Anda di halaman 1dari 13

Psikologi Pendidikan

IQ EQ DAN SQ
(Psikologi Pendidikan)
A. PENDAHULUAN Pada suatu hari seorang yang berasal dari Amerika ingin membeli sebuah pesawat buatan Indonesia. sehingga perusahaan dalam negeri mengirimkan utusannya yang terkenal pintar dalam merancang dan mengerti benar tentang seluk beluk aeronautika dan seorang yang pintar dalam bernegosiasi barang. Kedua orang dari Indonesia kemudian diundang makan malam oleh sang CEO (chief executive officer ), julukan untuk eksekutif muda Amerika. Dua orang eksekutif muda yang terlibat dalam urusan bisnis jual beli pesawat terbang tergolong ahli dalam bidangnya masing-masing. Kemudian mereka terlibat dalam perbincangan yang sangat menarik, baik yang seorang istilah lain adalah seles dan insinyur mengeluarkan kepiawaiannya dalam meyakinkan agar client nya tertarik untuk membeli pesawat buatan dalam negeri. Setelah selesai makan malam, mereka diajak untuk berkeliling melihat-lihat koleksi pribadi sang CEO. Berbagai macam koleksi diperlihatkan, mulai dari Patung, keramik dan model-model pesawat. (maket Pesawat). Semuanya menarik dan berharga sangat mahal. Kedua orang dari Indonesia tersebut merasa kagum ataupun memasang wajah kekaguman mereka. Setelah itu mereka keluar dari ruang koleksi. Tanpa disangka sang CEO menanyakan pendapat tentang semua koleksinya, hal itu ditanyakan kepada seorang yang dijuluki seorang insinyur tersebut. Tetapi jawaban yang

keluar adalah semua hal itu bias anda dapatkan di Pulau Bali dengan harga yang murah. Anda bisa bayangkan bagaimana hasil semua lobi di ruang makan tersebut. Sang CEO tidak jadi membeli pesawat dari Indonesia, akibat ucapan dari sang Insinyur tersebut. Dari kunjungan tersebut sang CEO merasa tersinggung merasa kurang dihargai oleh sang Insinyur tadi. Dari cerita di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang Insinyur adalah seseorang yang memiliki IQ yang tinggi tetapi kurang mengerti tentang perasaan orang lain atau kurang dapat menghargai perasaan orang lain dan bisa dikatakan bahwa EQ yang dimiliki kurang dapat dikuasai. Sedangkan seorang Seles mengetahui bagaimana meyakinkan seseorang dan berusaha mengerti perasaan orang lain, dalam hal ini seorang seles dapat dikatakan memiliki IQ yang kurang akan tetapi memiliki kelebihan dalam hal EQ. Dalam rentang waktu dan sejarah yang panjang, manusia pernah sangat mengagungkan kemampuan otak dan daya nalar (IQ). Kemampuan berfikir dianggap sebagai primadona. Potensi diri yang lain dimarginalkan. Pola pikir dan cara pandang yang demikian telah melahirkan manusia terdidik dengan otak yang cerdas tetapi sikap., perilaku dan pola hidup sangat kontras dengan kemampuan intelektualnya. Banyak orang yang cerdas secara akademik tetapi gagal dalam pekerjaan dan kehidupan sosialnya. Mereka memiliki kepribadian yang terbelah (split personality). Di mana tidak terjadi integrasi antara otak dan hati. Kondisi tersebut pada gilirannya menimbulkan krisis multi dimensi yang sangat memprihatinkan.

