Anda di halaman 1dari 6

1

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Keterbatasan kemampuan mendengar, telah terbukti berdampak pada perkembangan kosakata anak tunarungu. Breslaw, Griffiths, Kayu, & Howarth, 1981; Holt, Traxler, & Allen, 1997 (dalam Massaro dan Light, 2004:3) menyatakan bahwa anak tunarungu secara signifikan memiliki kosakata yang kurang, baik lisan maupun tulisan. Hal ini dikarenakan kurangnya kosakata yang masuk akibat gangguan pendengaran yang mereka alami yang juga mematikan kesempatan untuk belajar kosakata. Davis, 1974; Davis, Elfenbein, Schum, & Bentler, 1986; Huttunen, 2001; Moeller, Osberger, & Eccarius, 1986; Bangun, Hughes, Poulakis, Collins, & Rickards, 2004 (dalam Lee, 2009:2) mengungkapkan bahwa perkembangan kosakata anak tunarungu terbukti lebih lambat dibandingkan dengan anak-anak mendengar seusianya. Hal ini juga diungkapkan oleh Yovkova (2010:1) bahwa anak tunarungu secara signifikan memiliki kosakata yang terbatas dan pemahaman makna kata yang terbatas pula. Keterbatasan kosakata ini merupakan penyebab utama keterbelakangan mereka dari anak mendengar seusianya. Lebih jauh lagi, keterbatasan kosakata juga menyebabkan lemahnya keterampilan menyimak dan keterampilan yang berkaitan dengan decoding informasi dan pengolahan kata. Oleh karena perkembangan kosakata yang rendah, anak tunarungu telah jauh tertinggal dalam keterampilan membaca pemahaman. Berdasarkan hasil penelitian yang dikutip oleh Bunawan dan Yuwati (2000:40) menunjukkan hasil yang mengagumkan bahwa pada usia 6 tahun anak seharusnya sudah menguasai 3.600 kosakata. Yuwati (1993) (dalam Bunawan dan Yuwati, 2000:52) membandingkan kemampuan membaca siswa tunarungu kelas VI dari beberapa SDLB di Jakarta dengan SD dengan kelas yang sama. Perbandingkan kemampuan membaca ini merupakan indikasi kemampuan siswa dalam penguasaan kosakata dan pemahaman tata bahasa. Hasilnya tingkat pemahaman membaca siswa tunarungu berada jauh di bawah siswa SD. Nilai rata-rata siswa SDLB tunarungu sebesar 25,7 sedangkan nilai

rata-rata siswa SD sebesar 68,28 dan bahkan ketinggalan dari siswa SD kelas IV yang memperoleh rata-rata 46,96. Kosakata menjadi hal yang penting diajarkan pada anak tunarungu karena kosakata berkorelasi positif dengan keterampilan menyimak dan membaca pemahaman (Anderson & Freebody, 1981; Stanovich, 1986; Kayu, 2001), dan berdampak pada hasil belajar di sekolah (Vermeer, 2001) (dalam Massaro dan Light, 2004:3). Oleh karena itu meningkatkan kosakata juga dapat meningkatkan pengetahuan konseptual dan kompetensi bahasa untuk semua individu. Pentingnya kosakata juga didukung oleh Tarigan yang menyatakan bahwa kualitas berbahasa seseorang bergantung kepada kuantitas dan kualitas kosakata yang dimilikinya. Semakin kaya kosakata yang dimiliki, maka semakin besar pula kemungkinan dalam terampil berbahasa (Tarigan, 1985:2) Dale dkk dalam (Tarigan, 1985:5) mengungkapkan bahwa ada dua cara yang dilakukan anak dalam mempelajari tiga sampai empat ribu kata pertama. Pertama, mereka mendengar kata-kata tersebut dari orang tua, anak-anak yang lebih tua, teman sepermainan, televis dan radio, tempat bermain dan toko atau pusat perbelanjaan. Dan kedua, mereka mengalaminya sendiri dengan mengucapkanya, memakanya, merabanya, melihatnya dan menciumnya. Akibat keterbatasan pendengaran yang dialami oleh anak tunarungu, maka cara pertama yakni mendengar menjadi terhambat, meskipun begitu masih ada cara kedua yang dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kosakata anak tunarungu yakni dengan anak mengalami sendiri. Dengan cara mengalami sendiri melalui pengindraan diharapkan dapat mengembangkan kosakata anak tunarungu. Hal ini didukung oleh Dale dalam kerucut pengalamanya yang menggambarkan bahwa dengan mengalami sendiri dan dikatakan maka ingatan akan semakin baik yakni sebesar 90 % sedangkan jika hanya dibaca maka kita hanya ingat 10%, 20% jika hanya didengar, 30% jika hanya dilihat, 50% jika dilihat dan didengar dan 70% dari apa yang kita katakan. Dengan kata lain dengan langsung melibatkan siswa dalam membangun arti, maka mereka dapat belajar di tingkat yang lebih dalam (Fadel dan Lemke, 2008:3). Dengan berkembangnya teknologi sekarang ini, suatu pesan atau informasi dapat ditampilkan secara nyata seolah-olah anak dibuat mengalami sendiri.

