Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH MATA KULIAH PENGANTAR BIOSTATISTIK INFERENS

PROFIL KESEHATAN DAN PENYAKIT MENULAR PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 2004

Oleh:

Nanda Pramana 1010331010


Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas
2012

A. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH


I. KEADAAN GEOGRAFI & CUACA Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang letaknya cukup strategis karena berada di daratan padat Pulau Jawa, diapit oleh dua Provinsi besar Jawa Barat dan Jawa Timur, dan satu Daerah Istimewa Yogyakarta. Sepanjang bagian utara dan selatan terbentang pantai yang cukup panjang Dengan luas wilayah kurang lebih 3.254.412 Ha Provinsi Jawa Tengah terbagi dalam 29 Kabupaten dan 6 Kota dengan 564 Kecamatan 8.563 desa/kelurahan. Daerah yang terluas adalah Kabupaten Cilacap dengan luas 2.13.851 Ha atau sekitar 6,57 persen dari luas total Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan Kota Magelang merupakan daerah yang memiliki wilayah paling kecil yaitu hanya seluas 1.812 Ha. Topografi Provinsi Jawa Tengah terdiri dari wilayah daratan sebagai berikut : Ketinggian antara 0 100 m dari permukaan laut yang memanjang di sepanjang pantai utara dan selatan seluas 53,3 %, Ketinggian 100 500 m dari permukaan laut yang memanjang pada bagian tengah pulau seluas 27,4%, Ketinggian 500 1.000 m dari permukaan laut seluas 14,7 %, Ketinggian di atas 1.000 m dari permukaan laut seluas 4,6 %. Luas Penggunaan Lahan di Jawa Tengah dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 dapat dilihat pada table berikut : Tabel 2.1. Penggunaan Lahan di Jawa Tengah Tahun 2000 s/d 2004 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 Luas Sawah ( Ha ) 998.008 999.136 998.456 995.469 996.197 Bukan Lahan Sawah (Ha) 2.256.404 2.255.276 2.255.956 2.258.943 2.258.215

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah ( Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2005 )

Luas lahan sawah di Provinsi Jawa Tengah sebesar 996.197 ribu Hektar (30,61 persen) dan lahan bukan sawah 2,26 juta Hektar ( 69,39 persen ). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, luas lahan sawah tahun 2004 naik sebesar 0,07 %, sebaliknya luas bukan lahan sawah mengalami penurunan sebesar 0,03 %. Menurut penggunaannya, sebagain besar lahan sawah digunakan sebagai lahan sawah berpengairan teknis ( 39,35 % ), lainnya berpengairan setengah teknis, sederhana, pengairan desa/non PU, tadah hujan dan lain-lain. Adapun luas penggunaan lahan bukan sawah dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 2.2. Penggunaan Lahan Bukan Sawah di Jawa Tengah Tahun 2000 s/d 2004 2000 Pemanfaatan Tanah Bangunan/Pekarangan Tegal/Kebun Ladang/Huma Padang Rumput Sementara tidak di ushkan ( Ha ) 580.079 755.394 5.889 6.322 2.844 ( Ha ) 581.491 760.180 5.769 3.699 2.686 ( Ha ) 574.620 759.931 8.391 3.098 2.633 ( Ha ) 572.012 763.246 9.811 2.723 6.022 ( Ha ) 575.916 759.028 9.587 2.662 4.896 2001 2002 2003 2004

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah ( Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2005 )

Tanah pekarangan/bangunan dari tahun 2000 hingga tahun 2001 cenderung meningkat tetapi mulai tahun 2002 mengalami penurunan dan pada tahun 2004 cenderung naik. Tanah pekarangan ini cenderung menjadi pengguna air, karena akan menjadi tempat permukiman manusia yang selalau membutuhkan air dalam kehidupannya. Penambahan tanah tadi diambil dari lahan-lahan yang merupakan produsen pangan ( lahan pertanian ) selain merupakan reservoir air ( hutan dan perkebunan ) yang justru akan menurun. Untuk itu maka perlu diwaspadai akan rasio kebutuhan air dan air yang tersedia di bumi Jawa Tengah ini, manajemen pemakaian air harus lebih ditingkatkan. Perumahan dengan sistem bertingkat merupakan salah satu pilihan alternatif yang memadai, karena system ini lebih sedikit menggunakan lahan yang potensial bagi reservoir air dan pangan. Berdasarkan Buku Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2005, suhu udara rata-rata maksimum dan minimum menurut catatan stasiun di Jawa Tengah Tahun 2004 yaitu maksimum 29 0C dan minimum 24 0C. Tempat-tempat yang letaknya berdekatan dengan pantai mempunyai suhu udara rata-rata relatif tinggi. Untuk kelembaban udara rata-rata dari 75 % sampai dengan 92 %. Curah hujan tertinggi tercatat di Sempor Kebumen yaitu 3.586 mm dan hari hujan terbanyak tercatat di Stasiun Meteorologi Cilacap sebesar 234 hari. II. KEADAAN PENDUDUK A. Pertumbuhan & Kepadatan Penduduk Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah jumlah Penduduk di Jawa Tengah tahun 2004 adalah 32.397.431 jiwa. Jika dibandingkan dengan tahun 2003 ( 32.052.840 jiwa ) terjadi penambahan jumlah penduduk Jawa Tengah sebanyak 344.591 jiwa ( 1,07 % ). Penyebaran penduduk Jawa Tengah belum secara merata. Rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 995 jiwa setiap kilometer persegi, dimana wilayah terpadat adalah Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan sekitar 11 ribu setiap kilometer persegi. Data mengenai kepadatan dapat dilihat pada lampiran Tabel Luas wilayah, jumlah desa, jumlah penduduk, jumlah rumah

tangga dan kepadatan penduduk menurut Kabupaten/Kota Se Jawa Tengah Tahun 2004. Bila kita lihat jumlah rumah tangga di Jawa Tengah mengalami kenaikan dari sebesar 7,96 juta pada tahun 2003 menjadi 8,35 juta pada tahun 2004 atau naik sekitar 4,87 persen. Berdasarkan data banyaknya rumah tangga dan rata-rata anggota rumah tangga menurut Kabupaten / Kota di Jawa Tengah Tahun 2004 rata-rata penduduk per rumah tangga tercatat sebesar 3,88 jiwa. Sementara itu jumlah penduduk tertinggi dan terendah pada tahun 2004 masih sama dengan tahun 2003, dimana yang tertinggi di Kabupaten Brebes sebanyak 1.784.094 jiwa dan terendah di Kota Magelang sebanyak 123.576 jiwa. Tabel 2.3.

Pertumbuhan Penduduk Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000 2004


TAHUN 2000 2001 2002 2003 2004 JUMLAH PENDUDUK 30.774.946 31.063.818 31.691.866 32.052.840 32.397.431
PERTUMBUHAN PROSENTASE

288.872 628.048 360.974 344.591

0,94 2,02 1,14 1,07

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah ( Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2005 )

Dari tabel tersebut terlihat bahwa laju pertumbuhan penduduk di Jawa Tengah mulai mengalami peningkatan dari tahun 2001 sebesar 0,94 % dan tahun 2004 sebesar 1,07 %. B. Sex Ratio Penduduk Perkembangan penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat dari perkembangan ratio jenis kelamin, yaitu perbandingan penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan. Berdasarkan data Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2005 yang dikelurkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah ratio jenis kelamin penduduk Jawa Tengah tahun 2004 sebesar 99,82 hal ini menggambarkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk laki-laki. Data rinci mengenai Sex Ratiomenurut Kabupaten/Kota dapat dilihat pada tabel lampiran Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur menurut Kabupaten/Kota se Jawa Tengah Tahun 2004

C. Struktur Penduduk Menurut Golongan Umur Struktur Penduduk Jawa Tengah menurut golongan umur dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 2.4. Struktur Penduduk Jawa Tengah Menurut Golongan Umur Tahun 2000 - 2004
Golongan Umur < 1 1 - 4 5 - 14 15 - 44 45 - 64 65 keatas 2000 470.699 2.007.647 6.219.667 14.914.069 5.269.177 1.894.587 30.775.846 2001 528.153 2.148.007 6.279.900 14.791.458 5.353.495 1.962.805 31.063.818 TAHUN 2002 518.118 2.169.159 6.332.011 15.123.085 5.533.490 2.016.003 31.691.866 2003 870.244 1.692.242 6.288.873 15.452.356 5.686.550 2.062.575 32.052.840 2004 814.683 1.923.054 6.307.449 15.467.909 5.765.998 2.118.338 32.397.431

Total

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah ( Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2005 )