Psikologi Pendidikan
Fenomena tersebut telah menyadarkan para pakar bahwa kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan otak dan daya pikir semata, malah lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Tentunya ada yang salah dalam pola pembangunan SDM selama ini, yakni terlalu mengedepankan IQ, dengan mengabaikan EQ dan SQ. Oleh karena itu kondisi demikian sudah waktunya diakhiri, di mana pendidikan harus diterapkan secara seimbang, dengan memperhatikan dan memberi penekanan yang sama kepada IQ, EQ dan SQ. B. PENGERTIAN IQ, EQ DAN SQ Kecerdasan intelektual adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio. Ia merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan mengolah infomasi menjadi fakta.1 Orang yang kecerdasan intelektualnya baik, baginya tidak ada informasi yang sulit, semuanya dapat disimpan dan diolah, untuk pada waktu yang tepat dan pada saat dibutuhkan diolah dan diinformasikan kembali. Proses menerima , menyimpan, dan mengolah kembali informasi, (baik informasi yang didapat lewat pendengaran, penglihatan atau penciuman) biasa disebut "berfikir". Berfikir adalah media untuk menambah perbendaharaan/khazanah otak manusia. Manusia memikirkan dirinya, orang-orang di sekitarnya dan alam semesta. Dengan daya pikirnya, manusia berupaya mensejahterakan diri dan kualitas kehidupannya. Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi.2 Dapat dikatakan bahwa EQ adalah kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang baik, baginya infomasi tidak hanya didapat lewat panca indra semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni suara hati. Malahan sumber infomasi yang disebut terakhir akan menyaring dan memilah informasi yang didapat dari panca indra. Substansi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya Dapat dimengerti kenapa orang yang EQ-nya baik, sekaligus kehidupan sosialnya juga baik. Lain tidak karena orang tersebut dapat merespon tuntutan lingkungannya dengan tepat . Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan ikhlas5. SQ adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat.

Psikologi Pendidikan
kelemahan (bukan kesalahan) diperbaharui, yaitu : yang menuntut untuk

C. KECERDASAN MANUSIA Sering kita mendengar istilah IQ( intellegent quotient), Eq (emotional Qoutient), dan saat ini yang sedang terkenal adalah istilah ESQ (emotional Spiritual Qoutient) gagasan seorang Indonesia yatiu Ari Ginanjar. Gagasan ESQ bisa dibilang merupakan suatu keberhasilan yang luar biasa, karena gagasan ESQ ini diciptakan oleh seluruh aspek masyarakat mulai dari tingkat buruh sampai petinggi-petingginegara di dunia. Disini akan dijelaskan tentang kecerdasan yang ada pada manusia diantaranya adalah ketiga hal tadi, IQ,EQ, dan SQ.

1. Intellegent Qoutient (IQ).


Kecerdasan pikiran ini merupakan kecerdasan yang mampu bertumpu kemampuan otak kita untukberpikir dalam menyelesaikan masalh. Jika kita mengikuti psikotes ada banyak soal yang menuntut kejelian pikiran kita untuk menjawabnya, misalnya soal mengenai delik ruang seperti bentuk kubus yang diputar-putar akan menjadi seperti apa. Soal ini bertujuan untuk mellihat kemampuan pikiran kita dalam menyelesaikan suatu masalah dari berbagai sisi. Sudah bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan promosi personel militer) dan dunia kerja, menggunakan IQ sebagai standart yang mengukur kecerdasan manusia, akan tetapi namanya juga temuan manusia, istilah teknis yang diperkenalkan Alfred Binet (1857-1911) lama kelamaan mendapat sorotan dari para ahli dan mereka mencatat setidaknya ada dua

a. Pemahaman absolut terhadap skor IQ. Steve Hallam berpandangan, pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan tidak bisa dirubah adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjukan pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari kahir, sementara sisanya 58% merupakan hasil dari proses belajar. b. Cakupan kecerdasan manusia : kecerdasan nalar, matematika dan logika Steve Hallam sekali lagi mengatakan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju. 2. Emotional Qoutient (EQ) Disebut juga kecerdasn Emosi. Kecerdasan emosi ini didasarkan kepada kemampuan manusia dalam mengelola emosi dan perasaan. Kecerdasan emosi ini dikatakan sangat berpengaruh dalam performance dan kecakapan emosi kita dalam bekerja, dan juga kemampuan kita dalam menghadapi suatu masalah. Seseorang yang memiliki emosi yang buruk walaupun IQ nya besar, dia akan gagal dalam hidupnya dikarenakan tidak mampu mengontrol diri saat menghadapi suatu masalah. Kecerdasn emosi sudah suatu tolak ukur utama yang dicari oleh perusahaan pada pegawainya dan sering

