Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

TUBERKULOSIS PARU

OLEH MUHAMMIDA NIM: 0808121388 PEMBIMBING dr. Zarfiardy Sp.P

KEPANITERAAN KLINIS SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU 2012

TINJAUAN PUSTAKA

1.

Definisi Tuberkulosis Paru Tuberculosis paru (TB) adalah suatu penyakit yang menyerang jaringan paru disebabkan

infeksi basil Mycobacterium Tuberculosis. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan TB paru sebagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Tuberculosis complex.1

2.

Epidemiologi World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global TB Control 2008

menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai negara dengan tingkat kejadian TB yang tinggi. Indonesia menempati peringkat ke tiga dunia setelah India dan China.2 Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, angka kesakitan akibat TB di Indonesia menduduki peringkat ke tiga sebagai penyebab kematian di Indonesia (9,4%) setelah penyakit sistem sirkulasi dan saluran pernafasan.4 Hasil survei prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukan bahwa angka prevalensi TB paru Basil Tahan Asam (BTA) positif secara nasional adalah 110 per 100.000 penduduk. Berdasarkan laporan WHO tahun 2006, kasus baru BTA positif adalah 90 per 100.000 untuk wilayah di luar Jawa dan Bali. 5,6 Menurut survei prevalensi TB di Indonesia tahun 2004, wilayah Sumatera menempati peringkat ke dua tertinggi angka prevelansi TB BTA positif di Indonesia yaitu 90 per 100.000 penduduk.5 Insiden TB BTA positif tahun 2008 di Riau adalah 2183 penderita.7

3.

Etiologi Tuberkulosis Paru Kuman TB berbentuk batang berukuran panjang 1-4 m dengan tebal 0,3-0,6 m. Sebagian

besar komponen kuman TB berupa lemak sehingga kuman tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik.8 Mikroorganisme ini bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen, oleh karena itu kuman TB senang tinggal di daerah apeks paru yang kandungan oksigennya cukup tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk kuman TB berkembangbiak.9 4. 4.1 Patogenesis Tuberkulosis Paru Tuberkulosis Primer Tuberkulosis primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB kemudian akan membentuk suatu jaringan pneumonik di jaringan paru yang disebut sarang primer atau afek primer. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembangbiak dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru.2 Saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjer limfe di sekitar hilus paru disebut sebagai komplek primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah sekitar 46 minggu.1 Infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh seluler. Umumnya daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB, namun ketika daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman TB mengakibatkan individu tersebut akan menjadi penderita TB dalam beberapa bulan.1 Komplek primer dapat sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali atau sembuh dengan sedikit bekas.2 4.2 Tuberkulosis Paska Primer

Tuberkulosis primer dapat menjadi TB paska primer, biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah TB primer, dimulai dengan sarang dini yang umumnya terletak di segmen apeks dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang ini awalnya berbentuk sarang pneumonik kecil. Ciri khas dari TB paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas dan efusi pleura.1 Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengeluarkan batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) tidak diperlukan, tetapi cukup diberikan pengobatan simptomatis, bila pendarahan berat penderita harus dirujuk ke rumah sakit.2

5.

Penularan Tuberkulosis Paru Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Ketika batuk atau bersin, penderita

mengeluarkan droplet nuclei yang berisikan kuman TB dan akan menyebar ke udara dalam bentuk percikan dahak.5 Umumnya penularan terjadi dalam ruangan yang tidak memenuhi standar kesehatan.9 Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman TB yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin tinggi tingkat penularan penderita tersebut. Risiko tertular tergantung dari konsentrasi dan lama pajanan dengan percikan dahak.5,10

6. 6.1

Diagnosis Tuberkulosis Paru Gejala Klinik

6.1.1 Gejala Respiratorik

1. Batuk Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Batuk terjadi karena iritasi bronkus yang pada awalnya tidak berdahak, tetapi karena terjadi peradangan maka batuk akan menjadi produktif. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa. Apabila batuk telah berlangsung lebih dari 2 minggu, maka harus dipikirkan adanya TB.1 2. Dahak Dahak bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen. Dahak berubah menjadi kental apabila sudah terjadi perlunakan.1 3. Batuk darah (hemoptysis) Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Keadaan ini terjadi akibat pecahnya aneurisma. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar atau kecilnya pembuluh darah yang terkena.1 4. Nyeri dada Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Apabila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung skapula atau di tempat-tempat lain).1 6.1.2 Gejala Sistemik 1. Demam Demam merupakan gejala paling sering dijumpai pada TB paru, biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip demam influenza. Demam ini hilang timbul dan

makin lama makin panjang masa serangannya sedangkan masa bebas serangan akan semakin pendek.1 2. Malaise Tuberkulosis bersifat radang menahun maka dapat terjadi rasa tidak enak badan, pegalpegal, nafsu makan berkurang, badan semakin kurus, sakit kepala, mudah lelah dan pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan siklus haid.1