Salah satu teknologi yang dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran adalah dengan Komputer. Komputer adalah alat elektronik yang termasuk pada kategori multimedia. Karena komputer menurut Arsyad dalam Munadi (2010 : 148) mampu melibatkan berbagai indera dan organ tubuh, seperti telinga (audio), mata (visual), dan tangan (kinestetik), yang dengan pelibatan ini dimungkinkan informasi lebih mudah dimengerti. Salah satu bentuk pemanfaatan multimedia berbasis komputer yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran adalah program multimedia interaktif. Secara teknis media pembelajaran berfungsi sebagai sumber belajar yang dipahami sebagai segala macam sumber yang ada di luar diri seseorang (peserta didik) dan memungkinkan (memudahkan) terjadinya proses belajar, baik secara individual maupun kelompok. Dengan demikian, kedudukan media sepenuhnya melayani kebutuhan belajar siswa (pola bermedia). Artinya, untuk beberapa hal media pembelajaran dapat menggantikan fungsi guru terutama sebagai sumber belajar. Salah satu media yang dapat menjalankan fungsi demikian tersebut adalah program multimedia interaktif. Multimedia interaktif dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran sebab penggunaan multimedia interaktif cocok untuk mengajarkan suatu proses atau tahapan. Salah satu program komputer yang interaktif adalah Macromedia Flash. Macromedia flash adalah program animasi digunakan untuk menghasilkan animasi interaktif. Animasi merupakan salah satu bentuk visual bergerak yang dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan materi pelajaran yang sulit disampaikan secara konvensional. Dengan diintergrasikan ke media lain seperti video, presentasi, atau sebagai bahan ajar tersendiri animasi cocok untuk menjelaskan materi-materi pelajaran yang secara langsung sulit dihadirkan di kelas atau disampaikan dalam bentuk buku (Adriyanto, 2009: 3). Program macromedia flash memiliki kemampuan dalam mengintegrasikan komponen warna, musik dan animasi grafik. Program macromedia flash juga mampu memberikan balikan (tanggapan) sehingga siswa dapat aktif berinteraksi dengan media yang diproduksi (Sholihatin, 2009). Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan tersebut, peneliti ingin menganalisis ada atau tidaknya penerapan multimedia interaktif

berbasis macromedia flash terhadap penguasaan kosakata anak tunarungu kelas I SLB Dewi Sartika Sidoarjo. Selain itu peneliti juga ingin mengkaji seberapa besar pengaruh penerapan multimedia interaktif berbasis macromedia flash terhadap penguasaan kosakata dasar anak tunarungu kelas I SLB Dewi Sartika Sidoarjo. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang dikemukakan adalah sebagai berikut :
1. Adakah pengaruh penerapan multimedia interaktif berbasis macromedia