Psikologi Pendidikan
merupakan kerakteristik penentu kesuksesan dalam bekerja dan pembedaan kinerja dan performance suatu karyawan. Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mendapatkan dan menerapkan pengetahuan dari emosi diri dan emosi orang lain agar bisa lebih berhasil dan bisa mencapai kehidupan yang lebih baik. Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus. Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musiummusium tertentu. Boleh jadi, secara langsung maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya. Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara

Kecerdasan spirituasl ini berkaitan dengan keyakinan kita kepada TUHAN YNG MAHA ESA. Kecerdasan ini muncul apabila kita benar-benar yakin atas segala ciptaanNya dan segala kuasanya kepada manusia (bukan atheis). Seputar kecerdasan spiritual Danah Zohar,penggagas istilah tehnis SW (kecerdasan Spiritual) dikatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat keluar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang ada didalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual Quotient) menunjuk pada kondisi pusat diri. Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangakat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik kenyataan apa adanya. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dnegan pencerahan jiwa, orang yang ber SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan makna positif pada setiap peristiwa, maslah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan positif.

3. Spiritual Qoutient (SQ)

Psikologi Pendidikan
itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori Two Factornya, atau Thurstone (1938) dengan teori Primary Mental Abilities-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet. Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang. Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saatsaat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience). Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata

Psikologi Pendidikan
kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003). Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)
Di Indonesia, ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, dai kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak Daya bergerak dalam bidang

pengembangan

Sumber

Manusia

dengan

Emotional

Spritual Quotient (ESQ)-nya. Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001). Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja.

Psikologi Pendidikan
Menurut Gardner bahwa salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) . Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan dan luar dan angkasa lainnya, yang menciptakan teknologi informasi transportasi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang

mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif). Manusia telah berhasil menciptakan raksasa-raksasa teknologi yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun dibalik itu, raksasa-raksasa teknologi tersebut telah bersiap-siap untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?

menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan Burung dan lahar tidak panasnya. dikenal, Penyakit-penyakit mulai AIDs bermunculan, serta ragawi seperti yang Flu sebelumnya

D. PERANAN KECERDASAN MANUSIA


Mengapa orang yang lebih sosial berhasil sedangkan yang IQ-nya sedang banyak yang gagal? Pertama-tama kita perlu pahami dulu bahwa kecerdasan emosi (EQ) bukanlah lawan dari kosien kecerdasan (IQ). EQ justeru melengkapi IQ seperti halnya kecerdasan akademik dan ketrampilan kognitif. Penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya kondisi emosi mempengaruhi fungsi otak dan kecepatan kerjanya (Cryer dalam Kemper). Penelitian bahkan juga menunjukkan bahwa kemampuan

(Avian

Influenza),

jenis-jenis

penyakit

mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi

Psikologi Pendidikan
intelektual Albert Einstein yang luar biasa itu mungkin walaupun organisasinya berbeda, kebutuhannya berbeda,

