Pemeriksaan fungsi paru pada penderita PPOK berguna untuk menegakkan diagnosis, penilaian derajat penyakit, prognosis dan monitoring pengobatan(19). Spirometri merupakan alat yang paling baik untuk mendeteksi, memantau dan penatalaksanaan pasien yang memiliki kelainan fungsi paru dimana pemeriksaan ini secara langsung mengukur volume udara yang di inspirasi dan ekspirasi. Hasil yang dilaporkan dari tes spirometri dapat mengukur dalam bentuk volume (liter) atau aliran (liter/detik) (20,21) Untuk mengukur adanya keterbatasan aliran udara (obstruksi ) pada penderita PPOK menggunakan spirometri dengan mengukur Forced Expiration Volume in 1 second (FEV1), Forced Vital Capasity (FVC) dan rasio FEV1/FVC. FEV1 merupakan volume udara yang dapat dikeluarkan secara paksa dalam satu detik pertama sedangkan FVC merupakan volume total udara yang dapat dikeluarkan secara paksa dalam satu kali nafas. Pada penderita PPOK akan didapatkan penurunan nilai FEV1 yang sebanding dengan derajat beratnya obstruksi. Nilai FVC juga mengalami penurunan, namun penurunannya lebih sedikit dibandingkan penurunan FEV1. Oleh karena penurunan FEV1 lebih besar dibandingkan penurunan FVC maka akan didapatkan nilai rasio FEV1/FVC menjadi turun, sehingganya untuk kriteria PPOK ditetapkan nilai rasio FEV1/FVC kurang dari 70%(2,21) Penurunan FEV1 pada penderita PPOK dapat dijadikan sebagai pertanda bertambahnya derajat obstruksi yang menunjukkan progresifitas dari penyakit PPOK dan berhubungan dengan meningkatnya resiko morbiditi dan mortaliti. Rasio FEV1/FVC secara relatif sensitif dalam menilai PPOK derajat obstruksi mild, namun pada pasien PPOK dengan derajat obstruksi moderate dan severe pemakaian rasio FEV1/FVC untuk menilai progresifitas penyakit kurang sensitif karena penurunan nilai FVC tidak sebanding dengan bertambah beratnya derajat obstruksi. Oleh karena itu secara umum disetujui bahwa derajat beratnya keterbatasan aliran

udara paling baik dinilai dengan membandingkan nilai FEV1 yang didapat dengan nilai FEV1 prediksi(19,21). 3.3 Derajat sesak nafas Keluhan sesak nafas merupakan alasan utama yang membuat penderita PPOK datang mencari pertolongan medis. Sesak nafas didefinisikan sebagai suatu persepsi subjektif dari gangguan respirasi yang merupakan hasil dari mekanisme yang komplek dan melibatkan banyak faktor. Berbagai mekanisme yang berperan meliputi terjadinya abnormalitas pada sistem kontrol respirasi, neurochemical, ventilasi, otot nafas, pertukaran gas dan lain lain. Hal ini menyebabkan persepsi sesak nafas dapat bervariasi diantara penderita PPOK yang memiliki derajat obstruksi saluran nafas yang sama(3,22). Berdasarakan pada model neurofisiologi, mekanisme sesak nafas melibatkan komponen(22) : a. Reseptor Kebutuhan ventilasi dapat meningkat yang berhubungan dengan keadaan hipoksemia, hiperkapnia atau asidosis. Keadaan hipoksemia akan merangsang reseptor di badan karotis, sedangkan hiperkapnia dan atau asidosis akan merangsang sistem medula. b. Impuls Aferen Jalur aferen menghantarkan impuls dari reseptor ke pusat pernafasan dimana berbagai jalur yang berperan. Misalnya nervus vagal menghantarkan informasi dari reseptor di paru sedangkan reflek spinal dan supra spinal terlibat pada aktivitas aferen dari serat otot pernafasan c. Sistim saraf pusat Terjadi proses integrasi dari impuls yang dihantarkan oleh impuls aferen di sistim saraf pusat d. Impuls Eferen Sebagai respon dari impuls aferen yang di proses di sistim saraf pusat, selanjutnya dihantarkan impuls eferen menuju otot otot pernafasan dan diafragma untuk meningkatkan pernafasan.

Mekanisme sesak nafas pada penderita PPOK disebabkan oleh(22) : a. Meningkatnya kebutuhan ventilasi. Peningkatan kebutuhan ini disebabkan oleh meningkatnya ruang rugi fisiologis, hipoksemia, asidosis dan hiperkapnia yang merangsang reseptor dan pusat nafas sehingga berkontribusi untuk terjadinya sesak nafas. b. Kompresi dinamis saluran nafas c. Kelemahan otot nafas d. Hiperinflasi pada saat istirahat maupun aktivitas Untuk menilai derajat beratnya sesak nafas dapat digunakan beberapa jenis alat ukur yang berdasarkan kepada aktivitas sehari hari. Salah satu alat ukur yang biasa digunakan adalah skala Medical Research Council ( MRC ). Skala MRC ini menggunakan penilaian terhadap dimensi tunggal yaitu berupa kegiatan fisik seperti berjalan yang menimbulkan keluhan sesak nafas(22,23,24).