Penduduk golongan umur 1-4 tahun di Jawa Tengah Tahun 2004 cenderung naik sekitar 13,64 persen bila dibandingkan dengan penduduk golongan umur yang sama pada tahun 2003, tetapi sebaliknya penduduk berumur kurang dari 1 tahun di Jawa Tengah mengalami penurunan sejumlah 55.561 jiwa atau sekitar 6,38 persen. Adapun perbandingan komposisi proporsional penduduk Provinsi Jawa Tengah menurut usia produktif pada tahun 2000 sampai dengan 2004 dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.5. Kelompok Usia Produktif Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000 - 2004 Kelompok Usia (Tahun) 0 - 14 15 - 64 65 keatas 2000 28,29 % 65,58 % 6,16 % 20001 28,83 % 64,85 % 6,32 % TAHUN 2002 28,46 % 65,18 % 6,36 % 2003 27,61 % 65,95 % 6,43 % 2004 27,92 % 65,54 % 6,54 %

Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah ( Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2005 )

Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk menurut kelompok umur dibawah 15 tahun naik bila dibandingkan dengan tahun 2003 yaitu sebesar 0,31 persen. Sedangkan untuk penduduk usia lanjut ( kelompok umur diatas 65 tahun ) bertambah dari 6,43 persen menjadi 6.54 persen. D. Angka Fertilitas Total ( TFR ) Dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia ( SDKI ) Tahun 2002 2003 tercatat TFR untuk Jawa Tengah sebesar 2,1 artinya rata-rata anak yang dilahirkan hidup oleh seorang wanita selama usia produktif ( 15 49 tahun ) sebanyak 2,1 anak.

B. PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2004


A. Program Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat, Masyarakat a. Tujuan: 1) Tujuan umum Lingkungan Sehat adalah menciptakan lingkungan hidup yang kondusif bagi upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat; 2) Tujuan khusus Lingkungan Sehat adalah mewujudkan lingkungan hidup sehat yang: a) Mendukung tumbuh kembang anak dan remaja; b) Memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup sehat; c) Memungkinkan interaksi sosial; d) Melindungi masyarakat dari ancaman bahaya yang berasal dari lingkungan sehingga tercapai derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat yang optimal. 3) Tujuan Umum Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat memberdayakan individu, keluarga dan masyarakat dalam bidang kesehatan untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya sendiri dan lingkungannya menuju masyarakat yang sehat, mandiri dan produktif. Hal ini ditempuh melalui peningkatan pengetahuan, sikap, perilaku positif dan peran aktif individu, keluarga dan masyarakat sesuai dengan norma sosial budaya setempat. 4) Tujuan khusus Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat adalah: a) Terbentuknya perilaku masyarakat yang bersifat memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; b) Mencegah terjadinya risiko penyakit; c) Melindungi diri dari ancaman penyakit; d) Mendorong partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat baik individu, keluarga dan masyarakat dalam gerakan peningkatan kesehatan masyarakat; e) Membina kemampuan masyarakat agar mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu tanpa adanya hambatan, baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi. proaktif untuk dan Pemberdayaan

f) Menggali peran serta masyarakat dalam kemandirian pembiayaan pelayanan kesehatan. b. Kegiatan Pokok 1) Lingkungan Sehat a) Meningkatkan promosi hygiene dan sanitasi di tingkat individu, keluarga dan masyarakat; b) Meningkatkan mutu lingkungan perumahan dan permukiman termasuk pengungsian (misalnya karena bencana); c) Meningkatkan hygiene pengelolaan makanan; dan sanitasi tempat-tempat umum dan

d) Meningkatkan kesehatan kerja; e) Meningkatkan wilayah / kawasan sehat termasuk kawasan bebas rokok. 2) Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat a) Meningkatkan kompetensi dan pemberdayaan petugas kesehatan dalam rangka mendorong terciptanya paradigma sehat di masyarakat. b) Meningkatnya kepedulian terhadap perilaku hidup bersih dan sehat; c) Meningkatnya kepedulian terhadap tumbuh kembang anak, remaja, Ibu dan usia lanjut; d) Mengupayakan masyarakat tidak merokok dan miras, serta mencegah penyalahgunaan NAPZA; e) Meningkatkan pencegahan kecelakaan dan rudapaksa; f) Meningkatkan upaya kesehatan jiwa masyarakat; g) Memperkuat dukungan masyarakat untuk memberdayakan potensi, dan memperkuat sistem jaringan kelembagaan pada masyarakat sesuai potensi di masyarakat dan budaya setempat. h) Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk pembiayaan dalam mengatasi masalah kesehatannya.

c. Tahapan pelaksanaan program Tabel 3.1. Tahapan Pelaksanaan Program Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat, dan Pemberdayaan Masyarakat Kegiatan Pokok Indikator Rencana Kerja Tahunan 2003 2004 77 % 80 % 61 % 65 %

1. Meningkatkan promosi hygiene dan sanitasi di tingkat individu, keluarga dan masyarakat

Cakupan air bersih Cakupan pemanfaatan Jamban keluarga

2. Meningkatkan mutu lingkungan perumahan dan pemukiman 3. Meningkatkan hygiene dan sanitasi tempat-tempat umum dan pengelola makanan 4. Meningkatkan strata desa PHBS tatanan rumah tangga 5. Meningkatnya strata PHBS Institusi 6. Meningkatkan UKBM

Cakupan SPAL di 40 % keluarga Cakupan rumah sehat 72 %

45 % 75 %

Cakupan tempattempat Umum Pengelolaan Makanan Sehat utama & sehat paripurna Sehat utama & sehat paripurna Strata Purnama dan Mandiri JPKM berijin & mandiri

67 % 71 %

70 % 75 %

17 %

20 %

55 % 25 %

60 % 30 %

7. Meningkatnya Bapel JPKM

25 %

35 %

B. Program Upaya Kesehatan a. Tujuan 1) Tujuan Umum Upaya Kesehatan adalah meningkatkan pemerataan dan mutu upaya kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna serta terjangkau oleh segenap anggota masyarakat. 2) Tujuan khusus Upaya Kesehatan adalah sebagai berikut: a) Meningkatkan dan memperluas jangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan dasar; b) Meningkatkan dan memantapkan mutu pelayanan kesehatan dasar, rujukan dan penunjangnya agar efektif dan efisien; c) Meningkatkan status kesehatan reproduksi bagi wanita usia subur termasuk anak, remaja, ibu hamil dan ibu menyusui; d) Mengembangkan pelayanan rehabilitasi bagi kelompok yang memerlukan pelayanan khusus; e) Meningkatkan pelayanan kesehatan bagi kelompok lanjut usia. f) Mencegah terjadinya dan tersebarnya penyakit menular dan tidak menular sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat; b. Kegiatan Pokok 1) Meningkatkan pemberantasan penyakit menular dan imunisasi; 2) Meningkatkan upaya penanggulangan penyakit menular dan tidak menular; 3) Mengembangkan surveilans epidemiologi 4) Meningkatkan upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan yang terdiri atas pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan; 5) Melaksanakan upaya kesehatan reproduksi di semua unit pelayanan a) Meningkatkan pelayanan kesehatan penunjang yang bermutu pada pelayanan kesehatan dasar dan rujukan; b) Meningkatkan pelayanan kesehatan khusus (jiwa/napza, gigi, remaja, usila)

c. Tahapan pelaksanaan program Tabel 3.2. Tahapan Pelaksanaan Program Upaya Kesehatan Kegiatan Pokok Meningkatkan pemberantasan penyakit menular dan imunisasi Indikator kinerja Rencana Kerja Tahunan 2003 Angka kesakitan DBD (8,7 5/1000) 1,35/1.000 Angka kesakitan Malaria (50 37,5/1000) Angka kesembuhan TB paru (77 85 %) Prevalensi HIV (1%) Angka kematian pneumoni balita 4,8 3/1000 Angka kematian diare balita 2,5 1,25/1000 EKT Kusta AFP Rate UCI Desa ETN <1/10.000 > 1/100.000 > 85 % < 1/1.000 <1/10.000 > 1/100.000 > 90 % < 1/1.000 82 % <1% 85 % <1% 1,3/1.000 < 2/10.000 2004 < 2/10.000

N o 1

<3%

<3%

1,25/1.000

1,25/1.000

Meningkatkan a. % jejaring upaya deteksi dini PTM pemberantasan yang mantap di penyakit tidak Kab/Kota menular b. Mempertahanka n/ menurunkan angka kesakitan - Penyakit jantung koroner