berhubungan dengan bagian otak yang mendukung fungsi psikologis, yang disebut amygdala. Meskipun demikian, EQ dan IQ berbeda dalam hal mempelajari dan mengembangkannya. IQ merupakan potensi genetik yang terbentuk saat lahir dan menjadi mantap pada usia tertentu saat pra-pubertas, dan sesudah itu tidak dapat lagi dikembangkan atau ditingkatkan. Sebaliknya, EQ bisa dipelajari, dikembangkan dan ditingkatkan pada segala umur. Penelitian justeru menunjukkan bahwa kemampuan kita untuk mempelajari EQ meningkat dengan bertambahnya usia. Perbedaan lain, IQ merupakan kemampuan ambang yang hanya bisa menunjukkan jalan bagi karir kita atau membuat kita bekerja di bidang tertentu; sedangkan EQ berjalan di jalan itu dan mempromosikan kita di bidang itu. Oleh karena itu, keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan unsur penting dalam keberhasilan manajerial. Sampai tingkat tertentu, IQ mendorong kinerja produktif; tapi kompetensi berbasis-IQ dianggap "kemampuan ambang", artinya kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan rata-rata. Sebaliknya, kompetensi dan Ketrampilan berbasis-EQ jauh lebih efektif, terutama pada tingkat organisasi yang lebih tinggi ketika perbedaan IQ dapat diabaikan. Dalam studi perbandingan antara orang yang kinerjanya cemerlang dan yang biasa-biasa saja pada organisasi tingkat tinggi, perbedaannya 85% disebabkan oleh kompetensi berbasis-EQ, bukan IQ. Dr Goleman mengatakan bahwa

ternyata EQ menyumbangkan 80-90% untuk memprediksikan keberhasilan dalam organisasi secara umum. Kami merujuk kepada studi kasus yang dilakukan oleh Dr. Goleman dan dua peneliti EQ terkenal lain untuk menganalisis bagaimana kompetensi EQ berkontribusi bagi laba yang didapatkan sebuah firma akuntansi yang besar. Pertama, IQ dan EQ para partisipan diuji dan dianalisis secara mendalam; kemudian satu mereka bentuk diorganisasi ke dalam beberapa kelompok kerja, dan masingmasing kelompok diberi pelatihan mengenai kompetensi EQ, seperti manajemen-diri dan ketrampilan sosial; sebagai kontrol adalah satu kelompok yang terdiri atas orangorang ber-IQ tinggi. Ketika dilakukan evaluasi nilai-tambah ekonomi yang diberikan kompetensi EQ dan IQ, hasilnya sangat mencengangkan. Kelompok dengan ketrampilan sosial tinggi menghasilkan skor peningkatan laba 110%, sementara yang dibekali dengan manajemen-diri mencatat peningkatan laba 390%, kemampuan kognitif dan analitik tinggi, yang peningkatan $ 1.465.000 per tahun. Sebaliknya, kelompok mencerminkan IQ, hanya menambah laba 50%; artinya, IQ memang meningkatkan kinerja, tapi secara terbatas karena hanya merupakan kemampuan ambang. Kompetensi berbasis EQ jelas jauh lebih mendorong kinerja.

Psikologi Pendidikan
Didalam bidang pendidikan,Pemerintah masih berusaha untuk mendapatkan formula yang terbaik dalam mendidik pelajarpelajar disekolah. Pendidikan telah begitu merosot hingga pelajar terlibat dalam gangsterisme, vandalisme, budaya rock, budaya metal, skinhead, narkoba, melawan guru, bahkan paling sering terjadi perkelahian antar pelajar. kecerdasan minda perlu di imbangi dengan kecerdasan emosi. Kalau tidak emosi para pelajar akan mudah terganggu dan pelajar akan bertindak mengikut emosi dan dorongan perasaan. Dalam hal ini kecerdasan minda tidak akan berfungsi dengan baik. Apabila pelajar mempunyai EQ yang rendah atau kecerdasan emosinya kurang, maka emosinya menjadi tidak stabil. Mereka akan bertindak mengikut emosi dan mudah Ada pihak yang menyarankan pendidikan diarahkan kepada system pertumbuhan IQ (intelligence quotient) semata-mata. Dalam system yang ada sekarang, kecerdasan atau IQ saja yang menjadi indeks pengukur untuk menilai kecerdasan seseorang pelajar. Namun ada pihak lain yang menentang,IQ hanya salah satu ukuran untuk menunjukkan kemampuan mental dalam mempelajari ilmu dan menyelesaikan masalah teoritikal. Ia tidak menunjukkan kepada kualitas pelajar secara menyeluruh yang sepatutnya merangkum lebih banyak ciri, bidang dan kriterianya. Kalau diteliti kita akan mendapati bahwa, akhlak, pribadi, jati diri dan perilaku pelajar semakin buruk dan merosot. Pasti ada sesuatu yang tidak kena. Juga membuktikan bahwa system bidang pengajaran pendidikan para pelajar ada yang kurang dan tidak menyeluruh. Pribadi pelajar yang terbina berat sebelah dan tidak seimbang. Ada usulan untuk penambahan kecerdasan lain yang mesti diambil yaitu EQ (emotional quotient). Harusnya penerapan pembelajaran IQ perlu di imbangi dengan EQ, terjebak dengan vandalisme, gangsterisme, keganasan atau mencederakan Tuhan menjadikan manusia orang mempunyai sifat batin lain. yang

