Anda di halaman 1dari 31

BAB II ANESTESI UMUM

2.1 Proses Penilaian Preoperatif Idealnya semua pasien yang akan diberikan anestesi pada operasi sedapat mungkin diminimalisir segala resiko yang akan dihadapi selama operasi berlangsung tanpa mengganggu proses operasi tersebut. Untuk operasi elektif, penilaian preoperatif biasanya dilaksanakan sehari sebelum dilakukannya operasi. Kunjungan ini juga berguna untuk menentukan teknik anestesi yang tepat bagi pasien. Akan tetapi, bagi pasien yang memiliki beberapa penyakit penyerta selain penyakit utama yang akan dioperasi akan membutuhkan waktu yang lebih lama unutk memperbaiki kondisi pasien sebelum operasi atau mendapatkan advis dari beberapa dokter spesialis. Untuk pasien seperti ini, dokter bedah biasanya menunda tindakan operasi sampai keadaan pasien memungkinkan. Tahapan preoperatif atau penilaian anestesi adalah sebagai berikut : a. Tahap 1 ( Skrining) Tidak semua pasien memerlukan tindakan preoperatif klinik oleh dokter anestesi. Tahapan ini berguna untuk menyaring pasien dan menentukan mana yang membutuhkan perhatian khusus dengan melakukan tanya jawab dan kuesioner, yang isinya menyangkut tentang persetujuan untuk tindakan anestesi. Proses ini dapat dikerjakan dengan berbagai cara yaitu memberikan kuesioner kepada pasien, tanya jawab yang dilakukan oleh perawat atau staf yang telah mendapat pelatihan, atau dokter umum yang menangani pasien tersebut. Pasien yang tidak memerlukan penilainan preoperatif klinik oleh dokter anestesi : 1. Paseien yang tidak memiliki masalah penyekit penyerta 2. Tidak memerlukan atau memerlukan pemeriksaan penunjang dasar yang menunjukkan hasil dalam batas normal 3. Tidak memiliki riwayat operasi 4. Operasi kecil dengan komplikasi minimal. Untuk pasien-pasien tersebut diatas cukup dilakukan pemeriksaaan oleh tim dokter bedah yang akan melakukan tindakan operasi. Pada hari dilakukannya operasi, dokter anestesi akan : 1. Mengkonfirmasi temuan dari hasil skrining
2. Memeriksa hasil pemeriksaan penunjang dasar

3. Menjelaskan jenis anestesi yang akan digunakan 4. Memiliki tanggung jawab yang besar dalam menetapkan bahwa tindakan yang dilakukan aman bagi pasien.

b. Penilaian preoperatif klinik Dalam hal ini, pasien telah diidentifikasi melalui tahap skrining dan memiliki masalah penyakit penyerta yang :

Telah terkontrol dengan obat-obatan Memiliki penyakit yang tidak terdiagnosis sebelumnya seperti diabetes atau hipertensi. Penanganan yang tidak optimal seperti hipertensi dan angina Hasil pemeriksaan penunjang dasar abnormal Membutuhkan pemeriksaan lanjutan seperti tes fungsi paru, ekokardiografi. Memiliki indikasi riwayat penyulit anestesi sebelumnya seperti sulit dilakukan intubasi. Dicurigai sulit dilakukan tindakan anestesi seperti pada obesitas, riwayat prolonged apnea setelah anestesi Akan dilakukan tindakan bedah yang kompleks atau memerlukan ruangan intensif setelah operasi berlangsung.

2.2 Penilaian Anestesi Siapapun yang bertanggung jawab untuk melakukan penilaian anestesi harus menanyakan riwayat pasien, melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan. Jika proses tersebut dilaksanakan oleh staf diluar anestesi, diperlukan sebuah protokol untuk memastikan bahwa semua tindakan telah dilakukan. 1. Riwayat penyakit sekarang dan riwayat penyakit dahulu Semua aspek mengenai riwayat pasien yang berkorelasi dengan sistem kardiovaskuler dan sistem respirasi penting untuk ditanyakan. a. Sistem kardiovasluker Gejala-gejala yang mungkin ditemukan yaitu pada pasien yang memiliki : Penyakit jantung iskemik Gagal jantung Hipertensi Gangguan konduksi, aritmia Penyakit vaskular perifer

Pasien yang terbukti memiliki riwayat infark miokard akan berisiko mengalami serangan jantung berulang pada perioperatif. Pada pasien dengan infark miokard
4

ringan dan hasil tes exercise normal, operasi elektif mungkin membutuhkan penundaan waktu selama 6-8 minggu. Gagal jantung adalah salah satu indikator yang paling mencolok dalam hal komplikasi perioperatif, yang dihubungkan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian perioperatif. Hal ini digambarkan melalui skala yang dibuat oleh New York Heart Association :

Hipertensi yang tidak diobati atau tidak terkontrol dapat memicu respon kardiovaskulara yang berlebihan selama operasi. Hipertensi dan hipotensi keduanya dapat meningkatkan risiko iskemia miokardial dan iskemia serebral. Tingkat keparahan hipertensi akan menentukan tindakan yang dilakukan : Hipertensi ringan ( sistol 140-159 mmHg, diastol 90-99 mmHg ) : tidak ada bukti yang menunjukkan untuk dilakukannya penundaan tindakan operasi. Hipertensi sedang ( sistol 160-179 mmHg, diastol 100-109 mmHg ) : ulangi pemeriksaan tekanan darah. Jika hasil tetap sama, diperlukan monitoring ketat untuk menghindari perubahan yang drastis selama anestesi dan operasi. Hipertensi berat ( sitol >180 mmHg, diastol >109 mmHg ) : pada level ini, dilakukan penundaan operasi elektif karena berisiko untuk terjadinya iskenia miokardial, aritmia, dan perdarahan intraserebral. Dalam keadaan darurat membutuhkan kontrol ketat dengan monitoring invasif.

b. Sistem Respirasi Tanyakan secara spesifik gejala dari penyakit berikut : Penyakit paru obstruksi kronik Emfisema Asma
5

Infeksi Penyakit paru restriktif

Pasien yang memiliki penyakit penyerta paru akan mudah mendapatkan infeksi paru setelah tindakan operasi, khususnya pada pasien obesitas, atau yang menjalani operasi abdomen bagian atas atau operasi thorak. Jika muncul gejala infeksi saluran napas bagian atas akut, maka anestesi dan operasi sebaiknya ditunda jarena dapat mengancam keselamatan pasien.