60 %

80 %

< 5,3/1000 - Penyakit kencing manis (Diabetes) - Neoplasma c. % Kab/Kota menggalang kemitraan dalam pencegahan & penanggulangan PTM d. % Rumah sakit yang mendapat fasilitasi dari staf ahli PTM e. % institusi pendidikan yang mengembangka n kurikulum PTM 30 % < 0,5/1000 30 %

< 5,3/1000

< 1,6/1000

< 1,6/1000

< 0,5/1000 60 %

60 %

0%

5%

Meningkatkan upaya penyembuhan penya-kit dan pemulihan yang terdiri atas pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan Meningkatkan Pelayan-an kesehatan penunjang Meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi Meningkatkan pelayanan kesehatan matra Mengembangk an surveilans epidemiologi Melaksanakan penanggulangan KLB / Wabah & bencana serta bantuan kemanusiaan Membina dan mengembangkan pengobatan tradisional

Kinerja Rumah Sakit. ( BOR ) Cakupan pelayanan Kes Usila 56 % 60 % 55 % 60 %

Akreditasi sarana Yan Penunjang

20 %

20 %

Persalinan Nakes K4 Kunjungan Neonatal Tertangani kesehatan matra

71 % 81 % 81 % 15

74 % 84 % 84 % 20

Adanya DEST di Kabupaten Semua kejadian KLB / wabah dan bencana tertanggulangi

25 Kab

35 Kab

120 kejadian

120 kejadian

Klinik /Laboratorium SP3T 100 % Pelayanan Batra 30 % Diklat Batra 40 % 50 % 40 % 100 %

C. Program Perbaikan Gizi Masyarakat a. Tujuan 1) Tujuan umum Perbaikan Gizi Masyarakat adalah meningkatkan intelektualitas dan produktivitas sumber daya manusia 2) Tujuan khusus Perbaikan Gizi Masyarakat adalah: a) Meningkatkan kemandirian keluarga dalam upaya perbaikan status gizi; b) Meningkatkan pelayanan gizi untuk mencapai keadaan gizi yang baik dengan menurunkan prevalensi gizi kurang dan gizi lebih; c) Meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan bermutu untuk memantapkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga. b. Kegiatan Pokok 1) Meningkatkan penyuluhan gizi masyarakat; 2) Menanggulangi gizi kurang dan menekan kejadian gizi buruk pada balita serta menanggulangi KEK pada wanita usia subur termasuk ibu hamil dan ibu nifas; 3) Menanggulangi GAKY 4) Menanggulangi Anemia Gizi Besi (AGB); 5) Menanggulangi Kurang Vitamin A (KVA); 6) Meningkatkan penanggulangan kurang gizi mikro lainnya seperti kalsium, seng dan lain-lain; 7) Meningkatkan penanggulangan gizi lebih; 8) Melaksanakan fortifikasi dan keamanan pangan; 9) Memantapkan pelaksanaan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG); 10) Mengembangkan dan membina tenaga gizi; 11) Melaksanakan penelitian dan pengembangan gizi; a) Melaksanakan perbaikan gizi institusi seperti sekolah, rumah sakit, perusahaan dan lain-lain; b) Melaksanakan perbaikan gizi akibat dampak sosial, pengungsian, dan bencana alam.

c. Tahapan pelaksanaan program Tabel 3.3. Tahapan Pelaksanaan Program Perbaikan Gizi Masyarakat Kegiatan Pokok 1. Menanggulangi gizi kurang dan menekan kejadian gizi buruk pada balita serta menanggulangi KEK pada wanita usia subur termasuk ibu hamil dan ibu nifas Indikator kinerja Rencana Kerja Tahunan 2003 2004

Prevalensi gizi buruk pada balita Prevalensi gizi kurang pada balita Prevalensi ibu hamil (KEK)

0,06 %

0,05 %

17 %

15 %

21 %

18 %

2. Menanggulangi GAKY

Konsumsi garam beryodium

71 %

78 %

3. Menanggulangi anemia gizi besi

Prevalensi anemi ibu hamil Prevalensi balita

50 %

45 %

55 % Prevalensi anemi WUS 75 % Prevalensi Nakerwan 4. Menanggulangi KVA 5. Meningkatkan penanggulangan gizi lebih Prevalensi gizi lebih 6% Cakupan Vit A balita 24 % 93 %

50 % 70 % 20 % 94 %

5%

6. Melaksanakan pemantauan konsumsi gizi 7. Melaksanakan UPGK

Kkal per kapita per hari

2150

2250

Keluarga mandiri sadar gizi

60 %

70 %

D. Program Sumber Daya Kesehatan a. Tujuan 1) Tujuan umum Sumber Daya Kesehatan adalah tersedianya tenaga, pembiayaan dan perbekalan kesehatan dalam jenis yang lengkap, jumlah yang cukup, spesifikasi yang sesuai dengan kebutuhan, berkesinambungan, terjangkau dan tepat waktu. 2) Tujuan khusus Sumber Daya Kesehatan adalah sebagai berikut: a) Meningkatkan jumlah, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerah. b) Meningkatkan jumlah, efektivitas, dan efisiensi penggunaan biaya kesehatan; c) Meningkatkan ketersediaan sarana, prasarana dan dukungan logistik pada sarana pelayanan kesehatan yang semakin merata, terjangkau dan dimanfaatkan oleh masyarakat. b. Kegiatan Pokok 1) Meningkatkan perencanaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan; 2) Meningkatkan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan; 3) Mengembangkan sistem pembiayaan praupaya; 4) Mengembangkan sarana, prasarana dan dukungan logistik pelayanan kesehatan. 5) Mengembangkan kemitraan dengan organisasi profesi dalam sertifikasi dan legislasi tenaga kesehatan profesional. c. Tahapan Pelaksanaan Program Tabel 3.4. Tahapan Pelaksanaan Program Sumber Daya Kesehatan

Kegiatan Pokok

Indikator kinerja

Rencana Kerja Tahunan 2003 2004

1. Meningkatkan perencanaan & pendagunaan tenaga kesehatan

Proporsi kesehatan dengan penduduk;

tenaga dibanding jumlah

40 %

50 %

2. Meningkatkan pendidikan & pelatihan tenaga kesehatan

Persentase lembaga pendidikan dan latihan kesehatan yang terakreditasi;

35 %

40 %

3. Mengembangkan sistem pembiayaan pra upaya

Jumlah penduduk yang menjadi peserta sistem pemeliharaan kesehatan dengan pembiayaan praupaya;

60 %

70 %

4. Mengembangkan Sarana, prasarana & dukungan logistic pelayanan kesehatan

Proporsi sarana kesehatan dibandingkan dengan jumlah penduduk; Persentase sarana pelayanan kesehatan yang terakreditasi. Rumah Sakit Puskesmas

60 %

65 %

35 %

35 %

10 % 5. Mengembangkan kemitraan dengan organisasi profesi dalam sertifikasi & legislasi tenaga kesehatan profesional. Prosentase tenaga kesehatan profesional yang memiliki lesensi.

15 %

10 %

15 %

E. Program Obat, Makanan, dan Bahan Berbahaya a. Tujuan 1) Tujuan umum Obat, Makanan dan Bahan Berbahaya adalah tersedianya pelayanan kefarmasian yang terjangkau, rasional dan berkesinambungan serta terlindunginya masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya lainnya. 2) Tujuan khusus Obat, Makanan dan Bahan Berbahaya adalah sebagai berikut: a) Terbinanya pelayanan farmasi komunitas dan klinik (unit pelayanan kesehatan dasar dan rujukan) b) Terbinanya penggunaan obat yang rasional; c) Tersedianya obat publik serta perbekalan kesehatan dalam jenis yang lengkap, jumlah yang cukup, harga yang terjangkau, kualitas yang baik, digunakan secara rasional serta dapat diperoleh setiap saat diperlukan. d) Terbinanya usaha industri farmasi dan Obat Asli Indonesia (OAI ). e) Terlindunginya masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), dan bahan berbahaya lainnya; f) Terlindunginya masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi, makanan dan alat kesehatan (farmakes) yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan; g) Terjangkau dan adanya pemerataan obat yang bermutu yang dibutuhkan masyarakat; h) Terselenggaranya penegakan peraturan perundangan-undangan kefarmasian OAI, makanan dan bahan berbahaya b. Kegiatan Pokok 1) Meningkatkan pengamanan bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya lainnya. 2) Meningkatkan pengamanan dan pengawasan makanan dan bahan tambahan makanan (BTM). 3) Meningkatkan pengawasan obat, obat tradisional, obat asli Indonesia, kosmetika dan alat kesehatan termasuk pengawasan terhadap promosi/iklan. 4) Meningkatkan penggunaan obat rasional. 5) Menerapkan obat esensial. 6) Mengembangkan obat asli Indonesia. 7) Membina dan mengembangkan industri farmasi.