berbeda-beda antara satu sama lain. Ada tiga jenis sifat atau kekuatan batin yang menonjol yang merupakan sifat manusia yang berbeda-beda itu. Diantaranya ialah:

1. Kekuatan akal
2. Kekuatanperasaan 3. Kekuatanjiwa Dalam istilah modennya, dinamakan IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). Namun tidak semua orang ataupun para pendidik yang benarbenar faham tentang ketiga-tiga kekuatan ini dan bagaimana untuk mengendalikannya. Setiap orang mempunyai salah satu dari kekuatan diatas. Jarang ada manusia yang memiliki kekuatan tersebut sekali gus kecuali para Nabi dan para Rasul.

Psikologi Pendidikan
Orang sesiapa yang mempunyai kekuatan akal selalunya maka kurang mereka. Tidak heran kalau mereka ini rusak dan hanyut karana tidak dapat menyesuaikan diri dengan system yang ada. Mereka di asah dan diuji untuk menghasilkan kerja akal padahal kekuatan mereka bukan terletak disitu. Dalam hal-hal yang mereka minati dan mampu berdasarkan kekuatan perasaan dan jiwa mereka tidak pernah dibina. Kesannya ialah tekanan perasaan, kekecewaan, putus asa dan kekeliruan. Maka berlakulah tindak balas dendam sebagai manifestasi kepada kekecewaan, tekanan perasaan, putus asa dan kekeliruan ini. Yang kuat jiwa mengganas, memberontak dan melanggar disiplin dan peraturan. Yang kuat perasaan pula mendongkol, murung, merasa inferiority complex, putus asa dan sakit jiwa. Didalam setiap kekuatan batin yang disebutkan diatas, ada kebaikan dan ada pula keburukannya. Yang baik akan memberi faedah. Yang buruk pula akan membawa kerugian. Sifat-sifat baik dan buruk ini adalah seperti berikut:

mempunyai kekuatan jiwa dan kekuatan perasaan. Seterusnya, yang mempuyai kekuatan itu kekuatan jiwa, dan kekuatan kekuatan dia kurang Kalau maka pula mempunyai seseorang akal perasaan.

mempunyai

perasaan

kekuatan jiwanya dan kekuatan akalnya pula kurang. Sifat, watak dan bakat seseorang itu bergantung kepada kekuatan batin yang ada padanya. Inilah sebab utama dan terbesar mengapa berlaku perbedaan sifat, watak dan bakat antara seseorang dengan orang lain. Inilah diantara hikmah dan rahmat Tuhan dalam penciptaan manusia. Sifat, bakat, minat dan kecenderungan manusia mengikut sifat dan itu tidak sama dan berbeda-beda batinnya. Ini sesuai denga kekuatan

