Anda di halaman 1dari 5

GERAKAN MAHASISWA DAN PARADOKS BUDAYA Oleh: Surotul Ilmiyah There's a whole generation with a new explanation People

in motion (Adanya suatu generasi baru dalam sebuah gerakan menyeluruh). Sebuah kalimat penggugah semangat pergerakan suatu generasi yang disenandungkan oleh Scott McKenzie dalam lirik lagu San Fransisco. Bait melodi ini sangatlah relevan jika dimaknai dalam konteks peran gerakan mahasiswa dalam ranah paradoks budaya. Sejarah reformasi 1998 nampaknya masih meningggalkan bekas memar dalam lubuk jiwa bangsa Indonesia. Luka yang telah mengubah watak bangsa Indonesia pasca reformasi 1998 membuat bangsa ini kehilangan arah dan keseimbangan. Munculnya kekerasan massal yang berlarut-larut, huru-hara

heterogen bangsa yang menafikan kebudayaan asli Indonesia membuat bangsa ini terjerembab dalam patologis bangsa, yang kita kenal dengan Paradoks Kebudayaan. Republik ini sedang sakit! Perilaku paradoks para elit politik menjadi hal yang tak lagi tabu. Jargon-jargon hidup sederhana, dekat dengan rakyat yang didengung-dengungkan seakan hanya bualan belaka. Realitas yang ada begitu mencengangkan, kehidupan mewah menjadi ajang penyerta pengabdian untuk negara. Selain itu, banyak harta negara yang melayang entah kemana perginya. Sikap paradoks inilah yang mengakibatkan krisis kepercayaan terhadapa kekuasaan sekaligus turunnya kewibawaan pemimpin negeri ini. Akibatnya, kerusuhan dan amuk massa sering kali beretorika di layar kaca. Bangsa Indonesia yang sarat dengan kesopanan tinggi kerap kali muncul dengan citra amuk massa dan kebrutalan. Sayangnya, bersamaan dengan hal ini gerakangerakan mahasiswa yang dipandang sebagai elit terdidik pun kini mengalami krisis identitas, pemisahan identitas karena platform yang berbeda. Padahal lebih dari enam dekade sejak kemerdekaan, yang kita kenal hanya satu bangsa yang Berbhineka Tunggal Ika, satu ideologi, darah dan nyawa sebagai taruhannya. Munculnya kekerasan yang amat memilukan sekaligus memalukan ini mencerminkan betapa jauhnya budaya bangsa tergeser dalam agenda politik negara. Sangatlah tepat jika bangsa ini kembali membuka mata terhadap impian yang telah ditanamkan para pendiri bangsa dan memulai kembali revitalisasi

kebudayaan ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, mahasiswa yang dianggap sebagai agent of change and social controlseharusnya lebih bergerak dengan basis intelektual menuju masa depan bangsa yang cerah. Menyimak sejenak kembali kaladaeskop gerakan mahasiswa Indonesia dalam perjalanan mengarungi kehidupan bernegara, ternyata mahasiswa selalu berperan penting dalam proses demokratisasi dan pembelaan hak dan kebebasan dasar manusia. Mobilisasi pergerakan mahasiswa setiap dekade zaman dilekati karakteristik dan tantangan yang berbeda-beda. Hal ini terlihat pada masingmasing zaman menampilkan figur, isu, problem yang berbeda. Menarik benang example, pergerakan mahasiswa Angkatan 66 membumikan isu otoritarian state dengan Ikon tritura. Angkatan 74 (Malari) mengusung isu NKK/BKK dengan Ikon otonomisasi. Angkatan 78 mengangkat isu perlunya merealisasi demokrasi, transparansi, akuntabilitas, bahkan pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dengan Ikon menolak Soeharto sebagai calon presiden (Demokrasi Suatu Keharusan, Anwari WMK, 2004). Angkatan 98 mengumbar isu reformasi dengan Ikon enam visi reformasi. Angkatan 2001 dengan isu reformasi jilid 2 berikon Demokratisasi. (Andriadi:2008). Refleksi power pergerakan mahasiswa, tergambar sungguh menakjubkan. Membukakan memori kita pada tesis filsuf Hanna Arendt The Human Condition (New York 1956) bahwa instrumentalisasi dan degradasi politik takkan pernah berhasil membungkam pergerakan atau menghancurkan realitas masalah-masalah kemanusian terbukti dalam setiap gelombang pergerakan mahasiswa tiap-tiap angkatan. Hal itu juga, lantaran gerakan mahasiswa terbangun diatas etika no blesse oblige (Burhan D. Magenda, 1997) yang didefinisikan suatu previlese atau etika yang terbangun atas dasar semangat militansi dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Dasar keikhlasan politik menjadi penggerak utama mahasiswa dalam melakukan kontrol terhadap alur massa yang diciptakan pemerintah. Ditinjau dari aspek sosiologis, sebenarnya sejak 1965, persepsi bahwa mahasiswa sebagai seorang agent of social change telah menjadi bahan perbincangan massa. Konsepsi ini sebenarnya juga direstui oleh orde-orde yang