8) Meningkatkan mutu pengujian laboratorium pengawasan obat dan makanan untuk jenis pengujian. 9) Mengembangkan standar mutu obat , OAI, makanan dan obat berbahaya. 10) Mengembangkan sistem dan layanan informasi POM. c. Tahapan Pelaksanaan Program Tabel 3.5. Tahapan Pelaksanaan Program Obat, Makanan, dan Bahan Berbahaya Rencana Kerja Tahunan 2003 2004 65 % 70 %

KEGIATAN POKOK 1. Meningkatkan pengamanan bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya lainnya 2. Meningkatkan pengamanan dan pengawasan makanan dan Bahan Tambahan Makanan 3. Meningkatkan pengawasan obat, obat tradisional, kosalkes termasuk pengawasan terhadap promosi/iklan

INDIKATOR Proporsi kasus penyalahgunaan dan kesalahgunaan NAPZA di jalur resmi dengan tindak lanjut pengamanan

Proporsi kasus pencemaran makanan dengan tindak lanjut pengamanan Persentase cakupan pemeriksaan sarana produksi, distribusi obat, obat tradisional, kosalkes termasuk promosi/iklan

35 %

60 %

60 %

70 %

4. Meningkatkan penggunaan obat rasional 5. Menerapkan obat esensial 6. Mengembangkan Obat Asli Indonesia

7. Membina dan mengembangkan Industri Farmasi 8. Meningkatkan mutu

Persentase penggunaan obat rasional Persentase ketersediaan obat esensial nasional Proporsi produk farmakes yang berbasis sumber daya alam dalam negeri Persentase cakupan pemeriksaan Industri Farmasi dalam rangka CPOB Jumlah pengujian

45 % 85 % 15 %

60 % 90 % 20 %

100 %

100 %

86 %

90 %

pengujian laboratorium pengawasan obat dan makanan untuk jenis pengujian 9. Mengembangkan standar mutu obat dan makanan

pengujian obat dan makanan yang sesuai standar Persentase produk farmakes yang tidak memenuhi syarat mutu terhadap jumlah yang disampling Terlaksananya sosialisasi kebijakan harga obat generik/esensial 1,5 % 1,0 %

10. Mengembangkan sistem dan layanan informasi POM

90 %

95%

C. Program Penanganan Penyakit Menular


1). Pemberantasan Penyakit Malaria a). Keadaan kasus Di Jawa Tengah kasus klinis malaria berjumlah 305.739, yang tersebar di 30 kab/kota. Kasus klinis paling banyak terdapat diBanjarnegara (76.365 kasus) dan paling sedikit di Blora (4 kasus). Kab/kota yang tidak terdapat kasus klinis adalah Kota Magelang, Kota Tegal, Kota Surakarta, Boyolali, dan Demak. Berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskop terhadap sediaan darah seluruh penderita klinis malaria tersebut, yang positip sebagai penderita malaria (ditemukan plasmodium) sebanyak 5.308 (1,74%). Kasus positif malaria tersebut tersebar di 23 kab/kota seperti pada gambar 1. Kasus terbanyak terdapat di Wonosobo (1.051) dan paling sedikit di Kota Pekalongan, Pati, Karanganyar, dan Batang, masing-masing 2 kasus. Gambar 1 Grafik Sebaran Kasus Malaria di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004

b). Pelayanan terhadap penderita Bentuk pelayanan yang diberikan terhadap penderita malaria adalah pemeriksaan darah dan pengobatan. Pemeriksaan darah dilakukan terhadap penderita klinis, sedangkan pengobatan dilakukan terhadap baik penderita klinis maupun yang positif malaria. Pemeriksaan darah dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Seorang penderita klinis baru dinyatakan positif malaria apabila sediaan darah yang diperiksa terdapat plasmodium. Selain dilakukan pemeriksaan darah, semua penderita klinis memperoleh pengobatan klinis. Sedangkan untuk yang positif malaria diberikan pengobatan radikal. Dengan demikian semua penderita malaria yang ditemukan di semua kabupaten/kota diberikan pengobatan. Oleh karena itu cakupan pengobatan penderita malaria di Jawa Tengah selalu mencapai 100%.

2). Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) a). Angka Kesakitan (Incidence Rate). Tahun 2004 Kasus DBD di Jawa Tengah berjumlah 9.742 yang tersebar di semua kabupaten/kota yang ada di Jawa Tengah. Jumlah kasus di masingmasing kabupaten/kota sangat bervariasi. Jumlah kasus paling banyak terjadi di Kota Semarang (1.621 kasus) dan yang paling sedikit di Banjarnegara (4 kasus). Dengan kasus seperti diatas maka Incidence Rate (IR) DBD di Jawa Tengah sebesar 3 kasus per 10.000 penduduk. Dengan demikian target SPM DBD Jawa Tengah untuk indikator IR 2 per 10.000 penduduk belum tercapai. Kabupaten yang IRnya masih di atas 2 per 10.000 peduduk adalah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kendal, Pati, Kudus, Rembang, Kota Tegal, Kabupaten Pekalongan, Pemalang, Kabupaten Tegal, Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta, Sukoharjo, Karanganyar dan Sragen. Gambar 2 Kasus DBD di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004

b). Angka Kematian (Case Fatality Rate) Dari 9.742 kasus DBD di Jawa Tengah, 169 penderita diantaranya meninggal dunia (CFR=1,7%). Kematian terbanyak terjadi di Jepara (20 penderita) sedangkan yang tidak dilaporkan adanya kematian adalah Salatiga, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, Kab.Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, dan Kab.Semarang. Walaupun CFR DBD Jawa Tengah sudah dibawah target SPM tahun 2005 dan 2010, yaitu tidak lebih 2%, namun masih banyak kab/kota yang CFR nya 2%. Kab/kota dimaksud adalah Kota Pekalongan (7,41%), Kab.Tegal (3,49%), Kab.Pekalongan (4,9%), Brebes (3,93%), Demak (9,64%), Grobogan (4,1%), Rembang (3,51%), Blora (5,56%), Boyolali (5,49%), Sukoharjo (3,21%), dan Batang (3,72%) Gambar 3 Case Fatality Rate (CFR) DBD Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004

c). Pelayanan terhadap penderita. Dari aspek cakupan, seluruh penderita DBD di Jawa Tengah yang berobat ke sarana pelayanan kesehatan, sudah mendapatkan pelayanan. Dengan kata lain cakupan pelayanan penderita DBD di Jawa Tengah sudah 100%, sehingga target yang ditetapkan dalam SPM sudah tercapai. Walaupun demikian, dengan masih adanya penderita yang meninggal menunjukkan, kualitas penanganannya masih perlu ditingkatkan. Penanganan penderita DBD memerlukan kecepatan dan ketepatan. Tidak terpenuhinya kedua hal tersebut dapat berakibat fatal bagi penderita karena akan mempertinggi risiko terjadinya kematian. Dalam hal kecepatan penanganan, semua sarana pelayanan kesehatan di Jawa Tengah telah

menempatkan penderita DBD sebagai prioritas, sedangkan dalam hal ketepatan penanganan, upaya peningkatan kemampuan tenaga kesehatan selalu dilakukan antara lain melalui ceramah klinik. Oleh karena itu apabila terjadi keterlambatan penanganan, hal tersebut disebabkan oleh keterlambatan penderita dibawa ke sarana pelayanan kesehatan. 3). Pemberantasan Penyakit Filaria (P2 Filariasis) Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah, merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria. Penularan penyakit tersebut terjadi melalui gigitan nyamuk sebagai vektor. Hampir semua genus nyamuk, baik Mansonia, Anopheles, Culek, dan Aedes, memiliki spesies yang dapat berperan sebagai vektor filariasis. Walaupun prevalensi filariasis sangat rendah dan bukan merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian, namun kecacatan menetap yang terjadi pada penderita filariasis berdampak sangat besar besar pada penderita dan keluarganya. Selain menurunkan produktivitas, filariasis mengakibatkan stigma sosial serta beban ekonomi keluarga akibat pengeluaran pembiayaan untuk perawatan dan pengobatan. Peran pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan filariasis adalah memutuskan rantai penularan serta memberikan pelayanan berupa pengobatan dan perawatan penderita untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder dan menekan frekuensi serangan akut. Dalam upaya penemuan penderita filariasis di Jawa Tengah, tahun 2004 dilakukan rapid mapping. Dari kegiatan tersebut ditemukan 103 penderita filariasis kronis yang tersebar di 10 Kabupaten/kota., yaitu Kota Pekalongan (4 penderita), Surakarta (2), Banyumas (34), Cilacap (9), Temanggung (3), Pekalongan (39), Brebes (1), Blora (3), Klaten (4), dan Boyolali (4). Gambar 4 Peta penyebaran Penyakit Filaria di Jawa Tengah Tahun 2004