keperluan masyarakat itu sendiri yang tidak sama dan berbedabeda. Yang kuat jiwa suka dan berbakat menjadi polisi, tentera, bertani, penternak dan nelayan. Yang kuat akal berbakat menjadi guru, saint, doktor, teknokrat. Yang kuat perasaan berbakat menjadi ahli seni, pekerja media, sasterawan dan sebagainya. Memang benar bahwa system pendidikan sekarang amat lemah dan mementingkan kekuatan akal atau IQ semata-mata. Tidak ada tempat dan ruang untuk pelajar yang kuat jiwa dan kuat perasaan atau dalam istilah lain yang kuat SQ dan EQnya. Oleh itu mereka ini terpinggir dalam system yang hanya mementingkan IQ semata-mata. System ini tidak relevan bagi

KEKUATAN AKAL Orang yang kuat akal mempunyai keupayaan berfikir. Melalui pemikirannya itu, dia dapat membuat berbagai-bagai penemuan dan teori. Dia juga mudah faham dan mudah mengingati ilmu-ilmu yang dipelajarinya bahkan dia mampu

Psikologi Pendidikan
mengambil ilmu yang tersirat dan yang tersembunyi. Dia juga sangat berhati-hati supaya hasil kerja akalnya tidak salah.Kelemahannya, orang yang kuat akal selalu asyik-mahsyuk dengan kerja akalnya sehingga dia selalu terlupa dan lalai dari tanggungjawapnya terhadap Tuhan, terhadap masyarakat, keluarga bahkan pada dirinya sendiri. Jiwanya penuh dengan rasa ego maupun sombong (rasa diri hebat). KEKUATAN PERASAAN Orang yang kuat perasaan selalunya sangat berhati-hati dan tidak gopoh. Dia sangat bertimbang-rasa dan wataknya lemah lembut. Namun keburukan sifat orang yang kuat perasaan ini ada banyak. Dia bakhil, mudah merajuk, mudah kecewa, suka menyendiri, rasa rendah diri dan tidak yakin pada diri sendiri. Dia juga mudah beralah, pemalu, penakut, tidak tahan diuji dan suka KEKUATAN JIWA Orang yang kuat jiwa pula berani, yakin pada diri, pemurah, tabah, tahan diuji dan tidak putus asa. Keburukannya pula, dia selalu gopoh, boros (membazir), zalim (suka menindas), pemarah, sombong, pendendam dan ujub. Dalam hendak mendidik para pelajar, kekuatan batin mereka harus dikenalpasti terlebih dahulu. Setiap guru dan pendidik mesti tahu dimana letaknya kekuatan batin setiap pelajar buruk sangka. mereka. Adakah akalnya kuat, perasaannya atau adakah jiwanya yang kuat. Kemudian mereka perlu di didik mengikut kekuatan mereka masing-masing. Setiap pelajar mempunyai sifat sifat batin yang baik disamping sifat-sifat batin yang buruk. Tegasnya setiap pelajar mempunyai kelebihan dan keistimewaan dan juga kekurangan dan kelemahan yang tertentu bergantung kepada kekuatan batin yang ada padanya. Setiap sifat yang baik itu tidak akan sempurna selagi ianya tidak di pimpin dengan syariat Islam dan diarahkan kepada jalan Allah. Begitu juga, setiap sifat yang buruk itu boleh di didik hingga menjadi baik atau sekurangkurangnya ia boleh dibendung agar ia tidak meliar. Inilah yang perlu difahami oleh para guru dan pendidik dan semua yang terlibat dengan para pelajar disemua peringkat samada di peringkat sekolah, pendidikan daerah, pendidikan negeri dan kementerian sendiri. Kalau istilah pembelajaran itu berkaitan dengan ilmu, kemahiran dan akal, istilah pendidikan pula melibatkan pengurusan dan pengendalian sifat batin pelajar. Selagi perkara ini tidak difahami, tidak diambil kira dan tidak dijadikan konsep dan prinsip dalam mendidk, membimbing dan membentuk para pelajar, selagi itulah kita tidak akan dapat menghasilkan pelajar yang benar-benar cemerlang lahir dan batinnya.