2. Penilaian Toleransi Aktivitas

Menilai fungsi jantung dan paru dapat ditentukan dengan menanyakan kepada pasien mengenai kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan fisik sehari-hari sebelum timbul gejala nyeri dada, sesak napas, dll. Contoh pertanyaan : Seberapa jauh anda dapat berjalan pada jalan yang datar ? Seberapa jauh anda dapat berjalan menanjak ? Berapa anak buah tangga yang bisa anda lalui sebelum berhenti ? Dapatkan anda berlari saat mengejar bus ? Apakah anda dapat melakukan pekerjaan rumah ? Apakah anda dapat pergi berbelanja ? Apakah anda dapat mengurus diri anda sendiri ?

Masalah dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas bahwa jawabannya akan sangan subjektif dan pasien cenderung untuk menjawab lebih daripada kemampuan mereka. Untuk membuatnya lebih objektif, klasifikasi The New York Heart Association (NYHA) adalah salah satunya. Akan tetapi, tidak semua pasien dapat dinilai dengan klasifikasi NYHA tersebut. Sebagai contoh pada pasien dengan gangguan muskuloskeletal mungkin tidak dapat melakukan aktifitas namun bukan berarti terdapat gangguan kardiorespirasi.

Kondisi lain yang penting diidentifikasi pada riwayat penyakit pasien adalah :

Saluran pencernaan, dada rasa terbakar dan refluks kemungkinan hiatus hernia. Jika terjadi eksaserbasi saat posisi terlentang, akan meningkatkan risiko terjadinya regurgitasi dan aspirasi. Penyakit rematoid. Keterbatasan dalam bergerak akan menyulitkan posisi saat operasi. Keterlibatan tulang belakang servikal dan sendi temporo-madibular dapat menyulitkan manajemen jalan napas. Diabetes. Akan terjadi peningkatan insiden penyakit jantung iskemik, gangguan ginjal, dan gangguan saraf otonom dan perifer. Peningkatan risiko komplikasi intra dan postoperatif, khususnya hipotensi dan infeksi.
6

Gangguan neuromuskular. Penyakit jantung dapat diperberat oleh anestesi dan penyakit paru restriktif ( Forced Vital Capacity < 1 L )dapat menyebabkan infeksi paru dan kemungkinan memerlukan ventilator setelah operasi. Gagal ginjal kronik, anemia dan gangguan elektrolit. Gunakan obat-obatan yang tidak diekskresikan ke ginjal. Jaundice. Terjadi gangguan metabolisme obat dan gangguan sintesis pembekuan darah. Epilepsi. Hindari obat anestesi yang bersifat epileptogenik seperti enflurane.

3. Riwayat Operasi dan Anestesi Tanyakan tentang kesulitan pada operasi sebelumnya seperti mual, muntah, kuning pascaoperasi, penurunan kesadaran. Periksa rekam medis tindakan anestesi sebelumnya apakah ada kesulitan yang dihadapi seperti kesulitan dalam intubasi, alergi pada obat-obatan tertentu, atau reaksi berlawanan ( contoh : hiperpireksia maligna).

4. Riwayat Penyakit Keluarga Seluruh pasien sebaiknya ditanyakan apakah ada riwayat penyakit keluarga yang bisa menjadi penyulit anestesia seperti kejadian prolonged apnea yang berkaitan dengan defisiensi pseudokolinesterase dan hiperpireksia maligna yang menyebabkan kematian pada pasien. Pada operasi elektif sebaiknya tindakan ditunda jika kondisi tersebut diatas ditemukan dan pasien dilakukan tindak lanjut pemeriksaan yang dibutuhkan. Pada situasi darurat, anestesi harus harus disesuaikan dengan kondisi pasien, sebagai contoh dengan menhindari pemberian obat pencetus pada pasien yang memiliki riwayat keluarga hiperpireksia maligna. 5. Riwayat Pengobatan dan Alergi Identifikasi seluruh obat-obatan, baik yang diresepkan oleh dokter ataupun yang dibeli sendiri oleh pasien, termasuk obat-obatan herbal. Seringnya pasien lupa dengan obat kontrasepsi oral dan obat untuk terapi pengganti hormon yang telah dikonsumsi bila tidak ditanyakan secara spesifik. Insidens penggunaan obat-obatan meningkat sesuai usia dan banyak dari obat-obat tersebut yang berinteraksi dengan obat-obat anestesi. Alergi terhadap obat dan makanan sebaiknya ditanyakan. 6. Riwayat Sosial

Merokok ; pastikan jumlah rokok yang dihisap perharinya. Oksigen yang berada di darah akan berkurang oleh karboksihemoglobin, dan nikotin menstimulasi sistem saraf simpatis, menyebabkan takikardia, hipertensi dan penyempitan arteri koronaria. Selain resiko penyakit paru kronis dan kanker, seorang perokok memiliki resiko yang besar untuk mengalami infeksi dada setelah operasi. Berhenti merokok selama 8 minggu dapat memperbaiki jalan napas, 2 minggu untuk mengurangi iritabilitas dan kurang lebih 24 jam sebelum dilakukan anestesi dapat menurunkan kadar karboksihemoglobin.