Karakteristik dari penderita filariasis tersebut adalah sebagai berikut: Umur dan jenis kelamin. Berdasarkan jenis kelamin, dari 103 penderita filariasis kronis yang ditemukan, 58 (56,1%) wanita dan 45 (43,9%) laki-laki. Umur penderita bervariasi antara 18 tahun sampai 61 tahun. Apabila umur penderita dikelompokkan dengan interval 10 tahun, penderita terbanyak berumur 4858 tahun (40,77%). Bagian tubuh yang mengalami pembengkakan. Sebagian besar pembengkakan terjadi pada kaki, yaitu pada kaki kanan (46,6%), kaki kiri (39,8%), pada kedua kaki (7,77%). Selebihnya berupa hidrokel. Keadaan sosial ekonomi. Sebagian besar penderita merupakan masyarakat yang kemampuan ekonominya rendah (88,35%). Mereka tinggal di rumah yang sangat sederhana yang keadaan sanitasinya tidak memenuhi syarat kesehatan. Selain itu akses sebagian besar penderita (72,7%) ke sarana pelayanan kesehatan relatif rendah karena mereka tinggal di desa yang jauh ( lebih dari 10 KM) dari ibu kota kecamatan. Perkiraan tempat tertular. Diperkirakan, sebagian besar penderita tertular di wilayah tempat tinggalnya, karena 83,2% penderita menyatakan tidak pernah bermukim di daerah lain yang endemis filariasis, terutama daerah di luar Jawa. Disamping itu, berdasarkan hasil darah jari yang dilakukan di 4 kab/kota, 2 kab/kota terbukti endemis filariasis (Mf Rate > 1%), yaitu Kab. Pekalongan dan Kota Pekalongan. Walaupun secara kuantitas pelayanan terhadap penderita filariasis di Jawa Tengah tahun 2005 sudah mencapai 100%, namun kualitas pelayanan yang diberikan dapat dikatakan belum memadai. Pelayanan yang diberikan baru berupa pengobatan untuk mengatasi serangan akut yang lebih bersifat symptomatis. Padahal, untuk mencegah terjadinya keadaan yang lebih buruk diperlukan perawatan dan peningkatan personal hygiene setiap hari terhadap bagian tubuh yang bengkak untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.

b. Penyakit Menular Langsung 1). Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru (P2 TB Paru) a). Penemuan penderita baru (CDR) Penemuan tersangka TBC (klinis) dari tahun 2003 ke 2004 terjadi kanaikan yang cukup tinggi (57 %) berarti jangkaun pelayanan TBC di UPK (Puskesmas, BP4 dan Rumah Sakit) sudah ada peningkatan, begitu juga pada penemuan penderita BTA positif. Angka penemuan penderita (CDR) di Jawa Tengah tahun 2003 dan tahun 2004 terjadi peningkatan penemuan penderita BTA positif walaupun angka tersebut masih jauh dibawah target < 70 %, namun ada beberapa Kabupaten/Kota yang pencapaian penemuan penderita diatas 60 % karena target tahun 2004 adalah 60 % yaitu Kota Pekalongan 94,44 % Kabupaten Pekalongan 77,18 %, Kabupaten Tegal 66,52 %, Kota Tegal 63,87 % dan Kota Surakarta 60,07 %. Hal tersebut dikarenakan belum semua UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) khususnya di Rumah Sakit belum semua mengikuti program TBC dengan strategi DOTS sehingga belum teregistrasi.

b). Angka Kesembuhan (Cure Rate) Tabel 4.1. Angka Kesembuhan (Cure Rate) Penyakit TBC Indikator Tahun 2003 Tahun 2004 (tw. 1-2) 81,18 %

Cure rate

74,3 %

Dari tabel diatas bahwa angka kesembuhan (cure rate) di Jawa Tengah masih dibawah target < 85 %, namun angka kesembuhan dari tahun 2003 ke tahun 2004 (s/d tri wulan ke 2) terjadi peningkatan, bila dilihat dalam satu tahun 2004 belum bisa diketahui karena system kohort sehingga evaluasinya setiap tribulan. Di Jawa Tengah angka kesembuhan penderita yang diobati di Puskesmas dan BP4 tahun 2004 (sampai dengan TW 2) sebesar 81,18% (target nasional 85% dan target Jawa Tengah 83%). Terdapat 14 Kabupaten/Kota yang telah berhasil mencapai angka kesembuhan 83% (target Jawa Tengah pada tahun 2004) adalah : Kota Surakarta (94,94 %), Kab. Sragen (94,50%), Kab. Wonogiri (92,79%), Kab.

Jepara (92,55%), Kab. Pekalongan (92,14%), Kab. Karanganyar (89,92%), Kab. Batang (88,89%), Kab. Sukoharjo (88,51%), Kab. Grobogan (88,31%), Kab. Purworejo (88,04%), Kab. Wonosobo (86,52 %) dan Kab. Tegal (86,11%). 2). Pemberantasan Penyakit Diare Cakupan penemuan penderita diare di sarana kesehatan dari tahun ke tahun masih sangat kurang rata rata 30.56% sedangkan cakupan yang diharapkan adalah 80%. Kurangnya cakupan ini disebabkan banyak hal, diantaranya kurangnya peran serta masyarakat sebagai kader dalam penemuan kasus diare terutama pada balita dan kelengkapan data kasus diare di kabupaten/ kota. Rendahnya cakupan penemuan ini ada beberapa sebab diantaranya kurangnya penemuan penderita diare oleh kader, tidak tercovernya penderita diare di klinik swasta. Peningkatan cakupan penemuan penting adanya karena dengan meningkatnya cakupan penemuan berarti semakin banyak kasus diare ditemukan dan diharapkan mengurangi kasus kematian akibat terlambatnya pertolongan pada kasus diare. Kasus diare pada balita masih tetap tinggi dibanding golongan umur yang lainnya. Pada hasil penelitian episode diare balita sebesar 1,3 berarti setiap tahunnya balita terkena diare lebih dari sekali. 3). Pemberantasan Penyakit ISPA Sampai saat ini salah satu penyebab utama kematian bayi dan balita menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) adalah penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), yaitu sebesar 29,5% dimana dari seluruh kematian ISPA sekitar 80 90% adalah karena Pneumonia. Bila mengacu pada renstra yang ada maka angka kematian pneumonia balita turun menjadi 3 per 1000 balita pada akhir tahun 2004, untuk mencapai hal tersebut maka angka penemuan pneumonia balita yang mendapatkan penanganan standar minimal 86 % dari perkiraan pneumonia balita yang ada di masyarakat yaitu 10 % dari jumlah balita.

Gambar 5

Dari grafik di atas dapat dilihat ada kecenderungan (Trend) peningkatan pada penemuan dan penanganan kasus pneumonia Balita untuk setiap tahunnya, pada tahun 2004 terlihat ada peningkatan dua kali lipat bila dibandingkan dengan tahun 2003, namun demikian belum semua Kab. / Kota bisa mencapai dari target yang telah ditetapkan yaitu sebesar 86 %. 4). Pemberantasan Penyakit HIV/AIDS (P2 HIV/AIDS) Jumlah pengidap HIV yang dilaporkan tahun 2004 (130 kasus) sebagian besar didapat dari hasil serosurvei pada kelompok risiko tinggi 103 kasus (79.23%), rujukan PMI 12 kasus (9.23 %), laporan Rumah Sakit 9 kasus ( 6.92%), laporan LSM 5 kasus (3.85%) dan laboratorium swasta 1 kasus (0.77%). Prevalensi HIV pada kelompok risiko tinggi (Wanita Pekerja Seks) sebesar 2.01%. Sementara itu untuk kasus AIDS di Jawa Tengah selama tahun 2004 telah dilaporkan oleh Rumah Sakit sebanyak 19 kasus. Sehingga total kasus HIV/AIDS tahun 2004 di Jawa Tengah sebanyak 149 kasus dengan rincian 130 infeksi HIV dan 19 kasus AIDS. Dari hasil skrining di PMI terhadap virus HIV selama tahun 2004 telah diperiksa darah donor sejumlah 267.850. Dari jumlah tersebut yang reaktif HIV sebanyak 219 (0.08%). Hasil tersebut menunjukan bahwa penyebaran virus HIV juga sudah ada pada kelompok masyarakat umum, bukan hanya pada kelompok risiko tinggi saja. Namun demikian darah tersebut sudah langsung dimusnahkan, sehingga semua pasien yang akan menerima darah donor bebas dari virus HIV.