3.4 Kapasitas Latihan Berjalan yang merupakan aktivitas sehari hari oleh semua orang, namun pada penderita dengan penyakit berat tertentu hal ini dapat terganggu. Berdasarkan hal tersebut maka kemampuan berjalan dalam jarak tertentu dapat digunakan dalam menilai kualitas hidup karena hal ini mencerminkan kemampuan aktivitas sehari hari. Dengan uji berjalan ini dapat mengevaluasi respon pada semua sistem yang terkait selama melakukan latihan dimana meliputi sistem kardiovaskuler, paru, sirkulasi sistemik, sirkulasi perifer, darah, neuromuskular dan otot. Oleh karena itu uji berjalan sering digunakan untuk mengevaluasi status fungsional, monitoring pengobatan atau penilaian pada pasien dengan penyakit jantung atau paru (25,26,27) Terdapat beberapa metode yang memungkinkan untuk menilai secara objektif kapasitas fungsional latihan. Salah satu metode yang sering digunakan dalam menilai kapasitas tersebut adalah tes jalan 6 menit. Berdasarkan review terhadap beberapa tes berjalan menyimpulkan bahwa tes berjalan 6 menit memiliki keuntungan dimana lebih mudah dilakukan, lebih dapat ditoleransi dan lebih merefleksikan aktifitas kehidupan sehari hari dibandingkan tes berjalan lainnya seperti tes berjalan 12 menit (27)

Indikasi utama untuk pemeriksaan tes jalan 6 menit adalah untuk mengukur respon terhadap intervensi pengobatan pada pasien penyakit paru atau penyakit jantung dengan derajat penyakit sedang hingga berat. Indikasi tes jalan 6 menit (27) : 1. Perbandingan sebelum dan sesudah terapi Penilaian terhadap tes jalan 6 menit dilakukan pada saat sebelum terapi dan sesudah terapi dimana dinilai perbaikan jarak yang dapat ditempuh. a. Transplantasi paru b. Reseksi paru c. Operasi pengurangan volume paru d. Rehabilitasi paru e. PPOK f. Hipertensi pulmonal g. Gagal jantung 2. Menilai status fungsional Dalam menilai status fungsional pada seorang penderita dilakukan tes jalan 6 menit satu kali tanpa dilakukan intervensi a. PPOK b. Kistik fibrosis c. Gagal jantung d. Penyakit pembuluh darah tepi e. Fibromialgia f. Pasien tua 3. Prediktor morbiditi dan mortaliti a. PPOK b. Gagal jantung c. Hipertensi pulmonal primer Kontraindikasi pemeriksaan tes jalan 6 menit meliputi kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif. Kontraindikasi absolut meliputi : Angina yang tidak stabil dalam satu bulan sebelumnya dan adanya infark miokard dalam satu bulan sebelumnya. Sementara itu

kontraindikasi relatif tes jalan 6 menit yaitu denyut jantung istirahat > 120 kali/menit, tekanan sistolik > 180 mmHg atau tekanan diastolik > 100 mmHg(27). Tes jalan 6 menit dilakukan didalam ruangan, lintasan yang panjang, lurus, datar dan permukaan yang keras dimana panjang lintasan minimal 30 meter dan ditandai setiap 3 meter. Peralatan yang digunakan meliputi ; stopwatch, penanda jarak, tempak duduk, oksigen, pengukur tekanan darah dan defibrilator. Persiapan pasien meliputi pakaian yang longgar, memakai sepatu, sarapan ringan dan tidak melakukan olahraga 2 jam sebelumnya. Teknik tes jalan 6 menit (27) Sebelumnya pasien duduk istirahat selama 10 menit sebelum tes dan dinilai apakah terdapat kontraindikasi, tanda tanda vital, denyut jantung, saturasi oksigen dan skala Borg Selanjutnya penderita dipersilahkan berjalan pada koridor yang telah ditentukan sesuai kemampuan penderita. Penderita boleh berhenti sementara untuk istirahat di tempat dan selanjutnya berjalan lagi sampai selesai waktu 6 menit. Setelah 6 menit maka penderita disuruh berhenti dan diukur berapa meter jarak yang dapat ditempuh oleh penderita. Apabila terdapat tanda tanda dibawah ini maka tes jalan 6 menit harus segera dihentikan yaitu nyeri dada, sesak nafas yang tidak dapat ditolerir, kram, sempoyongan, pucat atau tampak membiru. Penilaian terhadap perobahan jarak pada tes jalan 6 menit pada sebelum terapi dan sesudah terapi dapat berupa nilai absolut, persentase perobahan atau perobahan pada persentase nilai prediksi.Namun direkomendasikan untuk memakai perobahan jarak tes jalan 6 menit dalam nilai absolut(27).