Alkohol ; hal ini diukur secara satuan konsumsi per minggu. Konsumsi >50 kali/minggu dapat menginduksi enzim hati dan menggagu toleransi obat-obatan anestesi. Selain itu juga dapat menyebabkan withdrawal syndrome setelah operasi. Kehamilan ; tanyakan kepada pasien hari pertama haid terakhir (HPHT). obat anestesi dapat meningkatkan resiko terjadinya aborsi spontan pada kehamilan trimester pertama. Selain itu, terdapat juga resiko regurgitasi dan aspirasi pada kehamilan trimester ketiga. Operasi elktif sebaiknya ditunda sampai proses kelahiran.

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik lebih dikonsentrasikan pada sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan. Untuk sistem tubuh lainnya diperiksa jika terdapat masalah yang berkaitan dengan anestesi. a. Sistem kardiovaskular Perhatikan secara teliti tanda-tanda dari : Aritmia Gagal jantung Hipertensi Penyakit katup jantung Penyakit pembuluh darah perifer.

Jangan lupa untuk inspeksi vena perifer untuk menentukan apakah ada permasalahan pada tempat untuk dilakukan pemasangan jalur intravena. b. Sistem Pernapasan Perhatikan secara teliti tanda-tanda dari : Gagal napas Gangguan ventilasi Kolaps, konsolidasi, efusi pleura Suara napas tambahan

c. Sistem saraf Penyakit kronis pada sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi sebaiknya diperiksa apakah terdapat gangguan pada motorik san sensorik pada pasien karena beberapa penyakit tersebut dapat berpengaruh pada sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan, seperti miotonika distrofia dan multipel sklerosis.

d. Sistem Muskuloskeletal
8

Pasien yang memiliki penyakit pada jaringan penyambung biasanya akan mengalami batasan pergerakan dan deformitas. Pasien yang menderita penyakit rematoid mengalami pengurangan massa otot, gangguan saraf tepi dan gangguan yang melibatkan paru-paru. Perhatian khusus perlu diberikan pada pasien yang mengalami gangguan pada vertebre cervikal dan sendi temporomandibular. e. Pemeriksaan Jalan Napas Perhatikan anatomi jalan napas pasien : Keterbatasan membuka mulut Mandibula yang terlalu kebelakang Posisi, jumlah dan kesehatan gigi geligi Ukuran lidah Pembengkakan jaringan lunak pada leher bagian depan Deviasi laring atau trakea Keterbatasan fleksi dan ekstensi dari vertebre cervikal.

Beberapa cara untuk memeriksa hal diatas : Kriteria Mallampati. Pasien duduk tegak, lalu suruh pasien untuk membuka mulut dan mengeluarkan lidah semaksimal mungkin. Terdapat 4 derajat pada pemeriksaan ini. Untuk derajat III dan IV akan sulit untuk dilakukan intubasi.

Pengukuran jarak thymomental dengan kepala pada posisi ekstensi leher maksimal. Jarak antara dagu dengan kartilago tiroid yang paling menonjol diukur. Bila jarak <7cm akan sulit untuk dilakukan intubasi.

Gambar. Pengukuran Jarak Thymomental Skor Wilson ; peningkatan berat badan, keterbataan pergerakan kepala dan leher, sulit membuka mulut dan terdapatnya mandibula yang terlalu kebelakang adalah predisposisi sulit dilakukannya tindakan intubasi. Tes Calder Pasien disuruh untuk menggerakkan mandibula kedepan semaksimal mungkin. Gigi seri bagian bawah akan berada pada anterior, segaris, atau posterior daripada gigi seri bagian atas. Dua posisi yang disebutkan terakhir akan mengurangi pandangan saat dilakukan laringoskopi. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium darah rutin Urea dan elektrolit : pada pasien yang mendapatkan obat dogoxin, diuretik, steroid, dan pada pasien diabetes melitus, gangguan ginjal, muntah, dan diare.

10

Tes fungsi hati : pada pasien yang diketahui mempunyai penyakit hati, riwayat konsumsi alkohol >50 kali/minggu, panyakit kanker yang telah bermetastasis atau pasien malnutrisi. Gula darah : pada pasien diabetes, penyakit arteri perifer berat, atau pasien yang mengkonsumsi steroid jangka panjang. Elektrokardiogram (EKG) : pada pasien hipertensi, dengan gejala atau tanda penyakit jantung iskemik, aritmia atau diabetes pada usia >40 tahun. Foto X-ray dada Tes fungsi paru : pada pasien dispnea, penyakit paru obstruktif kronik atau asma.pemeriksaan yang dilakukan adalah peak expiratory flow rate (PEFR), forced expiratory volume dalam 1 detik (FEV1) dan FVC. Skrining pembekuan darah Skrining sickle cell X-ray vertebre cervikal Ekokardiografi

2.3 Indikator Resiko Anestesi Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai satus fisik seseorang ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi ASA ASA 1 ASA 2 ASA 3 ASA 4 Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia Penyakit sistemik ringan atau sedang Penyakit sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas Penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam Insidens kematian (%) 0,1 0.2 1,8 7,8

ASA 5

9,4

Jika prosedur dilakukan sebagai tindakan emergensi maka tanda E ditambahkan pada kelas ASA

2.4 Tahapan Anestesi I. Premedikasi


11

Premedikasi mengacu pada obat-obatan yang diberikan untuk memfasilitasi tindakan induksi dan rumatan anestesi. Saat ini, premedikasi diberikan sebelum induksi anestesi. Tujuan premedikasi : Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi anestesi Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Meminimalkan jumlah obat anestetik Mengurangi mual-muntah pasca bedah Menciptakan amnesia Mengurangi isi cairan lambung Mengurangi refleks yang membahayakan