Gambar 6 Grafik perkembangan kasus HIV dan AIDS di Jawa Tengah Tahun 19932004

Dari grafik di atas menunjukan bahwa kecenderungan (trend) kasus HIV maupun AIDS selalu mengalami peningkatan setiap tahun. Peningkatan secara signifikan terjadi mulai tahun 2001 (82 HIV/AIDS), hampir dua kali tahun 2000 (43 HIV/AIDS). Sedangkan kasus AIDS tahun 2004 meningkat enam kali lipat kasus AIDS tahun 2003 5). Surveylans Accute Flaccid Paralysis ( AFP ) Dalam upaya untuk membebaskan Indonesia dari penyakit polio, maka pemerintah telah melaksanakan program Eradikasi Polio (ERAPO) yang terdiri dari pemberian imunisasi polio secra rutin, pemberian imunisasi missal pada anak balita melalui PIN (Pekan Imunisasi Nasional ) dan surveilans AFP. Surveilans AFP pada hakekatnya adalah pengamatan dan penjaringan semua kelumpuhan yang terjadi secara mendadak dan sifatnyaflaccid (layuh), seperti sifat kelumpuhan pada poliomyelitis. Prosedur pembuktian penderita AFP terserang virus polio liar atau tidak adalah sebagai berikut :

1. Melakukan pelacakan terhadap anak usia sama atau kurang dari 15 tahun yang mengalami kelumpuhan layuh mendadak (<14 hari) dan menentukan diagnosa awal. 2. Mengambil specimen tinja penderita tidak lebih dari 14 hari sejak kelumpuhan, sebanyak dua kali selang waktu pengambilan I dan II > 24 jam 3. Mengirim kedua specimen tinja ke laboratorium Bio Farma Bandung dengan pengemasan khusus/baku 4. Hasil pemeriksaan specimen tinja akan menjadi bukti virologis adanya virus polio liar didalamnya 5. Diagnosa akhir ditentukan pada 60 hari sejak kelumpuhan. Pemeriksaan klinis ini dilakukan oleh dokter spesialis anak atau syaraf untuk menentukan apakah masih ada kelumpuhan atau tidak. Hasil pemeriksaan virologis dan klinis akan menjadi bukti yang syah dan meyakinkan apakah semua kasus AFP yang terjaring termasuk kasus polio atau tidak sehingga dapat diketahui apakah masih ada polio liar di masyarakat. Secara statistik jumlah penderita kelumpuhan AFP diperkirakan 1 diantara 100.000 anak usia < 15 tahun. Di Provinsi Jawa Tengah setiap tahun minimal harus menemukan 92 penderita AFP. Pada tahun 2004 Jawa Tengah menemukan 107 penderita AFP dan telah dibuktikan bahwa semuanya bukan disebabkan virus polio liar. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, penemuan penderita AFP di Jawa Tengah mengalami peningkatan (tahun 2003 ditemukan 104 kasus).

6). Kejadian Luar Biasa Kejadian Luar Biasa ( KLB ) Penyakit Menular dan keracunan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Jawa Tengah. Selama tahun 2004 di laporkan 17 jenis KLB terjadi di Jawa Tengah antara lain Demam Berdarah, Keracunan, Diare, Difteri, Campak, Chikungunya, dan Tetanus Neonatorum, Leptospirosis. Selama tahun 2004 berdasarkan profil kesehatan kabupaten/kota, dilaporkan sebanyak 711 desa/kelurahan terjadi KLB. Dibanding tahun 2003 jumlah desa yang terserang KLB meningkat dari 623 desa menjadi 703 desa . Persentase Desa/kelurahan yang terjadi KLB dan ditangani kurang dari 24 jam sebesar 97.62 %. Dibandingkan tahun sebelumnya, dimana desa terkena KLB ditangani < 24 jam sebanyak 88,12 %, maka terjadi peningkatan penangan KLB. Pada tahun 2004 KLB Demam Berdarah Dengue, merupakan salah satu kejadian yang menonjol, karena sebanyak 328 desa di Jawa Tengah terjadi kejadian luar biasa DBD yang berasal dari 118 kecamatan dengan penderita sebanyak 2.986 orang dan 72 kematian (CFR= 2,41 %).

Dibanding tahun 2003, angka tersebut menurun jumlah desa yang terkena, karena pada tahun 2003 terjadi pada 337 desa dengan penderita sebanyak 2.205 jiwa dan 58 kematian. Penurunan tersebut setelah dikaji lebih dalam, ada kemungkinan karena pada tahun 2003 terjadi peningkatan kasus DBD secara nasional, sehingga kejadian pada tahun 2003 lebih tinggi. Sebagai urutan kedua penyebab KLB adalah kejadian keracunan makanan yang menyerang 63 desa meliputi 53 kecamatan dengan penderita sebanyak 1.298 orang dengan CFR sebesar 0,46%. Urutan ketiga adalah KLB campak, sebanyak 65 kejadian dengan penderita sebanyak 1137 penderiyta 3 kematian. Urutan selanjutnya yang adalah KLB Hepatistis yang menyerang di 49 desa, difteri di 51 desa, Leptospirosis di 31 desa. Kabupaten/kota yang mempunyai desa terserang KLB paling banyak adalah Kabupaten Karanganyar 86 desa, kota Semarang 55 desa , kabupaten Kendal 56 desa . Kecamatan terkena KLB pada tahun 2004 sebanyak 353 kecamatan, dibanding tahun sebelumnya sebanyak 297 kecamatan terlihat meningkat 56 kecamatan (19 %). Angka kematian tertinggi pada KLB disebabkan oleh Tetanus Neonatorum sebesar 91 % dan Leptospirosis sebesar 35 %. Frekuensi Kejadian KLB menurut jenisnya di Jawa Tengah tahun 2004 dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 7 Grafik KLB Berdasarkan Jenis Penyakit di Jawa Tengah Tahun 2004

Dari gambar diatas menunjukkan bahwa KLB DBD mempunyai urutan pertama penyebab KLB dengan frekuensi 328 kejadian dan Campak merupakan urutan kedua sebanyak 65 kejadian dan keracunan makanan urutan ketiga, disusul difteri, hepatitis, dan seterusnya

Sebaran KLB DBD menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2004 menunjukkan bahwa Kota Semarang, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Sukoharjo merupakan daerah yang benyak ditemukan KLB DBD. Selama tahun 2004 dilaporkan sebanyak 328 KLB Demam Berdarah Dengue. Gambar 8

Sebaran KLB Difteri menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2004 menunjukkan bahwa dari 35 Kabupaten kota yang ada di Jawa Tengah terdapat 10 Kabupaten / Kota yang melaporkan adanya KLB Difteri. Kabupaten Grobogan dan Kota Semarang merupakan wilayah paling banyak ditemukan KLB Difteri.

Gambar 9

Sebaran KLB Keracunan makanan menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2004 menunjukan bahwa dari 35 Kabupaten kota yang ada di Jawa Tengah terdapat 22 Kab/Kota yang melaporkan adanya KLB keracunan makanan . Kabupaten Boyolali dan Kota Semarang, Kab. Cilacap, Kab. Banyumas dan Purbalingga merupakan wilayah yg banyak ditemukan KLB Keracunan makanan.

Gambar 10

Gambar 11.