6.2

Pemeriksaan Fisik Pada permulaan penyakit umumnya pemeriksaan fisik tidak banyak membantu. Penemuan

yang utama adalah ronki basah halus yang terdengar di daerah lesi waktu inspirasi dalam.1

6.3

Pemeriksaan Laboratorium

6.3.1 Bakteriologi Hingga sekarang prinsip penemuan BTA tetap merupakan salah satu pilihan utama, dengan beberapa alasan antara lain murah, objektif dan spesifik. Teknik pewarnaan yang kini banyak digunakan adalah Ziehl Neelsen sedangkan untuk skrining dapat dilakukan dengan mikroskop flourensen dengan pewarnaan auramin-rodamin.22 Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan pemeriksaan kultur dahak.5 Dibutuhkan tiga spesimen dahak untuk menegakkan diagnosis TB. Untuk kenyamanan penderita, pengumpulan dahak dilakukan dengan prinsip Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan sedian langsung dengan mikroskop biasa, mikroskop fluorensens atau biakan kuman.2

Diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikrokopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain misalnya biakan.5 Apabila ke tiga spesimen dahaknya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas selama 2 minggu. Apabila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB dilakukan pengulangan pemeriksaan dahak SPS dengan kriteria sebagai berikut:5 1. Hasil SPS positif maka didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. 2. Hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks untuk mendukung diagnosis TB. 6.3.2 Pemeriksaan Darah Rutin Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk menegakkan TB paru. Laju Endap Darah (LED) sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED yang normal belum menyingkirkan kemungkinan TB.5 6.4 Pemeriksaan Foto Toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 5 1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pemeriksaan foto toraks pada kasus ini diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. 2. Ke tiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS sebelumnya dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT. 3. Penderita tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan

6.5

Pemeriksaan Penunjang Dalam membantu menegakkan diagnosis TB pemeriksaan yang dapat digunakan yaitu:

1. Uji Tuberkulin/Tes Mantoux 2. Pemeriksaan serologi seperti ELISA, Mycodot dan Uji PAP. 1 Alur diagnosa penderita TB dewasa dapat di gambarkan kedalam Gambar 2.2 sebagai berikut:5

7.

Alur Diagnosis Penderita TB paru Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya5 1) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kasus kambuh (relapse) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat lebih dari 1 bulan

dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.


4) Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif

atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau ebih selama pengobatan.
5) Kasus pindahan (transfer in) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki

register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

8.

Penatalaksanaan Tuberkulosis Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah

kekambuhan, memutuskan rantai penularan, mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT, melindungi keluarga dan komunitas penderita.5 Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:5 a. Obat anti tuberkulosis harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah yang cukup dan dosis yang sesuai dengan kategori pengobatan.

b. Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, dilakukan pengawasan langsung DOTS oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan. 1. Tahap awal (intensif) - Pada tahap awal (intensif) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. - Apabila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. - Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (conversi) dalam waktu 2 bulan. 2. Tahap lanjutan Tahap lanjutan ini diberikan jika penderita telah mengalami conversi dari BTA positif menjadi BTA negatif. d. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT Kombipak. Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet, dosisnya disesuaikan dengan berat badan penderita. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu penderita. e. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan untuk pengobatan penderita yang mengalami efek samping OAT-KDT. Berikut adalah jenis, sifat dan dosis OAT: Tabel 1.1 Jenis, sifat dan dosis OAT

Dosis yang direkomendasikan Jenis OAT Isoniazid (H) Rifampisin (R) Pirazinamid (Z) Streptomisin (S) Etambutol (E) Sifat Bakterisid Bakterisid Bakterisid Bakterisid Bakteriostatik Harian 5 (4 - 6) 10 (8 12) 25 (20 30) 8 (12 18) 18 (8 20) (mg/ kg) 3 kali seminggu 10 (8 12) 9 (8 10) 35 (30 40) 30 (20 35)

Sumber: Buku Gerdunas TB 2008

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia.5 a. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk penderita baru TB paru BTA positif baru, penderita TB paru BTA negatif dan foto toraks positif dan penderita TB ekstra Paru. Berikut adalah dosis paduan OAT KDT untuk kategori 1: Tabel 1.2 Dosis paduan OAT KDT kategori 1 Tahap intensif Tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275) 30 37 kg 2 tablet 4 KDT 38 54 kg 3 tablet 4 KDT 55 70 kg 4 tablet 4 KDT >_ 71 kg 5 tablet 4 KDT Sumber: Pedoman Penanggulangan TB Nasional 2007 Berat badan b. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Paduan obat ini diberikan untuk penderita BTA positif yang telah diobati sebelumnya: - Kasus kambuh. Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150 / 150) 2 tablet 2 KDT 3 tablet 2 KDT 4 tablet 2 KDT 5 tablet 2 KDT