Obat-obatan premedikasi terdiri dari 6 A, yaitu : 1. Anxyolysis : benzodiazepine Obat ini menyebabkan efek sedasi dan amnesia, diabsorbsi dengan baik di saluran cerna dan diberikan secara oral 45-90 menit sebelum operasi. 2. Amnesia : untuk menimbulkan efek amnesia anterograd ( seperti diazepam) 3. Anti-emetic Beberapa jenis operasi berkaitan dengan peningkatan kejadian mual muntah postoperatif ( Postoperative Nausea and Vominting ) seperti bedah ginekologi. Obat-obatan anti-emetik antara lain :

4. Antasid Pasien akan menjalani puasa sebelum operasi berlangsung untuk mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi dari asam lambung saat tindakan induksi dilakukan. Hal ini tidak dapat dilakukan pada : a. Operasi darurat b. Pasien yang menerima obat opiat atau dalam keadaan nyeri yang akan menimbulkan lamanya pengosongan lambung.
12

c. Pasien hiatus hernia Obat-obatan antasid yang digunakan antara lain : a. Sodium sitrat oral 30ml
b. Ranitidin (H2 antagonis) 150mg oral 12 jam dan 2 jam sebelum operasi.

c. Metoklopramid 10mg sebelum operasi d. Omeprazol 40mg 3-4 jam sebelum operasi 5. Anti Autonomik a. Efek antikolinergik (atropin) untuk mengurangi salivasi dan refleks vagal. b. Efek antisimpatomimetik (beta blocker) 6. Analgesia : morfin, petidin, dan fentanyl. II. Puasa sebelum operasi Dahulu, pasien menjalani puasa baik makanan dan minuman dalam jangka waktu yang lama, namun saat ini telah dibedakan seperti dibawah ini :

Makanan 6 jam sebelum operasi Minuman 2 jam sebelum operasi. Minuman ini termasuk air putih, teh, kopi, dan sari jus buah. Susu tidak dianjurkan karena akan menggumpal dan lemak yang terkandung pada susu akan meperlambat pengosongan lambung Obat dapat diminum dengan sedikit air

III.

Manajemen Jalan Napas Menjaga jalan napas tetap paten adalah hal yang penting untuk keamanan dan keberhasilan suatu tindakan anestesi. Hal ini bisa dilakukan melalui manuver head tilt dan jaw thrust. Ketika memegang sungkup pada posisi jari telunjuk dan ibu jari, posisikan rahang dengan mengangkat sudut mandibuladengan jari yang tersisa dari salah satu atau kedua tangan. Sehingga efek yang diinginkan ialah mandibula terangkat menuju sungkup bukan sungkup yang ditekan ke wajah. 1. Facemask Sebaiknya digunakan sungkup yang sesuai dengan kontur wajah dengan tekanan yang kecil. Kebocoran gas anestesi diminimalkan oleh udara yang berada pada balon karet di tepi sungkup.
13

Sungkup dibuat dengan bermacam-macam ukuran. Beberapa sungkup memiliki warna transparan agar bisa mengamati kejadian muntah pada pasien Semua sungkup harus dilakukan desinfeksi sebelum digunakan untuk pasien selanjutnya. Atau sebagai alternatif dapa digunakan sungkup yang satu kali pakai.

Gambar. Penggunaan Facemask 2. Orofaringeal airway Tabung plastik (guedel) yang berbentuk melengkung yang diletakkan pada mulut untuk mencegah lidah jatuh kebelakang. Tersedia dalam berbagai ukuran dari mulai neonatus sampai dewasa. Ukuran yang sering dipakai yaitu 2-4.

14

Gambar. Berbagai Ukuran Orofaringeal Airway


Perkiraan ukuran guedel dapat diukur dengan cara membandingkan panjang jalan napas dengan jarak vertikal antara gigi seri dan sudut rahang pasien. Awalnya dimasukkan dalam posisi terbalik sejauh bagian belakang palatum durum, lalu diputar 180o dan dimasukkan sepenuhnya sampai bagian ujung luar guedel berada tepat didepan gigi atau gusi.

15

Gambar. Pemasangan Orofaringeal Airway 3. Nasofaringeal Airway

Berbentuk bulat, terbuat dari plastik lunak, ukuran bervariasi namun yang sering digunakan yaitu diameter 6-8mm. Memperkirakan ukuran dengan cara membandingkan ukuran diameter lubang hidung. Sebelum dimasukkan pastikan jalan napas paten dan gunakan jelly sebagai lubrikan. Umunya nasofaringeal airway dipasang pada lubang hisung sebelah kanan. Jika terdapat obstruksi, sebaiknya jangan memaksa mendorong tabung kedalam karena dapat memicu perdarahan hebat. Pada kasus ini tabung dimasukkan ke lubang hidung yang tidak ada obstruksi.

16

Gambar. Pemasangan Nasofaringeal Airway 4. Laringeal Mask Airway (LMA) Awalnya LMA dirancang untuk pasien yang dapat bernapas dengan spontan. Alat ini terdiri dari sungkup yang berada pada posisi diatas laring yang dikaitkan dengan tabung yang menonjol dari mulut dan berhubungan dengan sistem anestesi inhalasi. LMA terdiri dari beberapa ukuran mulai dari neonatus sampai dewasa dan yang sering dpakai adalah ukuran 3, 4, dan 5. LMA dapat digunakan berulang kali dengan syarat disterilisasi terlebih dahulu sebelum digunakan kepada psien berikutnya. Beberapa masalah yang ditemukan pada penggunaan LMA antara lain tidak efektif untuk pasien yang tidak memiliki gigi, dan kontraindikasi relatif pada kasus emergensi karena meningkatkan terjadinya regurgitasi. LMA baik digunakan pada pasien yang sulit untuk dilakukan tindakan intubasi sehingga proses oksigenasi tetap berlangsung. Teknik pemasangan LMA : Pemasangan dilakukan saat pasien dalam keadaan arefleks dengan tujuan mencegah batuk atau laringospasme. Udara dalam balon dikeluarkan terlebih dahulu dan sungkup diberi lubrikan.