BAB IV INDEKS BODE SEBAGAI PREDIKTOR KEMATIAN PADA PENDERITA PPOK

4.1 Komponen Indeks BODE sebagai Prediktor Kematian 4.1.1 Indeks Massa Tubuh Indeks massa tubuh merupakan salah satu indikator penting yang dapat merefleksikan dengan baik status gizi penderita. Pada penderita PPOK, indeks massa tubuh dapat digunakan sebagai prediktor independen resiko kematian dimana penurunan angka indeks massa tubuh merupakan pertanda beratnya penyakit yang diderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan mortaliti pada penderita PPOK seiring dengan terjadinya penurunan indeks massa tubuh(11,16,17,18) Penelitian oleh Prescott dan kawan kawan(28) di Denmark untuk menilai hubungan antara perobahan indeks massa tubuh dengan resiko kematian pada penderita PPOK. Pada penelitian ini dinilai terjadinya perobahan indeks massa tubuh dengan melakukan pengamatan selama 14 tahun dan dihitung jumlah penderita yang meninggal. Hasil dari penelitian ini mendapatkan bahwa dengan adanya penurunan nilai indeks massa tubuh pada penderita PPOK berhubungan dengan meningkatnya resiko kematian dan sebaliknya dengan adanya kenaikan indeks massa tubuh berhubungan dengan menurunnya resiko kematian pada penderita PPOK. Hasil penelitian ini tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil penelitian oleh Landbo dkk(11) mengenai hubungan status nutrisi dengan resiko kematian pada penderita PPOK. Pada penelitian oleh Landbo dkk ini melibatkan sebanyak 2.132 responden dimana penderita di follow up selama 17 tahun. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa penderita PPOK dengan nilai indeks massa tubuh yang rendah memiliki resiko kematian yang lebih besar, sehingganya dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa indeks massa tubuh yang rendah merupakan faktor resiko kematian pada penderita PPOK. Pada penelitian ini terdapat peningkatan mortaliti yang tajam pada penderita PPOK underweight dimana peningkatan tajam ini pada penderita dengan indeks massa tubuh 21 kg/m2 baik pada laki laki maupun wanita. Terjadi penurunan angka kematian pada penderita PPOK seiring dengan peningkatan indeks massa tubuh.

Gambar 1. Hubungan antara kematian pada PPOK berdasarkan BMI pada subjek dengan PPOK ringan, sedang dan berat. Subjek dengan berat badan normal (BMI 20 sampai 24,9 kg/m2) dengan PPOK ringan sebagai referensi(dikutip dari 11)

Penelitian oleh Schols dkk(17) tentang komposisi tubuh dan kematian pada penderita PPOK. Pada penelitian ini Schols membandingkan antara rendahnya massa lemak dan massa bebas lemak yang merupakan komponen BMI dengan resiko kematian pada penderita PPOK. Penelitian ini dilakukan pada 412 penderita PPOK dengan lamanya penelitian selama 3 tahun. Dengan analisis secara univariat didapatkan indeks massa tubuh, massa lemak dan massa bebas lemak yang rendah secara signifikan berhubungan dengan peningkatan resiko kematian, namun dengan analisis secara multivariate didapatkan bahwa massa bebas lemak yang rendah berhubungan secara signifikan dengan peningkatan resiko kematian. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa massa bebas lemak yang merupakan komponen BMI dapat digunakan sebagai prediktor independen kematian pada penderita PPOK.

4.1.2 Derajat Obstruksi Penelitian oleh Tojo dan kawan kawan(6)di Jepang terhadap penderita PPOK dimana dilakukan penilaian terhadap beberapa faktor yang berhubungan dengan mortaliti pada penderita PPOK. Dilakukan pemeriksaan fungsi paru dengan mengukur nilai FEV1 pada masing masing penderita dan selanjutnya penderita dibagi menjadi 2 kelompok yaitu penderita dengan nilai FEV1 < 50 % prediksi dan kelompok dengan FEV1 50 %. Penderita di follow up selama 10 tahun dan ditentukan berapa penderita yang meninggal dalam masa follow up tersebut. Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 21 penderita yang meninggal selama masa follow up. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa penderita dengan nilai FEV1 < 50 % memiliki angka survival yang lebih rendah dibanding kelompok dengan nilai FEV1 50 %. Hasil penelitian ini secara statistik berbeda secara bermakna. Hal ini memperlihatkan bahwa penderita yang memiliki nilai FEV1 yang rendah memiliki angka survival yang lebih rendah dibanding penderita yang memiliki nilai FEV1 yang lebih tinggi. Penelitian oleh Mannino dan kawan kawan(4) di Amerika Serikat yang menilai hubungan antara penurunan fungsi paru dengan kematian pada penderita PPOK. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan spirometri awal penderita PPOK dengan mengukur FEV1 yang merefleksikan obstruksi saluran nafas. Pada penelitian ini selanjutnya dilakukan pemantauan terhadap penderita selama 3 tahun dengan mengukur nilai FEV1 dan dihitung jumlah penderita yang meninggal. Dilihat hubungan antara penurunan FEV1 dengan resiko kematian. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa penurunan cepat nilai FEV1 merupakan prediktor yang kuat dalam memprediksi resiko kematian pada penderita PPOK. Hasil ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya FEV1 sebagai indikator prognostik pada penderita PPOK.

4.1.3 Derajat sesak nafas Untuk menilai derajat beratnya sesak nafas dapat digunakan beberapa jenis alat ukur yang berdasarkan kepada aktivitas sehari hari. Salah satu alat ukur yang biasa digunakan adalah skala Medical Research Council ( MRC ). Skala MRC ini menggunakan penilaian terhadap dimensi tunggal yaitu berupa kegiatan fisik seperti berjalan yang menimbulkan keluhan sesak nafas(22,23,24). Penelitian oleh Bestal dkk(29) yang meneliti penggunaan skala sesak MRC sebagai alat ukur untuk menilai ketidakmampuan pada penderita PPOK di London Chest Hospital pada tahun 1999. Pada penelitian ini didapatkan bahwa skala sesak MRC berhubungan secara