Psikologi Pendidikan
E. HUBUNGAN KERJA ANTARA IQ,EQ DAN SQ
Dengan mellihat bagan Meta Kecerdasan. Kita akan melihat bahwa kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual dan kecerdasan intelektual sangat berkaitan erat satu dengan yang lain. Dari bagan tersebut dapat kita lihat, apabila kita berorientasi pada Ketuhanan, maka hasilnya adalah eq, iq dan SQ yagn

Masalah & tantangan

Radar Hati

terintegrasi. Pada saat masalah datang maka radar hati bereaksi

Orientasi Materialism e

Orientasi Spiritualism e Tauhid

menangkap signal. Karena berorientasi pada materialisme, maka emosi yang dihasilkan adalah emosi yang tidak terkendali, sehingga menghasilkan sikap-sikap sebagai berikut: marah, sedih, kesal dan takut. Akibat emosi yang tidak terkendali, God Spot menjadi terbelenggu atau suara hati tidak memiliki peluang

Emosi tidak terkendali Marah Sedih Kesal,takut

DIMENSI EMOSI EQ - Tenang


- Damai

Emosi terkendali

untuk muncul. Bisikan suara hati ilahiah yang bersifat mulia tidak lagi bisa didengarkan, yang berperan adalah emosi. Kasus lain adalah ketika masalah atau tantangan muncul radar hati langsung menangkap getaran atau sinyal. Ketika sinyal itu menyentuh dinding TAUHID, kesadaran TAUHID

God Spot terbelenggu

Suara Hati tertutup


Logika Tidak Berjalan

DIMENSI SPIRITUAL SQ DIMENSI FISIK IQ OUTPUT

God Spot terbuka


Suara Hati Spiritual Bekerja
Logika Bekerja Normal

mengendalikan emosi hasilnya adalah emosi yang terkendali, seperti rasa tenang dan damai. Dengan ketenangan emosi yang terkendali, maka God Spot atau pintu hati terbuka dan bekerja. Terdengarlah bisikan-biskan, kejujuran, tanggung jawab, kepedulian, kreativitas, komitmen kebersamaan perdamaian dan
IQ, EQ, SQ terintegrasi

IQ, EQ SQ Terpisah

bisikan hati mulia lainnya. Berdasarkan dorongan biskikan mulia itulah potensi kecerdasan intelektual bekerja dengan optimal, yaitu sebuah perhitungan intelektualias yang berlandaskan pada

Psikologi Pendidikan
nilai-nilai keadilan, kejujuran dan tanggung jawab. Lahirlah sebuah META Kecerdasan, yatiu integrasi EQ, IQ, SQ. ORIENTASI SPIRITUALISME TAUHID 1. ketika terjadi masalah pada dimensi fisik, Penyederhanaan Bagan hubungan IQ, EQ, dan SQ dalam model ESQ (Ary Ginanjar Agustian) . 2. maka akan tejadi rangsangan pada dimensi emosi (EQ). namun karena aspek mental telah dilindungi oleh prinsip tauhid, maka emosi akan tetap tenang terkendali. 3. akibatnya, suara hati ilahiah pada dimensi spiritual (sq)

1 2 3

Dimensi Fisik (IQ) Dimensi Emosi (eq)

bekerja dengan baik.

Dimensi spiritual (SQ)

F KESIMPULAN MONGGO DILANJUTKE ..

Orientasi materialisme 1. ketika masalah muncul pada dimensi fisik, 2. maka akan terjadi rangsangan pada dimensi emosi, berupa kemarahan, kesedihan, kekesalan. 3. akibatnya, suara hati ilahiah pada dimensi spiritual (SQ) tidak bisa bekerja. Akhirnya aktivitas pada dimensi fisik akan bekerja tidak optimum bahkan tidak normal.

Anda mungkin juga menyukai