17

Lakukan manuver head tilt, buka mulut pasien dan masukkan sungkup sepanjang palatum durum dengan sisi yang terbuka menghadap ke lidah namun tidak menyentuh lidah. Isi balon LMA dengan udara menggunakan spuit. Selanjutnya difiksasi dengan menggunakan plester.

Gambar. Pemasangan LMA 5. Intubasi Trakeal Prosedur ini merupakan langkah paling baik untuk menjaga jalan napas tetap paten selama tindakan anestesi dan resusitasi. Pada saat anestesi perlu diberikan muscle relaxant untuk melumpuhkan refleks laringeal. Indikasi dilakukan intubasi trakea :

Bila pada saat operasi pasien diberikan muscle relaxant seperti pada operasi abdomen dan operasi thorak. Pasien dioperasi dalam keadaan tidak puasa dilakukan intubasi untuk mencegah aspirasi.

18

Saat posisi pasien selama operasi menimbulkan kesulitan dalam menjaga jalan napas tetap bebas seperti pada posisi lateral atau pronasi. Saat dimana kontrol ventilasi dimanfaatkan untuk kelancaran proses operasi seperti pada kasus bedah saraf. Saat dilakukannya resusitasi kardiopilmoner.

Alat yang dibutuhkan untuk intubasi trakea terdiri dari : a. S = Scope Stetoskop untuk mendengar suara paru dan jantung. Laringoskop disesuaikan ukuran bilah dan balde dengan usia pasien. b. T = Tubes Pipa trakea sipilih sesuia dengan usia. Usia <5 tahun gunakan yang tanpa balon (non-cuffed) dan >5 tahun gunakan dengan balon (cuffed). c. A = Airway Pipa mulut-faring (guedel) atau pipa hidung-faring (nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas. d. T = Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut e. I = Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan. f. C = Connector Penyambung antar pipa dan peralatan anestesi g. S = Suction Penyedot lendir, ludah, dan lain-lain. Teknik intubasi :
a. Preoksigenasi : semua pasien yang akan diintubasi diberikan pernapasan

oksigen 100% dengan menggunakan sungkup selama 2-3 menit. Proses ini bertujuan untuk memberikan cadangan oksigen pada paru-paru, mengurangi resiko hipoksia bila intubasi sulit dilakukan.
b. Memposisikan pasien : kepala ekstensi, mulut dibuka lebar dengan jari

telunjuk dan ibu jari tangan kanan.


19

c. Laringoskopi : laringoskop dipegang dengan tangan kiri dan bilah

dimasukkan kedalam mulut dari arah kanan lidah dan geser lidah kearah kiri. Bilah dimasukkan sampai jarak anata pangkal lidah dan epiglotis. Gaya bertumpu pada lengan atas bukan pada pergelangan tangan yang bertujuan untuk mengangkat lidah dan epiglotis agar laring terlihat yairu berbentuk segitiga terbuka dengan apeks di bagian anterion dan berwarna keputuhan pada rima glotis yang berada dibagian lateral.

Gambar. Penampang Laring Saat Laringoskopi d. Intubasi Pipa trakea dimasukkan pada mulut sebelah kanan sampai balon melewati rima glotis. Pertahankan posisi pipa dan keluarkan laringoskop, isi balon pipa dengan udara. Fiksasi pipa dengan plester. Komplikasi intubasi trakea : a. Hipoksia, dikarenakan oleh : Intubasi esofageal yang tidak tepat. Jika ada keraguan pada posisi dari pipa tersebut, sebaiknya cabut pipa dan berikan ventilasi dengan sungkup kepada pasien. Gagal intubasi dan tidak dapat dilakukan ventilasi pada pasien. Hal ini biasanya terjadi akibat abnormalitas anotomi jalan napas. Pada beberapa kasus dapat diperdiksi saat penilaian preoperatif. Gagal ventilasi setelah intubasi. Penyebab yang mungkin adalah, pipa yang terlipat, tidak tersambung, atau pipa terlalu dalam dan masuk kesalah satu bronkus, bronkospasme berat, dan pneumotoraks.
20

Aspirasi. Regurgitasi isi lambung dapat menghalangi jalan napas secara langsung, atau efek lainnya menyebabkan spasme laring dan bronkospasme. Penekanan pada tulang rawan krikoid dapat mengurangi resiko regurgitasi sebelum dilakukannya intubasi.

b. Trauma Trauma langsung. Saat laringoskopi dan memasukkan pipa, mencederai bibir, gigi, lidah, faring, laring, dan trakea, menyebabkan pembengkakan jaringan lunak atau perdarahan. Trauma tidak langsung pada nervus laringeus rekuren dan vertebra servikal.

c. Aktivitas Refleks

Hipertensi dan aritmia. Terjadi sebagai respon dari tindakan laringoskopi dan intubasi. Hal ini berbahaya pada pasien dengan penyakit arteri koronaria. Pada pasien yang berisiko, tindakan spesifik diambil untuk mengurangi respon, sebagai contoh diberikan beta bloker atau analgetik poten (fentanyl) sebagai premedikasi. Muntah. Hal ini mungkin distimulasi ketika laringoskopi dilakukan pada pasien yang tidak mendapatkan anestesi yang adekuat. Muntah sering terjadi bila terdapat makanan dalam lambung seperti pada pasien darurat yang tidak menjali puasa, pasien dengan obstruksi saluran cerna, atau terjadi keterlambatan pengosongan lambung. Spasme laring. Refleks adduksi pada plika vokalis akibat stimulasi epiglotis atau laring.