bermakna dengan derajat ketidakmampuan pada penderita PPOK yang dihubungkan dengan fungsi paru, kualitas hidup, kapasitas latihan dan aktivitas sehari hari. Oleh sebab itu penelitian ini menyimpulkan bahwa skala sesak MRC merupakan metode yang sederhana dan valid dalam mengelompokkan penderita berdasarkan ketidakmampuan penderita PPOK. Suatu penelitian mengidentifikasikan bahwa sesak nafas dapat digunakan sebagai prediktor 5-year survival rate pada penderita PPOK. Penelitian oleh Koichi Nishimura dkk(7) di Kansai Jepang pada tahun 1999 pada 227 penderita PPOK. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan antara derajat skala sesak pada penderita PPOK dengan derajat obstruksi dalam memprediksi 5-year survival rate. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembagian penderita PPOK berdasarkan derajat sesaknya memiliki korelasi yang signifikan dengan 5 year survival rate dibandingkan pengelompokkan penderita berdasarkan derajat obstruksi. Oleh karena itu penelitian ini menyimpulkan bahwa derajat sesak nafas merupakan prediktor dari 5 year survival rate yang lebih baik dibandingkan derajat obstruksi saluran nafas pada penderita PPOK. Penelitian ini juga menyarankan bahwa derajat sesak nafas harus dimasukkan sebagai salah satu variabel dalam mengevaluasi penderita PPOK yang berhubungan dengan resiko kematian. Penelitian oleh Celli dkk(5) tahun 2002 yang bersifat multicentre di tiga negara AS, Spanyol dan Venezuela untuk menilai variabel variabel yang dapat digunakan sebagai prediksi kematian pada penderita PPOK dimana penderita difollow up selama 52 bulan. Hasil penelitian ini mendapatkan 4 variabel yang dapat digunakan sebagai prediktor kematian pada penderita PPOK dimana meliputi ; indeks massa tubuh, derajat obstruksi, derajat sesak dan kapasitas latihan. Derajat sesak nafas pada penelitian ini dinilai menggunakan skala MRC yang di modifikasi yaitu Modified Medical Research Council ( MMRC ) dimana didapatkan hubungan yang bermakna antara derajat sesak nafas dan resiko kematian pada penderita PPOK. Penelitian ini mendapatkan bahwa makin tingginya derajat sesak nafas pada penderita PPOK juga meningkatnya resiko kematian sehingga derajat sesak nafas dimasukkan sebagai salah satu variabel prediktor kematian pada penderita PPOK.

4.1.4 Kapasitas latihan Pada penderita PPOK terdapat keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari-hari dimana derajat keterbatasan aktivitas tergantung dari derajat penyakit seperti berjalan pada penderita PPOK membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan orang sehat dan membutuhkan masa

istirahat yang lebih panjang. Makin berat derajat penyakit PPOK menyebabkan makin beratnya derajat keterbatasan aktivitas. Oleh karena itu dengan melakukan uji berjalan dapat menjadi indikator yang baik dalam menilai tingkat progresif penyakit PPOK dimana dengan berkurangnya jarak yang dapat ditempuh pada uji berjalan mencerminkan berkurangnya kemampuan aktifitas sehari-hari(12,25,30) Penelitian oleh Ameri(25) di RS King Saud Saudi Arabia tahun 2003 2004 dengan menilai hubungan antara kemampuan melakukan tes jalan 6 menit dan fungsi paru pada penderita dengan penyakit pernafasan. Pada penelitian ini penderita dinilai seberapa jauh jarak yang dapat ditempuh dalam uji jalan 6 menit dan tes fungsi paru dengan menggunakan alat spirometri. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa jarak langkah yang dapat ditempuh dalam waktu 6 menit secara signifikan menurun seiring dengan penurunan fungsi paru (penurunan FEV1 dan FVC). Sementara itu penelitian oleh Pitta F dkk(30) di Belgia tahun 2001 2004 yang menilai aktifitas fisik pada penderita PPOK dibanding orang dewasa sehat dengan salah satu variabel yang dinilai adalah uji jalan 6 menit. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa secara signifikan penderita PPOK membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berjalan dimana penderita PPOK berjalan lebih lambat dibandingkan dengan orang sehat. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengurangan jarak langkah yang dapat dicapai dengan uji jalan 6 menit merupakan penanda pengganti yang baik dalam menilai ketidakmampuan melakukan kegiatan fisik sehari hari pada penderita PPOK. Namun penggunaan uji jalan 6 menit tidak saja untuk menilai keterbatasan aktivitas sehari hari pada penderita PPOK, tapi juga dapat digunakan sebagai prediktor kematian pada penderita PPOK(12,31). Penelitian oleh Pinto planta dkk(31) pada penderita PPOK derajat berat dengan mengukur perobahan jarak yang dapat dicapai dengan uji jalan 6 menit dengan selang waktu 1 tahun. Penelitian ini menunjukkan bahwa jarak langkah yang dapat ditempuh oleh penderita PPOK berat dengan uji jalan 6 menit secara progresif berkurang seiring dengan bertambahnya waktu. Dengan makin pendeknya jarak langkah yang dapat ditempuh dengan uji jalan 6 menit berhubungan dengan makin tingginya angka kematian pada penderita PPOK. Namun terjadinya pengurangan jarak langkah yang dapat ditempuh dengan uji jalan 6 menit ini tidak berhubungan dengan perobahan fungsi paru. Penelitian ini memperkirakan resiko kematian berdasarkan perobahan hasil uji jalan 6 menit dan menunjukkan bahwa jarak langkah yang dapat dicapai dengan uji jalan 6 menit pada penderita PPOK dapat menjadi prediktor kematian yang