- Kasus gagal - Kasus dengan pengobatan setelah putus berobat (Default) Berikut adalah dosis paduan OAT-KDT untuk kategori 2: Tabel 1.3 Dosis paduan OAT KDT kategori 2 Tahap intensif Tiap hari RHZE(150/75/400/275)+28 Selama 56 hari 30 37 kg Selama 28 hari Tahap lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150)+ E(400) Selama 20 minggu 2 tab 2 KDT + 2 tab Etambutol 3 tab 2 KDT +3 tab Etambutol 4 tab 2 KDT + 4 tab Etambutol 5 tab 2 KDT +5 tab Etambutol

Berat badan

2 tab 4KDT 2 tab 4 KDT +500 mg Streptomisin inj 3 tab 4KDT 38 54 kg 3 tab 4 KDT + 750 mg Streptomisin inj 4 tab 4 KDT 55 70 kg 4 tab 4 KDT + 1000 mg Streptomisin inj 5 tab 4 KDT > 71 kg 5 tab 4 KDT +1000 mg Streptomisin inj Sumber: Pedoman Penanggulangan TB Nasional 2007

Untuk penderita yang berumur lebih dari 60 tahun, dosis maksimal untuk Streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.

c. Kategori sisipan (HRZE) Pemberian paket sisipan dilakukan apabila hasil pemeriksaan dahak pada penderita yang mendapatkan pengobatan kategori 1 masih BTA positif pada bulan ke 2 atau penderita yang mendapatkan pengobatan kategori 2 masih BTA positif pada bulan ke 3. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Berikut adalah dosis OAT-KDT untuk sisipan: Tabel 1.4 Dosis OAT-KDT sisipan: (HRZE)

Tahap intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275) 30 37 kg 2 tablet 4 KDT 38 54 kg 3 tablet 4 KDT 55 70 kg 4 tablet 4 KDT > 71 kg 5 tablet 4 KDT Sumber: Pedoman Penanggulangan TB Nasional 2007 Berat badan

d. Kategori anak (2RHZ/4RH) Prinsip dasar pengobatan TB adalah 3 macam obat dalam 2 bulan intensif dan 2 macam obat pada tahap lanjutan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak. Berikut adalah dosis OAT Kombipak pada anak: Tabel 2.5 Dosis OAT Kombipak pada anak Berat badan Berat badan <10 kg 10kg - 19 kg Isoniazid 50 mg 100 mg Rifampisin 75 mg 150 mg Pirazinamid 150 mg 300 mg Sumber: Pedoman Penanggulangan TB Nasional 2007 Jenis obat Berat badan 20kg 32kg 200 mg 300 mg 600 mg

10.

Diagnosis Banding5 Proses paru minimal sebagai diagnosis banding adalah simple bronchopneumonia, kanker

paru pada stadium dini, dan pneumonia lobaris. Pada proses tuberkuosis menahun perlu diingat bahwa ada penyakit paru non tuberkulosis yang bersifat menahun, seperti bronkiektasis, bronkitis, emfisema, dan kanker paru.

11.

Komplikasi5 Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan

komplikasi, yang dibagi atas :

Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, dan laringitis Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas (SOPT : Sindrom Obstruksi Paska Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, kor pulmonal, sindrom gagal nafas, yang sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB

DAFTAR PUSTAKA 1. Raviglion MC, Obrien RJ. Tuberculosis. In: Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th edition.

2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Paru Indonesia; 2011; hal. 2-29.

dan

3. WHO. Global tuberculosis control report 2009. http://www.who.int/mediacentre/factsheet/. 4. Tim Surkesnas Laporan Studi Mortalitas 2001. Pola Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Jakarta: 2002. 5. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: 2008; hal 3-24 6. Depkes RI. Lembar Fakta Tuberkulosis. . http://www.tbcindonesia.or.id. 7. Dinkes Provinsi Riau. Laporan evaluasi pertriwulan Tuberkulosis elektronik 2008 kota Pekanbaru. Pekanbaru: 2008. 8. Jawetz E, Melnick J, Adelberg E. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta: EGC: 1996; hal 302-7 9. Aditama TY. Tuberkulosis dan kemiskinan. Majalah Kedokteran Indonesia. 2005: Vol 2 : hal 49-50. 10. Yunus F. Diagnosis Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran. 1998; 53: hal 34-37. 11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Paru Indonesia; 2011 dan

12. Dharmika Djojoningrat. Dispepsia Fungsional. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 291294

Anda mungkin juga menyukai