Sellicks Manuver Regurgitasi dan aspirasi isi lambung adalah komplikasi anestesi yang mengancam kehidupan dan sebisa mungkin resiko tersebut diminimalkan. Waktu preoperatif, pasien menjalani puasa untuk mengurangi volume lambung dan pemberian obat dapat membantu untuk meningkatkan pH. Saat induksi, tekan tulang rawan krikoid secara anterior posterior. Seorang asisten, menekan dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk dan tangan lainnya berada dileher belakang pasien untuk stabilisasi. Penekanan dilakukan sesaat kehilangan kesadaran dan dipertahankan sampai pipa dimasukkan dan balon dikembangkan. Tindakan ini dipertahankan jika pasien merasa ingin muntah, karena resiko aspirasi lebih besar bila dibandingakan dengan resiko teoritis ruptur esofagus. Jika terjadi muntah, pasien sebaiknya miring ke salah atu arah yang minimal kejadian aspirasinya.

21

Gambar. Sellicks Manuver 2.5 Penggunaan Obat pada Anestesi Umum 1. Induksi anestesi intravena Induksi intravena adalah yang paling sering diberikan pada psien dewasa. Onset hilang kesadaran cepat karena konsentrasi obat di otak meningkat sangat cepat. Obat kemudian didistribusikan kembali ke jaringan dan konsentrasi di plasma menurun. Hal ini diikuti oleh penurunan konsentrasi di otak sehingga pasien kembali sadar. Meskipun durasi obat singkat, eliminasi dan metabolisme di hati berjalan lebih lama karena ada akumulasi. Konsekuensinya, kebanyakan obat tidak dapat diberikan lagi untuk dosis pemeliharaan anestesi kecuali propofol. Dalam penggunaan obat, dosis untuk induksi dikurangi untuk pasie-pasien seperti pasien tua, lemah, gangguan jantung dan psien hipovolemik. 2. Induksi anestesi inhalasi Agen inhalasi yang bisa digunakan untuk induksi antara lain kombinasi oksigen dengan N2O. Karena konsentrasi anestesi pada otak meningkat secara perlahan, maka hilang kesadaran terjadi tetapi memerlukan waktu yang leih lama jika dibandingkan dengan induksi intravena. Induksi inhalasi digunakan pada kasus :

Pasien dengan vena yang tidak baik Anak-anak yang tidak kooperatif Pasien dengan fobia jarum

Pasien dengan jalan napas yang membahayakan, yang bila diberikan obat intravena menyebabkan apnea, dan ventilasi dan oksigenasi tidak dapat dilakukan karena berakibat fatal.

22

Tebel. Obat Intravena untuk Induksi Anestesi

23

Tabel. Obat Inhalasi untuk Induksi Anestesi

24

2.6 Tingkatan Anestesi


1. Fase I : terjadi sampai kesadaran menghilang. Ukuran pupil akan tetap norma dan

reaktif, tonus otot normal, dan bernapas dengan otot interkostal dan diafragma 2. Fase II : pada fase ini mungkin terjadi tahanan napas dan batuk. Hal ini sering mengacu pada fase eksitasi. Ukuran pupil akan membesar dan refleks bulu mata akan menghilang. 3. Fase III : fase ini adalah fase anestesi operasi. terdapat penurunan aktivitas pernapasan, dengan paralisi interkostas yang progresif. Tonus otot juga menurun dan refleks laringeal menghilang. Pupil sedikit konstriksi dan secara bertahap kemudian berdilatasi. Fase ini berakhir dengan paralisi diafragma.
4. Fase IV : pada fse ini terjadi apnea, semua aktivitas refleks hilang dan dilatasi pupil

menetap. Pemeliharaan Anestesi dapat dicapai dengan menggunakan variasi anestesi inhalasi menggunakan oksigen dengan atau tanpa N2O, atau dengan anestesi intravena, yang sering dipakai adalah propofol. 2.7 Obat Muscle Relaxant Obat ini bekerja dengan cara mengganggu aktivitas normal dari asetilkolin pada motor end plate, menghambat reseptor pada membran otot postsinaps. Obat ini dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :
1. Muscle Relaxant Depolarisasi

Suxamethonium : obat ini tipe ini yang sering digunakan. Dosis yang dipakai 1,5mg/kgBB secara intravena. Sedian 1 ampul yaitu 2ml (50mg/ml). Setelah injeksi, terdapat periode singkat fasikulasi akibat depolarisasi dari membran otot, diikuti dengan paralisis otot 40-60 detik kemudian. Pemulihan terjadi akibat hidrolisis oleh pseudokolinesterase di plasma dengan kembalinya transmisi neuromuskular setelah 4-6 menit. Onset yang singkat membuar obat ini menjadi pilihan untuk intubasi trakea pada pasien yang beresiko regurgitasi dan aspirasi.efek samping obat ini yaitu hiperpireksia maligna, peningkatan tekanan intraokular, nyeri otot seringnya 24 jam setelah pemberian, anafilakstik syok karena mengeluarkan histamin, dan prolonged apnea pada pasien defisiensi pseudokolinesterase. 2. Muscle Relaxant Non-depolarisasi Obat ini bersaing dengan asetilkolin dan menghambat akses pada reseptor postsinaps tetapi tidak menimbulkan depolarisasi. Obat ini kadang disebut kompetitif penghambat neuromuskular. Waktu efek maksimum ketika relaksasi adekuat untuk dilakukannya intubasi trakea (umumnya 1,5-3 menit). Meskipun pemulihan fungsi neuromuskular normal terjadi secara spontan, namun sering dipercepat dengan pemberianantikolinesterase.
25

Tabel. Obat Muscel Relaxant Non-Depolarisasi

26

2.8 Obat Analgetik Analgetik digunakan untuk mengeliminasi rasa nyeri, mengurangi respon otonom dan dapat mengurangi konsentrasi pemberian obat intravena atau inhalasi yang diberikan untuk dosis pemeliharaan. 1. Analgetik Opioid

2. Non-steroid Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs) Obat-obat ini mencegah enzim cyclo-oxygenase (COX-1 dan 2) dan menghambat sintesis asam arakidonat menjadi prostaglandin. Prostaglandin memicu inflamasi di perifer dan juga sensasi nosiseptor di sistem saraf pusat.
a. Ketorolak : inhibitor COX non-spesifik yang diberikan secara oral, IM atau IV.