lebih baik di banding FEV1 dan indeks massa tubuh. Hasil penelitian Pinto hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cote dan kawan kawan(12) di St.Elizabeths Medical Centre pada tahun 2007. Pada penelitian ini Cote meneliti hubungan antara jarak uji jalan 6 menit dengan resiko kematian pada penderita PPOK. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pada penderita PPOK yang meninggal dalam masa follow up memiliki jarak langkah yang dapat dicapai dengan uji jalan 6 menit lebih rendah dibanding penderita PPOK yang tidak meninggal. Perbedaan hasil ini secara statistik bermakna. Oleh karena itu pada penelitian ini disimpulkan bahwa uji jalan 6 menit dapat menjadi prediktor yang baik dalam menilai resiko kematian pada penderita PPOK.

4.2 Indeks BODE sebagai Prediktor Kematian Suatu metode yang bersifat multidimensional dalam menilai resiko kematian pada penderita PPOK dikembangkan oleh Celli dkk dengan melakukan penelitian yang bersifat multicentre terhadap penderita PPOK di Amerika Serikat, Spanyol dan Venezuela(5). Pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap beberapa variabel yang akan dipergunakan sebagai prediktor kematian pada penderita PPOK. Beberapa variabel yang di uji pada penelitian ini meliputi; umur, FVC, FEV1, kapasitas inspirasi, derajat sesak, uji jalan 6 menit, indeks massa tubuh, hematokrit, albumin, riwayat merokok dan komorbid dimana dilihat perbedaan variabel variabel tersebut pada penderita PPOK yang meninggal dalam masa follow up dengan penderita yang bertahan hidup sampai akhir penelitian. Hasil penelitian ini mendapatkan nilai perbedaan yang bermakna pada 4 variabel yaitu indeks massa tubuh, derajat obstruksi, derajat sesak dan uji jalan 6 menit. Selanjutnya ke empat variabel ini digabungkan menjadi suatu alat ukur yang disebut dengan indeks BODE ( Body mass index, Obstruction, Dyspnea dan Exercise ) dimana masing masing variabel diberi skor dengan total nilai skornya 10. Untuk membuktikan

kehandalan indeks BODE sebagai prediktor kematian pada penderita PPOK selanjutnya dilakukan pengujian ulang pada populasi penderita PPOK apakah terdapat perbedaan nilai indeks BODE pada penderita PPOK yang meninggal dalam masa follow up dengan penderita yang bertahan hidup sampai akhir penelitian. Ternyata hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pada penderita PPOK yang meninggal dalam masa follow up memiliki nilai indeks BODE yang lebih tinggi dibanding penderita yang bertahan hidup. Perbedaan nilai indeks BODE pada penderita

PPOK yang meninggal dengan yang bertahan hidup dalam masa follow up ini secara statistik bermakna. Kemampuan indeks BODE dalam memprediksi resiko kematian pada penderita PPOK lebih akurat dibandingkan FEV1 saja, dimana telah diuji dengan menggunakan uji statistik maka didapatkan keakuratan indeks BODE dalam memprediksi resiko kematian adalah 0,74 dibandingkan penggunaan FEV1 saja adalah 0,65(5). Penilaian indeks BODE pada penderita PPOK cukup sederhana yaitu dengan menjumlahkan nilai maksimal yang didapat dari masing masing nilai variabel komponen pembentuk indeks BODE. Masing masing variabel diberi nilai tertentu yang berkisar antara 0 sampai 3 dengan nilai maksimal 10 dan nilai minimal 0 (5). Pada variabel indeks massa tubuh, penilaian untuk indeks BODE ini dibagi menjadi 2 yaitu nilai 0 dan 1. Nilai 0 ditentukan untuk penderita yang memiliki indeks massa tubuh 21 kg/m2 dan nilai 1 untuk penderita dengan indeks massa tubuh 21 kg/m2 Penilaian untuk variabel derajat obstruksi dihitung dari nilai FEV1 % dari prediksi pasca bronkodilator yang dapat dicapai oleh penderita. Dengan makin tinggi nilai FEV1 % dari prediksi yang dapat dicapai oleh penderita maka makin rendah skor untuk variabel derajat obstruksi saluran nafas dan sebaliknya makin rendah nilai FEV1 maka makin tinggi nilai variabel derajat obstruksi saluran nafas. Nilai dari FEV1 % prediksi di bagi menjadi 4 kelompok yaitu FEV1 65% : Nilai 0 : Nilai 1 : Nilai 2 : Nilai 3 FEV1 50 64 % FEV1 36 49% FEV1 35% >

Derajat sesak nafas pada indeks BODE ini dinilai dengan menggunakan skala sesak Modified Medical Research Council ( MMRC ). Pada skala ini penilaian dilakukan dengan menilai persepsi penderita terhadap keluhan sesak yang dimilikinya dimana pada skala ini diberi nilai 0 sampai 4.