berkuasa karena mereka tahu bahwa ada paradoks yang terbentuk dalam gagasan tersebut dengan kenyataan gerakan yang dibangun oleh mahasiswa (Agus: 2011). Sebenarnya, ada dua aspek yang menjadi platform sosiologis agent of social change, yakni adanya agen aktif perubahan (agent of change) dan proses perubahan sosial (social change). Menurut Selo Soemadjan, perubahan sosial berarti segala perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyaratan (social institution) di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan prilaku diantara kelompok-kelompok dalm masyarakat. Sementara agen perubahan adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang kemudian berfungsi untuk memimpin masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Disini terlihat jelas bahwa ada dua aspek yang dapat menunjukan keberadaan agent of social change yaitu keberadaan perencanaan dari perubahan sosial tersebut dan kebersatuan dengan masyarakat dalam proses perubahan tersebut. Kenyataan dalam gerakan-gerakan mahasiswa yang terbangun selama ini tidak menunjukan indikasi keberadaan kedua aspek tersebut. Gerakan mahasiswa selama ini cenderung terpisah dengan proses perubahan sosial yang mengukuhkan kebersatuan masyarakat. Sangatlah tidak bijak jika untuk menjadi selangkah di depan, mahasiswa hanya melakukan gerakan moral mengkritisi penguasa. Perubahan sosial yang terarah dengan semangat kebhineka-tunggal-ikaan seluruh masyarakat dirasa sangatlah penting demi tegaknya rasa khubb al-wathan (cinta tanah air) Indonesia. Hal ini juga sangat efektif jika dijadikan sebagai benteng budaya pendatang globalisasi yang tak lagi tangkas disikapi oleh para mahasiswa. Saat ini, peradaban Timur sedang terkena imbas utama racun westoksinasi Barat yang disemprotkan secara membabi buta melalui media mainstream seperti internet, TV, Radio, koran dan majalah. Kita perlu mewaspadainya alih-alih peradaban asing yang telah meracuni bangsa ini, seperti yang telah digariskan Ibnu Khaldun, Bila peradaban pemenang akan menghegemoni peradapan pecundang. Sedangkan secara politis, traumatis pasca 13 tahun reformasi memang masih mendera watak bangsa ini. Proses NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus)

atau BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan) pasca huru hara Malari ternyata masih terasa dampaknya hingga saat ini. Kegiatan kampus masih dalam tahap represif. Sosiolog Ignas Kleden dalam paparannya menyebut, Setiap Insiden politik sebelum ini selalu dihadapi dengan rumus yang sama: tangkap pemimpin gerakan dengan poros Bandung-Jakarta-Jogja, ancam rektornya atau beri dia janji promosi, lalu api itu segera padam. Ketika rezim berganti pada 1998 tak serta merta merubah iklim kebebasan bereskpresi mahasiswa diseluruh kampus di tanah air. Dalam sebuah kesempatan, penulis pernah bertanya pada seorang teman satu kampus, kenapa dia tidak melakukan aksi saat harga diri bangsa Indonesia diinjak-injak oleh Malaysia. Dia menjawab, takut dikeluarkan kuliah bila melakukan hal tersebut. Bayang-bayang pengekangan dan pengkooptasian itu bagi sebagian birokrat kampus dan para mahasiswanya masih membayangi, hingga mereka cenderung apatis bila diajak bergerak. Sekali lagi bergerak! Melihat realitas diatas, sudah saatnya bagi mahasiswa untuk mengambil langkah progresif demi terwujudnya kebangkitan bangsa yang tak lagi patologis. Menjadi mahasiswa adalah suatu peluang yang tak terbatas disaat masih banyak pemuda yang hanya bergantung pada nasib menjadi seorang kuli yang tak dapat melanjutkan perjuangan pendidikan yang lebih tinggi. Melahirkan mahasiswa yang ideal adalah sebuah tantangan dan tuntutan masyarakat. Sedangkan, untuk mendapatkan idealisme itu sendiri tidaklah mudah. Butuh proses yang panjang untuk membuat seseorang terlatih dan terdidik secara profesional. Budaya bangsa ini adalah Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang didalamnya tersirat kearifan murni bangsa Indonesia. Kembali pada niat awal menjadi pilihan yang arif bagi aktualisasi gerakan mahasiswa dalam ranah paradoks budaya. Sinyalemen yang berkembang di masyarakat saat ini, harus dijawab dengan gerakan yang lebih cantik, cerdas dan beradab dengan tetap menjunjung etika Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang ada. Untuk sampai ke arah ini, ada beberapa hal yang harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari agenda keikhlasan politik mahasiswa untuk bangsa. Pertama, back to Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebelum semuanya terlambat, masih ada kesempatan bagi bangsa ini untuk merestorasi budaya politiknya yang paradoks melalui perspektif teologis setiap gerakan yaitu agama (Ketuhanan Yang

Maha Esa) agar kehadiran agama bisa memberi makna produktif bagi perbaikan kualitas hidup setiap warga negaranya. Agama harus benar-benar fungsional pada tataran substantif agar warga negara bisa memetik buah dari makna agama di ruang publik. Seperti pernyataan Robert N. Bellah, jadikan agama sebagai laku hati (habits of the heart) setiap warga negara agar kehadirannya bisa menginspirasi budaya politik adiluhung bangsa. Karena tanpa restorasi, agama akan menjadi monumen yang teronggok di ruang-ruang sejarah yang teralienasi dari hiruk-pikuk kehidupan bangsa Indonesia. Kedua, back to citizen, manifestasi gerakan mahasiswa harus lebih merangkul rakyat dan diarahkan dengan gerakan-gerakan pemberdayaan dan pencerahan hak-hak politik rakyat. Harus ada persiapan dan perencanaan khusus menyangkut pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, sikap apatis rakyat dan gerakan dapat dihindarkan dengan kesadaran penuh social change, dan krisis identitas mahasiswa tidak lagi terjadi. Ketiga, back to agenda pemerintah total agar tidak terdistorasi oleh konflik-konflik yang ada. Mahasiswa sebagai motor agenda strategis pemerintah melalui keterlibatan langsung. Hal ini perlu dilakukan agar perwujudan msyarakat madani tetap menjadi agenda utama negeri ini. Terakhir, dan merupakan hal terpenting, yakni mengembalikan watak gerakan mahasiswa sebagai gerakan yang subtantif, rasional dan beradab selaras dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Anda mungkin juga menyukai