Dosis inisial 10mg, dan yang berikutnya 30 mg (maksimum 90mg/hari). Ketorolak efektif diberikan setelah operasi ortopedi. Obat ini tidak berefek pada ventilasi dan fungsi kardiovaskular.
27

b. Parecoxib : inhibitor COX-2 selektif dan dinyatakan memiliki sedikit efek samping, khususnya pada saluran cerna dan platelet. Diberikan secara parenteral dengan dosis inisial 40 mg, dan dilanjutkan dengan 20-40 mg tiap 6-12 jam (maksimum 80mg/hari).

2.9 Perawatan Postoperasi Setelah operasi, pasien dipindahkan keruang pemulihan. Peralatan yang dibutuhkan diruang pemulihan antara lain oksigen, suction, monitor EKG, saturasi, monitor tekanan darah noninvasif. Selain alat tersebut, ruang pemulihan juga harus tersedia :
a. Peralatan untuk jalan napas : pipa endotrakeal, laringoskop, bronkoskop, dan instrument

untuk melakukan tindakan krikotiroidotomi dan trakeostomi. b. Peralatan pernapasan dan ventilasi : masker, ventilator dan set drainase dada. c. Peralatan untuk sirkulasi : defibrilator, obat-obatan untuk resusitasi kardiopulmoner, akses intravena, dan infus.
d. Peralatan monitoring : transduser dan monitor, monitor end-tidal carbondioxide, dan

termometer. Lamanya pasien berada di ruang pemulihan tergantung dari beberapa faktor, termasuk lamam dan tipe operasi, teknik anestesi, dan ada atau tidaknya komplikasi. Umumnya pasien berada diruang pemulihan selama sekitar 30 menit. Sedangkan kriteria pemindahan pasien dari ruang pemulihan ke tempat perawatan : a. Sadar penuh dan dapat mengontrol jalan napasnya sendiri meskipun masih dalam keadaan mengantuk. b. Pernapasan adekuat c. Sistem kardiovaskular stabil dengan minimal perdarahan. d. Pemberian penghilang rasa sakit yang adekuat e. Badan terasa hangat.

2.10 Terapi Cairan Berdasarkan fungsinya cairan dapat dikelompokkan menjadi :


28

1. Cairan pemeliharaan : ditujukan untuk mengganti air yang hilang lewat urine, tinja, paru dan kulit (mengganti puasa). Cairan yang diberikan adalah cairan hipotonik, seperti D5 NaCl 0,45 atau D5W. 2. Cairan pengganti : ditujukan untuk mengganti kehilangan air tubuh akibat sekuestrasi atau proses patologi lain seperti fistula, efusi pleura asites, drainase lambung. Cairan yang diberikan bersifat isotonik, seperti RL, NaCl 0,9 %, D5RL, D5NaCl. 3. Cairan khusus : ditujukan untuk keadaan khusus misalnya asidosis. Cairan yang dipakai seperti Natrium bikarbonat, NaCl 3%. Cairan juga di bagi menjadi : 1. Kristaloid Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa,tidak mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskuler 20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskuler ke interstisial berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urine. Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel. Yang termasuk larutan kristaloid : a. Ringer laktat Cairan yang paling fisiologis, banyak digunakan sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, luka bakar. Laktat yang terdapat di dalam RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat untuk memperbaiki keadaan seperti metabolik asidosis. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk maintenance seharihari,apalagi untuk kasus defisit kalium. RL juga tidak mengandung glukosa sehingga bila akan dipakai sebagai cairan maintenance harus ditambah glukosa untuk mencegah terjadinya ketosis. b. NaCl 0,9% (normal saline) Dipakai sebagai cairan resusitasi (replacement therapy) terutama pada kasus: Kadar Na+ yang rendah Keadaan di mana RL tidak cocok untuk digunakan seperti pada alkalosis, retensi kalium. Cairan pilihan untuk kasus trauma kepala Dipakai untuk mengencerkan sel darah merah sebelum transfusi. Tetapi memiliki beberapa kekurangan yaitu: - Tidak mengandung HCO3
29

- Tidak mengandung K+ - Kadar Na+ dan Cl- relatif lebih tinggi sehingga dapat terjadi asidosis hiperkloremia, asidosis delusional dan hipernatremia. c. Dextrose 5% dan 10% Digunakan sebagai cairan maintenance pada pasien dengan pembatasan intake natrium atau cairan pengganti pada pure water deficit. Penggunaan perioperatif untuk: Berlangsungnya metabolisme Menyediakan kebutuhan air Mencegah hipoglikemia Mempertahankan protein yang ada, dibutuhkan minimal 100g karbohidrat untuk mencegah dipecahnya kandungan protein tubuh

- Menurunkan level asam lemak bebas dan keton - Mencegah ketosis, dibutuhkan minimal 200g karbohidrat. Cairan infus mengandung dextrose, khususnya dextrose 5% tidak boleh diberikan pada pasien trauma kapitis (neuro trauma). Dextrose dan air dapat berpindah secara bebas ke dalam sel otak. Sekali berada dalam sel otak, dextrose akan dimetabolisme dengan sisa air yang menyebabkan edema otak. d. Darrow Digunakan pada defisiensi kalium untuk mengantikan kehilangan harian, kalium banyak terbuang (diare, diabetik asidosis).
2. Koloid