Tabel 1. Skala Sesak Modified Medical Research Council ( MMRC )(dikutip dari 5)

Deskripsi Tak terganggu oleh sesak saat bergegas waktu berjalan atau sedikit mendaki Terganggu oleh sesak saat bergegas waktu berjalan atau sedikit mendaki Jalan lebih lambat dibanding orang seumur karena sesak atau harus berhenti untuk bernafas saat jalan biasa Berhenti untuk bernafas setelah berjalan 100 yard / setelah berjalan beberapa menit pada ketinggian tetap Terlampau sesak untuk keluar rumah / sesak saat berpakaian atau melepas pakaian

Nilai 0

Derajat -

RINGAN

SEDANG

BERAT

SANGAT BERAT

Untuk variabel kapasitas latihan maka penilaian ditetapkan dengan melakukan uji jalan 6 menit yang dihitung berdasarkan jarak maksimal yang dapat ditempuh oleh seorang penderita ( satuan meter ) dalam waktu 6 menit. Jarak yang dapat dicapai dibagi menjadi 4 kelompok yaitu : Jarak 350 meter : Nilai 0 : Nilai 1 : Nilai 2 : Nilai 3 Jarak 250 349 meter Jarak 150 249 meter Jarak 149 meter

Untuk menilai indeks BODE pada seorang penderita PPOK cukup sederhana yaitu dengan menjumlahkan semua nilai yang dicapai untuk masing - masing variabel. Jumlah nilai indeks BODE tertinggi yang dapat dicapai adalah 10 dan nilai terendah adalah 0 seperti yang ditampilkan pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Variabel dan Nilai Poin yang digunakan untuk menghitung Indeks BODE (dikutip dari 5)

Nilai berdasarkan Indeks BODE Variabel 0 Indeks Massa Tubuh FEV1 (% prediksi) Skala sesak MMRC Jarak langkah dalam 6 menit (m) >21 65 0-1 350 1 21 50 - 64 2 250-349 2 36 - 49 3 150-249 3 35 4 149

Pada penelitian oleh Celli dkk(5), hubungan antara indeks BODE dengan survival pada penderita PPOK digambarkan menggunakan kurva Survival Kaplan Meier. Pada kurva ini indeks BODE dibagi menjadi 4 kuartil yaitu : Kuartil 1 Kuartil 2 Kuartil 3 Kuartil 4 : Nilai Indeks BODE 0 - 2 : Nilai Indeks BODE 3 4 : Nilai Indeks BODE 5 6 : Nilai Indeks BODE 7 10.

Gambar 2. Kurva survival Kaplan Meier untuk 4 kuartil Indeks BODE(dikutip dari 5)

Dari kurva survival Kaplan Meier terlihat bahwa setiap peningkatan kuartil pada nilai indeks BODE akan berhubungan dengan meningkatnya mortaliti. Pada kurva ini terlihat bahwa : Penderita PPOK dengan nilai indeks BODEnya yang termasuk dalam Kuartil 1 maka setelah 52 bulan yang bertahan hidup adalah lebih dari 80 %, dengan kata lain terdapat angka kematian yang kurang dari 20 %. Penderita PPOK yang termasuk dalam Kuartil 2 maka setelah 52 bulan jumlah penderita yang bertahan hidup adalah sekitar 70 % atau dengan angka mortaliti sebesar 30 % Penderita PPOK yang termasuk dalam Kuartil 3 maka setelah 52 bulan jumlah penderita yang bertahan hidup adalah sekitar 60 % atau dengan angka mortalit i sebesar 40 % Penderita PPOK yang termasuk dalam Kuartil 4 maka setelah 52 bulan jumlah penderita yang bertahan hidup adalah sekitar 20 % atau dengan angka mortaliti sebesar 80 %. Berdasarkan penelitian oleh Celli dkk(5) mengenai perkiraan rasio resiko kematian, didapatkan bahwa setiap peningkatan 1 poin nilai indeks BODE maka besar rasio resiko kematian oleh semua sebab apapun adalah sebesar 1,34 (1,26 1,42 derajat kemaknaan 95 %). Sementara itu untuk rasio resiko kematian oleh akibat respiratori seperti gagal nafas dan pneumonia didapatkan bahwa setiap peningkatan 1 poin nilai indeks BODE didapatkan rasio resiko kematian sebesar 1,62 ( 1,48 1,77 derajat kemaknaan 95 % ). Hasil penelitian Celli ini menunjukkan bahwa makin tinggi nilai indeks BODE pada penderita PPOK maka akan terdapat peningkatan resiko kematian dan sebaliknya makin rendah nilai indeks BODE maka resiko kematian juga akan menurun. Hal ini secara statistik bermakna, sehingganya menurut Celli dkk indeks BODE dapat digunakan sebagai prediktor kematian pada penderita PPOK. Selain penelitian oleh Celli dkk, Ong dkk(32) tahun 2004 di Singapura melakukan penelitian dengan responden adalah penderita PPOK dengan derajat penyakit yang berbeda beda sebanyak 127 orang dan di follow up selama 2 tahun. Masing masing penderita dinilai indeks BODE nya, kemudian dicatat berapa kali penderita dirawat inap di rumah sakit karena eksaserbasi dan jumlah kematian selama masa follow up. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa nilai indeks BODE pada penderita yang bertahan hidup rata rata lebih rendah