Sebaran KLB Campak di Jawa Tengah pada tahun 2004 menunjukkan bahwa masih terdapat 7 kabupaten kota yang melaporkan adanya KLB Campak.Kabupaten Pekalongan, Temanggung, Grobogan merupakan Kabupaten yang paling sering melaporkan adanya KLB Campak. B. Angka Kematian a. Angka Kematian Ibu Maternal ( AKI ) Angka kematian ibu dapat diperoleh melalui berbagai studi yang dilakukan secara khusus untuk mengetahui tingkat kematian ibu seperti survei di rumah sakit dan beberapa survei di masyarakat dengan cakupan wilayah yang terbatas. Bersamaan dengan pelaksanaan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), penelitian kematian ibu menjadi bagian dari penelitian tersebut yang cakupan wilayahnya menjadi lebih luas. Angka kematian ibu yang berasal dari kegiatan SKRT dan SDKI tersebut merupakan angka nasional dan tidak dapat diuraikan untuk tingkat provinsi. SDKI terakhir dilaksanakan pada tahun 2002/2003 dengan perkiraan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. AKI Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 berdasarkan hasil Survey Kesehatan Daerah sebesar 155,22 per 100.000 kelahiran hidup. Urutan penyebab kematian ibu dari yang terbanyak adalah perdarahan sesudah persalinan, eklamsi, pre eklamsi, perdarahan sebelum persalinan, dan infeksi. Proporsi Kematian Ibu terendah dicapai oleh Kota Semarang dengan jumlah kasus kematian ibu 5 dari 20.233 kelahiran hidup dan Proporsi Kematian Ibu tertinggi terjadi di Kota Surakarta dengan jumlah kasus kematian ibu 21 dari 9.488 kelahiran hidup. Gambar 12. Grafik Angka Kematian Ibu Maternal (AKI) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004

Kejadian kematian ibu maternal paling banyak adalah waktu bersalin sebesar 49,52%, kemudian disusul waktu nifas sebesar 30,06% dan pada waktu hamil 20,42%. Gambar 13. Grafik Penyebab Kematian Ibu Maternal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004

b. Angka Kematian Bayi ( AKB ) Berdasarkan laporan program, AKB Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 sebesar 6,62 per 1.000 kelahiran hidup. AKB terrendah diperoleh Kabupaten Boyolali sebesar 0,56 per 1.000 kelahiran hidup dan AKB tertinggi diperoleh Kabupaten Temanggung sebesar 20,76 per 1.000 kelahiran hidup. Gambar 14. Grafik Angka Kematian Bayi (AKB) Provinsi Jawa Tengah

Tahun2004

Sedangkan AKB tingkat nasional pada tahun 2001 menurut hasil Surkesnas diperkirakan sebesar 50 per 1.000 kelahiran hidup. Sedang AKB di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004 berdasarkan hasil Survey Kesehatan Daerah sebesar 14,23 per 1.000 kelahiran hidup. Perbedaan ini dimungkinkan terjadi karena data yang berasal dari laporan program kurang lengkap atau tidak semua melaporkan. Bila ditilik dari target nasional AKB pada tahun 2010 sebesar 40 per 1.000 kelahiran hidup, maka baik di tingkat Provinsi maupun tingkat kabupaten/kota di seluruh Provinsi Jawa Tengah sudah berhasil melampaui target nasional. c. Angka Kematian Balita ( AKABA ) AKABA Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 sebesar 8,58 per 1.000 kelahiran hidup. AKABA terrendah diperoleh Kabupaten Boyolali sebesar 0,76 per 1.000 kelahiran hidup dan AKABA tertinggi diperoleh Kabupaten Purworejo sebesar 26,36 per 1.000 kelahiran hidup. Bila ditilik dari target nasional AKABA pada tahun 2010 sebesar 58 per 1.000 kelahiran hidup, maka baik di tingkat Provinsi maupun tingkat kabupaten/kota di seluruh Provinsi Jawa Tengah sudah berhasil melampaui target nasional. Gambar 15. Grafik Angka Kematian Balita (AKABA) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004

D. Peningkatan mutu dan pemanfaatan obat tradisional, utamanya Obat Asli Indonesia. Untuk peningkatan mutu dan pemanfaatan obat tradisional, utamanya OAI , di Jawa Tengah telah dilakukan suatu upaya yang komprehensif mulai dari hulu (bahan baku) sampai ke hilir (pemanfaatan), melibatkan semua lintas sektor tekait sesuai kewenangan, tugas dan kemampuan masingmasing, yaitu pembentukan Institut Pengembangan Obat Asli Indonesia di Jawa Tengah, yang merupakan suatu wadah pengembangan Obat Asli Indonesia di Jawa Tengah yang terdiri dari : Pusat Kajian Budidaya Tanaman Obat, dengan leading sektor : Dinas Perkebunan. Pusat Kajian Simplisia dan ekstrak, dengan leading sektor : Dinas Kesehatan. Pusat Kajian Pengembangan obat dari bahan alam, dengan leading sektor : LEMLIT UNDIP Semarang. Pada tanggal 26 Maret 2004, telah dilakukan penandatanganan MOU antara Gubernur Jawa Tengah dengan Rektor UNDIP Semarang, Nomor : 6 Tahun 2004 dan Nomor : 06/J07/KS/2004 tentang Pengembangan Obat Asli Indonesia di Jawa Tengah. MOU yang telah ditandatangani akan ditindak lanjuti dengan Perjanjian Kerjasama yang bersifat teknis mengacu pasal 87 UU 22 tahun 1989. Untuk kegiatan Pusat Kajian Simplisia dan Ekstrak, sesuai rencana kegiatan untuk tahun 2004, telah dilaksanakan kegiatan : Pembentukan struktur organisasi, Tupoksi, Tata laksana dan Personalia ; Penyusunan Rencana Kerja dan Koordinasi lintas sektor / antar pusat kajian Pengembangan mutu obat tradisional, khususnya OAI kearah Fitofarmaka pada tahun 2004 meliputi kegiatan : Penyediaan Bibit unggul tanaman obat. Kerjasama dengan APTO dan BPTO Tawangmangu

NO.

NAMA TANAMAN

JUMLAH

KET.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

INDONESIA Jahe Emprit Temu Lawak Kunyit Kencur Lempuyang Kunci Temu Ireng Daun Dewa Tempuyung

LATIN Zingiber Officinale Roxb Curcuma Xhantorriza Roxb Curcuma Domestica Val Kaemferia galanga L. ZingiberAromaticum Val. Roesenbergia Pandarata Roxb. Curcuma Aeroginosa Roxb. Gynura Pracnmbens Back. Sonchus Arvensis L.

12.000 12.000 10.000 10.000 200 200 200 200 100

Kg ,, ,, ,, ,, ,, ,, ,, ,, Bibit

10 11 12 13 14 15 16

Remujung Keji beling Cabe Jawa Adas Jinten Sirih Makuto Dewa

Orthosipon Spicatus BBS Strobylanthus Crispus BI. Piper Retrofractum Vahl. Foeniculum Vulgare MIII Cateus Amboinicus Leur Piper Betle Phateria Macrocarpha Schleff

100 100 100 200 200 100 10

,, ,, ,, ,, ,, ,, ,,

Pelaksanaan Uji Klinis. Kerjasama dengan Lembaga Penelitian UNDIP Semarang. Uji klinis dilakukan terhadap : Sediaan Ekstrak Herbal Penurun Kadar Asam Urat Darah Formula Androgenik Bu Ceng Meniran sebagai Fitofarmaka untuk Hepatitis A Akut

Fasilitasi Teknis Cara Pembuatan OAI yang Baik. 1) Pemenuhan standart secara umum meliputi semua aspek / komponen yang dinilai diperoleh hasil sebagai berikut : Sarana Produksi katagori Baik : 3 sarana ( 7 % ) Sarana Produksi dengan katagori Cukup : 12 sarana ( 29 % ) Sarana Produksi dengan katagori Kurang : 20 sarana ( 64 % )

2) Dari 8 aspek / komponen yang dinilai, masing masing :

No 1 2 3 4 5

ASPEK YG DINILAI SDM UMUM Penanggungjawab Teknis Bangunan / ruang Produksi Peralatan Hygiene dan sanitasi - Karyawan/ personalia - Bangunan

PERSENTASE PENCAPAIAN DARI 41 SARANA ( % ) BAIK CUKUP KURANG 12 7 34 7 5 19 31 29 48 47 45 41 57 46 18 46 50 40

7 8 9 10

- Peralatan - Bahan baku Pengolahan & Pengemasan - Pengolahan - Pengemasan Pengawasan Mutu Evaluasi Dokumentasi Penanganan Produk dipasaran

5 35 5 2 0

41 50 42 48 5

54 15 51 50 95 100 100 100

Untuk meningkatkan pemanfaatan Obat Asli Indonesia dalam pelayanan formal, maka di Jawa Tengah sejak tahun 2002 s/d tahun 2004 dilakukan penyediaan Obat Asli Indonesia, yaitu Tensigard Kapsul. Hasil evaluasi pemanfaatan Obat Asli Indonesia adalah sebagai berikut : Tabel : Pemanfaatan OAI di Pelayanan Formal. No Total Diterima Jumlah Total Rata-rata Angka terendah Angka tertinggi Kab/Kota terendah Kab/Kota tertinggi 481.961 15.547 283 90.600 Karanganyar Kab. Tegal Sisa stock Jumlah Digunakan 130.591 4.212 1 33.000 Cilacap Sukoharjo Persentase Penggunaan 706 22,77 0,07 88,52 Cilacap Pemalang

1. 2. 3. 4. 5. 6.