Koloid mengandung molekul-molekul besar berfungsi seperti albumin dalam plasma tinggal dalam intravaskular cukup lama (waktu parah koloid intravaskuler 3-6 jam), sehingga volume yang diberikan sama dengan volume darah yang hilang. Contoh cairan koloid antara lain dekstran, haemacel, albumin, plasma dan darah. Secara umum koloid dipergunakan untuk a. Resusitasi cairan pada penderita dengan defisit cairan berat (shockhemoragik) sebelum transfusi tersedia. b. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat, misalnya pada lukabakar. Golongan Koloid : 1. HES ( Hydroxyethyl Starch ) - Pelarut NaCl 0,9 % : Wida HES, HES Steril

- Pelarut elektrolit berimbang: FIMAHES 2. Gelatin 3. Dekstran


30

4. Albumin Keuntungan HES: menyumpal kebocoran ( sealing effect ) memiliki efek anti inflamasi, dengan cara menghambat produksi mediator inflamasi. Perbandingan kristaloid dan koloid : Kristaloid Efek intravaskuler volume Lebih baik + Sering Lebih besar Tidak ada Murah Koloid Lebih baik (efisien, volume lebih kecil, menetap lebih lama) Lebih tinggi + Jarang Dekstran>kanji hidroksi etil GFR menurun Jarang Albumin mahal, lainnya sedang

Efek volume interstisial DO2sistemik Sembab paru Sembab perifer Koagulopati Aliran urin Reaksi-reaksi Harga

2.11 Terapi Cairan Pada Pembedahan 1. Terapi Cairan Preoperative Pemeliharaan cairan harus dilakukan pada individu yang sehat sebelum operasi. Evaluasi preoperatif status volume pasien dan elektrolit abnormal yang ada merupakan bagian yang penting pada penilaian dan perawatan preoperatif. Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang terjadi :8 Pada fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi biasanya meningkat sedikit, belum ada gangguan cairan dan komposisinya secara serius. Dehidrasi pada fase ini terjadi jika kehilangan kira-kira 2% BB (1500 ml air). Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadi cepat dan lemah. Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB. Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya tanda shock cardiosirkulasi, terjadi pada kehilangan cairan 7-15 % BB. Kegagalan penggantian cairan dan elektrolit biasanya menyebabkan kematian, jika kehilangan cairan 15 % BB atau lebih.

31

Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, pada dewasa 2 ml/kgBB/jam. Atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk berat badan lebih dari 20 kg. Pada anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB I,ditambah 2 ml/kg untuk 10 kgBB II, dan ditambah 1 ml/kg untuk berat badan sisanya. Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan kardiovaskuler,tanda rehidrasi tercapai ialah dengan adanya produksi urine0,5-1 ml/kgBB 2. Terapi Cairan Intraoperatif Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang selama operasi. Berdasarkan beratnya trauma pembedahan dikenal pemberian cairan pada trauma ringan, sedang dan berat. Pada pembedahan dengan trauma ringan diberikan cairan 2 ml/kg BB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kg BB/jam sebagai pengganti akibat trauma pembedahan. Cairan pengganti akibat trauma pembedahan sedang 6 ml/kg BB/jam dan pada trauma pembedahan berat 8 ml/kg BB/jam. Cairan pengganti akibat trauma pembedahan pada anak, untuk trauma pembedahan ringan 2 ml/kg BB/jam, sedang 4 ml/kgBB/jam dan berat 6 ml/kgBB/jam. Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur pembedahan dan perkiraan jumlah perdarahan.Perkiraan jumlah perdarahan yang terjadi selama pembedahan sering mengalami kesulitan, dikarenakan adanya perdarahan yang sulit diukur/tersembunyi yang terdapat di dalam luka operasi, kain kasa, kain operasi dan lain-lain. Dalam hal ini cara yang biasa digunakan untuk memperkirakan jumlah perdarahan dengan mengukur jumlah darah di dalam botol suction ditambah perkiraan jumlah darah di kain kasa dan kain operasi. Satu lembar duk dapat menampung 100 150 ml darah, sedangkan untuk kain kasa sebaiknya ditimbang sebelum dan setelah dipakai, dimana selisih 1 gram dianggap sama dengan 1 ml darah. Perkiraan jumlah perdarahan dapat juga diukur dengan pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin secara serial. Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan kristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia. Pada keadaan ini perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit pada level aman, yaitu Hb 7 10 g/dl atau Hct 21 30%. 20 25% pada individu sehat atau anemia kronis. Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan nilai hematokrit dan EBV. EBV pada neonatus premature 95 ml/kgBB, fullterm 85 ml/kgBB, bayi 80 ml/kgBB dan pada dewasa laki-laki 75 ml/kgBB, perempuan 85 ml/kgBB. Penggantian cairan berdasarkan berat-ringannya perdarahan a. Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 15%, cukup diganti dengancairan elektrolit.
32

b. Perdarahan sedang, perdarahan 10 20% EBV, 15 30%, dapat diganti dengan cairan kristaloid dan koloid. c. Perdarahan berat, perdarahan 20 50% EBV, > 30%, harus diganti dengan transfusi darah. 3. Terapi Cairan Post Operatif Terapi cairan post operatif ditujukan untuk : a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi. b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris). c. Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.. Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu kalori, protein dan lemak termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit,vitamin dan trace element. Pemberian kalori sampai 40 50 Kcal/kg dengan protein 0,2 0,24 N/kg. Nutrisi parenteral ini penting, karena pada penderita paska bedah yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan protein 75 125 gr/hari. Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka operasi, terjadi penurunan enzym pencernaan yang menyulitkan proses realimentasi.

33

Anda mungkin juga menyukai