dibandingkan dengan penderita yang meninggal dalam masa follow up dan secara statistik perbedaan ini bermakna. Oleh karena itu penelitian Ong dkk juga menyimpulkan hasil yang sama seperti penelitian Celli dkk bahwa indeks BODE dapat digunakan sebagai prediktor kematian pada penderita PPOK. Pada penelitian ini juga menilai hubungan antara indeks BODE dengan rawatan dirumah sakit karena eksaserbasi dimana didapatkan bahwa penderita dengan nilai indeks BODE yang lebih tinggi memiliki rata rata rawatan yang lebih sering dibanding penderita yang memiliki indeks BODE rendah. Oleh karena itu indeks BODE juga dapat digunakan sebagai prediktor untuk rawatan karena eksaserbasi. Terjadinya perobahan nilai indeks BODE pada seorang penderita PPOK dapat mengurangi resiko kematian. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Celli dan Cote(33) dengan meneliti fungsi rehabilitasi paru terhadap perobahan indeks BODE. Penelitian ini dilakukan pada 246 penderita PPOK dengan membandingkan kelompok penderita yang mendapat rehabilitasi paru dengan yang tidak mendapat rehabilitasi paru dan perobahan indeks BODE. Rehabilitasi paru dilakukan selama 3 bulan meliputi ; edukasi pada penderita, latihan jasmani meliputi latihan otot nafas dan anggota gerak, nutrisi, dukungan psikososial dan penghentian kebiasaan merokok. Penilaian dilakukan selama 2 tahun atau sampai pasien meninggal dimana indeks BODE dinilai pada awal penelitian, setelah rehabilitasi paru dan setiap 6 bulan sampai 2 tahun atau meninggal. Hasil penelitian mendapatkan bahwa dari 116 penderita yang menyelesaikan rehabilitasi paru sebanyak 71 % mengalami perbaikan dimana 25 % mengalami perbaikan indeks BODE 2 poin dan 46 % perbaikan indeks BODE 1 poin. Setelah 1 tahun indeks BODE mengalami penurunan ke nilai sebelum rehabilitasi paru dan bertahan stabil sampai 2 tahun. Hal ini berbeda dengan kelompok yang tidak menjalani rehabilitasi paru dimana nilai indeks BODE terus mengalami perburukan sampai 2 tahun penelitian. Jumlah kematian pada kelompok yang tidak menjalani rehabilitasi paru lebih tinggi dibanding dengan yang menjalani rehabilitasi paru ( 52 % vs 12 %). Indeks BODE ternyata tidak hanya terbukti sebagai prediktor kematian pada penderita PPOK. Indeks BODE juga dapat digunakan untuk menilai kualitas hidup pada penderita PPOK(34), eksaserbasi(35), progresi penyakit(36) dan hospitalisasi(32,37). Dengan penggunaan indeks BODE, Celli(38) melakukan pendekatan yang bersifat komprehensif dalam penatalaksanaan penderita PPOK. Penatalaksanaan ini tidak saja hanya

berupa medikamentosa tapi juga dengan edukasi, penghentian merokok, cara hidup sehat, imunisasi, rehabilitasi paru hingga operasi pengurangan massa paru dan transplantasi paru.

Gambar 3. Skema algoritma penatalaksanaan penderita PPOK (dikutip dari 38)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN 1. Indeks BODE merupakan suatu sistem penderajatan penyakit PPOK secara

multidimensional yang terdiri dari 4 komponen yaitu indeks massa tubuh, derajat obstruksi, derajat sesak nafas dan kapasitas latihan. 2. Nilai indeks BODE berkisar antara 0 10 dimana makin tinggi nilai indeks BODE maka makin tinggi resiko kematian dan sebaliknya makin rendah nilai indeks BODE maka makin rendah resiko kematian

3. Indeks BODE terbukti baik sebagai prediktor kematian pada penderita PPOK karena indeks BODE dapat merefleksikan manifestasi sistemik yang terjadi pada penderita PPOK. 4. Rehabilitasi paru dapat memperbaiki nilai indeks BODE pada penderita PPOK sehingga menurunkan resiko kematian. 5.2 SARAN 1. Perlunya penggunaan indeks BODE untuk menilai resiko kematian pada penderita PPOK di Poliklinik Paru RS.Dr.M.Djamil 2. Perlunya penggunaan rehabilitasi paru pada penderita PPOK karena dapat menurunkan resiko kematian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes. Pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik. Depkes, Jakarta 2008 2. Global initiative for chronic obstructive lung disease. Global strategy for the diagnosis, management and prevention of COPD updated 2009.Medical communication inc.available from www.goldcopd.com. 3. Cote CG, Celli BR. Predictors of mortality in COPD. Clin Chest Med 2007;28:p.515-24 4. Mannino DM, Reichert MM, Davis KJ. Lung function decline and outcomes in adult population. Am J Respire Crit Care Med 2006;173:p.985-90 5. Celli BR, Cote CG, Marin JM, Casanova C, Oca MM, Mendez RA et al. The Body mass index, airflow obstruction, dyspnea and exercise capacity index in COPD. N Eng J Med 2004;10:p.1005-12 6. Tojo N, Ichioka M, Chida M, Miyazato I, YoshizawaY, Miyasaka N. Pulmonary exercise testing predicts prognosis in patients with COPD. Internal Medicine 2005;44:p.20-25 7. Nishimura K, Izumi T, Tsukino M, Oga T. Dyspnea is a better predictor of 5-year survival than airway obstruction in patients with COPD. Chest 2002;121:p.1434-40 8. Tkac J, Man P, Sin D. Systemic consequences of COPD. Therapeutic advances in respiratory disease 2007;1:p.47-59 9. Ischaki E, Papatheodorou G, Gaki E, Papa I, Koulouris N, Loukides S. Body mass and fat free mass indices in COPD : relations with variables expressing disease severity. Chest 2007;132:p.164-69 10. Ting Q, Jiang TY, Bo XZ, Dan X, Jun X, Ming Z et al. Association between body mass index and pulmonary function of patients with COPD. Chin Med J 2009;122(9):p.111011 11. Landbo C, Prescott E, Lange P, Vestbo J, Almdal TP. Prognostic value of nutritional status in COPD. Am J Respir Crit Care Med 1999;160:p.1856-61 12. Cote CG, Planta VP, Kasprzyk K, Dordelly LJ, Celli BR. The 6-min walk distance, peak oxygen uptake and mortality in COPD. Chest 2007;132:p.1778-85 13. Casanova C, Cote C, de Torres JP, et all. Inspiratory-to-total lung capacity ratio predicts mortality in patients with COPD. Am J Respir Crit Care Med 2005;171:591-7 14. Wagner PD. Possible mechanisms underlying the development of cachexia in COPD. Eur Respir J 2008;31;p492-501 15. Celli BR, MacNee W. Standards for the diagnosis and treatment of patients with COPD: a summary of the ATS / ERS position paper. Eur Respir J 2004;23:p.932-46