351.370 11.334 204 90.000 Kota Tegal Kab. Tegal

Rata-rata persentase penggunaan Tensigard Kapsul adalah sebesar 22,77 % dari total yang diterima. C. Keuangan Anggaran untuk Pembiayaan Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 berasal dari berbagai sember sebagai berikut : a. APBD Kabupaten/Kota Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten/Kota tahun 2004, jumlah anggaran belanja yang dialokasikan untuk pembiayaan kesehatan sebesar Rp. 585.943.994.674,00

dari anggaran belanja keseluruhan Kabupaten/Kota sebesar RP. 10.573.157.941.690,00. Apabila dipersentasekan maka baru 5,55 % besaran pembiayaan kesehatan dari seluruh pembiayaan Kabupaten/Kota. Data tersebut belum termasuk Kota Tegal, Kota Salatiga, Kabupaten Banyumas, dan Kabupaten Purbalingga. b. APBD Provinsi Anggaran belanja Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 sebesar Rp. 2.739.110.252.000,00 yang digunakan untuk membiayai seluruh bidang pemerintahan dan unit organisasi perangkat daerah termasuk Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah yang didalamnya terdapat UPTD, yaitu BP4 Semarang, BP4 Klaten, BP4 Magelang, BKIM, Balai Laboratorium Kesehatan, Akper Pemerinta Provinsi Jawa Tengah di Wonosobo, dan BPTPK Gombong. Alokasi anggaran belanja SKPD Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 sebesar Rp. 85.918.298.000,00 terdiri atas belanja aparatur sebesar Rp. 33.048.958.000,00 dan belanja publik sebesar Rp. 52.869.340.000,00. Anggaran APBD tahun 2004 untuk bantuan kesehatan ada yang melalui Biro Keuangan Setda Provinsi Jawa tengah yaitu untuk pengembangan PKD sebesar Rp. 10.000.000.000,00 dan mendapatkan bantuan untuk pengembangan PKD dari INGUB sebesar RP. 630.000.000,00 sehingga untuk pengembangan PKD di kabupaten/Kota seluruhnya berjumlah Rp. 10.630.000.000,00 yang keseluruhannya langsung diberikan kepada Kabupaten/Kota. Dengan demikian alokasi anggaran belanja dari APBD provinsi tahun 2004 yang digunakan untuk pembiayaan kesehatan sebesar Rp. 96.548.298.000,00. Bila dibandingkan dengan seluruh anggaran Belanja Provinsi maka ini berarti baru 3,52 % dari anggaran belanja Provinsi Jawa tengah yang dialokasikan untuk membiayai pelayanan kesehatan. Adapun realisasi atau penyerapan anggaran belanja SKPD Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 dari Rp. 85.918.298.000,00 tersebut di atas terserap sebesar Rp. 81.498.987.739,00 ( 94,86 % ) dengan rincian realisasi belanja aparatur sebesar Rp. 30.138.101.404,00 ( 91,20 % ) dan realisasi belanja publik sebesar Rp. 51.360.886.335,00 ( 97,15 % ). Tidak terserapnya anggaran belanja SKPD Dinas Kesehatan Provinsi Jawa tengah sebesar Rp. 4.419.310.261,00 ( 5,14 % ) dikarenakan :
- Adanya mutasi pegawai Dinas Kesehatan sejumlah 59 orang ( 31 orang pindah, 11

orang pindah masuk Jateng, 14 orang pension, dan 3 orang meninggal ).

- Adanya sisa mati anggaran pengadaan barang/jasa. - Adanya perbedaan index harga pada pengalokasian/perhitungan di lembar kerja. - Adanya penghematan pada beberapa jenis kegiatan antara lain : listrik, telepon, air,

pemeliharaan gedung tempat kerja, makanan dan minuman harian, rapar serta tamu.

- Adanya

beberapa kegiatan yang tidak terlaksana dikarenakan diundur dan pelaksanaannya di akhir bulan Desember sehingga peserta tidak jadi dikirim seperti seminar, konferensi, dan kursus-kursus.

c. Anggaran Proyek APBN. Pembiayaan kesehatan Jawa Tengah yang bersal dari Proyek APBN tahun 2004 sebesar Rp. 159.122.824.000,00 terdiri atas 4 Proyek dan 51 Bagian Proyek. Realisasi penyerapan sebesar Rp. 145.720.159.358,00 ( 91,58 % ). Anggaran Proyek APBN berasal dari :
- Rupiah murni sebesar Rp. 158.056.857.000,00 dari 4 Proyek dan 51 Bagian Proyek

terserap sebesar Rp. 144.800.247.228,00 ( 91,61 % ). penyerapan sebesar Rp. 919.912.130,00 ( 86,30 % ).

- Pinjamam luar negeri ( 2 Bagpro ) sebesar Rp. 1.065.967.000,00 dan realisasi

Realisasi penyerapan anggaran APBN yang belum maksimal dikarenakan :


- DIP dan PO terlambat cair. - Masih adanya kegiatan-kegiatan yang diberi bintang.

Dari alokasi anggaran proyek APBN tahun 2004 sebesar Rp. 159.122.824.000,00 yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Provinsi (4 Proyek dan 4 Bagpro) sebesar Rp. 42.947.824.000,00 terserap sebesar Rp. 35.379.560.405,00 ( 82,38 % ), dengan rincian :
- Rupiah murni ( 4 Proyek dan 4 Bagpro ) sebesar Rp. 41.881.857.000,00 terserap Rp.

34.459.648.275,00 ( 82,28 % ). 919.912.130,00 ( 86,30 % ).

- Pinjamam Luar Negeri ( 2 bagpro ) sebesar Rp. 1.065.967.000,00 terserap Rp.

PLN (Pinjamam Luar Negeri ) Droping APBN bersumber dana KFW pada Rumah sakit Dr. Kariadi Semarang sebesar Rp. 12.756.326.680,00 terserap sebesar Rp. 5.657.451.500,00 ( 44,35 % ). d. Sumber lain 1) Masyarakat/swasta Pembiayaan kesehatan yang berasal dari masyarakat/swasta cukup besar, namun sampai sekarang belum diketahui dengan pasti berapa besaran rupiahnya. Hal ini memang sulit karena belum ada penelitian secara menyeluruh untuk mendapatkan data tersebut.

2) Droping Pusat Droping anggaran dari Depkes RI bersumber dari KNCV untuk membiayai kegiatan TB Paru di Provinsi jawa tengah tahun 2004 sebesar Rp. 8.534.910.040,00, terserap sebesar Rp. 6.942.719.887,00 ( 81,35 % ). 3) JPS-BK / PKPS BBM Alokasi dana JPS-BK / PKPS BBM pada Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 berasal dari saldo dana penunjang tahun 2003 sebesar Rp. 297.590.000,00 dan dana penunjang PKPS BBM tahun 2004 yang diterima pada tanggal 5 Oktober 2004, sebesar Rp. 334.798.000,00, sehingga jumlah dana penunjang PKPS BBM tahun 2004 sebesar Rp. 632.388.000,00. Realisasi penyerapan sebesar Rp. 89.644.000,00 ( 14,18 % ). Dana penunjang PKPS BBM tersebut digunakan untuk kegiatan promosi lewat media masa/media cetak, pertemuan sosialisasi PKPS BBM, pemantauan dan koordinasi serta untuk penyelesaian pengaduan masyarakat. Adapun kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan adalah :
- Anggaran terlambat, diterima bulan Oktober 2004. - Manlak tahun 2004 baru dapat disosialisasikan setelah bulan Oktober 2004. - Anggaran berlanjut sampai tahun-tahun berikutnya ( tidak ada batas waktu ),

sehingga merupakan hambatan untuk merealisasikan kegiatan karena sudah dipertanggungjawabkan final.

Dengan demikian seluruh anggaran yang diperuntukkan bagi pembiayaan kesehatan di Provinsi Jawa tengah ( termasuk Kabupaten/Kota ) pada tahun 2004 sebesar Rp. 747.363.741.394,00 dengan rincian : 1) APBD Kab/Kota 2) APBD Prov. Jateng 3) Dana INGUB 4) Proyek APBN dikelola 5) PLN di RSDK Semarang 6) Sumber lain - KNCV - PKPS BBM : Rp. 8.534.910.040,00 : Rp. 632.388.000,00 : RP. 585.943.994.674,00 : Rp. 95.918.298.000,00 : Rp. 630.000.000,00

: Rp. 42.947.824.000,00 : Rp. 12.756.326.680,00

Daftar Pustaka http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/profil/profile2004/dftisi.htm

Anda mungkin juga menyukai