flash terhadap penguasaan kosakata dasar anak tunarungu kelas I SLB Dewi Sartika Sidoarjo ?
2. Seberapa besar

pengaruh penerapan multimedia interaktif berbasis

macromedia flash terhadap penguasaan kosakata dasar anak tunarungu kelas I SLB Dewi Sartika Sidoarjo ? C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis ada atau tidaknya pengaruh penerapan multimedia

interaktif berbasis macromedia flash terhadap penguasaan kosakata dasar anak tunarungu kelas I SLB Dewi Sartika Sidoarjo.
2. Untuk menguji seberapa besar pengaruh penerapan multimedia interaktif

berbasis macromedia flash terhadap penguasaan kosakata dasar anak tunarungu kelas I SLB Dewi Sartika Sidoarjo.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan tentang pengembangan kosakata dasar anak tunarungu melalui penerapan multimedia interaktif berbasis macromedia flash. 2. Manfaat Praktis Dapat menjadi acuan dalam melaksanaan pembelajaran kosakata dasar di kelas. Selain itu juga sebagai wawasan bagi guru- guru dalam melakukan inovasi-inovasi dalam pembelajaran yang menjadikan suasana belajar menjadi aktif dan menyenangkan sehingga dapat tercapai tujuan pembelajaran.
b. Bagi Kepala Sekolah

a. Bagi Guru

Sebagai rujukan dalam pengembangan program pengembangan kosakata dasar anak tunarungu yang dilaksanakan oleh sekolah. c. Bagi Mahasiswa Sebagai referensi mahasiswa dalam melaksanakan penelitian pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. E. Asumsi Dan Keterbatasan 1. Asumsi Asumsi ialah anggapan dasar atau pokok-pokok pikiran yang digunakan tolok ukur untuk menuju masalah yang sebenarnya dan kebenaranya telah terbukti. Adapun anggapan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Keterbatasan pendengaran mengakibatkan penguasaan kosakata anak

tunarungu menjadi tertinggal dibandingkan anak mendengar seusianya.


b. Pemilihan pendekatan, model, metode dan media yang tepat, kosakata

anak tunarungu memiliki potensi untuk dikembangkan.


c. Multimedia interaktif adalah salah satu jenis media pembelajaran. d. Macromedia flash adalah program komputer.

2. Keterbatasan

Agar peneltian ini tidak terjadi generalisasi yang berlebihan, maka perlu adanya keterbatasan sebagai berikut : a. Sasaran penelitian terbatas pada siswa kelas I SLB Dewi Sartika Sidoarjo.
b. Oleh karena keterbatasan waktu dan biaya, maka intervensi

diberikan selama 1 bulan dengan 7 kali pertemuan. Post test sebanyak 1 kali, intervensi sebanyak 5 kali dan post test sebanyak 1 kali. Tiap intervensinya memerlukan waktu 60 menit.
c. Fokus kajian penelitian ini terbatas pada 30 kata yang meliputi : ibu,

adik, nenek, kakek, mata, mulut, tangan, jari tangan, kaki, saya, kamu, ini, itu, satu, dua, lima, sepuluh, makan, minum, melihat, berjalan, banyak, besar, kecil, tua, air, bintang, apel dan jeruk.
d. Kebenaran hasil penelitian ini terbatas pada fokus kajian yakni 30

kata yang meliputi : ibu, adik, nenek, kakek, mata, mulut, tangan, jari tangan, kaki, saya, kamu, ini, itu, satu, dua, lima, sepuluh, makan, minum, melihat, berjalan, banyak, besar, kecil, tua, air, bintang, apel dan jeruk.
e. Hasil dari penelitian ini hanya terbatas pada siswa kelas I SLB Dewi

sartika Sidoarjo dan tidak dapat digeneralisasikan. Bilapun perlu dilakukan generalisasi, karakteristik anak harus sama.
f. Indikator siswa menguasai adalah jika siswa dapat menunjukkan

atau memperagakan, menyebutkan dan membedakan objek.

Anda mungkin juga menyukai