16. Vestbo J, Prescott E, Almdal T, Dahl M, Nordestgaard BG, Andersen T et al. Body mass, fat free body mass and prognosis in patients with COPD from a random population sample findings from the Copenhagen City Heart Study. Am J Respir Crit Care Med 2006;173:p.79-83 17. Schols AM, Broekhuizen R, Scheepers CAW, Wouters EF. Body composition and mortality in COPD. Am J Clin Nutr 2005;82:p.53-9 18. Raida I, Khan H, Fleg JL, Wise RA. Body mass index and the risk of COPD. Chest 2002;121:p.370-76 19. Calverley PM, Geogorpoulos D. Chronic obstructive pulmonary disease : symptoms and sign. In Siafakas NM ed. Management of COPD. Eur Respir Mon 2006;11:p.7-23 20. Barreiro TJ, Perillo I. An approach to interpreting spirometry. American Family Physician 2004;69:p.1107-14 21. Hyatt RE, Scanlon PD, Nakamura M. Interpretation of pulmonary function test. Lippincott Williams & Wilkins 2009 p.5-25 22. Mahler DA. Mechanisms and measurement of dyspnea in COPD. Proc Am Thorac Soc 2006;3:p.234-38 23. Chabra SK, Gupta AK, Khuma MZ. Evaluation of three scales of dyspnea in COPD. Annals of Thoracic Medicine 2009;4:p.128-32 24. Mahler DA, Criner GJ. Assessment tools for COPD : do newer metrics allow for disease modification ? Proc Am Thorac Soc 2007;4:p.507-11 25. Ameri HF. Six minute walk test in respiratory disease : A University Hospital Experience. Annals of Thoracic Medicine 2006;1:p.16-19 26. Enright PL, Sherrill DL. Reference equations for the six minute walk in healthy adults. Am J Respir Crit Care Med 1998;158:p.1384-87 27. American Thoracic Society. ATS statement : Guidelines for the six-minute walk test. Am J Respir Crit Care Med 2002;166:p.111-17 28. Prescott E, Almdal T, Mikkelsen KL, Tofteng CL, Vestbo J, Lange P. Prognostic value of weight change in COPD : result from the Copenhagen City Heart Study. Eur Respir J 2002;20:p.539-44 29. Bestal JC, Paul EA, Garrod R, Garnham R, Jones DW, Wedzicha. Usefulness of the Medical Research Council ( MRC ) dyspnoea scale as a measure of disability in patients with COPD. Thorax 1999;54:p.581-86 30. Pitta F, Troosters T, Spruit MA, Probst VS, Decramer M, Gosselink R. Characteristic of physical activities in daily life in COPD. Am J Respir Crit Care Med 2005;171:p.972-77

31. Pinto-planta VM, Cote C, Cabral H, Taylor J, Celli BR. The 6-min walk distance : change over time and value as a predictor of survival in severe COPD. Eur Respir J 2004;23:p.28-33 32. Ong KC, Earnest A, Lu SJ. A multidimensional grading system ( BODE index ) as predictor of hospitalization for COPD. Chest 2005;128:p.3810-16 33. Cote CG, Celli BR. Pulmonary rehabilitation and the BODE index in COPD. Eur Respir J 2005;26:p.630-636 34. Xiang LY, Ning XW, Rong LL, Sen PB, Hong NX, Jie Z et al. The cross-sectional and longitudinal association of the BODE index with quality of life in patients with COPD. Chin Med J 2009;122(24):p.2939-44 35. Marin JM, Carrizo SJ, Casanova C, Camblor PM, Soriano JB, Agusti AG et al. Prediction of risk of COPD exacerbations by the BODE index. Respiratory Medicine 2009;103:p.373-78 36. Cote CG, Celli BR. Bode index : a new tool to stage and monitor progression of COPD. Pneumologia I Alergologia 2009;77:p.305-13 37. Elhoff MM. The body mass index, airflow obstruction, dyspnea and exercise capacity in COPD. Bull.Alex.Fac.Med 2008;44:p.42-46 38. Celli BR. Update on the management of COPD. Chest 2008;133;p1451-1462

Anda mungkin juga menyukai